30 Desember 2005

Mission Impossible di Pundak Bulog

Upaya pengamanan stok beras nasional di tangan Perum Bulog dengan memprioritaskan pengadaan di dalam negeri memang strategis. Pertama, karena prioritas itu jelas langsung menyentuh kepentingan petani lokal. Paling tidak, harga gabah di tingkat petani tidak terkondisi tertekan ke level yang membuat mereka harus menanggung rugi. Pada gilirannya, itu amat bisa diharapkan membuat petani tetap bergairah melakoni usaha budidaya padi.

Kedua, pengadaan beras di dalam negeri tidak membuat Bulog sebagai institusi yang mengemban tugas itu harus menyedot devisa. Dengan kata lain, berbeda dengan impor, pengadaan beras di dalam negeri tidak mengurangi cadangan devisa.

Tetapi kebijakan pemerintah memprioritaskan pengadaan beras di dalam negeri sekarang ini -- dalam rangka mengembalikan stok di tangan Perum Bulog ke level aman sebanyak 1 juta ton -- terasa tidak meyakinkan. Kebijakan tersebut seperti main-main alias tidak sungguh-sungguh.

Kesan tidak sungguh-sungguh itu demikian kental karena waktu yang tersedia sangat mepet. Jika benar pemerintah memberi tenggat bagi Bulog untuk melakukan pengadaan beras di dalam negeri ini hingga 5 Januari 2006, berarti waktu yang tersedia praktis hanya seminggu -- terhitung sejak Rabu lalu (28/12), saat pemerintah menggariskan kebijakan itu.

Tidak jelas, apa yang menjadi pertimbangan sehingga pemerintah menetapkan 5 Januari 2006 sebagai tenggat pengadaan beras di dalam negeri ini. Yang pasti, beras yang harus diserap Bulog tidak terbilang sedikit. Konon, stok beras di tangan Bulog kini mencapai sekitar 868.000 ton.

Itu berarti, untuk mengembalikan stok ke level aman sebanyak 1 juta ton sebagaimana disebut pemerintah, beras yang harus dibeli Bulog ini mencapai sekitar 132.000 ton. Apakah mungkin Bulog mampu menyerap beras sebanyak itu hanya dalam tempo sepekan?

Memang benar, Bulog memiliki jaringan hingga ke berbagai pelosok daerah -- plus barisan rekanan yang sudah berpengalaman terlibat dalam pengadaan beras di dalam negeri. tetapi, bagaimanapun itu bukan satu-satunya faktor yang bisa menjamin pengadaan beras di dalam negeri bisa sukses. Jangan lupa, persediaan beras di tangan masyarakat saat ini sebagian besar masih berupa gabah.

Artinya, sebelum Bulog bisa efektif melakukan penyerapan, masih dibutuhkan proses dan waktu tersendiri untuk mengubah gabah menjadi beras.

Di sisi lain, dalam menyerap beras di masyarakat ini pun, Bulog harus selektif. Hanya beras yang memenuhi syarat mutu pecahan (broken) yang mungkin bisa diserap. Untuk itu, jelas dibutuhkan proses dan waktu tersendiri pula.

Kalaupun faktor-faktor teknis itu diabaikan, apa mungkin Bulog mau membeli beras dengan harga yang sekarang ini relatif jauh di atas patokan harga pembelian pemerintah (HPP)? Rasanya tidak! Bulog jelas tak bakal sudi menanggung rugi dalam melakukan pengadaan beras di dalam negeri ini. Berbeda dengan era dulu, Bulog kini tidak lagi menggenggam dana super murah berupa Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI). Dana di tangan Bulog kini merupakan pinjaman komersial biasa.

Justru itu, sama sekali tidak nalar kalau Bulog sampai mau memanfaatkan dana mahal untuk proyek yang jelas-jelas bakal membuat mereka merugi. Terlebih lagi, pemerintah sendiri tidak mau menanggung risiko itu dengan mengucurkan dana tombokan.

Walhasil, kebijakan pemerintah memprioritaskan pengadaan beras di dalam negeri sebagai langkah pengamanan stok di tangan Bulog ini lebih terasa sebagai misi yang mustahil (mission impossible). Kebijakan tersebut amat terang-benderang tidak sungguh-sungguh. Cuma basa-basi.

Tetapi, boleh jadi, kebijakan itu secara sistematis memang dikondisikan sebagai mission impossible. Paling tidak, itu tecermin lewat sikap pemerintah mematok tenggat pengadaan beras dalam negeri demikian mepet seraya tetap membuka peluang bagi Bulog untuk mengimpor beras. Bulog dimungkinkan melakukan impor beras jika hingga tenggat 5 Januari 2006 hasil pengadaan di dalam negeri gagal mengembalikan stok beras ke level 1 juta ton.

Jadi, lupakan bahwa kepentingan petani akan terselamatkan. Lupakan pula bahwa pengamanan stok pangan nasional di tangan Bulog sekarang ini tidak menyedot devisa. Lupakan!***
Jakarta, 30 Desember 2005

10 Desember 2005

Impor Beras, Kesalahpahaman?

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berupaya meyakinkan masyarakat bahwa impor beras, yang sekarang ini dilakukan pemerintah melalui Perum Bulog, bukan nista. Langkah itu dilakukan, katanya, semata dalam rangka mengamankan stok beras nasional.

Yudhoyono menekankan, dengan amannya stok beras nasional, pemerintah bisa lebih mudah melakukan langkah-langkah pengamanan masyarakat manakala terjadi kondisi darurat menyangkut masalah pangan -- misalnya gagal panen. Karena itu, Yudhoyono meminta agar masyarakat tidak salah paham terhadap keputusan pemerintah mengimpor beras sekarang ini.

Kita setuju bahwa stok pangan nasional, khususnya beras sebagai bahan makanan pokok masyarakat kita, memang harus senantiasa terjaga aman. Adalah jelas berbahaya jika stok pangan nasional sampai tekor. Bahkan stabilitas sosial-ekonomi maupun sosial-politik nasional pun bisa goyah jika stok pangan di dalam negeri terkuras hingga jauh di bawah kondisi aman.

Karena itu, kita juga sependapat bahwa stok pangan nasional tak boleh dibiarkan susut berlama-lama. Langkah-langkah pengamanan -- termasuk melalui impor -- harus segera dilakukan pemerintah.

Tapi yang jadi soal, sejauh ini kita belum memperoleh penjelasan meyakinkan bahwa stok pangan (beras) nasional -- khususnya di tangan Perum Bulog -- sudah menyusut drastis, dan karena itu perlu segera diatasi melalui langkah impor. Keterangan pihak Bulog tempo hari -- bahwa stok beras di tangan mereka pada posisi September 2005 sudah menyusut drastis dari semula 1,1 juta ton menjadi tinggal 900.000 ton -- sungguh terasa janggal.

Betapa tidak, karena -- masih menurut keterangan Bulog -- penyusutan 200.000 ton beras itu terjadi hanya dalam rentang waktu sebulan. Padahal antara Agustus-September 2005 sama sekali tak terjadi kondisi luar biasa -- sebutlah bencana alam dahsyat -- yang tiba-tiba memaksa Bulog banyak menguras cadangan beras di gudang-gudang mereka.

Kalaupun benar bahwa stok beras di tangan Bulog ini menyusut 200.000 ton, kenapa izin impor yang dikeluarkan pemerintah sendiri hanya sekitar 70.000 ton? Bukankah kalau hanya diisi 70.000 ton stok beras nasional masih tidak aman -- karena masih tekor sekitar 130.000 ton, sementara pemerintah maupun Bulog tidak melakukan upaya lain?

Jadi, alasan impor beras sekarang ini sungguh tidak meyakinkan. Terlebih jika pernyataan pihak Deptan benar: produksi gabah nasional tahun ini terbilang cukup besar. Deptan menyebutkan, produksi gabah kering giling tahun ini diperkirakan mencapai 53 juta ton atau setara 31,2 juta ton beras.

Memang dibanding produksi gabah nasional tahun lalu, angka itu menunjukkan penurunan sekitar 2 persen. Namun demikian, penurunan tersebut tak serta-merta membuat stok pangan nasional menjadi kritis. Bahkan dengan angka produksi 31,2 juta ton beras, kita sebenarnya masih surplus -- karena konsumsi beras nasional kini mencapai sekitar 30,6 juta ton. Ditambah stok awal di tangan Bulog, cadangan beras nasional ini jelas lumayan melimpah.

Karena itu, jika benar stok di tangan Bulog sudah menipis, kenapa impor serta-merta menjadi pilihan? Kenapa Bulog tidak mengoptimalkan upaya menutup stok yang sudah berkurang melalui pengadaan beras di dalam negeri? Bukankah langkah Bulog melakukan pengadaan beras di dalam negeri justru berdampak positif terhadap kepentingan petani kita?

Sangat boleh jadi, Bulog bukan tidak berkeinginan mengoptimalkan pengadaan beras di dalam negeri. Tetapi langkah ke arah itu mungkin amat sulit mereka ayunkan karena -- seperti kata Mentan Anton Apriantono -- harga gabah di tingkat petani sekarang ini relatif jauh di atas harga patokan pemerintah (HPP). Di lain pihak, harga beras impor sendiri relatif murah.

Jika benar begitu duduk soalnya, jelas sudah bahwa ihwal impor beras bukan soal beralasan atau tidak. Impor beras sekarang ini lebih merupakan soal kalkulasi untung rugi di pihak Bulog. Ini rasanya bukan kesalahpahaman sebagaimana kata Presiden Yudhoyono karena memang tak sulit dipahami!***
Jakarta, 10 Desember 2005

28 November 2005

Penyelamatan Merpati Airlines

Sejumlah karyawan maskapai penerbangan Merpati Nusantara Airlines hampir pasti segera mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Menneg BUMN Sugiharto kemarin menyebutkan, masalah itu sudah dibicarakan dengan pihak DPR maupun serikat pekerja di lingkungan Merpati sendiri. Baik pihak DPR maupun serikat pekerja, katanya, sudah memberikan lampu hijau. Walhasil, rencana PHK sekian banyak karyawan ini sudah bukan masalah lagi. Tinggal dilaksanakan.

Konon, rasionalisasi karyawan Merpati ini idealnya mencapai sekitar 2.500 orang. Padahal total karyawan maskapai plat merah itu sekarang sekitar 4.000 orang. Walhasil, jika mengejar target ideal, rasionalisasi itu sungguh merupakan PHK besar-besaran.

Tak jelas apakah rasionalisasi karyawan yang segera dilakukan Merpati ini sekaligus meliputi 2.500 orang ataukah di bawah angka itu. Yang pasti, rasionalisasi karyawan memang tak terhindarkan lagi -- karena kondisi Merpati sebagai badan usaha telanjur berdarah-darah, di samping karena jumlah karyawan kini sudah tak seimbang lagi dibanding jumlah armada pesawat maupun rute yang dilayani Merpati.

Kenyataan itu pula, tampaknya, yang membuat pihak DPR maupun serikat pekerja Merpati tak sulit memberikan persetujuan terhadap rencana rasionalisasi karyawan ini. Kedua lembaga tersebut bisa memahami dan terkesan lapang dada (legowo) atas rencana itu.

Tetapi, bagaimanapun, opsi itu sendiri hanya salah satu alternatif penyelamatan. Bahkan, rasionalisasi karyawan ini cuma alternatif untuk sekadar memperpanjang napas Merpati. Maklum karena jika rasionalisasi karyawan tak segera dilakukan, Merpati niscaya makin berdarah-darah. Merpati sulit bisa bertahan hidup (survive).

Apa boleh buat, memang, kondisi Merpati telanjur sakit parah. Kini setiap bulan mereka mengalami defisit cash flow sebesar Rp 40 miliar. Mereka juga menanggung beban utang kepada bank dan vendor sekitar Rp 130 miliar.

Langkah penyelamatan memang perlu. Pertama, karena likuidasi bukan alternatif strategis. Pemerintah sendiri pernah menghitung, likuidasi Merpati ini bukan perkara murah-meriah: paling tidak membutuhkan dana sekitar Rp 2 triliun. Kedua, karena misi istimewa yang selama ini diemban Merpati -- membuka layanan ke jalur-jalur terisolasi -- mungkin ikut terkubur. Padahal pembukaan jalur-jalur terisolasi amat strategis dalam konteks pembangunan kesatuan dan kesatuan NKRI.

Karena itu, langkah penyelamatan Merpati memang sungguh merupakan kebutuhan. Tetapi, mestinya, upaya ke arah itu tidak setengah-setengah. Juga jangan bersifat parsial. Rasionalisasi karyawan memang perlu. Tapi itu saja jelas tidak menyelesaikan masalah -- karena Merpati tak serta-merta jadi sehat.

Pemerintah sebenarnya sudah membahas sejumlah opsi penyelamatan Merpati ini. Misalnya mencari mitra strategis (strategic partner), down sizing bisnis dengan strategi yang dikembangkan ke arah low cost carrier, negosiasi tentang restrukturisasi utang dengan kreditur dan vendor, merger dengan maskapai Garuda Indonesia yang sama-sama milik pemerintah, juga rasionalisasi karyawan.

Di sisi lain, pemerintah dan DPR juga sudah menyepakati suntikan dana sebesar Rp 450 miliar bagi Merpati ini. Tapi kesepakatan tersebut tak bisa segera direalisasikan -- karena menyangkut teknis alokasi anggaran, sementara APBN 2005 sendiri sudah telanjur bergulir lumayan jauh. Paling tidak, suntikan dana segar itu baru bisa terealisasi pada tahun anggaran mendatang.

Opsi-opsi itu sendiri bagus -- dalam arti layak diaplikasikan. Justru itu, mengingat kondisi Merpati yang saat ini sudah terbilang gawat, beberapa opsi -- terutama yang berfungsi saling melengkapi -- sepatutnya dicoba diterapkan paralel. Sebagai langkah darurat, tidak keliru -- bahkan menjanjikan hasil positif -- jika upaya menggaet mitra strategis dilakukan bersamaan dengan negosiasi restrukturisasi utang, serta down sizing bisnis ke arah low cost carrier.***
Jakarta, 28 November 2005

27 Oktober 2005

Di Balik Pembengkakan Defisit

Kita setuju seratus persen bahwa kegiatan pembangunan harus semakin digalakkan. Dengan itu, lapangan kerja niscaya bisa banyak tercipta.

Kita juga sepakat bahwa sekarang ini upaya ke arah itu nyaris sepenuhnya tertumpu di pundak pemerintah. Akibat kesulitan menanggung beban yang tertoreh sebagai dampak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) pada 1 Oktober lalu, dunia usaha nasional sendiri -- swasta maupun BUMN -- kini sulit diharapkan mampu melakukan ekspansi. Bahkan sekadar untuk bertahan hidup (survive) saja, mereka terpaksa banyak melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).

Karena itu tak heran jika pemerintah pun memprediksi bahwa sekitar 2 juta tenaga kerja hampir pasti menjadi korban tindak PHK pascakenaikan kenaikan harga BBM pada 1 Oktober lalu. Padahal sebelum itu pun, masalah pengangguran sudah demikian serius.

Karena itu, pemerintah amat dituntut menjadi lokomotif kegiatan pembangunan, termasuk menciptakan berbagai kegiatan yang terutama bersifat padat karya. Dengan demikian, sekian banyak orang bisa beroleh pekerjaan. Dengan itu pula, himpitan masalah sosial-ekonomi pascakenaikan harga BBM yang mendera mereka minimal sedikit berkurang.

Penciptaan lapangan kerja -- betapapun sederhananya -- sekarang ini memang kian urgen. Kita tahu, masalah pengangguran amat potensial melahirkan berbagai penyakit sosial. Kita tentu tak menghendaki penyakit sosial kian marak -- karena bukan saja kehidupan menjadi tidak nyaman dan tidak aman, melainkan terutama bisa merusakkan sendi-sendi kemasyarakatan.

Karena itu, memang, sekarang ini pemerintah dituntut menjadi lokomotif pembangunan. Bahwa untuk itu defisit anggaran negara harus diperbesar, kita bisa memaklumi. Ya, karena tambahan penerimaan tampaknya sulit bisa diperoleh. Sumber-sumber penerimaan sulit bisa digali lebih dalam -- meski sebenarnya bukan tidak mungkin.

Pemerintah sendiri mengusulkan kepada DPR bahwa defisit anggaran ini membengkak dari 0,7 persen menjadi 1,1 persen produk domestik bruto (PDB). Angka tersebut, bagi pemerintah, terbilang pantas -- paling tidak, karena masih dalam rentang yang dapat ditoleransi.

Dengan defisit anggaran yang membengkak menjadi 1,1 persen ini, belanja negara bertambah Rp 5 triliun. Itu memungkinkan APBN menjadi lebih ekspansif. Terlebih lagi pemerintah sudah memiliki cukup "amunisi" lain yang lumayan signifikan berupa hasil penghematan subsidi BBM. Walhasil, pemerintah sangat dimungkinkan menebar stimulus ekonomi -- termasuk menciptakan aneka kegiatan yang menyerap banyak tenaga kerja.

Tapi soalnya, usulan kenaikan defisit anggaran ini amat terkesan sekonyong-konyong -- dan bisa mementahkan kesepakatan sementara pemerintah dan pihak DPR. Bisa dipahami jika kalangan anggota DPR pun -- terutama di Panitia Anggaran -- sampai dibuat terkaget-kaget oleh usulan itu.

Pemerintah dan Panitia Anggaran DPR sebelumnya memang sudah tuntas membahas masalah RAPBN 2006 -- dan karena itu tinggal dibawa ke forum paripurna DPR untuk beroleh pengesahan. Rapat paripurna itu sendiri, menurut rencana, digelar Jumat besok.

Justru itu, usulan yang sekonyong-konyong tentang desifit anggaran itu amat merepotkan. Teoritis, sebelum diputuskan forum paripurna DPR, pembahasan tentang itu harus bisa tuntas dalam satu-dua. Apa mungkin?

Dalam kondisi normal, model pembahasan "super kilat" seperti itu sulit bisa tuntas. Tapi sepanjang masing-masing pihak -- terutama DPR -- memiliki good will dan political will, itu bukan sesuatu yang muyskil. Kita sendiri yakin bahwa kalangan anggota DPR memiliki kearifan untuk sedikit berpayah-payah membahas lagi soal RAPBN 2006 ini, khususnya masalah pembengkakan defisit anggaran. Kalangan anggota DPR tentu bisa memahami arti strategis dan urgensi RAPBN yang lebih ekspansif ini bagi kehidupan rakyat banyak.

Tapi soalnya, kearifan itu bisa berarti memberi toleransi terhadap sikap-tindak tak konsisten pemerintah dalam menyusun RAPBN. Kita khawatir, kearifan pihak DPR ini membuat pemerintah jadi terbiasa kerja seolah tanpa rencana dan perhitungan matang. Sikap tersebut jelas berbahaya.***
Jakarta, 27 Oktober 2005

21 Oktober 2005

Debirokratisasi Sekadar Janji?

Membuat janji memang mudah. Tapi soal mewujudkan janji yang sudah terlontar, acapkali itu merupakan masalah pelik. Sangat tidak gampang. Sampai-sampai tak jarang janji pun cuma tinggal janji. Berjuta alasan atau dalih bisa dilekatkan untuk itu. Tidak susah. Dalih amat mudah dicari-cari. Alasan juga sangat gampang dikarang-karang.

Lalu bagimana dengan janji pemerintah yang kemarin dilontarkan Menko Perekonomian Aburizal Bakrie: ekonomi biaya tinggi yang membebani dunia usaha akan dipangkas melalui langkah debirokratisasi. Akankah janji tersebut sekadar tinggal janji?

Kalau bercermin pada kecenderungan selama ini, jujur saja kita tak begitu yakin bahwa janji itu bisa menjadi kenyataan. Ya, karena entah sudah berapa kali pemerintah -- tak hanya di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sekarang ini -- telah mengakui bahwa ekonomi nasional digayuti masalah biaya tinggi. Juga entah berapa kali pemerintah gembar-gembor akan berupaya menghilangkan masalah tersebut.

Tapi, itu tadi, selalu saja pada akhirnya janji-janji itu sekadar menjadi "angin surga". Pemerintah tidak menunjukkan komitmen dan upaya kuat untuk mewujudkan janji-janji itu. Pemerintah terkesan tidak serius. Terkait masalah ekonomi biaya tinggi ini, pemerintah seperti sekadar mengobral janji. Ya, karena janji sangat mudah dilontarkan.

Jadi, terus-terang, kita skeptis oleh pernyataan Aburizal mengenai langkah debirokratisasi dalam rangka memangkas ekonomi biaya tinggi ini. Jangan-jangan pernyataan itu pun bernasib seperti yang sudah-sudah: gagal menjadi kenyataan karena pada dasarnya memang sekadar basa-basi atau cuma lips service. Pernyataan itu bukan merupakan kesadaran dan komitmen serius pemerintah secara keseluruhan.

Sebagai pengusaha nasional, Aburizal tentu paham betul mengenai komitmen pemerintah selama ini yang kurang serius dalam menangani masalah ekonomi biaya tinggi ini. Sementara Aburizal sendiri ketika masih berdiri di luar pemerintahan -- terutama saat menjabat sebagai Ketua Umum Kadin Indonesia -- tak bosan-bosan mengeluhkan sekaligus mendesak pemerintah agar bersungguh-sungguh menangani masalah itu.

Ketika belakangan menggalang dunia usaha mendeklarasikan sikap antisuap, mungkin itu wujud keprihatinan, kekesalan, atau bahkan rasa frustrasi Aburizal oleh sikap pemerintah tak tak kunjung serius mengikis ekonomi biaya tinggi ini.
Boleh jadi, perasaan-perasaan itu semakin menggumpal manakala kemudian terbukti bahwa komitmen pengusaha nasional melakukan gerakan antisuap itu seolah luntur. Boleh jadi, mereka tak berdaya dan akhirnya luruh dalam kondisi birokrasi yang telanjur serba korup.

Kini, janji memangkas ekonomi biaya tinggi ini kembali didengungkan pemerintah. Yang menarik, janji tersebut kali ini dilontarkan Aburizal. Justru itu, karena sekarang ini berdiri dalam posisi sebagai pemerintah, mestinya janji Aburizal ini bisa dijadikan pegangan. Paling tidak, kita boleh yakin oleh keinginan baik dan komitmen Aburizal tentang pengikisan ekonomi biaya tinggi ini.

Tapi soalnya, kita melihat itu baru sekadar komitmen Aburizal seorang. Janji mengikis ekonomi biaya tinggi ini belum lagi menjadi komitmen kolektif pemerintah. Kita sama sekali belum melihat kesadaran dan keinginan baik pemerintah secara keseluruhan mengenai masalah itu.

Karena itu pula, dalam menjanjikan langkah debirokratisasi ini, Aburizal pun terkesan sangat hati-hati. Dia tampaknya sadar betul bahwa mental korup di tubuh birokrasi kita telanjur menjadi budaya -- dan karena itu tak mungkin bisa dikikis dalam tempo singkat.

Itu berarti, kita tak bisa terlalu berharap bahwa ekonomi biaya tinggi bisa segera terkikis dan tak lagi membebani dunia usaha nasional. Lain soal kalau Aburizal berani mengayunkan langkah revolusioner. Tapi selama dilakukan dengan rasa kurang percaya diri, langkah debirokratisasi yang dia janjikan ini niscaya cuma jadi sekadar janji pula.***
Jakarta, 21 Oktober 2005

15 Oktober 2005

Elpiji Langka, Kenapa?

Untuk kali kesekian, Pertamina mengumbar janji. Dalam rangka mengatasi kelangkaan gas elpiji sekarang ini, mereka menyatakan segera membanjiri pasar gas elpiji di dalam negeri melalui langkah impor.

Dalam kaitan itu, Pertamina mengaku sudah meneken kontrak pembelian 500 ribu ton liquid petroleum gas (LPG) dengan penjual di pasar Singapura. Menurut mereka, gas impor masuk di Indonesia pada pekan depan. Dengan itu, mereka menjanjikan bahwa pekan depan kelangkaan elpiji ini bisa berakhir. Mereka juga menjamin tak akan menaikkan harga elpiji.

Apakah janji itu akan terpenuhi? Entahlah. Yang pasti, sejak elpiji mengalami kelangkaan, menyusul kenaikan harga bahan bakar minyak per 1 Oktober lalu, Pertamina sudah dua-tiga kali menyatakan janji serupa.

Tapi faktanya, janji-janji itu meleset. Elpiji tetap saja langka. Bahkan kelangkaan tersebut kian meluas hingga ke berbagai daerah.

Tentu, seperti biasa, di tengah kelangkaan itu soal harga elpiji meroket tak terkendali: mencapai Rp 70.000 hingga Rp 85.000 per tabung isi 12 kilogram. Padahal harga normal, sesuai patokan pemerintah, hanya Rp 51.000 per tabung.

Semula, Pertamina berdalih bahwa pangkal kelangkaan elpiji ini adalah kerusakan kilang di Balongan, Jabar. Justru itu, mereka menjanjikan bahwa pasokan elpiji segera lancar kembali manakala kerusakan itu sudah teratasi.

Tapi nyatanya, ketika kilang itu sudah dinyatakan normal kembali, pasokan elpiji tak serta-merta segera pulih. Bahkan kelangkaan yang semula hanya meliputi wilayah Jabar dan DKI Jakarta, belakangan justru meluas ke berbagai daerah lain di Jawa.

Dalam kondisi seperti itu, Pertamina lagi-lagi berdalih: kelangkaan elpiji masih menggejala karena kilang Cilacap sedang menjalani perbaikan. Tapi belakangan terungkap, perbaikan itu bukan sesuatu yang istimewa karena memang merupakan kegiatan rutin sesuai jadwal (turn around).

Justru itu, sebenarnya, perbaikan kilang Cilacap ini tak bisa dijadikan dalih atau pembenaran atas kelangkaan elpiji di masyarakat. Terlebih setelah kilang tersebut kembali beroperasi pun, kelangkaan itu tetap saja marak di mana-mana -- termasuk di luar Jawa.

Boleh jadi benar bahwa pangkal kelangkaan elpiji ini sebenarnya adalah pemintaan atau konsumsi yang mendadak melonjak. Ini masuk akal karena kemungkinan besar banyak warga masyarakat kini beralih menggunakan elpiji. Mereka tak lagi menggunakan minyak tanah karena harga bahan bakar tersebut sekarang lebih mahal ketimbang elpiji.

Jika benar pangkal kelangkaan elpiji ini adalah lonjakan konsumsi, berarti Pertamina telah abai. Mereka gagal mengantisipasi dampak kenaikan harga minyak tanah pada 1 Oktober lalu terhadap permintaan atau konsumsi elpiji.

Itu tak seharusnya terjadi karena kenaikan harga BBM sendiri sudah melalui wacana dan perhitungan matang. Dalam kaitan itu, kita berasumsi bahwa peralihan penggunaan minyak tanah ke elpiji pun sudah turut diperhitungkan.

Kalau begitu, kenapa Pertamina tak melakukan langkah-langkah antisipasi? Jangan-jangan kelangkaan itu sendiri adalah wujud antisipasi mereka. Ya, mungkin karena harga elpiji segera dinaikkan pula. Spekulasi tersebut beralasan. Pertama, karena nyaris setiap kali harga BBM naik, harga elpiji pun ikut-ikutan disesuaikan -- konon karena ongkos kirim jadi membengkak. Harga BBM sendiri kini sudah naik lagi. Jadi, sangat mungkin harga elpiji pun segera menyusul dinaikkan pula.

Kedua, seperti juga harga minyak, harga LPG di pasar internasional pun saat ini membubung tinggi. Harga resmi elpiji sendiri, sesuai patokan pemerintah, sekarang jauh di bawah tingkat harga LPG di pasar internasional ini.

Walhasil, secara kondisional harga elpiji tampaknya memang harus naik. Terlebih lagi selama ini elpiji tidak termasuk komoditas yang disubsidi. Karena itu, jangan terlena oleh janji bahwa harga elpiji ini tak akan dinaikkan.***
Jakarta, 15 Oktober 2005

10 Oktober 2005

Di Balik Nafsu Besar Mudik Lebaran

Lebaran masih jauh di muka. Bahkan perjalanan Ramadhan sendiri, Minggu kemarin, baru memasuki hari kelima. Toh tiket kereta api jurusan Jakarta ke kota-kota besar di Jawa untuk pemberangkatan pada masa arus mudik -- 27 Oktober-1 November 2005 -- sudah habis dipesan calon pemudik.

Padahal harga tiket, terutama kelas nonekonomi, sudah melambung tinggi: rata-rata naik 40 persen. Bahkan di tangan calo, yang sekarang ini ternyata marak kembali, harga tiket tersebut tentu jauh lebih mahal lagi. Harga tiket KA Argo Lawu, misalnya, di tangan calo bisa mencapai hampir Rp 400.000 per lembar. Padahal resminya tiket kereta api jurusan Jakarta-Solo itu Rp 330.000 per lembar.

Bahwa tiket kereta api ini sudah habis terjual sejak jauh hari sebelum masa arus mudik tiba, itu karena pemesanan memang bisa dilakukan 30 hari di muka. Tetapi sebenarnya itu bukan faktor utama. Penjelasan atas terjual habisnya tiket kereta api jauh sebelum Lebaran ini adalah bahwa jumlah pemudik tetap tinggi. Animo pulang kampung memanfaatkan momen Lebaran tetap membludak.

Pemerintah sendiri sudah memperkirakan bahwa arus mudik Lebaran kali ini secara keseluruhan meningkat sekitar 35 persen. Karena itu, pada hari-hari mendatang ini -- dalam rangka mudik Lebaran -- stasiun pemberangkatan kereta api, terminal-terminal bus antarkota, juga terminal berbagai maskapai penerbangan di dalam negeri niscaya ramai diserbu arus pemudik.

Demikian pula jalan-jalan raya. Jika merujuk pada perkiraan pemerintah tadi, dalam musim Lebaran kali ini pun jalan-jalan raya tetap akan padat dilewati arus mudik -- entah menggunakan angkutan mobil ataupun kendaraan roda dua. Singkat kata, kesadaran -- atau bahkan mungkin nafsu -- untuk mudik pada tahun ini tetap tinggi.

Kenyataan itu terasa istimewa -- bahkan menggelitik -- jika mengingat bahwa kondisi ekonomi masyarakat kita sebenarnya sedang limbung. Terutama akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang sangat signifikan, 1 Oktober lalu, daya beli masyarakat kita sebenarnya kini melosot tajam.

Namun kondisi tersebut seolah tak berpengaruh -- bahkan memang nyaris tak tercermin -- dalam fenomena mudik Lebaran. Bukti konkret tentang itu sudah gamblang tergambar. Itu tadi: meski ongkos mudik kali ini naik berlipat, tiket kereta api telah habis terjual ketika Ramadhan sendiri belum lagi sepekan berjalan.

Bagi masyarakat kita, mudik dalam rangka Lebaran memang nyaris merupakan kebutuhan mutlak. Sepanjang masih bisa dijalani, secara fisik maupun ekonomi, banyak orang memaksakan diri pergi mudik guna merayakan Lebaran di kampung. Tetapi ketika kondisi ekonomi sedang sulit seperti sekarang ini, kecenderungan itu terasa ganjil.

Tetapi boleh jadi itu karena dorongan kesadaran untuk kembali ke fitrah. Dalam kaitan ini, kampung beserta momen Lebaran mungkin menjadi titik perlambang fitrah selaku mahluk sosial. Jadi, mudik Lebaran merupakan representasi keinginen besar atau kesadaran tinggi untuk kembali ke "titik nol" alias kondisi fitrah.

Jika benar-benar murni itu yang terjadi, tetap tingginya animo mudik Lebaran di tengah kondisi ekonomi sangat sulit kali ini bisa kita pahami. Bahkan mungkin itu positif dalam rangka memulihkan tekad dan semangat membara untuk segera bangkit -- sehingga kehidupan sosial-ekonomi yang sulit dan pahit pun bisa segera sirna.

Tetapi, terus-terang, kita khawatir bahwa nafsu mudik Lebaran yang tetap tinggi ini justru lebih mencerminkan sikap kurang memiliki sense of crisis. Kalau benar, sikap kurang peka terhadap krisis ini itu sungguh berbahaya: kita tidak akan pernah benar-benar lepas dari aneka krisis yang kini membelit kita.***
Jakarta, 10 Oktober 2005

30 September 2005

Pendelegasian Tugas

Dalam beberapa hari terakhir ini, masyarakat yang peduli asyik mempergunjingkan pendelegasian tugas dan fungsi dari Presiden kepada Wapres. Pergunjingan itu mengacu pada urgensi video telekonferensi yang berulang-ulang dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dari AS dengan para menterinya di Jakarta.

Pasti ada yang sangat urgen, sehingga berkali-kali sudah Presiden melakukan telekonferensi itu. Kemarin, Presiden bahkan memimpin rapat kabinet dengan bantuan teknologi itu. Tak heran jika ada yang usil dengan bertanya, berapa biaya penggunaan semua fasilitas itu?

Pergunjingan itu pada gilirannya melahirkan beragam tafsir, dan membuat suasana menjadi tidak kondusif lagi. Soalnya, ada-ada saja yang dianggap aneh. Misalnya, mengapa video telekonferensi antara Presiden dan para menteri -- minus Wapres -- harus dilakukan berulang-ulang.

Kalau memang ada yang sangat urgen, mengapa Wapres sampai absen dalam tiga sidang yang dipimpin Presiden dengan bantuan teknologi telekonferensi itu?

Ada yang berasumsi, Presiden tidak percaya kepada wakilnya. Sedangkan lainnya menilai video telekonferensi itu sebagai refleksi berlanjutnya persaingan Presiden dan Wapres. Inilah yang kita sesalkan. Suasana yang sudah adem-ayem terusik lagi oleh menuver-manuver yang tidak perlu.

Kemarin, sidang yang dipimpin Presiden di Istana dihadiri Jaksa Agung Abdurrahman Saleh, Kapolri Jenderal Pol Sutanto, Mensesneg Yusril Ihza Mahendra, Ketua KPK Taufiequrrahman Ruki, Wakil Ketua BPK Abdullah Zainie, dan Wakil Ketua Timtas Tipikor, Brigjen Pol Indarto.

Sementara di kantor Wapres di jalan Medan Merdeka Selatan Jakarta, Wapres memimpin rapat yang dihadiri Menko Polhukam Widodo AS, Menko Kesra Alwi Shihab, Mendagri M Ma'ruf, Menkeu Jusuf Anwar, dan Mensos Bachtiar Chamsyah. Rapat mengagendakan pembahasan Aceh.

Satu kali video telekonferensi antara Presiden dan para menteri pasti bisa dipahami. Tapi kalau rapat jarak jauh itu dilakukan berulang-ulang, jangan heran kalau meeting model begitu menyita perhatian publik dan mendorong setiap orang membuat penafsiran sesuai pemahaman dan pengetahuannya.

Masyarakat tahu bahwa ibukota tidak boleh kosong oleh kehadiran salah satu dari Presiden atau Wapres. Kalau Presiden pergi, Wapres harus stand by di Jakarta, atau sebaliknya. Jika presiden berada di luar negeri, sebagian wewenangnya otomatis dilimpahkan kepada Wapres.

Menjelang berangkat ke AS, Presiden pun sudah menerbitkan Keppres No 26/2005 tentang penugasan Wapres melaksanakan tugas Presiden. Keppres ini diterbitkan khusus untuk perjalanan Presiden ke AS periode 10-17 Sepetember 2005. Apa arti Keppres ini kalau Presiden sampai harus berkali-kali melakukan video telekonferensi dengan para menteri?

Tentu saja kepedulian Presiden terhadap situasi di dalam negeri patut diapresiasi. Tetapi kenapa harus dengan video telekonferensi berulang-ulang, dan dipublikasikan kepada masyarakat luas? Bukankan pencitraan tentang kepedulian seperti itu tidak serta-merta menyelesaikan persoalan? Bahkan, faktanya, justru melahirkan persoalan baru berupa tafsir rivalitas Presiden versus Wapres sampai saling tidak percaya di antara keduanya.

Presiden wajib tahu situasi dan kondisi di dalam negeri day by day, dan progres penyelesaian setiap masalah. Idealnya, penyerapan informasi tentang hal-hal itu tidak melalui telekonferensi. Bukankah problem yang menyelimuti kehidupan kita bernegara amat beragam?***
Jakarta, 30 September 2005

29 September 2005

Manajemen Informasi Buruk

Melalui proses pemilihan suara (voting), Selasa malam lalu, sidang paripurna DPR akhirnya menyetujui alokasi subsidi bahan bakar minyak (BBM) sebesar Rp 89,2 triliun dalam APBNP II 2005. Itu berarti, harga BBM harus dinaikkan.

Kenaikan itu sendiri, seperti sudah diwacanakan pemerintah, hampir pasti diputuskan pada 1 Oktober 2005. Yang belum jelas adalah besaran kenaikannya. Tapi tempo hari pemerintah sudah memberi isyarat bahwa besaran rata-rata kenaikan harga BBM ini minimal 50 persen.

Karena itu, seperti kata Presiden Yudhoyono, bagi pemerintah kenaikan harga BBM ini merupakan pilihan pahit. Pahit, karena kenaikan tersebut sulit sekali dihindari dan berimplikasi menyulitkan masyarakat.

Kenaikan sulit dihindari karena harga minyak di pasar dunia melambung tinggi. Akibatnya, subsidi BBM jadi membengkak luar biasa dan amat membebani APBN. Jika subsidi BBM tidak diciutkan, APBN menjadi tidak sehat. Menurut hitungan kasar, sekitar sepertiga anggaran praktis tersedot untuk subsidi BBM.

Tapi di sisi lain, kenaikan harga BBM jelas berimplikasi sangat serius terhadap kehidupan sosial-ekonomi masyarakat. Kenaikan harga BBM membuat daya beli masyarakat menurun. Justru itu, sebagaimana juga diakui pemerintah, jumlah penduduk miskin jadi membengkak. Di lain pihak, jumlah pengangguran juga semakin menggunung -- karena banyak perusahaan terpaksa harus melakukan efisiensi dan rasionalisasi.

Karena itu, kenaikan harga BBM ini membuat pemerintah menjadi tidak populer. Pemerintah jadi terkesan kurang peduli terhadap derita berat yang harus ditanggung rakyat. Terlebih karena Maret lalu pemerintah sudah menaikkan harga BBM ini.

Bagi wakil-wakil rakyat di parlemen, kenaikan harga BBM juga tidak kurang terasa pahit. Persetujuan mereka terhadap opsi pengurangan subsidi BBM, yang berimplikasi harga komoditas tersebut harus dinaikkan, membuat rakyat kecewa dan merasa dikhianati. Rakyat menilai mereka sama dan sebangun dengan pemerintah: kurang peduli terhadap implikasi sosial-ekonomi kenaikan harga BBM di tengah masyarakat.

Jadi, kenaikan harga BBM ini sungguh terasa sangat pahit. Semua pihak dibuat tidak happy oleh keputusan tentang itu. Semua pihak merasa prihatin.

Tapi ada yang lebih memrihatinkan lagi: proses menuju kenaikan harga BBM ini memakan ongkos sangat mahal. Di banyak daerah, BBM menjadi sulit diperoleh. Bersamaan dengan itu, harga komoditas tersebut melambung tak terkendali. Di sisi lain, harga aneka barang dan jasa pun ikut-ikutan meroket.

Jadi, sebelum harga BBM resmi diputuskan, masyarakat sudah lebih dulu menanggung derita: kehidupan sehari-hari semakin sulit. Kondisi tersebut niscaya semakin parah setelah pemerintah resmi memutuskan kenaikan harga BBM.

Kenyataan itu merupakan bukti tak terbantahkan bahwa manajemen informasi pemerintah demikian buruk. Pemerintah tidak menempatkan tuntutan kondisonal mengenai kenaikan harga BBM ini sebagai informasi yang harus dikelola ekstra hati-hati agar tidak menimbulkan kepanikan di masyarakat.

Tapi apa yang terjadi, pemerintah justru membiarkan tuntutan kondisional itu berkembang menjadi wacana berkepanjangan. Demikian serunya wacara itu hingga mewujud menjadi momok yang membuat masyarakat dilanda resah dan panik.

Jelas, itu adalah harga atas sikap pemerintah yang tak berani mengambil keputusan secara cepat. Seharusnya, ihwal kenaikan harga BBM ini tidak dikondisikan menjadi wacana terbuka dan meresahkan. Pemerintah seharusnya segera menaikkan harga BBM begitu faktor penekan -- harga minyak dunia -- semakin serius. Toh, seperti kata Wapres Jusuf Kalla, keputusan menaikkan harga BBM adalah hak pemerintah.
Jakarta, 29 September 2005

19 September 2005

Flu Burung Kian Mencemaskan

Flu burung atau avian influenza adalah penyakit berbahaya -- karena terbilang dahsyat dalam merenggut korban jiwa. Sebagaimana dalam beberapa kasus yang sudah terjadi, jika terlambat ditangani, korban bisa meninggal hanya dalam tempo beberapa hari sejak pertama mengeluhkan gejala -- berdasar hasil diagnosis yang belakangan dilakukan pihak rumah sakit -- terjangkit flu burung.

Memang, sejauh ini flu burung di negeri kita belum menjadi wabah yang merenggut banyak nyawa manusia. Korban yang sudah jatuh masih dapat dihitung dengan jari. Juli lalu, korban meninggal akibat flu burung ini hanya tiga orang. Mereka adalah warga Tangerang, Banten: Iwan Siswara Rapei bersama dua anaknya. Kemudian, pekan lalu, menyusul seorang korban lagi: Rini Dina, warga Jakarta Utara.

Di luar keempat korban itu, tiga orang kini tergolek di rumah sakit. Kuat dugaan mereka juga terjangkit flu burung -- dan karena itu dinyatakan sebagai suspect.

Namun bukan tidak mungkin bahwa flu burung ini merebak menjadi wabah yang mencemaskan -- karena bisa banyak merenggut jiwa manusia. Paling tidak, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pekan lalu sudah mengingatkan: flu burung kemungkinan merebak menjadi wabah mematikan di Asia Tenggara.

Dalam kaitan itu, Dirjen WHO Lee Jong-wook terus-terang mengaku khawatir bahwa virus H5N1 yang menjadi musabab flu burung sudah bermutasi dan memperoleh sifat-sifat flu manusia.

Jika itu benar-benar terjadi, flu burung sungguh tampil sebagai penyakit yang sangat berbahaya. Flu burung bukan lagi hanya menular antarunggas dan dari hewan ke manusia sebagaimana sifatnya sejauh ini. Ketika sudah bermutasi dan memperoleh sifat-sifat flu manusia, penyakit flu burung niscaya bisa menular dari manusia ke manusia.

Karena itu, penyataan Menkes Siti Fadilah Supari -- bahwa flu burung tak perlu ditakuti -- terkesan seperti menyepelekan masalah. Terlebih lagi penyebaran flu burung ini amat sulit dideteksi. Sejumlah unggas di Kebun Binatang Ragunan di Jakarta, misalnya, kemarin tahu-tahu sudah terjangkit flu burung. Tentu, karena kebun binatang banyak dikunjungi orang, sejumlah pengunjung pun berisiko terjangkit. Siapa dan di mana saja mereka, tidak jelas!

Dalam situasi seperti itu, pemerintah dituntut mampu berkomunikasi secara baik dan bijak: tidak menyepelekan atau bahkan menutup-nutupi masalah tanpa membuat masyarakat menjadi panik. Pemerintah harus mampu meyakinkan publik bahwa masalah bisa dikontrol melalui langkah-langkah antisipatif di berbagai aspek. Dengan demikian, masyarakat niscaya bisa bersikap tenang namun tetap waspada.

Flu burung memang bukan untuk ditakuti, melainkan untuk diwaspadai dan diatasi. Tapi kegagalan pemerintah dalam mengomunikasikan masalah, boleh jadi membuat flu burung segera menjadi momok yang menakutkan -- dan karena itu bisa membuat masyarakat panik tidak karuan. Terlebih bila korban flu burung terus berjatuhan -- entah sekadar menjadi suspect atau positif terjangkit hingga meninggal --, dan di sisi lain persebaran penyakit tersebut kian meluas.

Celakanya, sejauh ini justru kemampuan pemerintah berkomunikasi patut kita prihatinkan. Pernyataan kalangan pejabat acap simpang-siur, saling bertentangan, tidak konsisten, atau bahkan distorsif. Mungkin ini bukan sekadar soal kemampuan (skill), melainkan terutama soal manajemen informasi yang amburadul.

Dikaitkan dengan masalah flu burung sekarang ini, kenyataan tersebut bisa jauh lebih berbahaya berbahaya ketimbang risiko terjangkit penyakit itu sendiri. Ini yang kita cemaskan.
Jakarta, 19 September 2005

29 Agustus 2005

Solusi Masalah Energi, Seriuskah?

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memaparkan sejumlah solusi mendasar untuk mengatasi masalah energi, khususnya terkait dengan bahan bakar minyak (BBM), yang sangat berpengaruh terhadap ekonomi nasional. Baiklah kita beberkan di sini solusi-solusi itu.

Pertama, produksi minyak di dalam negeri harus bisa ditingkatkan. Kenyataan selama ini, produksi minyak nasional justru cenderung turun. Padahal, seiring laju pertumbuhan penduduk, konsumsi minyak di dalam negeri, naik terus.

Kedua, jumlah kilang pengolah minyak mentah menjadi BBM harus ditingkatkan. Dengan demikian, impor BBM bisa diturunkan. Paling tidak, itu bermakna menghemat devisa.

Ketiga, kuota konsumsi dan patokan harga minyak harus dihitung lebih akurat. Belakangan ini, kuota konsumsi maupun patokan harga minyak tidak lagi mencerminkan kenyataan di lapangan. Ini, di samping menyulitkan anggaran, juga mengacaukan ekonomi nasional.

Keempat, diversifikasi energi harus digalakkan. Dengan itu, tingkat pemakaian BBM bisa turun atau minimal ditekan.
Kelima, menggalakkan gerakan hemat energi -- karena selama ini konsumsi kita cenderung boros.

Keenam, penindakan hukum (law enforcement) harus ditegakkan terhadap tindak penyendupan BBM ke luar negeri. Terakhir, ketujuh, harga BBM di dalam negeri harus dihitung ulang agar subsidi yang harus dialokasikan tak terlampau membebani APBN.

Kita setuju seratus persen terhadap poin-poin yang harus dilakukan dalam rangka mengatasi masalah BBM ini. Kita setuju, karena memang itulah faktor-faktor yang telah membuat masalah BBM di dalam negeri sekarang ini menjadi begitu krusial.

Masalah BBM bukan lagi hanya berupa kelangkaan pasokan di lapangan, melainkan sudah mampu memberi imbas signifikan terhadap kurs mata uang kita -- dan karena itu berdampak mengguncang stabilitas moneter maupun ekonomi nasional secara keseluruhan.

Sebenarnya, poin-poin yang dibeberkan Presiden itu bukan perkara baru. Artinya, tanpa dipaparkan Presiden pun kita memang sudah tahu masalah yang menghinggapi perminyakan di dalam negeri ini. Bahkan langkah operasional yang perlu dilakukan guna mengatasi masalah itu sudah pula kita ketahui. Toh kalangan pengamat dan pakar sudah sering berbicara tentang itu -- entah di forum diskusi, seminar, talk show di televisi, kolom di surat-surat kabar, ataupun sekadar pemberitaan di media massa.

Soal produksi minyak yang cenderung menurun, misalnya, konon itu antara lain karena UU Migas tak cukup memberi insentif terhadap kegiatan di hulu. Ditambah iklim investasi secara keseluruhan yang dikeluhkan belum benar-benar kondusif, kalangan investor pun cenderung enggan terjun melakukan kegiatan eksplorasi. Padahal kegiatan tersebut membutuhkan biaya sangat mahal dan sarat risiko. Karena itu, revisi UU Migas pun disebut-sebut layak dipertimbangkan.

Begitu juga mengenai soal konsumsi minyak yang terus meningkat signifikan, kalangan pengamat dan pakar sudah sejak lama mengingatkan pemerintah agar mengembangkan mekanisme insentif dan disinsentif. Soal itu, secara makro, antara lain merujuk pada pembenahan sistem transportasi nasional.

Tetapi pilihan-pilihan langkah yang bertautan dengan penanganan masalah energi nasional ini sering tidak jalan. Jangankan itu sekadar berupa masukan atau saran masyarakat, bahkan langkah pilihan yang sudah dirumuskan pemerintah sebagai program nasional pun acapkali mandul. Ya, karena di lapangan program itu tidak dilaksanakan sungguh-sungguh.
Program diversifikasi energi, misalnya, akhirnya hanya elok sebagai konsep. Kita masih ingat, pemasyarakatan penggunaan briket batubara sama sekali tak berbekas karena pemerintah sendiri tak konsisten: antara lain pasokan briket tak pernah terjamin lancar.

Karena itu, solusi untuk mengatasi masalah energi ini sebenarnya sederhana: keseriusan pemerintah. Selama pemerintah tidak bersungguh-sungguh, konsep atau strategi apa pun niscaya percuma saja. Justru itu, solusi yang dipaparkan Presiden pun bisa-bisa berlalu begitu saja bersama angin.***
Jakarta, 29 Agustus 2005

26 Agustus 2005

Kenapa Ditunda-tunda?

Pemerintah dan Bank Indonesia kelihatan makin keteteran dalam mengendalikan kurs rupiah sekarang ini. Berbagai cara sudah dilakukan kedua institusi tersebut. Toh tekanan terhadap rupiah tak kunjung reda. Rupiah bahkan semakin serius tertekan.

Kemarin, nilai tukar rupiah kembali melorot 65 poin dibanding Rabu lalu menjadi Rp 10.350 per dolar AS. Itu semakin mengukuhkan kenyataan bahwa dalam sepekan ini praktis tiada hari tanpa rupiah terdepresiasi. Itu juga sekaligus menjadi posisi terburuk dalam tiga tahun terakhir.

Krisis ekonomi seperti 1997-1998 pun kini membayang. Pesimistis, memang. Tapi tampaknya itu memang realita yang kita hadapi saat ini. Apa boleh buat, karena faktor penyebab depresiasi rupiah sekarang ini bukan lagi sekadar bersifat teknis ekonomi. Penyebab itu lebih merujuk pada masalah kepercayaan terhadap pemerintah yang telanjur meluntur.

Itu pula yang membuat berbagai langkah yang dilakukan pemerintah maupun Bank Indonesia menjadi nyaris sia-sia. Intervensi yang belakangan ini hampir tiap dilakukan Bank Indonesia ke pasar uang, misalnya, praktis gagal total. Jutaan dolar yang diguyurkan Bank Indonesia ke pasar sama sekali tak mampu membendung depresiasi rupiah ini.

Padahal di samping intervensi ke pasar uang, Bank Indonesia selaku otoritas moneter juga sudah lebih dulu meluncurkan sejumlah jurus. Tapi jurus-jurus itu terbukti mandul.

Demikian pula langkah-langkah pemerintah. Mungkin upaya pemerintah juga mandul karena beberapa menteri cenderung menganggap sepi masalah. Mereka tidak menganggap luar biasa gejolak rupiah sekarang ini.

Karena itu, seperti dikeluhkan Ketua DPR Agung Laksono, pemerintah pun terkesan tidak serius dalam melakukan upaya-upaya meredam gejolak rupiah ini. Bisa dipahami jika pada gilirannya itu membuat kepercayaan terhadap ekonomi nasional semakin menipis.

Karena itu pula tak mengherankan jika langkah Presiden Yudhoyono melakukan pertemuan koordinasi dengan pimpinan Bank Indonesia pun, Rabu malam lalu, sama sekali tak digubris pasar. Pertemuan tersebut sungguh tak berdampak positif terhadap nilai tukar rupiah. Pasar terkesan memandang pertemuan tersebut -- juga kedatangan beberapa menteri ke bursa saham Jakarta, kemarin siang -- sekadar seremoni biasa.

Ketika kepercayaan masyarakat terhadap ekonomi nasional -- juga terhadap pemerintah -- sudah pudar, apa pun yang dilakukan pemerintah tak punya makna apa-apa. Semua mandul dan sia-sia.

Justru itu, langkah yang harus diayunkan pemerintah sekarang ini tidak lain adalah memulihkan kepercayaan masyarakat -- khususnya pemilik modal. Mereka harus dibuat merasa yakin bahwa ekonomi nasional tidak bermasalah -- dan karena itu tak beralasan merasa tidak nyaman menggenggam uang dalam denominasi rupiah.

Membuat masyarakat yakin bahwa ekonomi nasional tidak bermasalah tak cukup dilakukan sekadar lewat pernyataan. Itu harus ditunjukkan melalui tindakan nyata dan berani. Tindakan itu sendiri jelas harus merupakan jawaban atas penyebab yang telah membuat luntur kepercayaan masyarakat sekarang ini.

Pemerintah sendiri sudah menyadari bahwa penyebab lunturnya kepercayaan masyarakat ini adalah defisit anggaran yang semakin membengkak. Itu terkait dengan lonjakan subsidi bahan bakar minyak (BBM) sebagai konsekuensi melambungnya harga minyak mentah di pasar dunia yang saat ini sudah di atas 65 dolar AS per barel -- jauh melampaui patokan APBN sebesar 45 dolar AS.

Walhasil, tindakan nyata yang harus dilakukan pemerintah pun jelas: membuat subsidi BBM menciut. Itu berarti, harga BBM harus dinaikkan lagi. Tindakan ini harus segera dilakukan. Kenaikan harga BBM tak bisa lagi ditunda-tunda hingga awal tahun depan seperti rencana pemerintah.

Tindakan itu memang tidak populer. Tapi kapan pun dilakukan, kenaikan harga BBM tetap tidak populer. Karena itu, kenapa langkah ke arah itu mesti ditunda-tunda? Terlebih lagi pimpinan DPR toh sudah memberi lampu hijau.***
Jakarta, 26 Agustus 2005

10 Agustus 2005

Mimpi Buruk

Setelah April lalu, bank sentral AS (Federal Reserve) Rabu WIB ini hampir pasti menaikkan lagi tingkat suku bunga sebesar 0,25 basis poin menjadi 3,50 persen. Ini disebut-sebut sebagai langkah penyesuaian terhadap harga minyak mentah di pasar dunia yang terus meroket. Senin lalu saja, harga minyak ini sudah menembus level 63 dolar AS per barel.

Tapi apa pun yang menjadi latar belakang, langkah bank sentral AS ini -- seperti biasa -- sedikit banyak jelas berdampak terhadap ekonomi global. Tak terkecuali ekonomi nasional. Bahkan, bagi kita, kenaikan suku bunga bank sentral AS ini bisa menjadi mimpi buruk.

Betapa tidak, karena fundamental ekonomi kita sekarang tak bisa dibilang kokoh-kuat. Ekonomi kita sedang kelimpungan. Tengok saja kurs rupiah yang begitu sulit bisa beranjak ke level lebih baik. Atau tingkat inflasi yang cenderung menjulang.

Karena itu, kenaikan suku bunga bank sentral AS akan sangat terasa menohok kita. Ibarat pukulan mematikan, kenaikan itu boleh jadi membuat kita semakin sempoyongan dan berkunang-kunang: kurs rupiah semakin lunglai.

Implikasinya, jelas serius dan meluber ke mana-mana. Dunia usaha, misalnya, harus siap-siap menanggung risiko rugi kurs lebih besar lagi. Bahkan bagi mereka yang punya utang dalam denominasi dolar, kurs rupiah yang semakin lemah ini tentu semakin membuat puyeng.

Bagi pemerintah sendiri, dampak kenaikan suku bunga bank sentral AS ini tak kurang membuat pusing tujuh keliling. Yang sudah pasti saja, anggaran niscaya telak terpukul -- terutama karena beban utang jadi meleset jauh dibanding alokasi pembayaran.

Belum lagi impor juga semakin membengkak. Padahal dalam sejumlah kasus, impor amat sulit dihindari atau ditunda. Impor minyak mentah, misalnya, tak mungkin mendadak dihentikan. Bahkan, seperti sudah terbukti bulan lalu, sedikit telat saja impor minyak ini terbukti membuat heboh dan melahirkan gunjang-ganjing kehidupan masyarakat di dalam negeri.

Karena itu, seiring apresiasi dolar AS terhadap rupiah, impor minyak praktis menjadi beban yang kian menghimpit. Terlebih karena harga minyak sendiri kian membumbung.

Dalam kondisi seperti itu, ekspor kita justru tak banyak membantu. Kinerja ekspor nasional belum juga membaik, sehingga depresiasi rupiah pun nyaris tak membawa berkah.

Tapi kita tak selayaknya hanya meratap ataupun mengutuk-ngutuk. Mimpi buruk yang ditorehkan kenaikan bunga bank sentral AS harus kita sirnakan. Ekonomi nasional harus segera diberdayakan.

Tentu, itu hanya mungkin terwujud melalui langkah-langkah penyesuaian. Bahkan, barangkali, yang dibutuhkan bukan cuma penyesuaian, melainkan sebuah terobosan yang terbilang fundamental -- dan karena itu menuntut keberanian pengambil kebijakan. Suku bunga sertifikat Bank Indonesia (SBI), misalnya, amat beralasan segera dinaikkan. Dengan itu, paling tidak kenaikan suku bunga bank sentral AS tidak membuat iklim investasi nasional -- portofolio ataupun investasi langsung -- jadi kehilangan daya tarik.

Contoh lain, subsidi harga bahan bakar minyak (BBM) juga beralasan semakin diciutkan. Ini bukan sekadar supaya APBN lebih sehat, melainkan terutama karena subsidi BBM -- di tengah harga minyak yang telanjur melangit -- semakin tidak masuk akal dan kehilangan relevansi. Terlebih jika mengingat bahwa subsidi BBM ini lebih banyak dinikmati kelompok sosial yang justru berkemampuan secara ekonomi.

Subsidi BBM hanya relevan dipertahankan jika benar-benar bisa jatuh ke kelompok sasaran, yakni masyarakat miskin. Tapi, soalnya, kita sulit menemukan mekanisme yang bisa menjamin subsidi efektif mencapai sasaran. Karena itu, gagasan tentang penyaluran subsidi langsung harus kian dimatangkan dan segera diimplementasikan. Jika tidak, subsidi BBM akan terus menjadi sumber yang membuat APBN tidak sehat.***
Jakarta, 10 Agustus 2005

08 Agustus 2005

Kenaikan Ditepiskan, Kenapa?

Panitia Anggaran DPR mengisyaratkan kemungkinan membendung rencana pemerintah menaikkan lagi harga bahan bakar minyak (BBM) dalam waktu dekat ini. Isyarat tersebut dilontarkan pimpinan Panitia Anggaran dengan menyatakan bahwa pihaknya akan menyetujui berapa pun tambahan subsidi BBM yang dibutuhkan dalam APBN 2005.

Walhasil, jelas bahwa Panitia Anggaran DPR tak merestui harga BBM dinaikkan lagi. Dengan memberi komitmen menyetujui tambahan anggaran yang dibutuhkan, DPR praktis membuat pemerintah tak lagi memiliki alasan untuk menaikkan harga BBM.

Bagi pemerintah, memang, alternatif paling mungkin ditempuh -- sebagai jawaban atas melambungnya harga minyak mentah di pasar internasional sekarang ini -- hanya dua: harga BBM dinaikkan atau subsidi BBM ditambah. Maklum karena kenaikan harga minyak dunia ini sudah terbilang abnormal.

Untuk saat sekarang saja, harga minyak sudah menyentuh level 62 dolar AS per barel. Itu jauh di atas asumsi APBNP 2005 sebesar 45 dolar per barel. Padahal kalangan analis memperkirakan bahwa harga minyak dunia masih mungkin terus membumbung hingga menembus level 70 dolar AS per barel pada akhir tahun ini.

Pemerintah sendiri, menghadapi kenyataan itu, tampaknya condong memilih alternatif pertama: menaikkan harga BBM. Itu berarti, alokasi subsidi BBM dalam APBN tidak berubah: tetap
Rp 76,5 triliun.

Jika benar itu yang menjadi pilihan, jelas pemerintah berani menanggung risiko tidak populer. Itu karena kenaikan harga BBM belum terlalu lama dilakukan. Baru enam bulan lalu kebijakan tentang itu digariskan. Karena itu, jika dalam waktu dekat ini harga BBM kembali dinaikkan, tindakan tersebut niscaya membuat pemerintah bisa dianggap sebagai "kelewatan".

Keputusan menaikkan harga BBM memang selalu mengundang reaksi negatif berbagai kalangan. Maklum, memang, karena kenaikan harga BBM serta-merta berdampak menurunkan daya beli masyarakat. Karena itu, kalau hanya selang enam bulan harga BBM ini kembali dinaikkan, dampak itu bisa sangat terasa menohok masyarakat. Maklum, karena dampak kenaikan harga BBM pada Maret lalu pun belum lagi pulih. Karena itu, reaksi masyarakat pun bisa dahsyat.

Boleh jadi, itu pula yang menjadi pertimbangan Panitia Anggaran DPR menutup peluang bagi pemerintah menaikkan lagi harga BBM ini. Mereka tak menghendaki rakyat yang sudah hidup susah harus lebih susah lagi gara-gara harga BBM kembali dinaikkan.

Karena itu, sikap Panitia Anggaran memberi komitmen menyetujui berapa pun tambahan subsidi BBM yang dibutuhkan sangat simpatik. Sikap seperti itu sungguh menunjukkan kepedulian besar terhadap nasib rakyat.

Tapi soalnya, tambahan subsidi yang dibutuhkan agar harga BBM bisa dipertahankan tidak naik bukan main besar. Menurut hitung-hitungan pemerintah, kebutuhan tersebut berjumlah sekitar Rp 36,5 triliun. Itu berdasar asumsi bahwa harga minyak dunia rata-rata 60 dolar AS per barel.

Dengan tambahan Rp 36,5 triliun, berarti subsidi BBM membengkak menjadi Rp 110 triliun hingga Rp 112 triliun. Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa kebijakan populis lagi-lagi terbukti amat mahal. Bayangkan, dengan total subsidi sebesar Rp 110 triliun hingga Rp 112 triliun, berarti hampir sepertiga anggaran habis tersedot untuk subsidi BBM.

Padahal berbagai studi gamblang menunjukkan bahwa subsidi BBM ini masih saja banyak turut dinikmati kelompok masyarakat menengah ke atas. Karena itu, sikap dan tekad Panitia Anggaran DPR menutup kemungkinan bagi pemerintah menaikkan harga BBM ini sungguh terasa janggal. Sikap tersebut seolah mengabaikan ketidakadilan dan kesia-siaan di balik subsidi BBM.

Mestinya alternatif menaikkan harga BBM tidak begitu saja ditepiskan. Yang penting, alternatif tersebut terjamin membuat APBN sehat tanpa membuat rakyat kecil semakin menderita.***
Jakarta, 8 Agustus 2005

02 Agustus 2005

Kasus 15 Rekening Polisi

Ketika Kepala Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) melaporkan ihwal rekening mencurigakan milik 15 anggota kepolisian kepada Kapolri, pekan lalu, kita tak terhenyak. Kita tak merasa kaget ataupun heran. Ya, karena selama ini kita memang acap menyaksikan keganjilan menyangkut gaya hidup kalangan anggota kepolisian ini.

Kita melihat, banyak anggota polisi punya gaya hidup di atas standar gaji yang mampu mereka peroleh. Seseorang yang hanya berpangkat ajun komisaris besar polisi (AKBP) -- setingkat letnan kolonel --, misalnya, mampu memiliki rumah berharga ratusan juta, atau bahkan miliaran rupiah. Itu masih ditambah pula dengan segala perlengkapan yang serba luks -- termasuk mobil mewah keluaran terbaru di garasi mereka.

Kita melihat gaya hidup seperti itu sebagai sesuatu yang ganjil: karena tak sebanding dengan gaji yang mereka peroleh. Kita yakin, jika melulu bertumpu pada gaji, seorang polisi berpangkat AKBP -- atau bahkan di atasnya -- tak mungkin bisa menikmati gaya hidup kelas atas. Apalagi jika gaya hidup mewah ini ditunjukkan oleh polisi berpangkat lebih rendah lagi.

Memang, bisa saja anggota polisi mampu bergaya hidup mewah. Tapi itu pasti bukan karena gaji mereka. Gaya hidup kelas atas itu kemungkinan karena mereka memiliki bisnis lumayan besar dan maju, atau boleh jadi berkat warisan. Di luar itu, gaya hidup mewah mereka sungguh terasa ganjil. Juga jika gaya hidup itu adalah hasil bantuan atau sumbangan seseorang atau kelompok sosial tertentu -- karena kita yakin bahwa itu tidak bersifat gratis alias bukan tanpa pamrih.

Karena itu, ketika Kepala PPATK melaporkan ihwal rekening mencurigakan milik 15 anggota polisi kepada Kapolri, kita seolah beroleh pembenaran tentang sikap kita yang menilai ganjil gaya hidup mewah kalangan anggota polisi ini.

Tapi pada saat bersamaan kita juga merasa heran: kenapa rekening mencurigakan yang dilaporkan Kepala PPATK kepada Kapolri ini hanya menyangkut 15 anggota polisi? Seperti keyakinan organ di bawah Blora Center yang dekat dengan Presiden Yudhoyono, Lumbung Informasi Rakyat (Lira), mestinya laporan Kepala PPATK ini jauh lebih banyak lagi. Tapi boleh jadi, hanya rekening 15 anggota polisi itu yang mengundang kecurigaan karena yang lain-lain "pintar" menyembunyikan keganjilan yang bisa terbaca PPATK.

PPATK sendiri jelas tidak sembarangan menaruh kecurigaan. Selaku lembaga yang bertugas mengawasi transaksi keuangan yang mencurigakan, PPATK memiliki mekanisme dan parameter tertentu. Karena itu, kecurigaan PPATK niscaya memiliki pijakan kuat: rekening mencatat transaksi keuangan tidak wajar -- terutama karena nominal uang maupun konteks transaksi tidak menunjukkan kondisi yang normal dan lazim. Soal itu tak terbantahkan karena -- sesuai Undang-undang Antipencucian Uang -- merupakan rekap pihak bank yang wajib melaporkannya kepada PPATK.

Kini, tak kurang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri yang meminta agar ihwal rekening mencurigakan milik 15 anggota polisi ini ditangani serius hingga tuntas. Ini jelas menunjukkan tekad pemerintah memberantas korupsi. Keseriusan kita menangani kasus 15 rekening mencurigakan ini niscaya menjadi poin tersendiri bagi kita dalam konteks pembangunan rezim antipencucian uang.

Jika dunia internasional, khususnya Financial Action Task Force (FATF), menilai kita tidak serius, bisa-bisa kita dimasukkan lagi sebagai negara yang tidak kooperatif dalam konteks pemberantasan tindak pencucian uang. Padahal, seperti pernah kita rasakan sendiri, status tak kooperatif sungguh tak nyaman sekaligus menyulitkan kepentingan kita di dunia internasional.

Jadi, sekali lagi, kasus 15 rekening mencurigakan ini mutlak harus ditangani serius. Antara lain kasus tersebut harus ditangani lembaga yang tidak memiliki bias dan tidak punya konflik kepentingan dengan institusi Polri maupun individu-individu pemilik rekening bersangkutan. Dengan kata lain, lembaga tersebut harus terjamin independen -- dan karena itu harus berada di luar institusi Polri.***
Jakarta, 2 Agustus 2005

01 Agustus 2005

Paket Kebijakan Mengecewakan

Pengumuman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kemarin, mengenai paket kebijakan ekonomi -- terutama dalam rangka mengatasi gejolak kurs rupiah dan penurunan kepercayaan publik terhadap pemerintah -- sama sekali jauh dari harapan.
Apa yang diutarakan Presiden nyaris tidak menjadi jawaban yang justru amat dinanti-nantikan masyarakat, khususnya pelaku ekonomi. Paket kebijakan ekonomi yang diumumkan Presiden itu jauh di bawah ekspektasi yang telanjur kita bangun.

Karena itu, kita menilai bahwa kemarin Presiden Yudhoyono tidak mengumumkan apa-apa kecuali sekadar membeberkan wacana mengenai keinginan baik pemerintah dalam mengatasi masalah serius sekarang ini di bidang ekonomi. Padahal yang kita harapkan adalah keputusan mengenai tindakan aksi yang nyata dan bersifat segera.

Soal kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), misalnya, Presiden Yudhoyono sama sekali tidak menyebutkan kapan itu dilakukan -- juga mengenai besaran kenaikan itu. Padahal publik sangat berharap bahwa rencana kenaikan harga BBM -- notabene sudah cukup sering dilontarkan pemerintah sendiri sebagai tindakan yang sulit dihindari lagi sekarang ini -- beroleh kejelasan dan kepastian.

Begitu pula mengenai perombakan kabinet: keterangan Presiden Yudhoyono sungguh menafikan realitas yang berkembang di masyarakat. Dengan menyatakan bahwa perombakan kabinet bukan merupakan prioritas, Presiden praktis mengabaikan keinginan dan harapan publik.

Presiden tidak hirau bahwa pelaku usaha, terutama, sekarang ini menginginkan muka baru di kabinet -- terutama di tim ekonomi. Apa boleh buat, karena beberapa figur pembantu Presiden telanjur gagal memelihara kepercayaan dunia usaha menyangkut ekonomi nasional.

Harapan publik terhadap paket kebijakan pemerintah memang telanjur melambung. Sepanjang hari kemarin, kesadaran kita dipenuhi ekspektasi-ekspektasi mengenai perbaikan segera ekonomi nasional sekarang ini, menyusul keterangan juru bicara kepresidenan Andi Malarangeng, Selasa malam, bahwa pada Rabu siang pemerintah mengumumkan paket kebijakan ekonomi. Paket kebijakan itu sendiri digodok ndalam forum rapat paripurna kabinet yang berlangsung sejak Selasa sore lalu.

Sejak awal kita percaya bahwa paket kebijakan itu akan benar-benar menjadi obat mujarab yang segera memulihkan kepercayaan publik terhadap pemerintah. Karena itu, ketika pengumunan ternyata molor sampai Rabu sore, kita bisa
maklum dan makin berbesar harapan. Kita meyakini, rapat kabinet berlarut pertanda pemerintah memang segera menempuh langkah berani.

Tapi harapan dan keyakinan ke arah itu kini menguap begitu saja. Paket kebijakan yang diumumkan Presiden tidak memberikan solusi nyata dan bisa segera dilakukan. Kita -- publik yang sejak dua pekan terakhir sangat berharap pemerintah menelurkan solusi mendasar yang membuat ekonomi nasional tenang dan nyaman kembali -- jelas sungguh kecewa. Pemerintah sekali lagi memperlihatkan sikap tidak lugas dalam menghadapi masalah-masalah mendesak atau darurat. Pemerintah lagi-lagi terkesan sengaja mengulur-ulur waktu dan membiarkan publik makin diliput ketidakpastian.

Justru itu, kita juga merasa prihatin. Kita prihatin karena sikap pemerintah yang seperti mengambangkan masalah ini jelas punya implikasi serius: kepercayaan masyarakat semakin terkikis. Itu, pada gilirannya, bisa membuat nilai tukar rupiah semakin dalam terdepresiasi dengan segala dampaknya yang menyesakkan tapi sungguh sulit dihindari.

Karena itu, barangkali benar bahwa kini kita hanya bisa berdoa: semoga keajaiban melanda ekonomi kita -- tidak makin terpuruk atau bahkan membaik, sampai saatnya nanti pemerintah berani menempuh kebijakan mendasar dan berani.***
Jakarta, 1 Agustus 2005

30 Juli 2005

Langkah Berani

Pemerintah memberi isyarat pasti: harga bahan bakar minyak (BBM) segera dinaikkan. Ini jelas sangat berani. Pertama, karena harga BBM ini justru belum lama dinaikkan. Kedua, karena keputusan menaikkan harga BBM selalu menjadi tindakan tidak populer. Seperti yang sudah-sudah, banyak kalangan niscaya mengecam keputusan pemerintah menaikkan harga BBM ini -- karena membuat daya beli masyarakat semakin turun.

Tapi pemerintah tidak punya banyak pilihan. Bahkan, barangkali, menaikkan lagi harga BBM merupakan pilihan paling mungkin saat ini. Maklum, karena harga minyak dunia yang tak beringsut turun dari level 60-an dolar AS per barel. Itu jauh di atas asumsi APBN sebesar 45 dolar AS.

Kenyataan tersebut membuat subsidi BBM menjadi membengkak luar biasa: dari Rp 59 triliun yang sudah dialokasikan di APBN menjadi sekitar Rp 129 triliun. Itu sungguh tidak rasional, karena membuat sepertiga APBN praktis tersedot untuk subsidi BBM.

Tapi secara politis mungkin itu tak jadi soal jika dipenuhi -- karena rakyat secara keseluruhan tidak harus menanggung risiko penurunan daya beli. Tapi soalnya, kemampuan keuangan pemerintah sangat terbatas. Terlebih pembengkakan subsidi BBM sendiri, yang mencapai sekitar Rp 70 triliun, jelas luar biasa.

Memang, seharusnya pembengkakan subsidi BBM ini bisa ditutup oleh windfall profit harga minyak dunia. Namun sekarang ini justru windfall profit sudah amat tipis. Ya, karena produksi minyak nasional relatif rendah. Bahkan kuota kita yang disepakati APEC sendiri, sebesar 1,3 juta barel per tahun, sudah tak mampu lagi bisa dicapai. Produksi minyak kita sekarang hanya berkisar 900.000-an barel per tahun.

Padahal, di sisi lain, konsumsi BBM di dalam negeri terus meningkat signifikan. Artinya, volume minyak mentah yang bisa kita ekspor pun semakin lama semakin menipis. Karena itu, lonjakan harga minyak dunia kini tak lagi menjadi berkah yang melimpah-ruah.

Walhasil, hasil penjualan minyak dan gas (migas) pun sudah tak mencukupi lagi untuk menutup subsidi. Terlebih lagi, penerimaan hasil penjualan
migas ini harus dibagi dengan daerah-daerah penghasil migas. Ini tak bisa diabaikan karena merupakan amanat UU No 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah.

Dalam kondisi seperti itu pula, pemerintah justru harus mengimpor minyak mentah. Ini bukan semata karena tuntutan memenuhi kebutuhan konsumsi minyak di dalam negeri, melainkan juga merupakan keharusan yang digariskan UU Migas. Dalam konteks ini, Pertamina selaku agen pemerintah harus membeli minyak mentah produksi jajaran mitra bagi hasil (KPS) untuk keperluan kilang BBM di dalam negeri.

Walhasil, volume minyak yang diimpor untuk kilang-kilang BBM ini tak bisa dipandang enteng. Untuk itu, Pertamina harus membayar tunai sesuai harga pasar internasional. Padahal dalam mengimpor BBM ini Pertamina dibatasi harga BBM yang diasumsikan APBN. Nyatanya sekarang, harga yang diasumsikan APBN ini jauh di bawah harga riil di pasar dunia. Karena itu, subsidi menjadi demikian niscaya.

Dalam situasi dan kondisi seperti itu, pemerintah hanya punya dua pilihan: bersikap populis dengan berpayah-payah menanggung beban subsidi, atau bersikap realistis dengan menaikkan harga BBM sebagai langkah menghindari beban lonjakan subsidi. Ternyata pemerintah memberi isyarat mengambil alternatif.

Sekali lagi, itu merupakan langkah berani. Pemerintah tampaknya siap tidak populer. Tapi soal itu kembali sebenarnya berpulang kepada sikap pemerintah sendiri. Pertama, jika intensif disosialisasi sebagai sesuatu yang secara teknis dan ekonomis tak terhindarkan, kenaikan harga BBM ini niscaya tak terlampau mengundang reaksi negatif.

Kedua, jika program kompensasi terlaksana lebih baik -- benar-benar tepat pola dan tepat sasaran --, kenaikan harga BBM tak mesti menjadi faktor yang menumbuhkan antipati publik terhadap pemerintah.***
Jakarta, 30 Juli 2005

27 Juli 2005

Pembatasan Usia Mobil

Pemilikan kendaraan mobil kini tak selalu karena alasan klasik: mengangkat gengsi sosial. Terutama di lapisan masyarakat bawah, pemilikan kendaraan mobil sekarang ini lebih karena pertimbangan kenyamanan dan kepraktisan. Dengan memiliki mobil sendiri -- meski sudah lapuk dan ngos-ngosan dimakan usia --, orang bisa lebih merasa nyaman berkendaraan. Dia tidak harus ikut berjejalan di angkutan umum bak ikan pindang.

Atas dasar itu, meski secara sosial tidak menunjang, banyak orang tetap memilih mempertahankan kepemilikanan mobil tua sebagai sarana pribadi berkendaraan. Mereka tidak peduli bahwa mobil mereka -- justru karena sudah uzur -- sebenarnya bisa meruntuhkan gengsi sosial. Bagi mereka, kepraktisan lebih penting daripada sekadar soal gengsi. Yang penting, meski dengan mobil tua, mereka relatif bisa lebih leluasa, nyaman, dan aman bepergian ke mana pun.

Karena itu, rencana pemerintah membatasi usia mobil serta-merta terasa menggelitik. Meski menggunakan terminologi "kuno", yang menjadi sasaran rencana kebijakan itu boleh jadi adalah mobil tua -- bukan mobil kuno yang dikoleksi kalangan berduit. Ya, karena gagasan tentang itu berangkat dari keinginan menurunkan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) dalam rangka penghematan energi.

Pemerintah sendiri belum memberi rumusan tentang batasan maksimal usia mobil ini. Padahal kita tidak yakin bahwa pembatasan usia mobil ini bisa signifikan mengurangi konsumsi BBM nasional. Terlebih, kita semua tahu bahwa tingkat pertumbuhan sektor otomotif di negeri kita terbilang tinggi. Karena itu, jangan-jangan pembatasan usia mobil ini sama sekali tak berdampak terhadap tingkat konsumsi BBM nasional.

Di sisi lain, rencana pembatasan usia mobil juga menafikan hak masyarakat lapisan bawah memiliki kendaraan mobil pribadi -- notabene dengan alasan yang amat masuk akal. Ini bisa menjadi isu sensitif karena sungguh mengusik rasa keadilan. Bayangkan, jika mobil tua tak diberi lagi hak hidup, berarti cuma orang-orang kaya yang bisa menikmati sarana kendaraan pribadi dengan segala kenyamanannya. Sementara mereka yang tak mampu memiliki mobil pribadi karena alasan kemampuan ekonomi, praktis harus rela menjadi pengguna angkutan umum yang sama sekali tak memberikan kenyamanan dan keamanan.

Sebenarnya, jika penghematan BBM yang menjadi tujuan, pembatasan usia mobil tak harus menjadi pilihan. Toh pemerintah masih bisa memanfaatkan strategi dan instrumen lain yang lebih cerdas dan tak menyakiti masyarakat lapisan bawah. Sebut saja instrumen pajak progresif bagi kendaraan bermotor berdasarkan jumlah pemilikan serta besaran daya (cc) mesin. Jadi, makin banyak pemilikan mobil, tarif pajak yang dikenakan pun makin tinggi. Itu bahkan dikombinsasikan dengan besaran daya mesin mobil.

Kita yakin, strategi seperti itu lebih bisa diandalkan mampu menekan tingkat konsumsi BBM sekaligus mendongkrak penerimaan negara dari sektor pajak. Terlebih jika subsidi BBM, khususnya bagi kendaraan pribadi, juga dihapuskan saja sekalian -- karena selama ini terbukti lebih banyak dinikmati oleh mereka yang berpenghasilan tinggi jor-joran menjadikan pemilikan sebagai lambang status dan gengsi.

Karena itu, rencana kebijakan membatasi usia mobil bukan pilihan yang cerdas. Gagasan tentang itu malah lebih memperlebar kesenjangan sosial karena berwatak diskriminatif sekaligus memarginalisasi kelompok masyarakat di lapisan bawah.

Justru itu pula, rencana pembatasan usia mobil ini harus ditentang. Lebih-lebih jika pemerintah tak menunjukkan tekad serius membenahi sistem transportasi nasional menjadi lebih nyaman dan aman, serta mudah dan murah.***
Jakarta, 27 Juli 2005

24 Juli 2005

Bencana Nasional Flu Burung

Wabah flu burung adalah bencana nasional. Ini bukan hanya karena wabah tersebut sudah merebak di 23 provinsi, melainkan juga lantaran dampak yang ditimbulkannya bisa sangat dahsyat. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat bahwa pada tahun 1918 dan 1968 wabah flu burung merenggut belasan juta jiwa. Belum lagi sekian banyak hewan ternak.

Kenyataan serupa bisa saja kita alami sekarang ini jika langkah-langkah penanggulangan tak segera dilakukan dengan segala kesungguhan. Juga jika kita tidak mengembangkan sikap waspada dengan menggerakkan kesiagaan dan upaya-upaya preventif.

Karena itu adalah naif jika pemerintah terkesan tidak kompak. Harus disadari bahwa wabah flu burung bukan hanya tanggung jawab instansi tertentu. Karena eskalasi masalah sudah demikian luas dan berat, wabah tersebut adalah tanggung jawab bersama pemerintah -- juga masyarakat.

Itu berarti, berbagai institusi pemerintah dituntut saling membahu dalam menanggulangi wabah flu ini. Di sisi lain, masyarakat juga tak bisa cuma berpangku tangan. Paling tidak, masyarakat dituntut menunjukkan sikap kooperatif terhadap langkah pemerintah mencegah dan menanggulangi wabah tersebut.

Juga adalah naif jika merebaknya wabah flu burung ini dikatakan sebagai dampak kelalaian pihak tertentu. Bahwa kejangkitan flu burung sebenarnya bisa dicegah, itu memang betul. Tetapi siapa bisa menjamin bahwa langkah-langkah preventif senantiasa berhasil sukses? Lalu, apakah langkah-langkah preventif itu sendiri memang merupakan monopoli pihak tertentu?

Dalam situasi seperti sekarang ini -- flu burung sudah menjadi bencana nasional -- sama sekali tidak relevan mencari siapa yang bersalah. Terlebih lagi, tak seorang pun bisa memastikan kapan dan di mana wabah itu bisa terjadi. WHO sendiri sudah mengingatkan bahwa siapa pun harus senantiasa siap menghadapi kejutan terkait penyakit flu burung ini.

Artinya, secara alamiah serangan flu burung memang potensial sulit dibendung. Virus flu burung dikenal sangat ganas dan sulit diprediksi. Apalagi jika virus tersebut ternyata sudah bermutasi menjadi bukan lagi hanya menular antarhewan atau dari hewan ke manusia, melainkan dari manusia ke manusia.

Memang sekarang ini belum ada bukti ilmiah bahwa virus flu burung sudah bermutasi menjadi bisa menular dari manusia ke manusia. Tetapi pada saat bersamaan juga tidak ada yang bisa memastikan bahwa penularan antarmanusia adalah tidak mungkin. Kalangan ahli sendiri menyatakan, virus flu burung bisa saja menular dari manusia ke manusia.

Kenyataan tersebut tak boleh ditutup-tutupi. Memang, jujur mengatakan bahwa flu burung mungkin saja menular dari manusia ke manusia bisa membuat masyarakat waswas. Tapi sepanjang tidak berkembang menjadi kepanikan, rasa waswas di masyarakat malah bisa positif: menumbuhkan sikap waspada, siaga, peduli, dan amat mendukung berbagai upaya penanganan wabah.

Sebaliknya, sikap memastikan sesuatu yang justru belum pasti -- bahwa flu burung tidak menular melalui manusia ke manusia -- bisa berbahaya. Kalau kemudian terbukti bahwa flu burung ternyata sudah bisa menyebar dari manusia ke manusia, dampak yang timbul bisa sangat dahsyat.

Walhasil, pemerintah dituntut serius dan konsekuen memperlakukan wabah flu burung ini sebagai bencana nasional. Di samping habis-habisan melakukan langkah penanganan -- preventif maupun kuratif --, pemerintah juga semestinya jujur dan terbuka membeberkan peringatan WHO bahwa wabah penyakit flu burung bisa jauh lebih dahsyat: bukan cuma memusnahkan ternak, melainkan juga bukan tidak mungkin menyerang manusia.

Tentu, agar tidak menimbulkan kepanikan, pemerintah harus piawai mengelola komunikasi.***
Jakarta, 24 Juli 2005

21 Juli 2005

Teror Flu Burung

Flu burung bukan lagi sekadar momok. Flu burung sudah menjadi teror. Flu burung kini bukan lagi hanya membuat keder industri perunggasan. Setelah gamblang terungkap bahwa penyebab kematian warga Tangerang -- Iwan Siswara Rapei dan dua anaknya -- adalah virus azian influenza A subtipe H5N1 (H=hemagglutinin; N=neuraminidase) alias flu burung, momok flu burung seketika berubah menjadi teror yang membuat waswas berbagai kalangan.

Kita waswas karena flu burung di Indonesia ternyata sudah menyerang manusia secara ganas. Iwan Siswara dan dua anaknya adalah bukti tak terbantahkan tentang itu.

Selama ini, flu burung di Indonesia cenderung hanya menjadi momok bagi industri perunggasan. Ya, karena kita diyakinkan pemerintah dan kalangan ahli bahwa secara umum flu burung tidak menyerang manusia. Flu burung hanya menyerang ternak dan unggas.

Bahwa sejumlah kasus di luar negeri menunjukkan penyakit unggas tersebut ternyata menyerang pula manusia, kita tetap tidak waswas. Kita tetap merasa tenteram. Karena baru kasus di luar negeri, kita bahkan menganggap serangan flu burung terhadap manusia ini sebagai sekadar sebuah kemungkinan.

Kini, kemungkinan itu sudah menjadi kenyataan. Artinya, kita berisiko terserang flu burung. Mungkin itu berlebihan. Toh, menurut literatur, serangan flu burung terhadap manusia hanya dimungkinkan lewat kontak langsung dengan unggas atau kotorannya yang sudah terinfeksi virus H5N1.

Jadi, sepanjang tidak bersentuhan langsung dengan unggas ataupun kotorannya, risiko terkena flu burung ini terbilang minim.

Tapi tetap saja flu burung ini terasa menjadi teror. Terlebih kasus kematian Iwan Siswara dan dua anaknya masih menyisakan misteri. Itu menyangkut sumber atau muasal yang membuat mereka terserang flu burung. Misteri tersebut serta-merta menumbuhkan spekulasi: jangan-jangan Iwan terserang flu burung lewat kontak dengan manusia yang sudah terinfeksi virus H5N1.

Terlebih latar belakang sosial maupun kesibukan Iwan sendiri sedikit sekali memiliki kemungkinan terlibat kontak langsung dengan unggas. Jika benar begitu, jangan-jangan virus flu burung sudah bermutasi menjadi bisa menyebar dari manusia ke manusia.

Namun tanpa spekulasi seperti itu pun, penyakit flu burung tetap sudah menjadi teror. Kasus kematian Iwan telanjur menguakkan kenyataan sekaligus kesadaran kita semua bahwa penyakit flu burung di Indonesia semakin berisiko. Flu burung bukan lagi penyakit berbahaya yang hanya menyerang unggas. Flu burung sudah menjadi penyakit gawat yang bisa menyerang siapa saja.

Jelas teror itu harus bisa diredam -- karena bisa lebih berbahaya ketimbang penyakit flu burungnya sendiri. Jurus paling jitu untuk itu adalah sikap pemerintah yang harus jujur dan terbuka. Sikap menutup-nutupi kenyataan justru malah bisa menjadi lahan subur yang membuat flu burung menjadi teror yang kian mencemaskan.

Di samping itu, pemerintah sendiri bisa menjadi bahan olok-olok dan sinisme ketika apa yang ditutup-tutupi itu akhirnya terkuak juga ke tengah publik.

Di sisi lain, pemerintah juga mesti benar-benar siaga dan aktif melakukan langkah-langkah penanganan agar flu burung tidak kian menyebar luas. Langkah tersebut memang amat mahal -- terutama karena unggas yang terindikasi positif sudah terinfeksi flu burung harus dimusnahkan. Seperti beberapa tahun silam, pemusnahan unggas terinfeksi ini -- meski terbatas sekalipun -- membuat pemerintah harus mengeluarkan dana kompensasi bagi kalangan pengusaha unggas dalam jumlah tidak kecil.

Tapi itu lebih baik ketimbang tidak sama sekali. Pemusnahan unggas terinfeksi flu burung -- semahal apa pun -- bisa menjadi wujud keseriusan pemerintah menanggulangi flu burung ini. Dengan itu, pada gilirannya, flu burung bisa kita harapkan tidak lagi merupakan teror yang amat menakutkan.***
Jakarta, 21 Juli 2005

14 Juli 2005

Di Ambang Krisis Kedua?

Benarkah kita kini di ambang krisis ekonomi kedua seperti penuturan ekonom Revrisond Baswir? Jika yang dimaksud Revrisond adalah krisis ekonomi seperti tahun 1997-1998, mungkin tidak. Paling tidak untuk sementara ini, kita belum merasa yakin bahwa itu bisa terjadi dalam waktu dekat.

Kita tidak yakin bahwa kurs rupiah segera kembali tersungkur hingga ke level sangat rendah, perbankan nasional kehilangan kepercayaan nasabah maupun mitra bisnis di luar negeri, permodalan nasional habis dilarikan ke luar negeri, cadangan devisa nasional tandas terkuras, bahan kebutuhan pokok menghilang, industri bertumbangan, dan lain-lain.

Tetapi tampaknya kita memang harus siap-siap menjalani kehidupan yang semakin berat dan sulit. Kehidupan ekonomi nasional boleh jadi tidak akan menjadi lebih baik. Bahkan gambaran yang terhampar menunjukkan bahwa kehidupan ekonomi kita cenderung semakin buram.

Setelah dalam beberapa tahun terakhir mengalami pemulihan (recovery), kini prospek ekonomi kita tidak lagi menjanjikan perbaikan lebih lanjut. Kehidupan ekonomi nasional malah memperlihatkan kecenderungan berbalik arah alias mundur.

Kecenderungan itu sudah demikian gamblang. Kurs rupiah, misalnya, kini sudah terkoreksi jauh dibanding awal tahun. Level psikologis Rp 10.000 per dolar AS dalam hari-hari mendatang ini bukan tidak mungkin bisa tertembus. Serangkaian jurus pengendalian kurs yang ditebar pemerintah dan Bank Indonesia tampaknya tak cukup ampuh memperbaiki keadaan.

Sementara itu, cadangan devisa pemerintah di Bank Indonesia sudah menipis karena terus terkuras untuk keperluan intervensi kurs rupiah di pasar uang. Padahal kebutuhan akan valuta asing, khususnya dolar AS, tetap tinggi. Bahkan Pertamina, misalnya, membutuhkan dolar AS jauh lebih banyak lagi untuk mengimpor minyak dalam rangka mengamankan pasokan BBM di dalam negeri.

Harga minyak mentah di pasar internasional sendiri, yang saat ini berkisar 60 dolae AS per barel, kecil kemungkinan bisa turun lagi ke level 40-an dolar AS seperti asumsi APBNP 2005. Malah harga minyak dunia ini masih mungkin terus membumbung lebih tinggi lagi.

Kalangan dan analis perminyakan sudah memperkirakan bahwa harga minyak dunia dalam hari-hari mendatang ini bisa menyentuh level 70-80 dolar AS per barel. Itu berarti, tekanan terhadap ekonomi nasional semakin serius.

Tekanan itu antara lain terlihat pada harga aneka kebutuhan pokok yang beranjak naik. Kenaikan tersebut bahkan sudah terbilang signifikan. Sebuah perkiraan menyebutkan, harga aneka kebutuhan pokok rata-rata sudah naik 10 persen sejak kelangkaan BBM melanda.

Jadi, sulit mengatakan bahwa ekonomi nasional sekarang ini tidak menghimpit-menyesakkan. Mungkin itu bukan sepenuhnya merupakan dampak kekurangbecusan kita mengelola ekonomi. Bagaimanapun, patut kita akui, kenyataan yang menghimpit-menyesakkan itu lebih merupakan konsekuensi kehidupan ekonomi kita yang semakin terbuka ke pusaran global.

Tapi yang jadi soal, di tengah kondisi yang mencemaskan itu pemerintah masih saja memperlihatkan sikap easy going. Soal defisit anggaran, misalnya, pemerintah tetap saja mengaku yakin masih bisa dipertahankan di bawah 1 persen produk domestik bruto. Padahal subsidi BBM pasti membengkak hebat -- terlebih bila harga minyak dunia terus membumbung lebih tinggi lagi. Begitu juga soal pertumbuhan ekonomi, pemerintah tetap optimis bisa mencapai 6 persen lebih.

Dalam menghadapi kondisi kritis, pemerintah memang mesti bersikap tenang. Tapi itu tak berarti harus menafikan kenyataan seolah tidak mencemaskan. Yang kita harapkan, pemerintah jujur mengakui bahwa kehidupan ekonomi nasional semakin berat dan sulit.

Sejalan dengan itu, kita juga berharap pemerintah menunjukkan program-program terobosan yang bisa membuat kita tetap yakin bahwa krisis ekonomi kedua bisa kita hindari.***
Jakarta, 14 Juli 2005

12 Juli 2005

Kampanye Hemat Energi

Gebrakan hemat energi memang perlu. Bahkan, seharusnya, itu kita lakukan bukan hanya karena kita mengalami krisis bahan bakar minyak (BBM) seperti sekarang ini. Dengan atau tanpa krisis BBM pun seharusnya gerakan hemat energi ini kita galakkan. Ya, karena minyak bumi adalah sumber daya alam tak terbarukan (unrenewable resources).

Karena tak terbarukan, kita harus pandai-pandai memanfaatkan minyak bumi ini -- juga sumber daya alam lain yang unrenewable -- agar tak cepat habis dan terutama agar generasi mendatang bisa turut menikmati.

Tapi selama ini kita kurang peduli terhadap pentingnya gerakan hemat energi ini. Bahkan kita seolah tak pernah berpikir tentang itu. Dalam memanfaatkan minyak bumi, khususnya, kita begitu terlena dan jor-joran -- nyaris tanpa kendali. Ini bukan hanya pada level individual, melainkan bahkan dalam konteks lebih luas dan strategis.

Tengok saja kebijakan-kebijakan pemerintah: nyaris tak ada yang nyata-nyata dan tegas merujuk pada gerakan hemat energi. Industri otomotif, misalnya, dibiarkan sepenuhnya bergulir sesuai permintaan pasar.

Bahkan ketika industri otomotif dan lembaga pembiayaan bahu-membahu mendongkrak permintaan itu menjadi menjulang tinggi seperti dalam beberapa tahun terakhir, sedikit pun pemerintah tak terkesan berupaya melakukan intervensi. Pemerintah tak tergerak menahan sedikit saja laju pertumbuhan kendaraan bermotor ini. Pemerintah seolah tak melihat kenyataan itu sebagai faktor yang mengondisikan tingkat konsumsi BBM terus menanjak hebat tak tertahankan.

Begitu juga program diversifikasi energi: praktis tak pernah terealisasi. Berkali-kali dicanangkan, program tersebut akhirnya hanya indah di atas kertas. Pemerintah sepertinya memang tak bersungguh-sungguh dalam menggulirkan program diversifikasi energi ini.

Penggunaan briket batubara, misalnya, praktis gagal karena langkah ke arah itu bersifat setengah hati. Pemerintah tak mengondisikan pemanfaatan briket batubara sebagai energi alternatif yang mudah dan murah.

Karena itu, gerakan hemat energi yang kini digulirkan pemerintah melalui Inpres No 10/2005 jangan mengulangi kesalahan selama ini: cuma basa-basi karena memang pada dasarnya setengah hati. Segenap jajaran pemerintah harus menunjukkan bahwa gerakan itu bukan sekadar wujud kepanikan sesaat terkait krisis BBM sejak beberapa pekan terakhir, melainkan merupakan koreksi terhadap sikap dan perilaku kita selama ini dalam memanfaatkan energi tak terbarukan. Dengan kata lain, pemerintah harus konsisten dan serius dalam menggulirkan gerakan hemat energi ini.

Keseriusan itu harus ditunjukkan oleh sikap-tindak segenap jajaran pemerintah sendiri. Pemerintah harus memberi contoh dan teladan menyangkut gerakan hemat energi ini: mulai dari soal-soal kecil dan sepele sampai hal-hal substansial.

Pemerintah juga harus intensif menyosialisasikan gerakan hemat energi ini ke berbagai lapisan masyarakat. Ini bisa menjadi persoalan berat karena menyangkut sikap-tindak masyarakat yang telanjur bermental boros dalam mengonsumsi energi.

Untuk itu, sosialisasi bukan sekadar bicara tentang relevansi dan urgensi hemat energi, tapi juga memaparkan panduan tentang cara dan langkah yang harus dilakukan dalam mengisi gerakan hemat energi.

Satu hal yang perlu diingat pemerintah bahwa gerakan hemat energi ini jangan sampai menjadi langkah kontra produktif bagi kepentingan masyarakat. Karena itu, kampanye penghematan harus benar-benar menyentuh berbagai aspek yang secara obyektif memang perlu dan tak mengorbankan kegiatan produktif di masyarakat, khususnya dunia usaha.

Kalau saja mengorbankan kegiatan produktif di masyarakat, kampanye hemat energi ini bisa berisiko tak efektif -- karena justru mengudang perlawanan, meski diam-diam.***
Jakarta, 12 Juli 2005

08 Juli 2005

Tarif Jalan Tol, Kenapa Naik?

Jalan tol mestinya identik dengan kenyamanan. Dibanding jalan raya biasa, jalan tol seharusnya membuat perjalanan berkendaraan lebih terjamin lancar, tanpa hambatan -- dan karena itu bisa menjamin waktu tempuh lebih cepat. Justru itu pula, jalan tol mestinya membuat perjalanan lebih nyaman.

Tapi apa yang terjadi di negeri kita, jalan tol nyaris tak memiliki keistimewaan dibanding jalan raya biasa. Jalan tol di negeri kita lebih merupakan sekadar jalan raya yang mengutip bayaran. Sementara soal jaminan bebas hambatan dan kenyamanan -- juga keamanan --, yang seharusnya melekat erat pada layanan jalan tol, nyaris cuma ilusi.

Ya, kita memang tak pernah bisa beroleh jaminan bahwa jalan tol yang akan kita lalui benar-benar lancar dan nyaman. Setiap kali kita mau memasuki jalan tol, kita jarang merasa yakin bahwa perjalanan kita tak akan mengesalkan -- karena kemacetan ternyata menghadang.

Bahwa di gerbang tol kadang kita baca informasi tentang kondisi lalu-lintas di ruas jalan tol, itu acap sulit kita jadikan pegangan. Informasi itu bahkan tak jarang malah menyesatkan atau bahkan menjebak. Ya, karena informasi itu ternyata tidak akurat atau bahkan manipulatif -- karena kenyataan di jalan tol justru lain sama sekali dengan informasi yang dipampangkan di gerbang tol.

Dalam konteks itu, makna kata-kata tampaknya memang telah dimanipulasi. Karena itu, informasi jadi melenceng dan menyesatkan. Ketika informasi menyebutkan bahwa lalu lintas di jalan tol lancar, dalam kenyataan ternyata lalu lintas itu padat merayap. Atau ketika informasi menyatakan bahwa lalu lintas di jalan tol padat merayap, ternyata itu berarti macet total!

Kita juga beroleh kesan bahwa pihak operator tak pernah peduli dengan kemacetan lalu lintas di jalan tol. Paling tidak, itu karena mereka tak pernah berupaya mengurangi kepadatan dengan menutup gerbang tol ketika kemacetan sudah benar-benar menghampar.

Sangat boleh jadi, itu karena bagi operator arus masuk kendaraan adalah satu hal, dan kemacetan di jalan tol adalah hal lain. Bagi mereka, arus masuk kendaraan ke jalan tol adalah hitungan fulus yang harus diselamatkan. Sementara soal kemacetan yang mengesalkan semata risiko yang harus rela ditanggung pengguna jalan tol.

Walhasil, dalam bahasa lugas, layanan jalan tol di negeri kita sejauh ini masih jauh dari memuaskan. Layanan jalan tol lebih banyak menorehkan ironi dan kekecewaan. Ironi, karena kekecewaan itu seharusnya tak tertoreh.

Karena itu kita sependapat dengan kalangan anggota DPR RI: bahwa rencana pemerintah menaikkan tarif jalan tol sungguh tidak patut. Bahkan sepanjang mutu layanan masih mengundang sumpah-serapah, kenaikan tarif jalan tol ini tetap tak beralasan.

Menurut rumusan perundangan, kenaikan tarif tol sekarang ini mungkin memang sudah saatnya. Tapi, jujur saja, soal kenaikan tarif ini tak bisa seperti pertandingan bola yang harus bergulir sesuai jadwal. Bagaimanapun, mutu layanan lebih terasa obyektif dijadikan pijakan tentang itu. Artinya, selama layanan jalan tol masih seperti selama ini -- tak menjamin kenyamanan --, selama itu pula kenaikan tarif sungguh terasa tidak relevan.

Justru itu, kenaikan tarif jalan tol terkesan sekadar memanjakan jajaran operator. Terlebih lagi mereka selama ini tidak dalam kondisi merugi atau terancam gulung tikar kalau tarif tak segera dinaikkan.

Mungkin kenaikan tarif baru relevan dipikirkan kalau pemerintah sudah mengevaluasi mutu layanan jalan tol ini. Evaluasi itu sendiri harus tandas menyimpulkan bahwa jalan tol sudah identik dengan kenyamanan. Jadi, kenapa tarif jalan tol harus naik sekarang?***
Jakarta, 8 Juli 2005

04 Juli 2005

Tak Mampu Mengatasi Krisis?

Kelangkaan bahan bakar minyak (BBM), khususnya premium, akhirnya merebak pula di Jakarta. Ini sungguh mengundang heboh sekaligus membuat panik. Heboh, karena Jakarta adalah ibukota negara. Sebagai ibukota negara, Jakarta adalah benteng pertahanan yang amat strategis.

Jadi, jika ibukota negara saja tak terkecuali dilanda kelangkaan BBM, bagaimana kita bisa tenang bahwa kota-kota besar lain -- apalagi daerah-daerah di pelosok sana -- masih aman alias tidak mengalami masalah serupa? Juga bagaimana kita bisa yakin bahwa krisis BBM yang merebak di sejumlah daerah sejak sekitar tiga pekan terakhir ini bakal segera berakhir?

Itu pula yang membuat kita panik. Kalangkaan BBM di Jakarta ini membuat kita panik, karena kenyataan itu bisa merupakan cerminan bahwa krisis BBM yang kita hadapi sekarang ini sungguh serius. Kelangkaan tersebut bukan semata masalah keterlambatan kegiatan distribusi.

Kelangkaan itu bukan cuma soal kegiatan impor BBM agak terganggu. Juga bukan sekadar karena tingkat permintaan terus membumbung. Atau karena penyelundupan BBM ke luar negeri semakin merajalela.

Mungkin benar, kegiatan distribusi dari unit-unit Pertamina ke berbagai stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) mengalami keterlambatan -- entah karena alasan teknis ataupun nonteknis. Barangkali benar pula bahwa kegiatan impor BBM agak terganggu gara-gara pemerintah telat mengucurkan dana subsidi ke Pertamina.

Juga tidak mengada-ada bahwa kelangkaan BBM ini akibat tingkat permintaan atau tingkat konsumsi sudah mulai melampaui pasokan -- karena pemilikan kendaraan bermotor di masyarakat kita memang terus bertambah demikian pesat. Pun tidak keliru bahwa penyelundupan BBM ke luar negeri kian menggila karena disparitas harga semakin menganga dan amat menggiurkan.

Apa pun penjelasan tentang kelangkaan BBM sekarang ini, diakui ataupun tidak, kita sulit memungkiri lagi bahwa itu adalah krisis -- dan karena itu tak bisa kita hadapi dengan sikap tenang-tenang (easy going). Krisis BBM, di mana pun, sungguh mencemaskan.

Betapa tidak, karena peran BBM dalam kegiatan sosial-ekonomi telanjur sangat dominan. Justru itu, jika tak segera bisa diatasi, krisis BBM ini amat berbahaya: kehidupan ekonomi, sosial, ataupun politik bisa kacau-balau.

Dalam konteks itu, kita justru belum merasa yakin oleh langkah-langkah yang diayunkan pemerintah. Paling tidak, karena kelangkaan BBM di sejumlah daerah tak kunjung reda. Bahkan kelangkaan tersebut semakin meluas -- sampai-sampai ibukota negara pun tak terkecuali mengalami.

Karena itu, bagi pemerintah -- termasuk Pertamina selaku lembaga yang paling bertanggung jawab terhadap masalah pengadaan dan pasokan BBM -- kelangkaan premium yang sudah sampai merebak ke Jakarta ini sungguh memalukan.

Kelangkaan, bagaimanapun, menunjukkan something wrong -- bukan sekadar karena impor BBM telat dilakukan, distribusi terhambat, ataupun karena tingkat konsumsi kian melangit. Kelangkaan BBM sekarang ini sekali lagi menguakkan kenyataan bahwa kita memang tidak mampu bersikap sigap menanggulangi krisis.

Dulu, ketika krisis ekonomi dan moneter menerpa, kita tak bisa segera bangkit. Dibanding negara-negara lain yang sama-sama yang mengalami nasib serupa, kita paling telat mengalami pemulihan -- dan karena itu juga kita paling babak-belur. Kini, manakala giliran krisis BBM menerpa. kita lagi-lagi menunjukkan diri tak mampu bersikap trengginas mengatasinya. Pemerintah dan Pertamina, terutama, tak menunjukkan respons spontan dan jitu.

Boleh jadi, krisis BBM sekarang ini merupakan tantangan khusus bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang baru saja diumumkan memperoleh predikat Indonesia's Crisis Manager dari majalah Business Week. Yudhoyono ditantang untuk membuktikan bahwa predikat tersebut tidak salah alamat!***
Jakarta, 4 Juli 2005

29 Juni 2005

Dirut Pertamina dan Krisis BBM

Penggantian orang nomor satu di Pertamina jelas mengejutkan.
Pertama, jika berita tentang itu benar, karena krisis bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri belum juga tertangani. Kedua, karena Widya Purnama belum genap setahun menjabat sebagai dirut. Dia baru menduduki jabatan tersebut terhitung sejak 11 Agustus 2004.

Kita tidak tahu apakah penggantian Widya selaku Dirut Pertamina ini terkait dengan krisis BBM sekarang ini. Yang pasti, krisis itu sendiri memang terasa kian membuat miris. Di sejumlah daerah, BBM sekarang sudah menjadi barang langka.

Kalaupun masih tersedia di tempat-tempat tertentu, BBM telanjur dikuasai spekulan kagetan. Mereka menjual BBM seharga dua-tiga kali lipat dibanding harga resmi yang dipatok pemerintah.

Kenyataan itu membuat miris karena jelas berimplikasi serius terhadap berbagai kegiatan ekonomi masyarakat. Seperti di sejumlah daerah, kelangkaan BBM mulai melumpuhkan beberapa sektor ekonomi. Kalangan nelayan di Pantura Jatim, misalnya, sejak sepekan terakhir sudah tak bisa lagi melaut karena bahan bakar solar sulit mereka peroleh.

Karena itu, orang mungkin saja mengira penggantian dirut Pertamina ini erat berkaitan dengan krisis BBM. Dalam kaitan ini, mereka sendiri boleh jadi menilai Widya gagal mengamankan ketersediaan BBM di dalam negeri -- meski soal itu bukan melulu menjadi tanggung jawab Pertamina. Justru itu, bagi mereka, Widya selaku orang yang paling bertanggung jawab atas pasokan BBM ke tengah masyarakat memang layak diganti.

Widya sendiri, barangkali, sudah mengira ihwal penggantian itu. Terlebih lagi, dalam beberapa hari terakhir dia menunjukkan sikap berseberangan dengan pemerintah terkait negosiasi pengelolaan ladang migas di Blok Cepu (Jateng) antara tim perunding pemerintah dan pihak ExxonMobil. Dalam beberapa kesempatan, dia bahkan menyatakan tak akan menandatangani kesepakatan yang dihasilkan dalam perundingan itu -- konon karena dia khawatir muncul persoalan di kemudian hari.

Walhasil, penggantian orang nomor satu ini seolah begitu niscaya sebagai sesuatu yang patut dan memang perlu. Padahal belum tentu -- karena masalah krisis BBM bukan faktor yang berdiri sendiri. Bagaimanapun, krisis BBM adalah tanggung jawab pemerintah secara keseluruhan.

Justru itu, mengharapkan pengganti Widya serta-merta mampu mengatasi krisis BBM sekarang ini bisa menyesatkan. Memang, figur Dirut Pertamina pengganti Widya -- konon Martiono Hadianto -- adalah sosok yang tepat.

Martiono bukan sosok asing dalam masalah perminyakan. Paling tidak, dia segera bisa tahu tentang apa yang harus segera dilakukan. Sebagai orang yang pernah menduduki posisi Dirut Pertamina selama periode 1998-2000, Martiono jelas tidak membutuhkan lagi masa sosialisasi. Ibarat sopir, dia amat bisa diharapkan langsung tancap gas dan melakukan manuver-manuver.

Tetapi tetap saja, krisis BBM bukan masalah sederhana yang bisa diatasi semudah membalikkan tangan. Sekali lagi, masalah ketersediaan BBM di tengah masyarakat bukan faktor yang berdiri sendiri dan bukan pula melulu tanggung jawab Pertamina.

Terlebih lagi harga minyak mentah di pasar dunia kini melambung hingga menembus level baru sepanjang sejarah: 60 dolar AS lebih per barel. Sementara di sisi lain, pemerintah dan DPR telanjur bersepakat mematok asumsi harga BBM dalam APBN sebesar 45 dolar AS per barel.

Sesungguhnya, krisis BBM bisa dikatakan sebagai akumulasi persoalan kita dalam konteks pengelolaan sumber daya migas selama ini. Jujur saja, sebagai bangsa yang dikaruniai sumber daya migas yang relatif melimpah, tak semestinya kita terjebak krisis BBM. Tapi, barangkali, kita memang tak becus mengelola karunia itu.

Karena itu, penggantian Dirut Pertamina jangan diasumsikan sebagai obat yang serta-merta akan menuntaskan krisis BBM sekarang ini. Paling tidak dalam jangka menengah dan panjang, krisis BBM masih terus membayangi kita.
Jakarta, 29 Juni 2005