29 Agustus 2003

Premanisme dan Investasi

Premanisme, di mana pun dan dalam kondisi bagaimanapun, selalu menimbulkan kesan tidak sedap. Premanisme adalah sikap-tindak yang tak pernah mengindahkan nilai kesantunan, rasa malu, dan kebanggaan sejati. Karena itu, premanisme adalah cermin buram yang membuat wajah elok sekalipun menjadi terlihat penuh borok.

Begitu pula dalam konteks investasi: premanisme tak pelak membuat kalangan pemilik modal enggan masuk ke negeri kita. Bahkan mereka yang selama ini sudah berkiprah pun menjadi gerah, tak genah, dan karena itu ingin hengkang ke negeri lain yang menawarkan surga berbisnis.

Kenyataan itu jelas sungguh tidak produktif, atau bahkan menjadi disinsentif bagi kepentingan ekonomi nasional kita. Upaya pemerintah menghidupkan kembali ekonomi domestik -- notabene resmi ditandai dengan pencanangan tahun 2003 sebagai Tahun Investasi -- menjadi sia-sia saja. Coba saja simak angka loan to deposit ratio (LDR) perbankan kita yang rata-rata masih menapak di bawah 40 persen. Angka itu menunjukkan bahwa perbankan masih relatif sedikit mengucurkan kredit ke sektor riil.

Boleh jadi, itu bukan terutama karena perbankan nasional enggan menyalurkan kredit, melainkan justru lebih karena sektor riil sendiri amat kurang meminta guyuran kredit. Bahkan pengakuan kalangan perbankan -- bahwa tak sedikit kredit yang sudah memperoleh persetujuan tak kunjung dicairkan debitur -- mungkin tidak mengada-ada.

Tentu, keengganan debitur mencairkan kredit itu memiliki alasan tertentu yang amat mendasar. Mungkin mereka jadi ragu atau bahkan memutuskan tak jadi merealisasikan proyek. Dalam kaitan ini, boleh jadi mereka menilai bahwa pemanfaatan kredit sungguh tidak produktif atau berisiko menjadi bumerang mematikan -- yakni kredit mengalami kemacetan karena proyek investasi yang mereka danai tak terjamin berlangsung lancar, antara lain gara-gara gangguan premanisme.

Premanisme sesungguhnya bukan lagi sekadar mengganggu, melainkan sudah merupakan penyakit berbahaya (enemies). Itu pula, agaknya, yang ingin disampaikan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Theo F Toemion, beberapa hari lalu. Sebagai pihak yang dibebani tanggung jawab menjaring dan menebarkan proyek investasi di dalam negeri, Theo memang terkesan amat gundah oleh premanisme dalam konteks investasi ini -- di samping juga oleh faktor kewenangan BKPM sendiri yang dia rasakan tak bisa optimal memberikan layanan kepada investor.

Theo layak gundah karena premanisme memang begitu marak. Ini tak hanya terjadi di lapangan atau di lokasi proyek, melainkan juga sejak lama -- seiring reformasi -- menggejala di kantor-kantor birokrasi.

Premanisme di lokasi proyek dilakukan oleh preman sungguhan, yakni mereka yang lebih mengandalkan modal nyali, otot, atau kesangaran penampilan fisik. Sementara premanisme di kantor-kantor birokrasi dilakukan oleh oknum-oknum kekuasaan yang memanfaatkan kewenangan di tangan mereka sebagai alat untuk memeras investor bagi kepentingan kantung sendiri.

Bagi investor, preman sungguhan ataupun preman kantoran sama-sama memusingkan -- karena amat membebani investasi. Jika preman sungguhan sekadar meminta uang rokok atau uang jasa keamanan, preman kantoran tak ragu dan tak malu-malu lagi meminta upeti, sogokan, pelicin, dan sejenisnya dalam jumlah relatif besar.

Itu sungguh menjadi disinsentif bagi iklim investasi kita. Terlebih iklim investasi di dalam negeri ini sejak lama dikeluhkan sudah miskin insentif -- dan karena itu kalah bersaing oleh negara-negara tetangga. Tim Kerja Sama Ekonomi Indonesia-Jepang, misalnya, menyebutkan bahwa iklim investasi di dalam negeri kini terasa tak mengundang minat dan gairah karena tak menjanjikan insentif fiskal maupun finansial.

Jujur saja, potret buram iklim investasi di dalam negeri ini sudah sejak lama kita ketahui -- karena memang sering dikeluhkan dunia usaha. Tapi patut kita akui pula, langkah-langkah nyata perbaikan nyaris tak diperlihatkan pihak-pihak yang memiliki kewenangan membuat kebijakan.

Karena itu, kita menangkap kesan bahwa keluhan dunia usaha tentang iklim investasi yang sudah tak kondusif ini adalah satu hal, sementara upaya perbaikan adalah soal lain yang tak harus sungguh-sungguh dilakukan -- karena bisa mengganggu premanisme yang notabene selama ini melibatkan oknum birokrasi. Karena itu, serupa apa pun iklim investasi sekarang, bagi mereka bukan soal yang mengundang prihatin. Bagi mereka, business as usual!

Kalaupun terlihat keinginan mereka membuat perubahan, itu bukan merujuk pada prasyarat kondisional dan proses. Apa yang mereka perlihatkan tentang itu justru langsung menunjuk pada hasil (goals): bahwa kegiatan investasi harus bangkit bergairah lagi. Itu mereka tunjukkan dengan membuat target atau proyeksi kuantitatif.

Tak heran, karena itu, pencanangan tahun 2003 sebagai Tahun Investasi pun terasa sia-sia. Apa boleh buat, karena pencanangan itu nyaris tak direspons positif dan proaktif lewat perbaikan regulasi atau kebijakan yang konsisten mengharamkan premanisme, serta di sisi lain memberikan insentif menggairahkan bagi investor.***
Jakarta, 29 Agustus 2003

26 Agustus 2003

Penjadwalan Utang

Dari segi urgensi, meminta penjadwalan ulang (resheduling) utang luar negeri kepada para kreditur sebenarnya amat beralasan. Yakni agar anggaran publik dalam RAPBN tidak banyak terkuras oleh pembayaran utang. Dengan itu pula, RAPBN bisa diharapkan mengucurkan berkah ekonomi yang akan sangat berguna bagi kehidupan rakyat banyak -- entah berupa subsidi ataupun kegiatan pembangunan. Dalam bahasa formal dan keren, rescheduling utang sangat memungkinkan membuat RAPBN mampu menghembuskan stimulus ekonomi.

Stimulus ekonomi memang amat diperlukan rakyat banyak karena kehidupan mereka belum juga menunjukkan tren membaik. Rakyat masih saja terbelenggu hidup serba susah, pahit, dan keras. Pengangguran, misalnya, tiap hari malah kian menggunung.

Dalam kondisi demikian, kegiatan investasi belum banyak memberi makna. Kegiatan investasi di dalam negeri, sejauh ini, tetap saja lesu. Kalangan pemilik modal terkesan enggan masuk ke sini. Bahkan mereka yang sudah berkiprah pun amat sedikit yang tergerak menambah investasi.

Mungkin itu karena iklim investasi di negeri kita ini sudah tak mengundang gairah lagi. Atau mungkin pula karena kalangan pemilik modal masih menunggu lahirnya pemerintahan baru hasil Pemilu 2004. Yang pasti -- ini menarik sekaligus memrihatinkan -- kalangan investor makin memerlihatkan gelagat tak betah lagi berusaha di sini. Satu-dua investor bahkan sudah tandas memutuskan menutup usaha di sini dan memindahkannya ke mancanegara.

Jadi, mengatasi kehidupan rakyat yang kian berat dan keras ini, peran pemerintah melalui mekanisme anggaran sangat diharapkan. Karena itu, sekali lagi, RAPBN sungguh dituntut mampu mengalirkan berkah ekonomi bagi rakyat banyak. Untuk itu, alokasi anggaran pembangunan berupa anggaran pendidikan, kesehatan, pangan, investasi umum, atau subsidi untuk kelompok miskin harus lumayan besar.

Tapi apa yang terjadi, APBN justru banyak tersedot oleh pengeluaran rutin -- terutama kombinasi pembayaran utang pokok dan bunganya, plus pembayaran utang dalam negeri. Bahkan dalam RAPBN 2004, alokasi pembayaran pokok utang dibuat berlipat menjadi Rp 46 triliun dibanding APBN tahun berjalan senilai Rp 17 triliun.

Karena itu, ihwal rescheduling utang pun kian relevan dan makin urgen dimintakan pemerintah kepada para kreditur. Tak kurang dari fraksi-fraksi di DPR sendiri merasa perlu menekankan soal itu.

Memang, sebagai konsekuensi kita memilih mengakhiri kerja sama dengan Dana Moneter Internasional (IMF) pada akhir tahun ini, fasilitas rescheduling utang -- selama ini diwadahi forum Paris Club -- sudah tak bisa kita nikmati lagi. Maklum, karena peran Paris Club memang dipayungi oleh IMF.

Namun bukan berarti peluang bagi kita menikmati rescheduling utang ini lantas sudah tertutup sama sekali. Kalangan ekonom maupun beberapa fraksi di DPR mengingatkan bahwa fasilitas tersebut masih mungkin bisa kita raih melalui mekanisme bilateral berupa government to government (G to G).

Tetapi kita menangkap kesan bahwa pemerintah tak memiliki cukup keberanian untuk itu. Seperti kata Menkeu Boediono, meminta rescheduling utang pada para kreditur sungguh riskan. Kalangan kreditur, ujarnya, bisa beranggapan atau menilai bahwa Indonesia mengemplang utang. Itu, pada gilirannya, bisa sangat merepotkan kepentingan ekonomi-bisnis kita di forum internasional.

Risiko seperti itu mungkin benar bisa tertoreh. Artinya, pemerintah tidak mengada-ada sekadar untuk menutupi keengganan atau keberanian meminta rescheduling utang pada para donor.

Kita juga layak ragu bahwa soal risiko berkaitan dengan permintaan mengenai rescheduling utang itu adalah demikian pasti seperti perhitungan matematis bahwa tiga kali tiga adalah sembilan. Melihat sejumlah kasus yang pernah ditunjukkan sejumlah negara, jangankan sekadar meminta rescheduling, bahkan minta pengurangan pokok utang (hair cut) pun bukan sesuatu yang najis dilakukan -- dan terbukti tak berisiko. Jerman pasca Perang Dunia II dulu, misalnya, bisa menikmati hair cut utang sebesar 50 persen tanpa membuat para kreditur menilai negara tersebut mengemplang utang hingga harus ramai-ramai dijauhi atau diisolasi dalam konteks pergaulan ekonomi dunia.

Karena itu, jangan-jangan soal reaksi negatif para kreditur jika kita meminta rescheduling utang ini lebih merupakan ketakutan yang kita reka-reka sendiri. Atau jangan-jangan pula itu lebih mencerminkan keengganan atau ketidaksanggupan kita bernegosiasi.

Kita khawatir sekaligus prihatin jika kemungkinan itu yang terjadi. Semata karena ketidaksanggupan kita menegosiasikan soal urgensi rescheduling utang saat ini, alokasi anggaran pengeluaran dalam RAPBN yang memiliki banyak dampak ekonomi bagi rakyat banyak lantas terus dicekik.***
Jakarta, 26 Agustus 2003

22 Agustus 2003

Kepatuhan Wajib Pajak

Optimisme Dirjen Pajak Hadi Purnomo -- bahwa target penerimaan pajak pada RAPBN 2004 senilai Rp 271 triliun bisa dicapai -- patut kita puji. Optimisme ini jelas menunjukkan rasa percaya diri: bahwa sektor pajak kian bisa diandalkan sebagai sumber utama penerimaan negara.

Selama tiga tahun terakhir, penerimaan sektor pajak selalu mengalami kenaikan. Seperti tertuang dalam pidato kenegaraan Presiden Megawati tentang RAPBN 2004 di hadapan anggota DPR pada 15 Agustus lalu, tahun 2001 peran penerimaan sektor pajak terhadap pendapatan negara mencapai 61,6 persen. Kemudian tahun lalu meningkat menjadi 70 persen, dan tahun ini ditargetkan bahwa sebesar 75,6 persen penerimaan negara berasal dari pendapatan pajak dan hibah.

Mungkin kecenderungan itu pula yang membuat Hadi begitu yakin bahwa target penerimaan pajak dalam RAPBN 2004 ini bisa dicapai. Dia sendiri menyebutkan, keyakinan tersebut berpijak pada kenyataan bahwa tingkat kepatuhan wajib pajak kian membaik. Justru itu, dalam rangka mengejar target penerimaan pajak pada RAPBN 2004 itu, Hadi mengaku tak akan menaikkan tarif pajak ataupun memperluas obyek pajak.

Terus-terang, di tengah situasi ekonomi nasional yang tetap sulit, keyakinan Hadi tadi terasa heroik dan seolah tanpa beban. Ada kesan, target kenaikan penerimaan pajak dalam RAPBN 2004 ini bisa begitu gampang dicapai. Padahal situasi dan kondisi tahun depan mungkin tak terlampau kondusif. Paling tidak, tahun depan berlangsung pesta demokrasi -- Pemilu 2004 -- yang sedikit atau banyak pasti memberi riak terhadap percaturan ekonomi nasional. Belum lagi soal kepatuhan wajib pajak juga masih terasa mengundang tanya.

Idealnya, memang, penerimaan negara bertumpu pada sektor pajak. Itu bukan sekadar menjadi wahana partisipasi rakyat dalam membiayai penyelenggaraan dan pembangunan negara, melainkan juga bisa memberi tolok ukur mengenai kegiatan ekonomi masyarakat. Makin tinggi kegiatan ekonomi, penerimaan pajak pun tinggi. Sebaliknya, kegiatan ekonomi lesu pasti berdampak negatif terhadap penerimaan pajak.

Tapi dalam kenyataan, itu tak selalu terbukti. Kegiatan ekonomi tidak selalu berbanding lurus dengan tingkat penerimaan pajak. Itu pula yang kita alami hingga saat ini. Tengok saja tax ratio kita. Dalam RAPBN 2004, tax ratio ini hanya 13,4 persen. Angka tersebut relatif rendah dibanding di negara-negara lain.

Lalu, meski masih belum pulih benar setelah sekian lama didera krisis, kegiatan ekonomi kita seharusnya bisa membuat angka tax ratio jauh di atas target RAPBN 2004. Bahkan Hadi sendiri sempat menyebutkan bahwa tax ratio kita sebenarnya bisa saja mencapai minimal 20-an persen.

Justru itu, rendahnya angka tax ratio merupakan petunjuk bahwa banyak kegiatan ekonomi kita yang belum atau tak optimal tersentuh pajak. Tentang ini, Hadi menyebut salah satu sebab: akses terhadap pengenaan pajak relatif terbatas. Justru itu, dia yakin bahwa kalau saja akses bagi pengenaan pajak ini lebih terbuka lebar, tax ratio kita pun bisa lebih tinggi.

Boleh jadi, rendahnya angka tax ratio lebih karena pemerintah sendiri tak yakin benar mengenai kepatuhan wajib pajak -- di samping mungkin karena sadar bahwa perkembangan ekonomi pada tahun depan tak terlampau kondusif bagi pemungutan pajak. Karena itu, bagaimana mungkin kepatuhan wajib pajak menjadi tumpuan keyakinan bahwa target kenaikan penerimaan pajak dalam RAPBN 2004 bisa gampang dicapai?

Dengan kata lain, kita ragu bahwa kepatuhan wajib pajak bisa menjadi andalan terhadap pencapaian target penerimaan pajak. Bagaimanapun, wajib pajak cenderung selalu mencari celah agar bisa terhindar dari kewajiban membayar pajak. Bahkan mereka yang terancam terkena sanksi sandera badan (gidzeling) saja -- karena jelas-jelas selama ini tergolong tak kooperatif -- masih saja berupaya agar kewajiban mereka membayar pajak itu dibuat ringan. Mereka, antara lain, minta agar pelunasan kewajiban pajak bisa dicicil.

Jadi, agak musykil menjadikan kepatuhan wajib pajak sebagai andalan pemerintah dalam mengejar target penerimaan pajak dalam RAPBN 2004 ini. Terlebih lagi jika memperhitungkan ihwal oknum aparat pajak sendiri yang bisa diajak "main mata" olah wajib pajak yang tak beritikad baik.

Karena itu, yang harus dilakukan pemerintah dalam rangka menguber target penerimaan pajak ini adalah langkah terobosan yang mengondisikan wajib pajak benar-benar patuh melunasi kewajiban, di samping basis wajib pajak sendiri jadi terentang luas.

Itu sebenarnya masalah klasik. Tapi, sebenarnya, itu justru menjadi klasik karena tak kunjung bisa gamblang terjabarkan dalam kebijakan-kebijakan.***
Jakarta, 22 Agustus 2003

15 Agustus 2003

Rezim Antipencucian Uang

Teguran pemerintah AS mengenai kekurangseriusan kita menerapkan rezim antipencucian uang selayaknya tak kita pandang sebagai sebuah tekanan. Surat resmi tentang itu, yang dilayangkan Dubes AS untuk Indonesia Ralph L Boyce kepada Gubernur Bank Indonesia (BI) Burhanuddin Abdullah, 6 Agustus 2003, lebih baik kita pandang sebagai sebuah "alarm": bahwa penerapan rezim antipencucian uang memang sudah merupakan kebutuhan kita yang amat mendesak.

Dengan kearifan seperti itu, kita niscaya bisa lebih obyektif menilai ancaman atau risiko yang harus kita pikul kalau saja kita sampai divonis tak serius membangun dan menerapkan rezim antipencucian uang. Ancaman itu, entah dari pihak mana pun datangnya, tak kita hadapi dengan sikap emosional dalam bingkai nasionalisme sempit -- seolah-olah kita didikte agar menerapkan langkah-langkah menangkal dan memberantas tindak pencucian uang (money laundering).

Teguran yang dilontarkan pemerintah AS sendiri tak bisa kita pandang remeh -- karena disertai ancaman yang bisa mematikan aktivitas jasa keuangan kita dengan AS. Terlebih teguran yang dilayangkan pada 6 Agustus lalu itu -- bahwa Indonesia tetap masuk daftar negara tak kooperatif dalam konteks pencegahan korupsi dan tindak kejahatan di bidang keuangan -- merupakan kali yang kelima sejak 2001.

Justru itu, teguran merupakan sebuah pertanda bahwa kita selama ini cenderung abai atau menganggap remeh urgensi membangun dan menerapkan rezim antipencucian uang ini.

Jadi, teguran kali kelima pemerintah AS itu sungguh harus kita pedulikan dengan segenap kesadaran bahwa itu memang obyektif. Jika tidak, seperti kata Boyce dalam surat kepada Gubernur BI itu, pemerintah AS niscaya tak segan-segan memberlakukan sanksi Patriot Act 311. Itu adalah undang-undang yang memberi hak kepada Depkeu AS mengaduk-aduk "jeroan" perbankan nasional yang beroperasi di AS. Misalnya, perbankan kita diwajibkan melaporkan semua transaksi -- termasuk identitas pemilik rekening -- melalui bank bersangkutan. Di sisi lain, korespondensi bank-bank kita dengan perbankan AS juga bisa dihambat atau bahkan diputus.

Risiko yang harus kita tanggung kalau kita tetap tak serius membangun rezim antipencucian uang ini bisa lebih serius lagi kalau Financial Action Task Force (FATF) on Money Laundering juga menjatuhkan sanksi. Kita bisa benar-benar terisolasi dari percaturan transaksi keuangan global. Hubungan perbankan nasional dengan bank-bank koresponden di mancanegara diputus total, sehingga kita praktis terkucil dari komunitas ekonomi-bisnis dunia.

Kepastian tentang sanksi FATF sendiri bagi kita -- apakah jadi dikenakan atau urung -- tertoreh pada awal Oktober 2003 melalui sidang pleno FATF. Kepastian tersebut amat tergantung pada amandemen UU No 15/2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Di samping harus tuntas paling lambat akhir September 2003, hasil amandemen itu sendiri harus benar-benar menunjukkan keseriusan kita membangun rezim antipencucian uang.

Soal keseriusan itu sendiri -- sesuai penilaian FATF -- terutama merujuk pada klausul tentang batasan jumlah hasil tindak pidana pencucian uang yang digariskan dalam undang-undang antipencucian -- tak lagi minimal sebesar Rp 500 juta, melainkan harus jauh di bawah itu. Juga memasukkan klausul tentang tipping off, yaitu larangan bagi penyedia jasa keuangan memberi tahu nasabah tentang laporan transaksi keuangan mencurigakan yang terkait dengan nasabah tersebut.

Di sisi lain, hasil amandemen UU No 15/2002 ini juga harus mendefinisikan transaksi keuangan yang mencurigakan (suspicious transaction) secara luas: mencakup transaksi maupun percobaan transaksi keuangan dengan menggunakan dana yang diduga hasil tindak kejahatan. Lalu, jangka waktu kewajiban penyampaian laporan transaksi keuangan mencurigakan oleh penyedia jasa keuangan juga dibuat lebih cepat -- kurang dari 14 hari sebagaimana.

Kelemahan atas klausul-klausul itu pula, sebenarnya, yang telah mengantarkan kita masuk daftar negara tidak kooperatif dalam konteks pembangunan rezim antipencucian uang. Justru itu, seharusnya, kita sudah terkena sanksi (counter measures) FATF. Tapi dalam pertemuan FATF di Berlin, Juni lalu, kita masih bisa meyakinkan FATF mengenai langkah-langkah perbaikan yang kita lakukan dalam membangun rezim antipencucian uang ini. FATF masih memberi kita kesempatan untuk itu sampai sidang paripurna FATF di Swedia, awal Oktober mendatang.

Kita tentu berharap sidang pleno FATF itu urung menorehkan sanksi bagi kita -- karena kita dinilai sudah serius membangun rezim antipencucian uang, khususnya melalui amandemen UU No 15/2002. Untuk itu, sekali lagi, teguran pemerintah AS tadi selayaknya kita anggap sebagai "alarm" yang melecut kita benar-benar lugas dan tegas menyiapkan perangkat hukum tindak pencucian uang dengan segala keseriusan pada tahap implementasi.

Kita memang tak bisa lagi abai, berleha-leha, atau menganggap sepi soal tuntutan menyangkut pembangunan rezim antipencucian uang ini. Terlebih rezim antipencucian uang memang sudah menjadi kebutuhan amat mendesak bagi kita. Jujur saja, tindak korupsi ataupun praktik kejahatan yang menghasilkan uang najis sudah begitu marak dalam kehidupan keseharian kita.***
Jakarta, 15 Agustus 2003

12 Agustus 2003

Lembaga Pengganti Bulog?

Konon, Deptan sedang menyiapkan sebuah lembaga yang akan menggantikan peran Bulog. Itu dipandang perlu karena Bulog sendiri sudah berganti status menjadi perusahaan umum (perum). Padahal peran yang selama ini dijalani Bulog amat strategis, terutama dalam konteks ketahanan pangan nasional. Ada kesan bahwa pemerintah, khususnya Deptan, galau oleh masalah ketahanan pangan nasional sekarang ini. Perubahan status Bulog menjadi perum, dalam kaitan ini, mungkin mereka nilai membuat rentan ketahanan pangan nasional ini.

Sebagai lembaga berstatus perum, Bulog memang sulit menghindari orientasi komersial alias mencari untung. Beda dengan dulu ketika masih berstatus lembaga pemerintah nondepartemen, Bulog boleh dibilang tak hirau soal untung-rugi. Bagi mereka ketika itu, ukuran keberhasilan bukan seberapa besar meraup untung, melainkan sejauh mana stabilitas harga bahan kebutuhan pokok masyarakat bisa dijaga.

Kini, setelah menyandang status perum, Bulog justru harus cermat memperhitungkan soal untung-rugi. Mereka tak bisa lagi menutup mata atas risiko yang jelas-jelas bakal menorehkan kerugian finansial atas langkah yang mereka ayunkan.

Memang, dengan menyandang status perum pun, Bulog tetap dibebani tugas khusus: stabilisasi harga beras di dalam negeri sesuai patokan harga dasar, menyalurkan beras untuk masyarakat miskin, dan menjaga stok beras nasional agar tetap aman bagi kebutuhan pangan dalam negeri. Tugas itu tetap dibebankan kepada Bulog karena pemerintah memandang beras sebagai komoditas strategis yang harus dikelola khusus.

Namun dalam praktik amat terkesan bahwa dalam melaksanakan tugas khusus itu Bulog tetap tak bisa begitu saja menghilangkan semangat bisnis. Terutama menyangkut stabilisasi harga beras, hitung-hitungan untung-rugi tetap menjadi pijakan Bulog. Buktinya, saat panen raya, beberapa waktu lalu, harga gabah di tingkat petani anjlok jauh di bawah harga pembelian pemerintah. Bulog amat terkesan tak berdaya terhadap kejatuhan harga gabah di tingkat petani ini karena mereka memang telanjur dirasuki semangat bisnis yang amat peduli terhadap soal untung-rugi finansial.

Bukti lain, dalam rangka melakukan tugas stabilisasi harga beras atau gabah pada saat panen raya ini, Bulog beserta jaringan Dolog tidak menggenggam dana tunai. Apa yang ada dalam genggaman mereka adalah surat kredit alias L/C. Justru itu, langkah pembelian gabah petani pun amat terkesan setengah hati: tak proaktif dan langsung berhadapan dengan petani di lapangan, melainkan cenderung sekadar menunggu setoran agen (pedagang pengumpul) di gudang-gudang Bulog/Dolog. Itu pula yang membuat harga pembelian pemerintah -- istilah lain harga dasar -- sulit tidak anjlok. Harga pembelian pemerintah praktis hanya dinikmati oleh para pedagang pengumpul.

Kenyataan itu merisaukan. Terutama kehidupan petani padi menjadi sulit diharapkan terjamin membaik. Bagi mereka, panen raya malah menjadi ironi: bukannya mengangkat derajat kehidupan ekonomi, melainkan justru membuat terpuruk -- karena harga gabah anjlok tak tertahankan.

Pada gilirannya, itu membuat sendi-sendi ketahanan pangan nasional terancam tergerogoti. Saat musim paceklik seperti sekarang, petani benar-benar terjepit: stok pangan sudah tak lagi mereka miliki, sementara harga beras di pasar cenderung membumbung. Di saat lain, manakala musim tanam tiba, mereka telanjur kehabisan daya -- bahkan mungkin termasuk gairah bertani.

Walhasil, kegalauan pihak Deptan mengenai ketahanan pangan nasional ini memang amat beralasan. Karena itu pula, kita bisa memahami gagasan dan inisiatif mereka menyiapkan lembaga baru yang kelak menjalani peran Bulog sebelum berubah status menjadi perum. Dalam konteks ini, langkah Deptan bisa kita artikan sebagai wujud ketidakyakinan mereka akan kesungguhan Bulog sekarang ini melaksanakan tugas khusus yang diberikan pemerintah, terutama stabilisasi harga beras.

Namun, tentu, kita tidak mengharapkan langkah Deptan ini kemudian menjelmakan lagi sosok lembaga yang persis mirip Bulog di masa lalu. Kita tahu, sosok Bulog di masa lalu sungguh ngawur -- karena menyandang peran pengatur regulasi, pemain, sekaligus pengawas. Akibatnya, seperti kata Mentan Bungaran Saragih, keberadaan Bulog di masa lalu demikian sarat skandal penyimpangan yang kemudian berujung pada skandal keuangan.

Karena gagasan pembentukan lembaga baru pengganti Bulog di masa lalu ini jelas berangkat dari keinginan menegakkan ketahanan pangan nasional, fungsi dan peran lembaga itu jelas harus tegas dan spesifik. Fungsi regulasi jelas tidak perlu. Begitu pula fungsi pengawas. Jadi, barangkali, fungsi lembaga baru itu kelak sebatas menjadi pemain hingga stabilisasi harga gabah atau beras, khususnya, benar-benar efektif terjaga dan tidak merugikan petani.

Kalau benar itu adanya, tugas yang kini dibebankan pada Bulog -- khususnya stabilisasi harga gabah dan menjaga stok beras nasional -- kelak tidak relevan lagi. Tugas yang dibebankan pemerintah pada Bulog mungkin hanya menyalurkan beras untuk masyarakat miskin. Selebihnya, Bulog harus bisa membuktikan diri sebagai sebuah entitas bisnis yang sehat dan mampu menuai untung.***
Jakarta, 12 Agustus 2003

08 Agustus 2003

Dampak Tragedi Marriott

Dampak aksi pemboman Hotel JW Marriott di Jakarta terhadap pasar modal dan pasar uang ternyata hanya berlangsung sesaat. Reaksi negatif pasar segera beranjak pulih. Indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Jakarta (BEJ), misalnya, Rabu lalu -- selang sehari setelah tragedi bom Marriott -- sudah menunjukkan tanda pemulihan (rebound). Jika di hari kejadian (Selasa) ditutup turun 15,413 (3 persen) di posisi 488,529 akibat aksi panic selling, Rabu lalu IHSG ini terangkat lagi 5,907 ke level 494,436.

Begitu juga rupiah. Setelah terhempas ke posisi Rp 8.650 per dolar AS pada penutupan perdagangan saat terjadi pemboman Hotel Marriott, Rabu lalu nilai tukar rupiah mulai menguat lagi ke posisi Rp 8.600 per dolar. Kemarin, penguatan kurs rupiah ini kembali tertoreh: ditutup terangkat 12 poin pada level Rp 8.588 per dolar AS. Sementara rebound di pasar modal, kemarin lebih mengesankan lagi hingga mampu mengantarkan IHSG menguat signifikan 13,834 ke posisi 508,270.

Itu sungguh melegakan: pertanda tragedi pemboman Hotel Marriott tak serta-merta melunturkan kepercayaan pasar terhadap ekonomi nasional, khususnya di pasar modal dan pasar uang. Bahwa pasar sempat dilanda kepanikan -- hingga pada hari kejadian ledakan bom, IHSG BEJ maupun kurs rupiah terhempas --, itu amat wajar. Di mana pun, reaksi spontan seperti itu pasti tak bisa dihindari.

Boleh jadi, pasar tak larut dalam kepanikan karena sudah mulai "terbiasa" menghadapi kenyataan serupa di Indonesia ini. Kita tahu, sebelum tragedi di Hotel Marriott ini, sejumlah bom sudah berledakan di sejumlah tempat -- termasuk ledakan bom di Denpasar (Bali) pada 12 Oktober tahun lalu, yang demikian dahsyat dan menelan korban begitu banyak. Rangkaian aksi terorisme itu tanpa sadar mungkin telah membuat pasar tak terlampau sensitif lagi.

Dalam konteks itu, reaksi panik mereka hanya berlangsung sesaat. Setelah itu, pasar seperti segera melupakan apa yang terjadi dan cepat kembali kepada dinamikanya sendiri.

Aksi terorisme kini bukan melulu marak melanda negeri kita. Terorisme sudah menjadi fenomena global. Di mana saja -- tak terkecuali di negara yang dikenal memiliki sistem keamanan dan pengamanan canggih seperti AS sekalipun -- aksi terorisme bisa tertoreh. Setiap saat, aksi terorisme bisa mendadak terjadi. Jadi, tragedi pemboman seperti di Hotel Marriott -- memimjam slogan sebuah produk minuman ringan --
bisa terjadi kapan saja, di mana saja, dan menelan korban siapa saja.

Barangkali kesadaran seperti itu pula yang membuat pelaku pasar modal dan pasar uang tak larut dalam kepanikan terkait dengan aksi pemboman di Hotel Marriott Jakarta ini. Beberapa saat setelah tragedi itu berlalu, mereka seperti langsung terjaga: bahwa kegiatan harus segera bergulir kembali secara normal dan wajar. The show must go on! Terlebih lagi, mereka juga melihat bahwa pemerintah dan aparat keamanan kita sudah cukup memperlihatkan keseriusan dalam menangani aksi-aksi terorisme ini.

Karena itu pula, keyakinan kalangan pejabat pemerintah -- bahwa nasib ekonomi nasional tak akan mendadak amburadul akibat tertekan dampak pemboman Hotel Marriott -- terasa tidak berlebihan. Melihat reaksi pasar yang hanya sesaat menunjukkan kepanikan, tampaknya ekonomi nasional memang tetap aman.

Besaran-besaran target ekonomi makro dalam APBN 2003 mungkin bisa diharapkan tak berubah. Rata-rata nilai tukar rupiah, misalnya, tak bakal melampaui asumsi APBN 2003 sebesar Rp 9.000 per dolar. Begitu juga tingkat rata-rata inflasi bisa tetap terjaga tak sampai mencapai dua digit sesuai target APBN 2003 sebesar 9 persen.

Tetapi patut juga kita sadari bahwa reaksi pasar atas tragedi pemboman Hotel Marriott ini belum tentu sejalan dengan arah investasi langsung. Berbeda dengan pemain pasar uang dan pasar modal, reaksi atau sikap negatif kalangan pemilik modal untuk proyek-proyek investasi langsung justru mungkin malah berkarat. Maklum karena investasi langsung tak bisa ditarik atau dipindahkan segampang investasi dalam fortofolio di pasar modal dan pasar uang. Dengan kata lain, risiko yang melekat pada investasi langsung amat sulit bisa spontan disikapi.

Justru itu, boleh jadi, tragedi pemboman Hotel Marriott membuat calon-calon investor kian enggan menanam modal di sini. Kita katakan kian enggan, karena memang selama ini mereka sudah ogah-ogahan menabur modal di negeri kita -- antara lain karena alasan keamanan.

Dalam konteks itu, bagi calon-calon investor, menanam modal di Indonesia jauh lebih berisiko dibanding di negara-negara tetangga kita seperti Malaysia, Thailand, atau Vietnam. Itu berarti, tren penanaman modal langsung di negeri kita pascatragedi pemboman Hotel Marriott ini sungguh buram. Karena itu pula, pertumbuhan ekonomi amat mungkin terhambat.
Konsekuensinya jelas: masalah pengangguran jadi semakin serius. Tindak kriminalitas pun kian menjadi-jadi.

Walhasil, pemerintah amat perlu segera melakukan terobosan. Paket kebijakan yang konon sedang disiapkan sungguh harus benar-benar mampu menjadi stimulus kegiatan investasi.***
Jakarta, 08 Agustus 2003

05 Agustus 2003

Tak Seindah Ekonomi Makro

Memang beralasan jika laporan ekonomi Presiden Megawati Soekarnoputri di depan forum sidang tahunan MPR 2003, pekan lalu, dinilai kalangan ekonom sebagai paparan yang hanya indah di atas kertas. Betapa tidak, karena gambaran elok tentang ekonomi makro yang dipaparkan Mega seolah tak bertaut dengan kehidupan nyata di masyarakat. Nilai tukar rupiah yang disebutkan Mega sudah membaik signifikan terhadap dolar AS, misalnya, nyaris tak memberi dampak positif terhadap daya beli masyarakat kebanyakan maupun kehidupan sektor riil secara keseluruhan.

Begitu juga tingkat pertumbuhan ekonomi yang lumayan mengesankan -- menurut Mega, tahun ini kemungkinan mencapai 3,6 persen -- hampir-hampir tak memberikan riak berarti terhadap dunia ketenagakerjaan kita. Lihat saja, pengangguran tetap saja menggunung -- bahkan kian serius.

Tetapi, barangkali, itu bukan berarti pemerintah selama ini kurang memiliki sensitivitas ataupun kepedulian terhadap kehidupan ekonomi riil masyarakat. Kita patut meyakini bahwa paling tidak kesadaran tentang itu pasti dimiliki pemerintah. Bagaimanapun, memang, kegetiran ekonomi di tengah masyarakat ini terlampau gamblang menghampar hingga sulit dipungkiri begitu saja adanya.

Kalau begitu, kenapa pemerintah seolah kurang mampu menangani masalah getir dalam kehidupan rakyat kebanyakan ini? Kenapa progam-program yang digulirkan pemerintah terasa amat sedikit memberi perbaikan terhadap kondisi kehidupan masyarakat? Dalam bahasa lebih keren, kenapa pemerintah amat terkesan keteteran menangani sektor riil? Kenapa perbaikan di ekonomi mikro nyaris tak memberi dampak berarti terhadap kehidupan ekonomi mikro?

Tak bisa tidak, kita harus mengaitkan pertanyaan-pertanyaan seperti itu dengan peran IMF. Selaku dokter ekonomi kita, bagaimanapun IMF turut berperan atau bahkan amat mempengaruhi berbagai kebijakan pemerintah. Kita tahu, letter of intent (LoI) yang disusun pemerintah hanya mungkin bisa dilaksanakan setelah memperoleh persetujuan IMF. Jika tidak, berarti LoI harus direvisi dan disesuaikan dengan rekomendasi atau bahkan keinginan IMF.

Tapi celakanya, IMF bukan "dokter" yang hebat. Dalam konteks ini, kalangan ekonom sudah sejak lama menggugat bahwa peran IMF selaku "dokter" bukan saja terasa kurang mampu memberikan resep "cespleng", melainkan juga acap memaksakan langkah yang berisiko berat terhadap kehidupan ekonomi nasional. Penutupan sejumlah bank, misalnya, adalah salah satu contoh resep IMF yang tidak "cespleng" sekaligus berisiko amat serius itu.

IMF juga amat tidak rela jika pemerintah menggelar program atau kebijakan fiskal yang mereka nilai kurang prudent. Itu pula yang menjadi penyebab kenapa masalah pengangguran, misalnya, tak kunjung tertangani secara meyakinkan. Pemerintah tak bisa leluasa menggelar stimulus ekonomi yang benar-benar membukakan ruang bagi penanganan masalah pengangguran.

Di lain pihak, pemerintah juga nyaris tak berdaya oleh diktean IMF yang membuat sektor pertanian kita kian terpontal-pontal tertekan aneka produk pangan impor. Dalam konteks ini, jelas nasib petani kita pun harus menjadi tumbal. Kita ingat bagaimana tragisnya nasib petani tebu kita akibat arus deras gula impor. Nasib petani padi pun tidak lebih baik: baras impor terus merecoki pasar dalam negeri.

Kalau saja pemerintah tidak menjadi "anak manis" dalam berhadapan dengan IMF, amat boleh jadi kehidupan ekonomi kita sudah jauh lebih baik serta benar-benar meneteskan berkah bagi masyarakat. Andai saja pemerintah memiliki keberanian menolak resep generik IMF yang belum teruji "cespleng" serta amat berisiko, tingkat pemulihan ekonomi nasional pasti tak lagi hanya indah di atas kertas tapi meranggas dalam kehidupan nyata masyarakat.

Pemerintah kita memang tidak seperti pemerintah Thailand. Meski dalam rangka pemulihan ekonomi ini Thailand juga menjadi "pasien" IMF, toh pemerintah negeri tersebut berani mengambil kebijakan progresif dengan menolak resep generik IMF. Kendati IMF sempat memberi vonis bahwa stabilitas ekonomi makro Thailand masih rapuh, pemerintah setempat tak lantas bersikap surut dalam mengayun langkah progresif bagi pemulihan ekonomi nasional mereka. Vonis IMF itu sendiri kemudian memang tidak terbukti -- dan justru karena itu ekonomi Thailand pun lebih cepat mengalami kepulihan.

Mungkin pemerintah kita bukan sekadar tak memiliki cukup keberanian, melainkan juga kurang percaya diri untuk menggelar program pemulihan ekonomi tanpa pelototan IMF. Buktinya, dalam rangka exit strategy pascaprogram IMF yang berakhir di penghujung tahun ini, pemerintah memilih opsi post program monitoring (PPM). Dengan opsi tersebut, IMF tetap memandori kita dalam mengayun langkah menuju pemulihan ekonomi ini.
Kalau begitu adanya, bisakah kita berharap bahwa ke depan ini perkembangan ekonomi makro otomatis bertautan dengan ekonomi mikro? Di bawah opsi PPM, mungkinkah sektor riil berderak kencang seiring berbagai perbaikan ekonomi makro?***
Jakarta, 05 Agustus 2003