21 November 2003

Pembenahan di Tubuh PTKA

Pernyataan Menhub Agum Gumelar, bahwa calo tiket kereta api sulit diperangi, seharusnya tidak menjadi alasan pembenaran bagi manajemen PT Kereta Api (PTKA) untuk tidak berbenah secara mendasar dan merumuskan konsep layanan terbaik. Mungkin benar bahwa praktik percaloan tiket kereta api di tengah lonjakan calon penumpang seperti saat ini sulit diperangi. Tetapi, barangkali, itu lebih karena konsep dan mekanisme layanan pihak PTKA masih amburadul.

Kita menghargai langkah-langkah antisipasi manajemen PTKA dalam menghadapi arus musik Lebaran ini -- antara lain membuka penjualan tiket sejak jauh hari. Tetapi kita juga harus jujur mengatakan bahwa itu sama sekali tidak menjawab masalah: karena banyak calon penumpang telantar dan teraniaya secara fisik, psikis, dan ekonomis. Mereka harus berjam-jam -- bahkan sampai begadang di stasiun segala -- sekadar untuk bisa mendapatkan beberapa lembar tiket. Padahal sama sekali tidak ada jaminan tentang itu -- antara lain karena tiket telanjur diborong calo-calo.

Pada musim mudik Lebaran seperti sekarang ini, permintaan akan jasa angkutan kereta api -- seperti juga dialami moda angkutan lain -- memang meningkat drastis. Namun itu sungguh tak bijak dijadikan pembelaan atas susah atau bahkan gagalnya sekian banyak calon penumpang memeroleh tiket. Bagaimanapun, kenyataan itu lebih menunjukkan bahwa antisipasi manajemen PTKA dalam menghadapi lonjakan calon penumpang dalam rangka mudik Lebaran ini masih kedodoran.

Dalam konteks ini pula, kita sependapat dengan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI): bahwa langkah-langkah antisipasi yang dilakukan manajemen PTKA masih membuka peluang bagi praktik percaloan. Sistem penjualan tiket yang dilakukan on-line, misalnya, memang menjanjikan kemudahan dan kenyamanan bagi calon penumpang. Tapi karena dilakukan tertutup, tindak penyimpangan oleh oknum orang dalam PTKA sendiri jelas terbuka. Mereka bisa bermain mata dengan pihak luar hingga kemudian praktik percaloan tiket pun merebak. Sistem penjualan tiket secara on-line, karena itu, menjadi tak benar-benar efektif.

Begitu juga penjualan tiket di sejumlah loket yang digelar sejak jauh hari. Sedikit atau banyak, langkah tersebut justru membukakan kesempatan bagi mereka yang memiliki naluri menjadi calo.

Justru itu, kita menangkap kesan bahwa antisipasi manajemen PTKA dalam menghadapi arus mudik Lebaran ini cenderung setengah hati. Mereka sepertinya tidak belajar pada pengalaman serupa di tahun-tahun lalu. Mereka juga seolah tak bercermin pada layanan yang digelar moda-moda angkutan lain, khususnya maskapai penerbangan dan jasa angkutan penumpang bus yang relatif tak mengundang keluh-kesah atau gerutuan konsumen.

Seharusnya manajemen PTKA punya pendirian begini: jika jajaran maskapai penerbangan atau perusahaan otobus bisa relatif mulus memberikan layanan kepada calon penumpang, kenapa PTKA tidak? Bukankah berbagai maskapai penerbangan maupun perusahaan otobus juga menghadapi lonjakan permintaan pengguna jasa?

Mungkin benar, praktik percaloan relatif tak banyak menyusahkan calon penumpang pesawat terbang ataupun bus karena perusahaan-perusahaan bersangkutan mendesentralisasikan penjualan tiket. Dengan itu, calon penumpang tak harus menghambur dan menumpuk di titik tertentu. Ditambah penerapan mekanisme pemesanan jauh di muka, ruang gerak bagi praktik percaloan pun relatif tertutup.

Kenapa manajemen PTKA tak menerapkan mekanisme serupa? Kenapa penjualan tiket ini harus terpusat di tangan mereka alias tidak disebarkan ke pihak-pihak ketiga? Jujur saja, pertanyaan-pertanyaan senada itu justru mengundang kecurigaan bahwa pihak PTKA memang tak sungguh-sungguh berkeinginan menggelar layanan penjualan tiket yang mudah dan nyaman. Terlebih bila dikaitkan dengan kenyataan bahwa dulu PTKA pun sebenarnya sudah mendesentralisasikan penjualan tiket kepada kalangan biro perjalanan -- mirip apa yang kini diterapkan jajaran maskapai penerbangan dan perusahaan otobus. Tapi, entah kenapa, mekanisme penjualan tiket itu belakangan menjadi tersentralisasi lagi di tangan PTKA.

Ataukah PTKA sendiri menaruh kepentingan tertentu di balik itu? Paling tidak kepentingan ekonomis, yakni supaya bisa bermain mata dengan para calo? Secara kelembagaan, jelas itu tak mungkin. Tapi boleh jadi, itu menjadi kepentingan oknum-oknum di dalam tubuh PTKA.

Karena itu, sekali lagi, manajemen PTKA amat beralasan melakukan pembenahan mendasar mengenai sistem dan mekanisme penjualan tiket ini. Untuk itu, mereka harus membuang semangat pembenahan bersipat setengah hati. PTKA sudah saatnya tampil sebagai perusahaan yang sehat, bersih, nyaman, dan mampu memberikan layanan optimal bagi konsumen. Toh konsumen selama ini pun sudah memberikan ongkos yang tak terbilang murah-meriah.***
Jakarta, 21 November

18 November 2003

Sanksi Gijzeling

Sanksi penyanderaan (gijzeling) yang diterapkan Ditjen Pajak sudah memakan korban dua wajib pajak. Entah kebetulan entah bukan, mereka masing-masing berkewarganegaraan Indonesia dan asing. Mereka terkena gijzeling karena tak kunjung menunjukkan itikad baik dalam membayar tunggakan pajak. Wajib pajak yang berkewarganegaraan Indonesia memiliki tunggakan pajak Rp 11,5 miliar, sementara wajib pajak yang warga asing Rp 45,7 miliar.

Sebelum ini, santer disebut-sebut bahwa mereka yang terancam dikenai sanksi gijzeling ini -- karena dinilai kurang kooperatif -- berjumlah delapan wajib pajak. Nilai tunggakan mereka, konon, total mencapai sekitar Rp 120 miliar. Tapi setelah sanksi gijzeling disosialisasikan dan aparat pajak sendiri melakukan pendekatan terakhir, konon pula, enam wajib pajak berubah kooperatif. Mereka bersedia membayar tunggakan pajak. Sementara dua wajib pajak lain, itu tadi: tak kunjung menunjukkan itikad baik sehingga terpaksa dikenai gijzeling.

Langkah Ditjen Pajak itu, tampaknya, telah melahirkan efek psikologis: kalangan wajib pajak jadi merasa miris. Mereka dibuat sadar: tak boleh main-main dengan kewajiban pajak. Dirjen Pajak Hadi Purnomo sendiri menyebutkan bahwa penerapan sanksi gijzeling membuat banyak penunggak pajak -- meski tak tergolong kelompok sasaran sanksi itu -- tergerak melunasi kewajiban mereka.

Tetapi, sebenarnya, tak setiap wajib pajak bisa terkena sanksi gijzeling ini. Hanya mereka yang bandel atau sama sekali tak menunjukkan itikad baik membayar tunggakan pajak yang bisa terkena sanksi tersebut. Lagi pula, tunggakan pajak yang bisa dikenai gijzeling hanya bernilai Rp 100 juta ke atas. Bagi mereka yang memiliki tunggakan di bawah angka itu, untuk sementara ini, sebenarnya tak beralasan merasa miris terkena gijzeling.

Kendati demikian, efek positif penerapan sanksi gijzeling ini -- kalangan wajib pajak jadi merasa miris bermain-main dengan kewajiban pajak -- sungguh positif. Itu menerbitkan harapan ke arah peningkatan penerimaan pajak. Bagaimanapun, rasa miris tadi amat mungkin membuat tingkat kepatuhan wajib pajak jadi meningkat. Justru itu, tax ratio kita pun bisa diharapkan terdongkrak ke tingkat yang lebih baik.

Kenyataan seperti itu, pada gilirannya, amat positif. Seperti telah berkali-kali dibahas di ruangan ini, peningkatan kepatuhan wajib pajak sungguh amat strategis bagi kemandirian pembiayaan penyelenggaraan negara kita. Untuk saat sekarang saja, peningkatan kepatuhan wajib pajak ini niscaya bisa membuat target penerimaan pajak sebesar Rp 210,79 triliun bisa lebih mudah tercapai.

Karena itu, bagi kita, penerapan sanksi gijzeling oleh Ditjen Pajak yang menimbulkan efek psikologis di kalangan wajib pajak ini sungguh positif. Kita tak melihat efek psikologis berupa perasaan miris bermain-main dengan kewajiban pajak itu sebagai sesuatu yang tidak produktif dan tidak konstruktif. Meski barangkali di luar sasaran atau tujuan utama penerapan sanksi gijzeling sendiri, fenomena itu justru harus kita pelihara karena jelas mengusung fungsi deterrent effect: memupus kemungkinan wajib pajak coba-coba tidak melunasi kewajiban pajak.

Atas dasar itu, kita tak habis mengerti oleh pernyataan Menkeu Boediono yang terkesan gerah oleh langkah Ditjen Pajak menerapkan sanksi gijzeling ini. Pernyataan tersebut menumbuhkan spekulasi bahwa Menkeu tak rela ancaman bagi wajib pajak tak beritikad baik itu serius dilaksanakan. Dalam kaitan itu, barangkali Menkeu memang tak pernah memerkirakan bahwa ancaman sanksi gijzeling ternyata menimbulkan deterrent effect di kalangan wajib pajak berupa perasaan miris jika menunggak pajak.

Kita sendiri, sejauh ini, tak melihat aparat Ditjen Pajak memanfaatkan sanksi gijzeling ini sebagai alat untuk menakut-nakuti wajib pajak. Apa yang mereka lakukan tampaknya masih dalam koridor yang digariskan: menyodorkan sanksi gijzeling sebagai faktor pemaksa bagi wajib pajak tak kooperatif untuk melunasi tunggakan pajak mereka yang bernilai minimal Rp 100 juta.

Bahwa langkah itu ternyata menimbulkan efek takut di kalangan wajib pajak secara keseluruhan, barangkali itu di luar dugaan. Tetapi kalaupun sengaja dilakukan -- sepanjang masih dalam koridor yang tidak berlebihan menurut etika ataupun tertib hukum --, mengampanyekan sanksi gijzeling untuk menumbuhkan rasa takut di kalangan wajib pajak barangkali juga tidak masalah.

Bagi sebuah negeri yang memiliki tax ratio rendah seperti kita ini, sengaja mengondisikan deterrent effec bagi kalangan wajib pajak sebenarnya bahkan merupakan kebutuhan. Terlebih jika mengingat bahwa utang kita sekarang ini sudah sebatas leher, sehingga penerimaan pajak makin menjadi andalan bagi pembiayaan penyelenggaraan negara -- termasuk untuk mencicil utang.

Jadi, kenapa risau jika wajib pajak kemudian bersikap takut menunggak pajak?***
Jakarta, 18 November 2003

11 November 2003

BUMN Rugi Tanpa Akhir?

Kerugian yang diderita empat badan usaha milik negara (BUMN) -- PT Dirgantara Indonesia, PT Kereta Api, PT Pupuk Sriwijaya (Pusri), dan PT Taspen -- sungguh mengejutkan, sekaligus menambah buram potret BUMN kita. Ketika kita masih terbengong-bengong oleh skandal letter of credit sebesar Rp 1,7 triliun yang melanda Bank BNI, akhir pekan lalu tiba-tiba terkuak kenyataan lain: keempat BUMN tadi menderita kerugian demikian besar. Dalam lima tahun terakhir (1998-2002), keempat BUMN itu total merugi sebesar Rp 17,09 triliun.

Kita sungguh terkejut karena angka itu bukan merupakan potensi kerugian (potential loss), melainkan sudah menjadi kerugian nyata. Artinya, kerugian memang sudah benar-benar tertoreh (actual loss) -- dan karena itu harus ditanggung dengan segala konsekuensinya. Padahal di samping kerugian nyata ini, keempat BUMN ini juga masih menanggung potential loss senilai Rp 2,65 triliun.

Kita lebih terkejut lagi karena actual loss sebenarnya bisa dihindari kalau saja masing-masing BUMN bersangkutan benar-benar menerapkan praktik terbaik dalam mengelola usaha (good corporate governance). Justru itu, kalau saja kerugian besar ini tertoreh sebagai konsekuensi fungsi sosial yang diemban masing-masing BUMN, kita masih bisa maklum. Tapi fakta di lapangan justru menampik itu: keempat BUMN -- seperti juga kebanyakan BUMN lain -- boleh dikata sudah tak lagi mengemban fungsi sosial ini.

Tengok saja PT Kereta Api, misalnya. Sebagian terbesar rangkaian kereta api yang mereka gelar sekarang ini lebih ditujukan bagi masyarakat berduit. Istilah kelas tiket pun jelas sekali menunjukkan semangat itu: kelas bisnis dan kelas eksekutif.

Bagaimana dengan kereta api kelas ekonomi? Jujur saja, PT Kereta Api sudah sangat sedikit menggelar jasa kereta api yang mengemban fungsi sosial itu. Meski menerima dana kompensasi (public service obligation), pihak manajemen memerlakukan kereta api kelas ekonomi ini dengan sikap ogah-ogahan.

Justru itu, kerugian yang diderita Kerata Api selama lima tahun terakhir -- sebesar Rp 2,9 triliun (actual loss) plus Rp 1,14 triliun (potential loss) -- bukan sebagai konsekuensi menggelar layanan yang berfungsi sosial (kereta api ekonomi). Kerugian itu lebih karena faktor manajemen yang tidak profesional.

Memang, menurut hasil audit, kerugian itu antara lain terkait dengan tingginya angka penumpang tak bertiket -- terutama di kelas ekonomi. Tapi, bagaimanapun, persoalan teknis semacam itu bisa dihindari atau dicegah bila asas manajemen modern benar-benar konsekuen dan konsisten diterapkan. Justru itu, lagi-lagi persoalan pun bermuara pada sikap-tindak manajemen yang tidak profesional sesuai tuntutan asas good corporate governance.

Begitu juga dengan PT Pusri: kerugian tertoreh karena inefisiensi. Kalau ditelisik, inefisiensi itu sendiri menggejala karena pihak manajemen gagal mengantisipasi perubahan kebijakan pemerintah. Ketika pemerintah mencabut subsidi pupuk, dan tata biaga komoditas tersebut dibebaskan, manajemen PT Pusri kelabakan oleh kenyataan yang mereka hadapi: permintaan pasar menurun. Strategi mereka menyiasati kenyataan itu pun ternyata malah melahirkan banyak piutang tak tertagih alias macet.

Tampaknya, PT Pusri telanjur keenakan oleh pola lama yang mengondisikan perusahaan menggeliat bukan karena dinamika pasar, melainkan lebih karena kebijakan pemerintah berupa kucuran subsidi produk dan tata niaga komoditas yang mereka hasilkan. Asas good corporate governance pun, notabene demikian gencar didengungkan dalam beberapa tahun terakhir, nyaris tak memiliki makna bagi kiprah bisnis PT Pusri ini. Sikap mereka yang telanjur keenakan oleh kebijakan pemerintah membuat asas good corporate governance hanya menjadi slogan.

Tapi mungkin kerugian yang tertoreh ini tak sepenuhnya merupakan kesalahan atau kelemahan pihak manajemen BUMN. Boleh jadi, pemerintah juga punya andil. Sedikit banyak, sikap-tindak atau kebijakan pemerintah sendiri seolah mengondisikan BUMN sulit bisa bergerak profesional. Penunjukan direksi, misalnya, hampir selalu beraroma KKN. Kepentingan tertentu di luar konteks bisnis BUMN sendiri acap lebih menentukan dalam pemilihan direksi ini ketimbang aspek kualitatif berupa kecakapan atau profesionalisme.

Lalu bagaimana? Tak bisa lain, mengharapkan BUMN benar-benar profesional dan konsekuen menerapkan asas good corporate governance jelas menuntut perubahan sikap mental secara mendasar: di kalangan direksi BUMN sendiri maupun di jajaran pengambil kebijakan di pemerintahan. Cerita atau laporan tentang BUMN menanggung rugi besar tak akan pernah berakhir selama soal sikap mental ini tak kunjung berubah. Padahal kerugian BUMN adalah juga kerugian publik: karena sedikit banyak itu langsung berimplikasi terhadap keuangan negara.

Jadi, haruskah kerugian BUMN ini tak pernah berakhir?***
Jakarta, 11 November 2003

07 November 2003

Net Importer Minyak

Dulu, setiap kali harga minyak mentah di pasar internasional melonjak di atas patokan dalam APBN, kita -- khususnya pemerintah -- bisa bersorak gembira. Ya, karena lonjakan itu membuat kita memeroleh rezeki nomplok (windfall profit) berupa selisih harga antara harga patokan dalam APBN dan harga yang terbentuk di pasar internasional. Makin banyak minyak yang kita ekspor, makin besar pula rezeki nomplok yang kita nikmati.

Tapi sekarang tidak lagi. Kenaikan harga minyak mentah yang jauh melampaui patokan dalam APBN justru terasa menyesakkan. Seperti sekarang ini: harga mentah di pasar internasional yang bertahan di atas 27 dollar AS per barel membuat pemerintah bisa menangguk windfall profit sebesar Rp 7 triliun. Tapi di lain pihak, kenaikan harga minyak mentah ini justru menorehkan tambahan subsidi bahan bakar minyak (BBM) sebesar Rp 11 triliun.

Walhasil, pemerintah pun harus menombok APBN sebesar Rp 4 triliun untuk menambah subsidi BBM. Apa boleh buat karena subsidi yang dipatok dalam APBN hanya sekitar Rp 14 triliun, gara-gara harga minyak mentah naik jauh di atas patokan APBN, membengkak menjadi sekitar Rp 21 triliun.

Kenyataan itu bisa terjadi karena di samping mengekspor, kini kita juga mengimpor minyak mentah -- bahkan plus BBM -- dengan volume yang hampir setara dengan ekspor. Dalam ungkan keren, kita sekarang ini sebenarnya sudah menjadi net importer minyak.

Dirjen Migas Iin Arifin Takhyan membeberkan, setiap tahun kita kini rata-rata mengimpor minyak mentah -- untuk diolah di kilang-kilang Pertamina -- sebanyak 250.000 barrel per hari. Di sisi lain, impor BBM dalam setahun sekitar 150.000 hingga 250.000 barel per hari sesuai kebutuhan pasar dalam negeri.

Kebutuhan akan BBM sendiri di dalam negeri terus meningkat. Padahal cadangan minyak kita sudah mulai berkurang -- hingga kilang-kilang di dalam negeri yang total berkapasitas 1 juta barel minyak pun hanya terpenuhi rata-rata 750.000 barel per hari. Itu pula yang memaksa pemerintah kini mengimpor minyak mentah rata-rata sebanyak 250.000 barel per hari.

Untuk mengurangi jumlah impor, produksi minyak di dalam negeri jelas harus digenjot. Pemerintah sendiri, dalam kaitan ini, terus berupaya mengundang investor agar tergerak melakukan eksplorasi dan eksploitasi guna mencari cadangan baru minyak di perut bumi kita.

Tapi itu tidak mudah. Itu bukan saja terkait dengan iklim investasi di dalam negeri -- notabene dewasa ini secara keseluruhan kurang menggairahkan kalangan pemilik modal --, melainkan juga terutama amat bergantung pada kenyataan bahwa kegiatan eksplorasi dan eksploitasi cadangan baru minyak ini membutuhkan waktu relatif lama.

Itu berarti, paling tidak dalam jangka pendek dan menengah kita masih sulit menekan impor minyak mentah. Terlebih lagi peningkatan konsumsi BBM di dalam negeri tampaknya sulit dibendung. Dengan kata lain, entah hingga berapa lama lagi -- atau jangan-jangan selamanya -- kita akan tetap menjadi net importer minyak.

Kesadaran tentang itu sungguh penting -- karena posisi kita sebagai net impoter minyak ini melahirkan implikasi tidak ringan terhadap beban keuangan negara. Dalam konteks ini, kita harus menyadari bahwa subsidi BBM sebenarnya makin tidak relevan. Seperti paparan di atas, dari segi anggaran negara, subsidi BBM sungguh tidak produktif.

Pemerintah sendiri, sebenarnya, sudah mulai mengurangi subsidi BBM ini sejak 1999 silam. Implikasinya, setahap demi setahap, harga BBM tak lagi terasa murah-meriah seperti di masa lalu. Bahkan, pada tahun anggaran mendatang, hanya tinggal minyak tanah yang masih memeroleh subsidi pemerintah ini. Itu pun spesifik diperuntukkan bagi kalangan rumah tangga dan usaha kecil menengah (UKM).

Langkah pengurangan subsidi ini tampaknya akan terus berlanjut sampai akhirnya -- sesuai UU Propenas -- tak lagi dikucurkan. Lalu, sebagai kompensasinya -- seperti sudah dilakukan selama tiga tahun terakhir -- dana subsidi BBM ini disalurkan ke sektor-sektor tertentu yang lebih mengusung fungsi manfaat bagi kehidupan masyarakat banyak, khususnya kalangan lapisan bawah.

Secara prinsip, kita setuju terhadap langkah pengurangan atau penghapusan subsidi BBM ini. Tapi kita perlu menekankan bahwa program kompensasi harus dibuat lebih terarah lagi. Melihat apa yang terjadi di lapangan selama ini, pelaksanaan program kompensasi subsidi BBM masih banyak melenceng alias tidak benar-benar tepat sasaran. Justru itu, program tersebut selama ini amat kental mengundang persepsi sebagai langkah yang menyengsarakan rakyat kecil.***
Jakarta, 07 November 2003

02 November 2003

Evian Approach Kok Ditampik?

Beban utang pemerintah sudah demikian berat dan potensial menjadi jebakan utang (debt trap) di masa datang. Memang, sekarang ini risiko gagal bayar (default risk) utang pemerintah ini sudah menurun lumayan berarti. Bisa dipahami jika kepercayaan kalangan investor dalam maupun luar negeri terhadap kemampuan pemerintah mengelola utang pun membaik kembali. Karena itu pula, stabilisasi kurs rupiah sudah mulai bisa tercipta.

Di sisi lain, tingkat bunga juga terdorong turun signifikan. Sementara lembaga pemeringkat utang internasional seolah berlomba memerbaiki (upgrade) peringkat utang kita. Setelah Moody's, Standar & Poor's pun ikut-ikutan mendongkrak peringkat utang kita ini.

Penurunan default risk ini juga tercermin dalam penciutan cukup berarti rasio utang Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) selama beberapa tahun terakhir. Jika tiga tahun lalu rasio utang Indonesia ini masih sekitar 100 persen, tahun ini angka itu sudah menurun menjadi sedikit di atas 70 persen PDB.

Jelas kenyataan yang menunjukkan bahwa default risk ini menurun bukan sesuatu yang terjadi dengan sendirinya. Kenyataan itu adalah buah berbagai langkah yang diayunkan pemerintah. Sebut saja penataan ulang profil (reprofiling) obligasi yang jatuh tempo, pembelian kembali (buy back) obligasi, juga stabilisasi makro ekonomi.

Pemerintah sendiri menyatakan bahwa kebijakan-kebijakan yang bersipat mengurangi risiko default dalam membayar utang yang jatuh tempo dalam waktu dekat ini masih akan digulirkan. Reprofiling obligasi, misalnya, ke depan ini dilakukan lagi -- khususnya, seperti kata Menkeu Boediono -- melalui mekanisme pasar, tidak lagi bilateral seperti selama ini.

Walhasil, paling tidak untuk dua tahun ke depan, pemerintah terhindar dari kewajiban membayar utang yang jatuh tempo dalam jumlah besar. Dampaknya juga lumayan: membantu meringankan beban keuangan negara di tengah kondisi pasca-IMF yang memaksa APBN harus dikuras banyak untuk membayar utang. Tahun depan, misalnya, dana APBN yang harus dialokasikan untuk membayar utang kepada IMF yang jatuh tempo ini bernilai sekitar 2 miliar dolar AS.

Tetapi kita tak boleh terlena dan lengah. Bisa-bisa default risk kelak benar-benar tak bisa kita hindari lagi -- karena beban utang sudah amat menggunung dan menjadi perangkap. Terus-terang, perangkap jebakan utang ini makin serius membayangi kita. Apa mau dikata, memang, karena langkah-langkah seperti reprofiling obligasi yang dilakukan pemerintah pada dasarnya tak lebih dari sekadar menggeser beban utang saat ini ke masa depan.

Jadi, default risk yang sudah bisa dihindari pemerintah sebenarnya adalah kelegaan semu -- karena sama sekali tidak mengurangi beban utang. Bahkan berbagai langkah yang ditempuh pemerintah untuk itu malah membuat utang di masa depan kian menggunung. Justru itu, jika tak awas, beban utang ini kelak benar-benar menjadi perangkap yang mematikan. Rasio utang terhadap PDB pun pasti membengkak lagi. Konsekuensi lebih jauh, kepercayaan dunia internasional terhadap ekonomi kita bisa benar-benar luntur. Ini niscaya melahirkan efek lanjutan yang sungguh mencemaskan karena bisa membuat ekonomi kita hancur.

Semangat itu pula yang disiratkan DPR, pekan lalu, dengan mendesak pemerintah agar mengupayakan fasilitas rescheduling utang ini kepada para kreditur. Memang, sebagai konsekuensi pengakhiran program kerja sama dengan IMF pada akhir tahun ini, kita tak bisa lagi berharap menikmati fasilitas rescheduling utang di forum Paris Club. Tetapi, amat kebetulan, akhir Oktober lalu Kelompok Delapan Negara Maju (G-8) menyepakati kebijakan baru yang disebut Evian Apprroach.

Kebijakan itu merujuk pada skema baru pengurangan beban utang bagi negara yang tidak tergolong miskin atau non-HIPIC (Heavily Indebted Poor Income Country). Melalui Evian Approach, negara debitur berkesempatan menegosiasikan utang luar negeri secara bilateral dengan negara kreditor.

Namun belum-belum seorang pejabat kita sudah menyatakan bahwa Indonesia tidak akan memanfaatkan fasilitas Evian Approach ini. Konon, itu karena sekarang ini kita masih mampu membayar utang.

Terus-terang, kita menilai pernyataan itu terkesan sombong dan angkuh. Pernyataan itu amat menyepelekan risiko kita terjebak beban utang di masa datang. Sekarang ini kita memang masih mampu membayar utang. Tapi, sekali lagi, pada tahun-tahun mendatang beban utang kita tidak makin berkurang.

Justru itu, mestinya kita arif memelajari berbagai kemungkinan dan peluang mengurangi beban utang ini -- termasuk menimbang Evian Approach. Sudah tak sepantasnya lagi kita mati-matian mematut diri menjadi a good boy dalam soal utang luar negeri ini. Bagaimanapun itu terlalu mewah dan menipu diri.***
Jakarta, 2 November 2003