28 Desember 2014

Risiko Low Cost Carrier

Terlepas dari apa yang menjadi penyebab pesawat AirAsia QZ 8501 hilang kontak dalam penerbangan Surabaya-Singapura, kemarin, musibah tersebut serta-merta menggugah kesadaran bahwa maskapai penerbangan berharga tiket murah (low cost carrier) sarat risiko. Itu ditunjukkan oleh fakta bahwa sederet kasus kecelakaan dalam dunia penerbangan nasional selama beberapa tahun terakhir melibatkan low cost carrier.

Tingginya risiko low cost carrier ini tak terhindarkan karena biaya operasional mereka tekan habis-habisan. Bagi mereka, strategi tersebut tak bisa ditawar-tawar lagi. Jika tidak, mereka tak akan pernah sanggup masuk pasar sebagai low cost carrier.

Biaya operasional yang ditekan habis-habisan itu meliputi banyak aspek. Pesawat uzur, misalnya, lazim disewa karena memang murah. Lalu  perawatan pesawat relatif longgar, penggantian suku cadang dilakukan secara kanibal, juga pelayanan di atas kabin tanpa sajian konsumsi. Pokoknya, efisiensi ekstra ketat dilakukan di segala lini.

Di sisi lain, operasional penerbangan low cost carrier ini justru benar-benar digenjot. Laiknya angkutan kota kejar setoran, frekuensi maupun rute penerbangan mereka sangat padat.

Untuk itu, regulasi pun tak segan mereka tabrak. Ketentuan tentang jam terbang pilot ataupun pesawat, misalnya, cenderung diabaikan. Kelengkapan peralatan pesawat selama mengudara juga bisa di bawah standar.

Kenyataan itu, tak bisa tidak, membuat keselamatan penerbangan penerbangan low cost carrier ini menjadi sangat berisiko. Terlebih, seperti sudah disinggung, fakta tentang serangkaian musibah penerbangan low cost carrier sudah memberi pembenaran tentang itu.

Itu pula yang beberapa tahun lalu menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan tingkat kecelakaan penerbangan terbilang tinggi: mulai dari terjatuh (crash) hingga sekadar tergelincir di landasan. Persentase kecelakaan pesawat Indonesia pernah mencapai 1,3 persen. Itu jauh di atas ambang ideal sebesar 0,35 persen.

Boleh jadi, angka itu sudah berubah menjadi membaik. Paling tidak, karena beberapa maskapai penerbangan secara bertahap mulai meninggalkan strategi low cost. Sebuah maskapai yang terbilang agresif sebagai low cost carrier, misalnya, beberapa waktu lalu memesan seratus pesawat baru kepada pabrikan guna memperkuat armada mereka.

Meski begitu, secara keseluruhan praktik low cost carrier ini tetap marak. Gambaran tentang itu gamblang tecermin dari suasana berbagai bandara di dalam negeri yang begitu hiruk-pikuk bak pasar malam. Tak terkecuali Bandara Internasional Soekarno-Hatta di Tangerang, Banten, praktis tak lagi mampu tampil sebagai pintu gerbang Indonesia akibat padatnya pengguna jasa penerbangan ini -- notabene disumbang oleh keberadaan sejumlah masakapai yang menerapkan strategi low cost.

Selain itu, praktik low cost carrier ini juga sangat memukul
industri jasa angkutan bus. Sejumlah perusahaan otobus yang melayani rute jarak jauh (antarprovinsi) kini megap-megap -- bahkan sebagian sudah gulung tikar -- karena kalah bersaing oleh jasa maskapai bertarif murah ini.

Kenyataan itu menegaskan bahwa industri penerbangan di dalam negeri harus ditata ulang. Di satu sisi, industri penerbangan tak boleh dibiarkan mematikan industri angkutan bus antarprovinsi. Di sisi lain, aspek keselamatan penerbangan -- terutama maskapai yang menerapkan strategi low cost -- perlu dibuat benar-benar terjamin.

Untuk itu, audit penyelenggaraan low cost carrier beralasan dilakukan.***

Jakarta, 28 Desember 2014

23 Desember 2014

Siap dan Sigap Menghadapi Bencana

Pernyataan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), bahwa puncak musim hujan diperkirakan Januari dan Februari 2015, harus segera disikapi secara serius oleh para pemangku kebijakan. Pengalaman menunjukkan, puncak musim hujan indentik dengan bencana banjir dan tanah longsor. Bahkan, sebagaimana tecermin dalam kasus Banjarnegara, alam sudah memberi sinyal bahwa bencana banjir atau tanah longsor tidak melulu bisa terjadi saat puncak musim hujan.

Karena itu, sejak sekarang para pemangku kebijakan harus sudah mulai menyiapkan program menyeluruh di bidang kebencanaan: mulai dari deteksi dini, pencegahan, tanggap darurat, hingga rehabilisasi. Dengan demikian, manakala bencana alam menerpa seiring musim hujan, mereka tak harus tergagap-gagap seperti selama ini.

Sikap tidak siap para pemangku kebijakan menghadapi bencana alam acap melahirkan tindakan-tindakan tidak patut. Selain lamban, tindakan mereka juga serba instan dan parsial. Akibatnya, bencana melahirkan risiko besar dan kepedihan mendalam. Sekian banyak orang sengsara. Bahkan kadang tak sedikit pula orang  tewas sia-sia. Kerugian harta benda juga bisa sangat besar.

Risiko seperti itu jelas tak harus terjadi kalau saja para pemangku kebijakan siap dan sigap menghadapi bencana alam. Artinya, mereka melek mitigasi bencana sehingga juga sejak jauh hari sudah menyiapkan program-program siaga bencana.

Dengan itu, risiko bencana -- entah menyangkut keselamatan manusia ataupun kerugian material -- bisa diminimalisasi. Ibu kota Jakarta, misalnya, tetap tergenang banjir. Tetapi dengan program persiapan menyeluruh untuk menghadapi bencana alam, jumlah titik genangan bisa diharapkan tak kelewat banyak. Genangan juga tak sampai berlama-lama.

Para pemangku kebijakan memang harus melek mitigasi. Mereka mutlak harus menahami rangkaian kegiatan untuk meminimalisasi risiko bencana, baik jiwa maupun materi.

Untuk itu, mereka tak harus menempuh pendidikan khusus. Mereka cukup mempelajari dengan baik UU Nomor 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana. Undang-undang tersebut memberi panduan rinci tentang langkah-langkah yang harus dilakukan sejak sebelum bencana, saat tanggap darurat, dan saat pascabencana.

Jadi, menghadapi musim hujan kali ini, para pemangku kebijakan seharusnya tak beralasan lagi gugup atau apalagi gagap menghadapi bencana banjir atau tanah longsor. Mereka tak boleh sampai tetap tidak paham atau alpa mitigasi bencana alam.

Tak boleh dilupakan bahwa mitigasi termasuk mengedukasi masyarakat luas agar juga siap dan sigap menghadapi bencana alam. Selama ini, kegiatan tersebut seperti tak pernah masuk agenda pemerintah. Boleh jadi, itu karena para pemangku kebijakan sendiri alpa atau tak mengerti mitigasi bencana.

Mengedukasi masyarakat mengenai bencana alam ini sangat penting. Edukasi memungkinkan korban jiwa, terutama, bisa dihindarkan berjumlah banyak. Karena itu, kegiatan tersebut tak boleh dianggap remeh. Edukasi masyarakat wajib diselenggarakan negara.

Namun anggaran untuk itu bisa dipastikan morat-marit. Sebasb total anggaran penanggulangan bencana dalam APBN 2014 hanya sebesar Rp 1 triliun. Anggaran tersebut terlampau kecil dibanding risiko bencana yang bisa terjadi.

Karena itu pula, program edukasi mitigasi bencana bagi masyarakat luas pun sulit diharapkan mendapat porsi besar. Dana APBN niscaya lebih banyak tersedot untuk tanggap darurat dan penanganan pascabencana. 
 
Bagi negeri sarat bencana alam seperti Indonesia, seharusnya alokasi anggaran penanggulangan bencana mendapat perhatian khusus -- tidak ecek-ecek alias sekadarnya saja.***

Jakarta, 23 Desember 2014

19 Desember 2014

Perselingkuhan di Kalangan Hakim

Hakim adalah wakil Tuhan di bumi dalam urusan penegakan keadilan. Perumpamaan tersebut menunjukkan bahwa hakim harus menjunjung tinggi-tinggi moralitas.

Tanpa moral tinggi, hakim sungguh tak bisa diharapkan bisa menegakkan keadilan. Bahkan, boleh jadi, hakim justru meruntuhkan keadilan. Bisa-bisa keadilan diperlakukan sebagai komoditas yang dipermainkan sesuka hakim.

Jadi, bagi hakim, moralitas tinggi adalah soal mutlak. Dengan moralitas tinggi, integritas profesional hakim bisa terjaga baik. Dengan itu pula, hakim sebagai bagian lembaga peradilan benar-benar menjadi sandaran pencari keadilan.

Namun dalam realitas kehidupan sehari-hari kita di Indonesia sekarang ini, moralitas hakim sungguh memrihatinkan. Berderet kasus perselingkuhan seksual yang dilakukan oknum hakim adalah gambaran terang-benderang tentang itu.

Entah sudah berapa banyak hakim yang telak-telak terbongkar melakukan perselingkuhan seksual ini. Entah sudah berapa banyak pula hakim yang terbukti selingkuh dikenai sanksi pemecatan oleh Majelis Kehormatan Hakim yang terdiri dari unsur Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.

Meski begitu, toh kasus hakim yang terlibat perselingkuhan seksual  ini terus saja terjadi. Mereka seolah tidak takut bahwa tindakan tersebut bukan cuma tercela secara moral dan etik, melainkan juga berisiko menghancurkan karier mereka.

Perselingkuhan seksual merupakan bukti bahwa integritas hakim (juga profesi lain) sudah menguap entah ke mana. Moralitas hakim sudah hancur lebur. Itu berarti, perumpamaan bahwa hakim adalah wakil Tuhan di bumi dalam urusan penegakan keadilan sudah runtuh.

Sederhana saja: kalau sudah berselingkuh dalam urusan ranjang, maka dalam urusan penegakan peradilan pun hakim tak akan segan-segan berselingkuh pula. Dia tidak akan ragu dan tidak akan  malu menyelingkuhi pencari keadilan. Dia memperlakukan keadilan tak lebih sebagai komoditas.

Kecenderungan itu sungguh merisaukan -- karena menjadi ancaman serius bagi tertib hukum maupun sosial. Manakala moralitas hakim sudah porak-poranda, kehidupan bersama niscaya menjadi kacau.

Karena itu, tindak perselingkuhan seksual di kalangan hakim tak bisa dipandang sebagai masalah remeh -- seolah sekadar fenomena sosial. Tindak perselingkuhan di kalangan hakim ini harus dibaca sebagai tanda-tanda keruntuhan tatanan hukum. Sebagai tanda-tanda kehancuran keadilan dalam kehidupan bersama sebagai masyarakat maupun sebagai bangsa.

Walhasil, fenomena itu harus mendapat perhatian serius pihak-pihak terkait. Terutama pihak-pihak berkompeten, seperti Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial, harus menjadikan tindak perselingkuhan seksual di kalangan hakim ini sebagai prioritas pembenahan. Jika tidak, itu tadi, keadilan niscaya menguap. Hakim pun bukan lagi wakil Tuhan di bumi dalam urusan penegakan keadilan.***

Jakarta, 19 Desember 2014

15 Desember 2014

Aklamasi sebagai Proses Demokrasi

Setelah Aburizal Bakrie dalam Munas IX Partai Golkar di Nusa Dua, Bali, belum lama ini, tampaknya Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono juga akan terpilih secara aklamasi masing-masing sebagai orang nomor satu di PDIP dan Partai Demokrat. Kedua partai tersebut dalam waktu dekat ini menggelar perhelatan akbar berupa munas yang antara lain akan memilih ketua umum dan kepengurusan baru.

Dalam forum itulah Megawati dan Yudhoyono kemungkinan besar terpilih secara aklamasi untuk tetap memimpin partai masing-masing dalam periode kepengurusan lima tahun ke depan. Tanda-tanda ke arah itu, antara lain, terbaca dari keengganan orang untuk maju mencalonkan diri guna merebut posisi orang nomor satu di partai. Mereka enggan maju karena sadar betul bahwa dukungan terhadap Megawati di PDIP dan Yudhoyono di Partai Demokrat masih sangat besar.

Kalaupun ada satu-dua tokoh yang sempat menunjukkan minat merebut kursi orang nomor satu partai, mereka terkesankan ragu atau kurang percaya diri -- dan karena itu belakangan mereka menarik diri. Mereka sadar betul  tak bakal memperoleh banyak dukungan selama Megawati di PDIP dan Yudhoyono di Partai Demokrat masih bersedia menjadi lokomotif partai masing-masing untuk periode kepengurusan mendatang.

Entah di PDIP ataupun di Partai Demokrat, tak ada tokoh lain kecuali Megawati dan Yudhoyono yang memiliki kans besar bisa terpilih sebagai pucuk pimpinan di masing-masing partai. Hanya dua tokoh itu yang dinilai bisa diandalkan dan sanggup memimpin partai masing-masing dalam menghadapi gelombang tantangan dalam periode kepengurusan lima tahun ke depan.

Jadi, sekali lagi, Megawati di PDIP dan Yudhoyono di Partai Demokrat sangat mungkin terpilih secara aklamasi sebagai pucuk pimpinan. Itu sama sekali bukan masalah. Proses pemilihan secara aklamasi tidak tabu dan bukan cela dalam praktik berdemokrasi.

Adalah keliru  -- bahkan menyesatkan -- anggapan bahwa proses pemilihan secara aklamasi tidak demokratis. Sepanjang bersifat murni -- bukan rekayasa atau diwarnai pemaksaan -- aklamasi adalah proses pemilihan yang demokratis.

Karena itu, aklamasi tidak bisa dipertentangkan dengan proses pemilihan melalui mekanisme pemungutan suara alias voting. Aklamasi tak boleh dianggap seolah kalah demokratis dibanding voting. Keduanya -- aklamasi dan voting -- merupakan satu kesatuan dalam proses demokrasi di Indonesia. Voting merupakan pilihan dan jalan keluar terakhir dalam proses demokrasi manakala aklamasi tak menelurkan hasil dalam sebuah proses pemilihan. 

Aklamasi adalah praktik demokrasi khas Indonesia. Aklamasi adalah kearifan lokal yang digali dan diaplikasikan para bapak bangsa (the founding fathers) sebagai bagian proses berdemokrasi. Bahkan kearifan tersebut mereka wariskan lewat Sila Keempat Pancasila.

Karena itu, aklamasi tak bisa dinafikan dalam proses demokrasi di Indonesia sekarang ini. Penafikan aklamasi dengan segala sinisme bukan hanya ahistoris, melainkan juga ironis. Ironis, itu tadi, karena pihak yang mengklaim sebagai pendekar demokrasi justru menganggap aklamasi seolah merupakan cela atau nista. Padahal aklamasi adalah proses demokrasi juga sebagaimana voting.

Penafikan aklamasi sebagai proses demokrasi lebih merupakan cerminan sikap kerdil orang dalam menghadapi persaingan secara sehat dan fair. Sikap tersebut hanya dimiliki oleh para pecundang.***

Jakarta, 15 Desember 2014

04 Desember 2014

Kedaulatan Wilayah Perairan


Instruksi Presiden Joko Widodo (Jokowi) tentang penenggelaman kapal pencuri ikan jelas bukan tindakan ala kaum barbar. Bukan pula tindakan unjuk taring ala koboi western ataupun gangster Sicilia. Instruksi itu adalah titah beradab dan bermartabat, yakni dalam rangka menegakkan kedaulatan kita atas wilayah perairan laut.

Karena itu, instruksi tadi harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya oleh aparat terkait, khususnya TNI-AL. Terlebih kapal yang harus ditenggelamkan itu -- untuk tahap pertama eksekusi tersebut dilakukan Sabtu besok terhadap tiga unit kapal -- nyata-nyata terbukti  sesuai proses hukum melakukan pelanggaran atas kedaulatan kita di wilayah perairan: mencuri ikan.

Dengan menenggelamkan tiga kapal itu, pemerintah ingin menyampaikan pesan kepada khalayak dunia -- khususnya industri perikanan -- bahwa mulai sekarang jangan sekali-kali melanggar wilayah perairan laut Indonesia. Juga jangan lagi berani-berani menangguk kekayaan laut kita secara ilegal.

Dengan pesan itu, khalayak dunia diharapkan mafhum bahwa sekarang ini kedaulatan wilayah laut Indonesia benar-benar dijaga dan ditegakkan. Artinya, setiap pelanggaran pun niscaya ditindak tegas: diproses hukum. Sanksi atas pelanggaran itu sendiri sangat lugas: selain kapal ditenggelamkan, anak buah kapal pun dijebloskan ke bui.

Selama ini, memang, wilayah perairan laut kita  nyaris seperti tak bertuan. Kapal-kapal milik asing begitu leluasa menguras sumber daya milik kita di laut, terutama ikan. Ini mengakibatkan negara menanggung rugi lumayan besar: sekitar Rp 300 triliun per tahun.

Tetapi kerugian terbesar adalah wibawa dan marwah kedaulatan kita atas wilayah perairan laut praktis pudar -- dan karena itu cenderung tak dihargai dunia internasional. Pihak asing sama sekali tidak segan ataupun takut memasuki dan menjarah kekayaan di wilayah laut kita.

Kenyataan itu merupakan bukti bahwa kita selama ini kurang peduli terhadap wilayah laut. Kesadaran dan komitmen kita untuk menegakkan kedaulatan wilayah perairan ini begitu tipis. Demikian tipis, sampai-sampai tindak pencurian ikan oleh kapal-kapal milik asing pun nyaris seolah dibiarkan saja.

Kekeliruan itu pula yang coba dikoreksi pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi sekarang ini. Seiring dengan tekad menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia, Jokowi memandang penegakan kedaulatan wilayah perairan kita sebagai soal pertama dan utama yang harus dilakukan pemerintah.

Tentu, segenap pihak patut atau bahkan wajib mendukung langkah itu. Tetapi pemerintah sendiri harus solid. Selama ini, pengamanan wilayah perairan kita begitu lemah juga karena berbagai institusi pemerintahan terjebak dalam ego sektoral. Masing-masing institusi tidak mampu bekerja sama mewujudkan diri sebagai  kesatuan yang padu dan solid dalam satu fungsi. Bahkan, karena tarikan ego sektoral, masing-masing tidak jarang saling berbenturan atau saling menafikan peran.

Menyolidkan berbagai institusi itu pasti tidak mudah. Terutama karena selama puluhan tahun masing-masing telanjur mengembangkan kultur sendiri, termasuk memelihara kepentingan sektoral. Kenyataan tersebut niscaya menjadi tantangan tersendiri dan paling sulit untuk bisa diatasi. Karena itu, upaya menyolidkan tim pemerintah yang memangku fungsi-fungsi penegakan kedaulatan kita di wilayah perairan ini harus menjadi prioritas dan dilakukan serius. Jika tidak, tim tersebut niscaya menjadi kerikil dalam sepatu bagi keinginan politik Presiden Jokowi menegakkan kedaulatan wilayah laut kita.***

Jakarta, 4 Desember 2014

03 Desember 2014

Korupsi Masih Menjadi Kanker Stadium Lanjut

Perbaikan indeks korupsi Indonesia dalam kancah global, yang kemarin dipublikasikan Transparency International, jelas melegakan. Skor Indonesia dalam masalah korupsi naik 2 poin menjadi 34 dibanding tahun lalu. Skor 0 berarti terkorup dan skor 100 tebersih.

Dengan itu, indeks korupsi Indonesia membaik dari 114 pada tahun lalu menjadi 107 tahun ini. Artinya, posisi Indonesia dalam urusan korupsi berada di peringkat 107 -- bersama-sama dengan Argentina dan Djibouti.

Posisi Indonesia masih jauh di bawah negara-negara tetangga seperti Filipina, Thailand, Malaysia, ataupun Singapura. Sementara negara-negara yang dinilai paling bersih adalah Denmark, Selandia Baru, Finlandia, Swedia, dan Norwegia. Jerman berada di peringkat 12, Jepang 15, dan Amerika Serikat 17.

Total negara yang diperiksa soal indeks persepsi korupsi ini adalah 174. Itu berarti, korupsi di Indonesia masih tetap merupakan masalah memrihatinkan dibanding di sejumlah negara yang dipantau Transparency International. Korupsi di Indonesia masih serius menjadi kanker yang menggerogoti sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Tanpa mengurangi apresiasi terhadap upaya berbagai pihak selama ini, terutama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kenyataan itu menunjukkan bahwa perang melawan korupsi relatif masih sedikit membuahkan hasil. Artinya, penyakit korupsi di Indonesia tetap terbilang sangat akut. Ibarat tanaman, korupsi di Indonesia sudah berurat-berakar sekaligus beranak-pinak.

Dalam kondisi seperti itu, secara terang-terangan ataupun tidak, secara halus ataupun kasar, gerakan pembarantasan korupsi sendiri mengalami perlawanan. Institusi KPK, misalnya, coba digembosi -- antara lain dengan merevisi perundangan, kriminalisasi pimpinan, atau penarikan tenaga penyidik.

Boleh jadi juga, korupsi di Indonesia masih saja merupakan kanker stadium lanjut karena pemerintah selama ini terbilang lembek dalam memeranginya. Itu, antara lain, tecermin dari obral remisi terhadap terpidana kasus korupsi. Belum lagi mereka juga diberi  perlakukan-perlakukan istimewa, seperti bebas menikmati kemewahan selama dalam tahanan -- bahkan bisa mengikuti pendidikan pascasarjana!

Perang melawan korupsi bukan cuma harus solid melibatkan berbagai elemen bangsa, juga menuntut komitmen politik secara penuh -- tak bisa setengah hati. Untuk itu, strategi radikal harus dianut. Misalkan, terpidana kasus korupsi tidak diberi hak remisi alias pengurangan hukuman. Hak mereka berpolitik juga dicabut sepanjang hayat, sementara secara sosial mereka dimiskinkan. Jika memungkinkan, terpidana kasus korupsi ini juga dikenai hukuman mati.

Pokoknya, terutama di sisi penindakan, perang melawan korupsi harus benar-benar menimbulkan efek jera. Selama efek hera tak bisa tercipta, selama itu pula korupsi cenderung tidak dipandang sebagai tindakan hina, haram, dan mengerikan. Bisa-bisa, laiknya judi, korupsi lebih dipandang sebagai soal peruntungan: kalau terbongkar, ya itu sekadar nasib sial yang tak perlu disesali.

Secara keseluruhan, perang melawan korupsi ini menuntut tata kelola pemerintahan yang baik konsisten dan konsekuen diterapkan. Sejumlah studi sudah menunjukkan bahwa antara korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik terdapat hubungan timbal balik. Negara dengan tata kelola pemerintahan baik cenderung kecil dijangkiti penyakit korupsi. Sebaliknya, di negara dengan tingkat korupsi tinggi, kondisi tata kelola pemerintahan buruk.

Jadi, jangan perlakukan tata kelola pemerintahan sekadar basa-basi atau ajang pencitraan yang serba semu.***

Jakarta, 3 Desember 2014

24 November 2014

Penaikan Harga BBM, Ujian Pertama Pemerintah

Penaikan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi, yang hampir pasti dilakukan sebelum pergantian tahun, akan menjadi ujian pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam mengendalikan dampak sosial-ekonomi kebijakan tersebut. Ujian ini sekaligus akan menjadi tolok ukur kesungguhan pemerintah bekerja dan hanya bekerja sesuai jargon Jokowi.

Selama ini, penaikan harga BBM subsidi selalu berdampak menyusahkan rakyat kebanyakan. Akibat kualitas perencanaan begitu buruk, gejolak sosial-ekonomi yang timbul -- terutama lonjakan harga barang dan jasa -- praktis tak terkendali. Pemerintah keteteran atau bahkan tak mampu menaklukkan keliaran pasar.

Kenyataan seperti itu harus menjadi pelajaran berharga pemerintahan Jokowi. Apalagi Jokowi sendiri berkomitmen besar melindungi rakyat. Jokowi tak ingin penaikan harga BBM subsidi berdampak menyengsarakan rakyat banyak.

Bagi Jokowi, penaikan harga BBM subsidi benar-benar harus menjadi pilihan strategis untuk menyehatkan kondisi ekonomi nasional. Penaikan harga BBM subsidi juga harus bermuara kepada perbaikan kesejahteraan rakyat.

Untuk itu, menteri-menteri terkait harus solid dan cerdas dalam merumuskan langkah-langkah antisipasi tentang dampak negatif penaikan harga BBM subsidi ini. Terutama  sektor transfortasi dan logistik jangan sampai kelewat terbebani oleh tindak penyesuaian harga yang tidak terkontrol atau tak terkendali. Dengan demikian, secara keseluruhan inflasi pun bisa bergerak dalam rentang yang dapat ditoleransi.

Masyarakat sendiri menaruh ekspektasi tinggi terhadap pemerintahan Jokowi dalam mengelola ekonomi nasional, termasuk menyangkut kebijakan di bidang energi. Masyarakat bisa memaklumi dan secara psikologis juga  siap menghadapi penaikan harga BBM subsidi ini. Resistensi masyarakat terhadap kebijakan itu relatif rendah karena mereka berkeyakinan bahwa pemerintah mampu mengendalikan dampak sosial-ekonomi yang kemudian timbul.

Kondisi tersebut merupakan modal amat berharga bagi pemerintahan Jokowi dalam mengambil langkah penaikan harga BBM subsidi ini. Modal tersebut tak boleh tersia-siakan akibat tindakan-tindakan under perform jajaran pemerintahan, terutama setelah harga BBM subsidi resmi dinaikkan.

Tak kurang penting juga bagi pemerintah adalah meraih dukungan parlemen. Tanpa dukungan parlemen, penaikan harga BBM subsidi sulit dilakukan. Padahal, sebagaimana sering diungkapkan sendiri oleh Jokowi, penaikan harga BBM subsidi sulit dihindari karena beban anggarah sudah kelewat berat.

Meraih dukungan parlemen niscaya menguras energi. Pertama, karena sejak awal sebagian fraksi di parlemen menunjukkan resistensi terhadap penaikan harga BBM subsidi ini. Kedua, karena situasi dan kondisi politik di parlemen sendiri sedang memanas antara barisan pendukung dan penyeimbang pemerintah.

Kenyataan itu merupakan faktor yang akan menyempurnakan ujian bagi pemerintah dalam menangani masalah BBM subsidi ini. Tapi seberat apa pun ujian itu, pemerintah tentu sudah punya persiapan. Paling tidak, Jokowi sudah mencanangkan bahwa pemerintahan yang dia pimpin adalah sebuah tim pekerja.*** 

Jakarta, 30 Novemver 2014

23 November 2014

Kabinet Jangan Berlarut

Pengumuman kabinet yang tertunda-tunda tak perlu dirisaukan. Sepanjang tidak sampai berlarut-larut serta bisa diyakinkan kepada publik sebagai sesuatu yang objektif, tertunda-tundanya pengumuman kabinet ini bukan faktor yang bisa mengacaukan kehidupan ekonomi di dalam negeri.

Tentang itu, lihat saja pergerakan harga saham di pasar modal yang lazim menjadi cerminan atau bahkan indikator tentang arah ekonomi nasional. Kamis kemarin, indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia masih melanjutkan tren penguatan. Ditutup di level 5.103,51, IHSG kemarin naik 29,19 poin atau 0,57 persen dibanding posisi di akhir perdagangan pada Rabu lalu.

Di sisi lain, kurs rupiah memang turun. Kurs tengah Bank Indonesia, misalnya, kemarin melorot 8 poin menjadi Rp 12.034 per dolar dibanding penutupan transaksi pada Rabu lalu. Di pasar spot antarbank di Jakarta, nilai tukar rupiah terhadap dolas AS ini kemarin juga melemah.

Tetapi kenyataan tersebut bukan merupakan cermin kegalauan pelaku pasar uang atas tertunda-tundanya pengumuman kabinet. Kurs rupiah melemah, seperti kata kalangan analis pasar uang, lebih merupakan imbas negatif sentimen global -- terutama rencana bank sental AS menaikkan suku bunga acuan.

Jadi, sekali lagi, tindakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tak segera mengumumkan kabinet ini tidak  beralasan dikhawatirkan bakal berdampak membuat buruk kehidupan ekonomi nasional. Dunia usaha, dalam konteks ini, tak lantas dibuat gelisah atau gusar. Mereka tidak merespons lambannya pengumuman kabinet sebagai sesuatu yang negatif. 

Bahkan sebaliknya, bagi pelaku usaha, penundaan pengumuman kabinet merupakan sinyal positif. Penundaan itu mereka lihat sebagai cermin kesungguhan Jokowi menyiapkan tim pemerintah yang kredibel dan bersih.

Kenyataan itu melegakan: pertanda dunia usaha memberi restu dan dukungan terhadap Jokowi. Dunia usaha menaruh kepercayaan besar bahwa kabinet yang sedang disiapkan Jokowi bisa diandalkan merupakan tim impian. Bukan cuma punya kapabilitas memadai, tim tersebut juga diyakini punya integritas tinggi.

Kabinet yang kredibel dan bersih adalah modal besar untuk membangun ekonomi nasional ke depan ini. Terlebih tantangan serius sudah di depan mata: perdagangan bebas ASEAN mulai tahun depan. Banyak kalangan skeptis -- untuk tidak mengatakan pesimistis -- bahwa ekonomi nasional mampu bersaing di tengah arena masyarakat ekonomi ASEAN ini.

Sikap seperti itu amat beralasan karena di banyak segi, kesiapan ekonomi nasional memang kedodoran. Itu karena kesiapan dan penyiapan ekonomi nasional dalam menyongsong perdagangan bebas ASEAN terbilang minim alias kurang sungguh-sungguh.

Karena itu, sinyal yang ditunjukkan Jokowi dalam menyiapkan kabinet serta-merta menumbuhkan ekspektasi positif banyak pihak di dalam negeri menyangkut kehidupan dan daya saing ekonomi nasional. Terlebih publik melihat bahwa Jokowi tidak memberi tolerasi terhadap rekam jejak buruk nama-nama yang masuk daftar calon anggota kabinet. Publik menangkap kesan bahwa Jokowi tidak main-main dalam soal integritas calon-calon menteri.

Maka, itu tadi: publik pun -- termasuk dunia usaha -- sejauh ini bisa memaklumi tertunda-tundanya pengumunan kabinet. Namun Jokowi tak boleh sampai terlena. Pembentukan kabinet tak boleh berlarut-larut karena niscaya berdampak menggoyahkan kepercayaan publik. Apalagi kalau alotnya pembentukan kabinet ini bukan lagi terkait soal kapabilitas dan integritas moral calon-calon menteri, melainkan sudah karena transaksi politik, dukungan publik terhadap Jokowi bisa rontok.

Kalau itu yang terjadi, ekonomi nasional niscaya jadi merisaukan. Kehidupan ekonomi hampir pasti memburuk.***

Jakarta, 23 November 2014

21 November 2014

Tercederainya Agenda Antikorupsi Jokowi


Memang janggal bahwa penunjukan HM Prasetyo sebagai jaksa agung tanpa pengecekan rekam jejaknya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Padahal, sebelum mengangkat menteri-menteri, Presiden Joko Widodo (Jokowi) secara khusus meminta kedua institusi tersebut  menelisik rekam jejak sejumlah nama calon.

Oleh sebab itu pula, sejumlah nama pun gagal diangkat menjadi anggota kabinet karena KPK -- setelah melakukan penelitian berdasarkan data di PPATK -- memberi catatan bahwa mereka bermasalah: terindikasi terlibat kasus korupsi. Walhasil, nama-nama yang kemudian diangkat menjadi anggota Kabinet Kerja pimpinan Jokowi pun relatif bersih alias tidak potensial menjadi pesakitan kasus korupsi.

Nah, status Prasetyo ini tidak jelas. Dia belum tentu bermasalah dalam perspektif pemberantasan korupsi. Tapi dikatakan bersih juga nanti dulu. Ya, karena memang tak ada stempel clean and clear yang diberikan institusi KPK sebagaimana tempo hari disandangkan terhadap calon-calon menteri. Sebelum diangkat menjadi jaksa agung, nama Prasetyo tidak lebih dulu "ditelanjangi" PPATK dan KPK.

Jokowi tampaknya tidak merasa perlu meminta PPATK dan KPK mengklarifikasi rekam jejak Prasetyo ini. Dengan kata lain, Prasetyo dikecualikan alias diistimewakan -- entah karena alasan apa. Seolah-olah rekam jejak Prasetyo sudah terjamin bersih dari hari biru rasuah.

Tak bisa tidak, itu membuat Jokowi terkesankan tidak konsisten dalam memastikan rekam jejak bersih jajaran pejabat tinggi pemerintahan dan negara. Padahal kepastian itu, seperti pernah dia ungkapkan sendiri,  sungguh fundamental guna menjamin pemerintahan yang dia pimpin berada di jalur yang benar dalam konteks pemberantasan korupsi.

Karena itu bisa dipahami kalangan penggiat gerakan masyarakat madani pun lantas mempertanyakan semangat antikorupsi Jokowi. Bagi mereka, kasus pengangkatan Prasetyo sebagai jaksa agung ini membuat komitmen Jokowi terhadap gerakan antikorupsi jadi terkesankan tidak sungguh-sungguh. 

Dalam penuturan lain, agenda antikorupsi Jokowi menjadi kabur. Agenda tersebut tampaknya tercederai oleh kepentingan politik Jokowi sendiri. Ini sungguh disayangkan, karena kepentingan politik bisa melumerkan segala hal -- tak terkecuali program antikorupsi.

Komitmen Prasetyo sendiri -- menggerakkan kejaksaan melakukan penegakan hukum atas kasus-kasus  korupsi, bergandengan dengan KPK -- jadi seolah kurang bermakna. Kkomitmen tersebut normatif belaka -- karena agenda dan program antikorupsi Jokowi telanjur tercederai.

Skeptisisme tentang program antikorupsi Jokowi ini kian kental karena Prasetyo sendiri berasal dari parpol. Kenyataan tersebut membuat institusi kejaksaan diragukan kebal intervensi, khususnya dari parpol asal Prasetyo selama ini berkiprah sebagai politisi.

Memang, Prasetyo sudah melepas keanggotaan di parpol. Tetapi kepemimpinan Prasetyo di kejaksaan tetap saja dinilai rawan tersandera oleh kepentingan parpol yang selama ini menjadi naungannya dalam berpolitik. Padahal kejaksaan sendiri memiliki setumpuk PR alias pekerjaan rumah menyangkut perkara-perkara berbau politis atau terindikasi melibatkan politisi. Misalnya kasus pelanggaran berat hak asasi manusia (HAM) ataupun kasus pembunuhan aktivis Munir yang belum sepenuhnya clear.

Cedera agenda antikorupsi ini sulit hilang sebatas lewat pernyataan apologistik. Cedera tersebut hanya bisa pupus lewat bukti-bukti konkret yang bersifat segera. Untuk itu, Jokowi harus memberikan target kerja jangka pendek kepada jaksa agung untuk menuntaskan sejumlah perkara, khususnya perkara berbau korupsi. Lalu, jika target ternyata gagal bisa dicapai, jaksa agung tak layak dipertahankan -- karena hanya membebani Jokowi secara politik.***

Jakarta, 21 November 2014

20 November 2014

Jaksa Agung Baru

Dari sisi latar belakang, penunjukan HM Prasetyo sebagai Jaksa Agung dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak keliru. Prasetyo adalah jaksa karier, sehingga dia punya banyak bekal dalam memimpin korps Adhiyaksa ini. Posisi terakhir Prasetyo di kejaksaan, sebelum pensiun pada tahun 2006, adalah Jaksa Agung Muda bidang Pidana Umum.

Namun banyak pihak kecewa terhadap keputusan Presiden Jokowi menunjuk Prasetyo sebagai Jaksa Agung ini. Keputusan tersebut tidak memenuhi harapan bahwa Prasetyo adalah figur yang diyakini mampu membawa kejaksaan menjadi institusi penegakan hukum yang berwibawa. Prestasi Prasetyo sebagai jaksa dinilai tidak istimewa -- kalaupun tidak dikatakan minor. Padahal institusi kejaksaan sendiri saat ini justru amat membutuhkan figur pimpinan puncak yang punya catatan jempolan dalam urusan kinerja.

Sebagian kalangan juga ragu bahwa Prasetyo mampu membawa kejaksaan menjadi institusi yang independen. Maklum, memang, karena status terakhir Prasetyo adalah politisi. Dia kader Partai Nasdem yang terpilih duduk di DPR periode 2014-2019.

Penunjukan Prasetyo sendiri sebagai Jaksa Agung ini disebut-sebut kental beraroma politik. Penunjukan tersebut dikabarkan atas dasar pembicaraan politik antara Presiden Jokowi dan Ketua Umum DPP Partai Nasdem Surya Paloh.

Karena itu, meski Prasetyo sudah melepas keanggotaan di partai politik lantaran diangkat menjadi Jaksa Agung, sejumlah kalangan tetap tidak yakin bahwa kiprah institusi kejaksaan ke depan ini bisa independen. Mereka melihat, di bawah kepemimpinan Prasetyo, intervensi pihak luar terhadap kejaksaan dalam proses penegakan hukum sungguh rawan. 

Karena itu pula, bagi sejumlah kalangan, kepercayaan publik terhadap institusi kejaksaan tak bakalan menjadi pulih. Bahkan boleh jadi kepercayaan publik makin terkikis kalau saja Prasetyo tidak cakap membawa institusi kejaksaan kebal intervensi.

Tetapi keputusan sudah diambil Presiden Jokowi. Sulit diharapkan Jokowi membatalkan pengangkatan Prasetyo sebagai Jaksa Agung ini. Bagaimanapun, tentu, Jokowi harus menunjukkan sikap tegas dalam pengambilan keputusan. Jokowi tak mungkin sudi tampil sebagai pemimpin berkarakter plintat-plintut.

Walhasil, puas tidak puas, penunjukan Prasetyo sebagai orang nomor satu di korps Adhiyaksa harus diterima dan dihargai. Kecewa boleh-boleh saja. Ragu atau tidak yakin juga tidak soal. Tetapi lebih fair dan elegan jika Prasetyo diberi kesempatan untuk membuktikan diri bahwa dia layak dan mampu mengemban peran sebagai pemimpin puncak di kejaksaan.

Untuk itu, Prasetyo perlu sekadar diingatkan agar dalam mengemban peran Jaksa Agung ini dia memiliki semangat dan komitmen kuat untuk meningkatkan kinerja kejaksaan. Dia juga perlu memiliki visi jelas dan fokus, enerjik, berintegritas tinggi, serta berani bertindak tegas dan tanpa pandang bulu.

Sosok seperti itu memang sungguh sangat dibutuhkan institusi kejaksaan sekarang ini. Sudah saatnya kejaksaan dibangkitkan menjadi institusi penegak hukum yang independen, berwibawa, disegani, dan dibanggakan khalayak luas. Prasetya sendiri tentu tahu persis bahwa kejaksaan sudah kelewat lama terpuruk dalam kekelaman kinerja.

Walhasil, mari ber-husnuzhan bahwa Prasetyo bisa diharapkan mampu membawa pamor institusi kejaksaan menjadi sejajar dengan institusi lain penegak hukum, terutama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mari kita beri Prasetyo kesempatan untuk melecut segenap korps kejaksaan berbenah diri meningkatkan komitmen, integritas, dan kinerja. Mari kita yakini bahwa Prasetyo tak akan merelakan KPK terus seolah menjadi antitesis institusi kejaksaan dalam penegakan hukum, khususnya menyangkut kasus-kasus tindak pidana korupsi.***

Jakarta, 20 November 2014

19 November 2014

Bentrok TNI-Polri

Bentrokan fisik antara TNI dan Polri -- seperti terjadi di Batam, Kepulauan Riau, kemarin -- sungguh memrihatinkan sekaligus memalukan. Pertama, karena bentrokan antara kedua institusi negara ini sungguh tak patut terjadi. Alasan apa pun tak bisa dijadikan pijakan untuk memaklumi bentrokan-bentrokan di antara mereka.

TNI maupun Polri seharusnya melulu fokus melaksanakan tugas dan kewajiban masing-masing sesuai aturan perundangan. Bentrok fisik hanya memberi kesan negatif di mata khalayak luas: bahwa kedua institusi tidak siap hidup berdampingan secara damai. Bahwa TNI seperti tidak ikhlas melepas Polri menjadi institusi tersendiri. Bahwa Polri, setelah tidak lagi menjadi organ di bawah TNI/ABRI, seperti menjadi "belagu" dalam berhubungan dengan TNI. 

Kedua, bentrok fisik TNI dan Polri ini juga memrihatinkan karena insiden tersebut terus berulang. Terlebih kadang bentrokan yang terjadi menekan korban jiwa maupun luka-luka, di samping merusak fasilitas kedua institusi maupun fasilitas publik. Insiden-insiden yang pernah terjadi seolah tidak pernah memberi pelajaran bagi kedua pihak untuk saling memahami. Kedua pihak seolah-olah saling menyimpan "dendam".

Sejak era reformasi, entah sudah berapa kali TNI dan Polri ini terlibat bentrok fisik. Meski cuma melibatkan oknum-oknum anggota di masing-masing institusi, bentrokan TNI-Polri terkesankan begitu mudah meletup. Tak jarang pula bentrokan berlangsung dalam skala lumayan: melibatkan banyak oknum personel, serta diwarnai penggunaan senjata api.

Ironinya, pihak TNI maupun Polri seperti memandang remeh setiap insiden bentrok antara kedua institusi itu. Acap terdengar mereka melukiskan insiden bentrokan antara kedua alat negara ini sekadar bentuk "kenakalan anak-anak" yang tidak perlu dicemaskan. Jadi, publik seperti diminta memaklumi bahwa insiden bentrokan yang terjadi bukan soal serius.

Biasanya, insiden-insiden bentrok fisik antara TNI dan Polri ini juga diselesaikan di tingkat lokal atau pimpinan yang lebih tinggi. Lewat pertemuan pimpinan kedua institusi, masalah lantas selesai begitu saja. Insiden bentrokan hampir tak pernah ditindaklanjuti oleh proses penegakan hukum.

Walhasil, publik hampir tak pernah memperoleh penjelasan resmi mengenai insiden-insiden bentrok fisik antara TNI dan Polri ini. Apa yang menjadi pemicu, siapa saja yang terlibat, juga sanksi apa yang dijatuhkan -- itu semua seolah melulu untuk diketahui internal kedua institusi. Publik seolah tak berhak tahu.

Akibatnya, itu tadi: berbagai insiden bentrok fisik yang pernah terjadi tidak menjadi pelajaran berharga bagi TNI maupun Polri untuk tidak mengulang insiden serupa -- entah di mana pun. Masing-masing pihak terkesankan tak pernah jera ataupun malu untuk terlibat bentrokan lagi.

Selama model penanganan insiden bentrokan fisik antara TNI dan Polri ini tetap seperti selama ini -- selesai begitu saja lewat pertemuan pimpinan kedua institusi, tanpa penegakan hukum, dan tertutup bagi publik --, sulit diharapkan TNI dan Polri bisa berdampingan secara damai dan harmonis. Insiden-insiden bentrok fisik bakal senantiasa terjadi -- entar sekadar bersifat perorangan ataupun kelompok.

Seharusnya DPR tampil berperan mengakhiri fenomena bentrok fisik antara TNI dan Polri ini. Bahkan, memang, DPR berkewajiban mengontrol TNI dan Polri agar konsekuen serta konsisten melakukan reformasi di internal masing-masing. Sebab, bagaimanapun fenomena bentrok fisik antara TNI dan Polri ini lebih merupakan wujud ketersendatan keduanya dalam melakukan reformasi internal. Karena itu, sejauh ini mereka tak sepenuhnya tunduk terhadap politik sipil yang antara lain mengagungkan proses hukum.

Tetapi, sayangnya, wakil-wakil rakyat di parlemen sendiri cenderung larut dalam kepentingan-kepentingan sempit dan sesaat.***

Jakarta, 19 November 2014

Berani tidak Populer

Penaikan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi serta-merta menurunkan popularitas Presiden Joko Widodo (Jokowi). Khalayak luas, seperti tecermin dalam ungkapan-ungkapan di media sosial, mencerca keputusan tentang itu. Tak lama setelah penaikan harga BBM subsidi diumumkan, Senin malam lalu, tagar #ShameonYouJokowi dan #SalamGigitJari muncul di twitter dan segera menjadi trending topic alias fokus pembicaraan paling top.

Sementara itu, kalangan mahasiswa bahkan sejak jauh hari tegas-tegas menolak penaikan harga BBM subsidi ini. Sikap tersebut mereka tunjukkan dengan menggelar aksi unjuk rasa. Kemarin, setelah harga BBM subsidi resmi naik, aksi unjuk rasa mahasiswa ini pun lebih  marak dan merebak hingga ke berbagai daerah.

Di lain pihak, bagi kalangan politisi, penaikan harga BBM adalah amunisi untuk menyerang pemerintah. Senada dengan mahasiswa, mereka menilai penaikan harga BBM berdampak menyengsarakan rakyat. Maka di DPR pun kini mulai bergulir wacana untuk melakukan langkah politik terhadap Jokowi.

Jokowi sendiri sejak awal jelas bukan tidak menyadari risiko seperti itu. Dia sadar bahwa penaikan harga BBM subsidi bisa menjadi titik balik popularitasnya di mata publik. Dia tahu persis, rakyat banyak -- termasuk kalangan terpelajar yang melek persoalan sekalipun -- kecewa oleh penaikan harga BBM subsidi ini. Jokowi mafhum: penaikan harga BBM subsidi memang berekses menyusahkan rakyat. Langkah tersebut menurunkan daya beli masyarakat.

Tetapi sebagai pemimpin, Jokowi harus mengambil keputusan -- betapa pun keputusan itu tidak populer. Dia berkeyakinan bahwa penaikan harga BBM subsidi dalam jangka panjang sungguh bermanfaat: memperbaiki ekonomi nasional secara keseluruhan. Ibarat obat, penaikan harga BBM adalah pil pahit yang harus ditelan demi kehidupan ekonomi yang lebih baik dan sehat.

Meski begitu, keberanian tidak populer saja tidak cukup. Setelah harga BBM subsidi resmi dinaikkan, kini menjadi kewajiban Jokowi untuk mengamankan pasar agar harga aneka barang dan jasa tidak kelewat bergejolak. Kenaikan harga barang dan jasa sebagai ekses penaikan harga BBM harus bisa dikendalikan sehingga tidak sampai melampaui batas kewajaran.

Dengan demikian, kekecewaan rakyat atas penaikan harga BBM tidak lantas berkembang menjadi kemarahan. Kemarahan rakyat tidak boleh terjadi karena berbahaya: secara politik bisa menggoyahkan posisi Jokowi sebagai pemimpin nasional. Walhasil, kemarahan rakyat harus bisa diredam -- terutama lewat pengendalian harga aneka barang dan jasa.

Untuk itu pula, kompensasi penaikan harga BBM bagi kelompok masyarakat miskin harus benar-benar terlaksana dengan baik. Berbagai celah penyimpangan di lapangan harus dikenali dan diatasi sejak dini. Dengan demikian, rakyat miskin dibuat tahu bahwa mereka tidak dibiarkan menjadi korban sia-sia kebijakan penaikan harga BBM.

Selain mengendalikan harga aneka barang dan jasa, pascapenaikan harga BBM ini Jokowi juga harus bisa membuktikan bahwa ekonomi nasional berkembang menjadi lebih sehat. Dalam konteks ini, rakyat secara keseluruhan harus segera bisa menikmati kehidupan yang relatif lebih sejahtera. Jika tidak, kekecewaan rakyat terhadap Jokowi terkait penaikan harga BBM niscaya terus menggumpal. Risikonya, dukungan rakyat terhadap Jokowi semakin tergerus.

Tak bisa tidak, karena itu, Jokowi harus menggerakkan segenap kementerian -- terutama tim ekonomi -- agar menggelar program-program yang berdampak nyata menyejahterakan kehidupan rakyat. Ini sungguh menjadi pertaruhan bagi Jokowi dalam merebut kembali simpati dan dukungan rakyat setelah dikecewakan oleh penaikan harga BBM.

Simpati dan dukungan rakyat harus bisa direbut kembali. Dukungan rakyat adalah pilar utama bagi Jokowi untuk menahan gempuran politik -- terutama dari parlemen yang memang tidak dalam genggamannya.***

Jakarta, 19 November 2014

18 November 2014

Teladan Jokowi-Prabowo


Teladan Jokowi-Prabowo
Pertemuan presiden terpilih Joko Widodo alias Jokowi dengan rivalnya dalam pilpres lalu, Prabowo Subianto, bisa dikatakan luar biasa. Luar biasa, karena pertemuan tersebut langsung mencairkan kebekuan sekaligus meredakan ketegangan politik di dalam negeri.

Pascapilpres, terutama setelah Mahkamah Konstitusi memastikan Jokowi sebagai presiden terpilih, situasi politik di dalam negeri memang menegangkan. Terlebih lagi setelah Koalisi Merah Putih yang berdiri di belakang Prabowo bertarung secara ketat dan keras di parlemen melawan Koalisi Indonesia Hebat yang mendukung Jokowi. Pertarungan  tersebut membuat kehidupan politik terbelah.

Kebekuan dan ketegangan politik itu langsung luntur setelah Jokowi kemarin bertemu Prabowo dalam suasana hangat. Semua pihak serta-merta merasa lega dan tenang. Kelegaan tersebut antara lain tecermin di pasar modal: indek harga saham naik signifikan. Di pasar uang, nilai tukar rupiah, yang belakangan cenderung melemah, juga terkoreksi positif.

Pertemuan pertama Jokowi-Prabowo pascapilpres ini juga menghapus anggapan bahwa pihak Prabowo memainkan politik balas dendam. Anggapan itu pupus, terutama karena Prabowo menyatakan bahwa Partai Gerindra yang dia pimpin -- bersama partai-partai lain penyokong Koalisi Merah Putih -- bukan oposisi. Bahkan Prabowo menyeru semua pihak agar mendukung pemerintahan Jokowi.

Realitas itu juga menumbuhkan harapan atau bahkan keyakinan khalayak luas bahwa stabilitas politik ke depan ini terjaga baik. Pemerintahan Jokowi kemungkinan tak direpotkan oleh telikungan-telikungan politik di parlemen. Dengan demikian, pembangunan nasional pun bisa bergerak lancar.

Keyakinan seperti itu akan lebih kuat kalau saja Prabowo tak sekadar bersedia menerima kedatangan Jokowi dan menyatakan dukungan, melainkan juga menyempatkan hadir dalam upacara pelantikan presiden dan wapres terpilih oleh MPR, awal pekan depan. Dengan itu, khalayak luas niscaya dibuat lebih yakin bahwa Prabowo benar-benar tulus dan berjiwa besar menerima kekalahan dalam pilpres.

Tetapi, lepas dari soal kehadiran Prabowo dalam upacara pelantikan presiden dan wapres, pertemuan Jokowi-Prabowo sendiri sudah cukup memberi pelajaran amat berharga kepada rakyat tentang kenegarawanan. Jokowi, sebagai presiden terpilih, tak bersikap jumawa. Dengan langkah pasti, tanpa beban, dia datang menyambangi Prabowo.

Sebaliknya Prabowo juga tidak bersikap kerdil. Dia begitu terbuka menerima keinginan Jokowi untuk bertemu. Prabowo juga tak sungkan menyatakan selamat atas kemenangan Jokowi dalam pilpres.

Kenegarawanan memang sungguh perlu dimiliki setiap pribadi pemimpin nasional. Perlu, karena sekarang ini rakyat nyaris tak memiliki teladan. Kenegarawanan sedikit sekali ditunjukkan pemimpin nasional. Mereka cenderung bersikap kerdil dan terpenjara dalam kotak-kotak kepentingan sempit.

Padahal kenegarawanan adalah roh yang menjamin persatuan dan kesatuan. Kenegarawanan adalah jiwa yang mengatasi segala perbedaan di tengah aneka keragaman. Kenegarawanan adalah perekat yang meleburkan kepentingan pribadi, kelompok, ataupun golongan ke dalam kepentingan nasional.

Kenegarawanan juga yang bisa membuat politik bukan arena tarung bebas. Dengan kenegarawanan, lawan politik tak harus dianggap sebagai musuh yang harus dihancurkan, melainkan diperlakukan sebagai mitra yang mesti dirangkul dan diajak berkompetisi mempersembahkan segala sesuatu yang penting bagi kehidupan bangsa.

Sekali lagi, Jokowi dan Prabowo sudah menunjukkan teladan tentang kenegarawanan pemimpin nasional. Tetapi keteladanan mereka ini akan terus diuji oleh dinamika politik dalam hari-hari ke depan ini: apakah otentik ataukah sekadar kosmetik!***

Jakarta, 18 November 2014

15 November 2014

Kenegarawanan Elite

Pertemuan presiden terpilih Joko Widodo alias Jokowi dan Ketua Umum DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie (ARB), kemarin, serta-merta membuka mata semua pihak: kedua tokoh sungguh memiliki jiwa kenegarawanan. Dengan itu, pupus sudah anggapan bahwa mereka berdua selama ini -- pascapemilu presiden -- saling bermusuhan dan hanya menomorsatukan kepentingan kubu masing-masing.

Bahwa Jokowi dan ARB masing-masing berdiri di kubu yang berbeda, itu benar. Jokowi berada di kubu Koalisi Indonesia Bangkit yang telah berjasa mengantarkannya sebagai pemenang Pilpres 2014. Sementara ARB sekarang ini dikenal sebagai salah satu motor Koalisi Merah Putih yang dalam Pilpres 2014 mengusung pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.

Tetapi kenyataan itu tak harus dimaknai bahwa kedua tokoh -- bersama kubu masing-masing -- bermusuhan dan saling meniadakan secara politik. Pemaknaan seperti itu bukan cuma keliru, tetapi juga sungguh tidak sehat: membuat kedua tokoh seolah berpikiran sempit, picik, dan sama sekali jauh dari sifat-sifat kenegarawanan.

Memang, posisi kedua kubu -- Koalisi Merah Putih di satu pihak dan Koalisi Indonesia hebat di sisi lain -- begitu diametral. Itu terutama karena pascapilpres, suhu persaingan politik kedua kubu tak lantas menurun. Terlebih setelah Koalisi Merah Putih memenangi pertarungan politik di parlemen secara beruntun.

Namun posisi diamitral kedua kubu itu bukan terutama tertoreh lantaran pertarungan-pertarungan politik. Bagaimanapun, pertarungan-pertarungan memperebutkan kepentingan itu dalam jagat politik soal biasa dan sah-sah saja. Pertarungan-pertarungan itu lebih merupakan ajang uji kesolidan dan kepiawaian masing-masing kubu dalam bernegosiasi.

Karena itu, pihak yang keluar sebagai pemenang tak lantas harus dicap sebagai tiran, dan di sisi lain pihak yang kalah merupakan sang tertindas. Vonis seperti itu bukan saja tidak fair, melainkan juga menyesatkan.

Suhu persaingan politik kedua kubu terkesankan panas dan keras, sehingga seolah-olah melahirkan perang barata yudha, lebih karena faktor komunikasi tersumbat. Kedua kubu, terutama pascapilpres, seperti sengaja saling menjaga jarak dan enggan membuka komunikasi.

Situasi seperti itu sulit bisa cair, kecuali di kedua kubu terdapat figur yang memiliki jiwa kenegarawanan. Itu pula yang kemarin dijawab dan ditunjukkan oleh Jokowi dan ARB. Seolah ingin menepis berbagai anggapan miring selama ini, mereka berdua melakukan pertemuan khusus.

Pertemuan itu bukan hanya mencairkan kebekuan kedua kubu, tetapi juga memastikan bahwa Koalisi Indonesia Hebat dan Koalisi Merah Putih adalah mitra yang saling bersaing -- bukan dua musuh yang saling meniadakan. Bahwa selama ini kedua kubu terkesankan terlibat perang barata yudha, agaknya itu lebih karena media massa keliru atau kebablasan memaknai persaingan sebagai pemusuhan sengit.

Jadi, pertemuan Jokowi dan ARB kemarin sungguh melegakan. Bagaimanapun, banyak masalah bangsa yang harus dikomunikasikan oleh berbagai elemen bangsa -- terutama jajaran elite politik. Tanpa komunikasi yang dilandasi jiwa kenegarawanan, masalah-masalah itu sungguh musykil bisa dipecahkan secara konstruktif.

Mudah-mudahan, jiwa kenegarawanan ini juga ditunjukkan oleh elite-elite politik lain. Dengan demikian, rakyat boleh merasa yakin bahwa geliat politik ke depan ini tidak berdampak merontokkan stabilitas nasional sebagaimana sempat dikhawatirkan banyak pihak.***

Jakarta, 15 November 2014

13 November 2014

Prioritas untuk Perbatasan

Kasus pindah kewarganegaraan 20 keluarga di perbatasan Indonesia-Malaysia di wilayah Nunukan, Kaltim, harus menjadi perhatian khusus pemerintah. Kasus tersebut tak boleh dipandang remeh: seolah-olah jumlah 20 keluarga itu sama sekali tak punya arti dibanding total populasi penduduk Indonesia.

Boleh jadi, kasus pindah kewarganegaraan ini ibarat gunung es. Warga Indonesia di perbatasan yang telah pindah menjadi warga Malaysia ini sebenarnya mungkin jauh lebih banyak daripada kasus yang terungkap ke permukaan. Bukankah selama ini ancaman ke arah itu sudah nyaring disuarakan masyarakat yang tinggal di sepanjang perbatasan Indonesia-Malaysia -- entah di Kalbar, Kaltim, ataupun Kalut?

Ancaman itu sendiri merupakan ekspresi kekecewaan mendalam warga di wilayah perbatasan karena selama ini pemerintah kurang memberikan perhatian terhadap kesejahteraan mereka. Bahkan bukan lagi kurang perhatian, pemerintah justru cenderung abai terhadap aspirasi masyarakat di wilayah perbatasan ini menyangkut pembangunan ekonomi di daerah mereka. Suara-suara tentang itu selama ini cenderung dianggap sepi.  

Harapan atau bahkan tuntutan masyarakat di wilayah perbatasan mengenai pembangunan ekonomi di daerah mereka sungguh tidak mengada-ada. Pertama, karena kegiatan pembangunan di wilayah perbatasan selama ini memang sangat minim. Begitu minim, sampai-sampai infrastruktur sosial-ekonomi di wilayah tersebut bisa dikatakan morat-marit. Itu kontras dengan kondisi infrastruktur sosial-ekonomi di wilayah Malaysia yang terhampar di seberang perbatasan. 

Kedua, tuntutan masyarakat di wilayah perbatasan mengenai pembangunan ekonomi ini juga sungguh berkepatutan. Sebab, kekayaan alam di bumi yang menjadi tempat mereka berpijak sudah begitu banyak dikeruk -- entah minyak bumi, batubara, juga hasil hutan. Sungguh ironis bahwa semua itu sedikit sekali meneteskan kesejahteraan bagi masyarakat di wilayah perbatasan.

Walhasil, dari perspektif itu, adalah wajar masyarakat di perbatasan -- khususnya di wilayah Kalbar, Kaltim, dan Kalut -- kecewa dan kemudian punya pikiran pindah menjadi warga Malaysia. Tapi bagi Indonesia sendiri, fenomena itu berbahaya. Bukan sekadar bermakna menelanjangi kekurangpedulian pemerintah selama ini terhadap wilayah perbatasan, fenomena itu juga bisa berkembang menjadi benih-benih yang menumbuhkan klaim wilayah oleh pihak Malaysia.

Potensi klaim itu tak bisa dipandang dengan sebelah mata. Ini karena masyarakat di perbatasan sangat erat terikat dengan nilai-nilai adat. Tiap individu secara adat tak bisa dipisahkan dari tanah yang menjadi tempat mereka berpijak. Justru itu, manakala berganti kewarganegaraan, mereka sangat mungkin mengklaim bumi tempat mereka berpijak secara adat ikut beralih pula. Kalau sudah begitu, mustahil Malaysia tidak tergerak melakukan tindakan-tindakan legitimasi.

Karena itu, sekali lagi, kasus 20 keluarga di Nunukan berganti kewarganegaraan menjadi warga negara Malaysia harus mendapat perhatian khusus. Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tak boleh mengulang kesalahan pemerintahan-pemerintahan terdahulu: cenderung mengabaikan wilayah perbatasan.

Kekecewaan masyarakat di wilayah itu harus segera diobati dengan melakukan percepatan pembangunan infrastruktur sosial-ekonomi, terutama di titik titik perbatasan. Ini bukan cuma perlu diprioritaskan, melainkan juga patut diberi porsi istimewa.

Untuk itu, paradigma pembiayaan pembangunan -- khusus di wilayah perbatasan -- perlu diubah. Alokasi dana jangan lagi sesuai proporsi populasi penduduk, melainkan berbanding lurus dengan luas wilayah. Dengan demikian, tak beralasan lagi alokasi dana pembangunan bagi wilayah perbatasan ini cuma setetes-setetes seperti selama ini.

Tentu, sejalan dengan pembangunan ekonomi, penanaman nilai-nilai nasionalisme bagi masyarakat di perbatasan juga perlu digalakkan. Nasionalisme keindonesiaan tak boleh dibiarkan terkikis oleh kondisi apa pun.*** 

Jakarta, 13 November 2014

11 November 2014

Debut Jokowi di Pentas Global


Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjadi bintang forum pertemuan puncak para pemimpin forum Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di Beijing, China, yang digelar sejak Senin lalu dan berakhir Selasa kemarin. Dalam setiap aktivitas di forum itu, kilatan-kilatan lampu kamera wartawan berhamburan menerpa sosok Jokowi. Wartawan dari berbagai pelosok dunia seolah tak ingin sedikit pun kehilangan momen dalam setiap aktivitas Jokowi.

Padahal pertemuan APEC jelas bukan forum ecek-ecek.  Para pemimpin top dunia seperti Presiden Barrack Hussein Obama (AS), Presiden Vladimir Putin (Rusia), Presiden Xi Jinping (China), juga Perdana Menteri Shinzo Abe (Jepang), turut menghadiri pertemuan tersebut.

Perhelatan APEC di Beijing ini juga dihadiri jajaran pimpinan puncak (CEO) perusahaan-perusahaan kelas global. Mereka bukan hanya mengapresiasi tinggi presentasi Jokowi di depan mereka, melainkan juga sempat saling berebut berfoto selfie bersama presiden ketujuh Republik Indonesia itu.

Para pemimpin ekonomi maju juga tak terkecuali menjadikan Jokowi sebagai bintang di forum pertemuan APEC Beijing ini. Mereka  merasa berkepentingan bertemu dan berdiskusi dengan Jokowi menyangkut kerja sama bilateral maupun isu-isu global.

Sosok Jokowi sebagai bintang pertemuan APEC di negeri China ini disempurnakan oleh pidatonya yang mendapat acungan jempol para peserta perhelatan akbar itu. Bersama Obama dan Xi Jinping, Jokowi menjadi tiga pembicara utama di hari pertama pertemuan puncak APEC yang ke-22 itu. Tetapi pidato Jokowi secara substantif lebih membetot perhatian.

Pidato Jokowi banjir pujian dan komentar bernada positif. Memanfaatkan media power point, secara mengalir membahas isu-isu perdagangan dan bisnis.
Jokowi juga memperkenalkan Indonesia sebagai negara yang terbuka dan aman untuk kegiatan investasi.

Karena itu pula, media sekelas Harian The Wall Street Journal pun tergerak memberi porsi istimewa terhadap debut Jokowi di forum APEC ini. Dalam edisi Selasa (11/11), media yang berbasis di AS tersebut menurunkan rangkaian foto berita mengenai kegiatan Jokowi selama mengikuti Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) APEC di Beijing.

The Journal yang selama ini menjadi rujukan kalangan pelaku pasar finansial global itu juga melukiskan  Jokowi sebagai sosok yang menunjukkan daya pikat paling kuat dalam perhelatan APEC di Beijing.

Kenyataan itu jelas membanggakan sekaligus menerbitkan harapan. Membanggakan, karena sudah lama pamor Indonesia di pentas global tenggelam. Sudah lama Indonsia tidak masuk jajaran top dunia -- dalam arti berwibawa dan berpengaruh.

Para pemimpin dunia selama ini cenderung menganggap sepi keberadaan Indonesia. Kalaupun apresiasi mereka tunjukkan, itu lebih merupakan basa-basi pergaulan dalam pentas seremoni dan diplomasi.

Apresiasi forum APEC di Bejing terhadap sosok Jokowi juga menerbitkan harapan menyangkut masa depan Indonesia. Apresiasi itu  bisa dibaca sebagai pertanda bahwa Indonesia sebagai kekuatan ekonomi di pentas global mulai serius diperhitungkan. Itu juga berarti, Indonesia bisa diharapkan dapat mengambil kendali percaturan ekonomi global.

Kenyataan itu menjadi tantangan tersendiri bagi para pembantu Jokowi, terutama tim ekonomi kabinet. Mereka benar-benar harus mampu memanfaatkan peluang-peluang ekonomi yang sudah terbuka lebar lewat debut Jokowi di pentas APEC. Mereka tidak boleh bervisi sempit: sekadar berfokus ke dalam negeri. Mereka juga harus gesit dan cerdas menyeruak masuk ke pentas-pentas global -- demi kejayaan ekonomi nasional.***

Jakarta, 11 Novemver 2014

06 November 2014

Menteri Enggan Buka-bukaan?

Para penyelenggara negara, khususnya anggota kabinet, seharusnya memiliki kesadaran tinggi mengenai kewajiban mereka menyerahkan laporan harta kekayaan mereka kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mereka tentu tahu sejak awal bahwa menyerahkan laporan harta kekayaan kepada KPK adalah konsekuensi yang harus siap ditanggung setiap orang yang dipercaya menjadi penyelenggara negara.

Konsekuensi itu tak terhindarkan karena pemerintah -- sesuai tuntutan undang-undang -- berkewajiban menunjukkan komitmen dan tindakan-tindakan konkret terhadap gerakan antikorupsi. Jadi, setuju ataupun tidak, penyelenggara negara harus ambil bagian dalam gerakan tersebut -- antara lain dengan menyerahkan laporan harta kekayaan mereka kepada KPK.

Itu berarti, setiap penyelenggara negara harus rela buka-bukaan soal harta kekayaan ini. Begitu resmi dilantik menjadi penyelenggara negara, mereka tak bisa lagi menganggap data harta kekayaan sebagai soal privasi. Status data itu, melalui mekanisme transparansi yang diatur KPK, berubah menjadi persoalan publik. Artinya, data itu harus direlakan bisa dipelototi khalayak luas.

Karena itu, sungguh mengherankan bahwa kalangan anggota Kabinet Kerja pimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) seperti menganggap remeh kewajiban mereka menyerahkan laporan harta kekayaan mereka kepada KPK ini. Hingga Rabu lalu (5/11) -- sekitar dua pekan sejak pelantikan kabinet -- praktis baru beberapa menteri saja yang sudah menyerahkan laporan itu.

Selebihnya, sebagian besar menteri masih tenang-tenang saja. Mereka terkesankan menganggap tidak penting dan tidak urgen untuk melaksanakan kewajiban menyampaikan laporan harta kekayaan mereka kepada KPK. Sampai-sampai Jokowi sendiri lantas merasa perlu mengeluarkan instruksi kepada mereka bahwa laporan itu paling lambat harus sudah diterima KPK pekan depan. 

Menyusun laporan harta kekayaan itu sebenarnya bukan pekerjaan rumit. Toh laporan tersebut tidak njelimet laiknya neraca keuangan perusahaan. Laporan harta kekayaan penyelenggara negara yang harus disampaikan kepada KPK lebih bersifat gradual. Laporan itu sekadar memuat daftar harta yang dimiliki dengan perkiraan nilai atau harga masing-masing, plus keterangan singkat mengenai status ataupun asal-usul setiap jenis atau bentuk harta.  

Jadi, kelambanan banyak anggota Kabinet Kerja menyerahkan laporan harta kekayaan mereka kepada KPK ini bukan karena soal teknis, melainkan lebih merupakan sikap moral. Mereka abai atau bahkan mungkin enggan buka-bukaan soal harta kekayaan.

Mudah dipahami, karena itu, syak wasangka pun serta-merta tumbuh di tengah khalayak luas. Paling tidak, publik jadi mempertanyakan komitmen para menteri terhadap gerakan antikorupsi. Jangan-jangan mereka tidak punya political will untuk menjadi bagian gerakan pemberantasan korupsi yang telanjur menjadi penyakit kronis di Indonesia.

Oleh sebab itu pula, sudah selayaknya Jokowi tidak sekadar menginstruksikan mereka agar segera menyampaikan laporan harta kekayaan kepada KPK. Lebih dari itu, Jokowi juga patut menegur mereka secara khusus. Tiap meteri -- juga para pejabat tinggi lain dalam barisan penyelenggara negara -- yang nyata-nyata lelet atau menunda-nunda melaksanakan kewajiban itu pantas diberi catatan merah.

Sanksi tersebut amat beralasan, karena sikap abai terhadap keharusan melaporkan harta kekayaan kepada KPK berdampak menodai komitmen pemerintahan Presiden Jokowi secara keseluruhan. Seolah-olah pemerintahan Jokowi setengah hati dalam melaksanakan program antikorupsi. Padahal program itu jelas merupakan salah satu kunci bagi keberhasilan pemerintahan dalam menyejahterakan rakyat.***

Jakarta, 6 November 2014

04 November 2014

Berharap Jaksa Agung

Publik menantikan figur baru jaksa agung. Sejumlah nama disebut-sebut masuk daftar bidikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk posisi tersebut. Mereka berasal dari berbagai latar belakang. Antara lain, mantan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Yunus Husein, mantan Deputi Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan Pengandalian Pembangunan (UKP4) Mas Achmad Santosa, politisi Partai Nasdem HM Prasetyo, juga Wakil Jaksa Agung Andhi Nirwanto.

Sementara itu, sejumlah kalangan berharap agar figur jaksa agung ini sesuai visi dan misi mereka masing-masing. Misalkan jajaran korps kejaksaan -- termasuk para pensiunan jaksa -- berharap agar jaksa agung mendatang berasal dari internal kejaksaan sendiri. Sedangkan bagi kalangan aktivis lembaga swadaya masyarakat, jabatan jaksa agung selayaknya dipercayakan kepada tokoh penegakan HAM dan motor pemberantasan korupsi.

Di lain pihak, kalangan partai politik juga dikabarkan bergerilya agar Jokowi mempercayakan posisi jaksa agung ini kepada kader mereka. Ketua Umum DPP Partai Nasdem Surya Paloh, misalnya, beberapa hari lalu diberitakan menyambangi Jokowi dan menyodorkan nama kader Partai Nasdem HM Prasetyo.

Harapan dan upaya seperti itu sah-sah saja. Toh keputusan akhir tetap di tangan Jokowi. Namun siapa pun atau dari latar belakang apa pun sosok yang kelak dipilih Jokowi untuk memangku jabatan jaksa agung, itu tak begitu penting.

Entah politisi, mantan pejabat negara, aktivis masyarakat madani, atau orang dalam kejaksaan sendiri boleh-boleh saja memangku jabatan jaksa agung dalam pemerintahan Presiden Jokowi ini. Yang penting dia bisa diandalkan bakal membawa kejaksaan menjadi institusi penegak hukum yang tegas-trengginas, berwibawa, serta independen atau imparsial -- termasuk tidak menjadi alat kekuasaan.

Untuk itu, jaksa agung mendatang ini bukan sekadar harus punya jejak rekam bersih dari aneka rupa tindakan tercela. Juga tidak cukup sekadar memiliki kapasitas dan kapabilitas mumpuni di bidang hukum. Tidak pula sekadar memenuhi syarat kepemimpinan yang bagus.

Prasyarat yang harus dipenuhi sosok jaksa agung mendatang ini terutama memiliki semangat dan komitmen kuat untuk meningkatkan kinerja kejaksaan. Selebihnya -- di samping kepemimpinan menonjol, rekam jejak tidak tercela, menguasai teknis hukum -- dia visioner, enerjik, berintegritas tinggi, serta berani bertindak tegas dan tanpa pandang bulu.

Sosok seperti itu sungguh amat dibutuhkan institusi kejaksaan sekarang ini. Sudah saatnya kejaksaan dibangkitkan menjadi institusi penegak hukum yang berwibawa, disegani, dan dibanggakan khalayak luas. Kejaksaan sudah kelewat lama terpuruk dalam kekelaman kinerja.

Keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seharusnya melecut kejaksaan -- juga kepolisian -- untuk berbenah diri. KPK tak boleh seolah menjadi antitesis institusi kejaksaan (dan kepolisian) dalam penegakan hukum, khususnya menyangkut kasus-kasus tindak pidana korupsi.

Tetapi selama ini harapan atau tuntutan seperti itu belum juga kesampaian. Sejak awal, kehadiran institusi KPK seperti tak melecut kejaksaan untuk menjulangkan kinerja jempolan.

Karena itu, di mata publik, institusi kejaksaan masih saja kalah pamor dibanding KPK dalam penegakan hukum untuk kasus-kasus korupsi. Kredibilitas dan integritas kejaksaan dalam menangani perkara (korupsi) seolah di bawah KPK.

Tindak pembenahan ke dalam sebenarnya bukan tak pernah dilakukan kejaksaan. Tetapi, sekali lagi bagi publik, berbagai tindakan dalam rangka itu belum bersifat menyeluruh dan belum pula mendasar. Oleh sebab itu, publik melihat kinerja kejaksaan sebagai institusi penegak hukum belum lagi sekinclong KPK.

Dalam soal kinerja, publik memang senantiasa membandingkan kejaksaan dengan KPK. Padahal kedua institusi tersebut jelas tidak persis sama dan tidak pula sebangun. Tetapi karena sama-sama menyandang fungsi dan peran penegakan hukum, sikap publik mengomparansikan kejaksaan dengan KPK ini memang tak terhindarkan.

Justru itu, tak bisa lain kecuali kejaksaan harus lebih sungguh-sungguh melakukan pembenahan ke dalam. Kejaksaan dituntut mampu menorehkan kinerja yang kian membaik. Dalam mengemban fungsi-fungsi penegakan hukum, kejaksaan tidak boleh terus terkesankan inferior dibanding KPK.

Untuk itu, figur jaksa agung sebagai orang nomor satu di kejaksaan sungguh amat menentukan. Di pundak jaksa agung perbaikan kinerja kelembagaan kejaksaan terutama terletak. 

Oleh sebab itu, Presiden Jokowi jelas harus jeli dalam memilih figur jaksa agung ini. Keputusan tentang itu menjadi pertaruhan bagi masa depan kejaksaan yang lebih baik, berwibada, disegani, dan dibanggakan publik.(*)

Jakarta, 4 November 2014

03 November 2014

Gamang Menaikkan Harga BBM?

Pemerintah boleh jadi gamang untuk memutuskan penaikan harga bahan minyak (BBM) subsidi. Kesan tersebut tertoreh karena pemerintah tidak satu kata mengenai kepastian penaikan harga BBM subsidi ini. Bahkan tak kurang dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wapres Jusuf Kalla sendiri tidak kompak ketika berbicara tentang isu tersebut.

Hingga Senin kemarin, Jokowi masih menyatakan bahwa soal penaikan harga BBM subsidi belum juga diputuskan. Bahkan berancar-ancar saja Jokowi terkesankan enggan.

Di lain pihak, Jusuf Kalla memberi isyarat bahwa soal penaikan harga BBM subsidi tinggal menghitung hari. Dia menyebutkan, keputusan tentang itu dilakukan November ini juga.

Sebelumnya, Menko Perekonomian Sofyan Djalil mengungkapkan bahwa penaikan harga BBM subsidi dilakukan sebelum pergantian tahun. Sementara Menkeu Bambang Brodjonegoro menyebutkan bahwa pemerintah masih harus melihat perkembangan sebelum memutuskan harga BBM subsidi dinaikkan. Ini, antara lain, karena harga minyak di pasar internasional kini menyentuh level 80 dolar AS per barel alias turun jauh ke level di bawah patokan APBNP 2014.

Boleh jadi, penaikan harga BBM subsidi ini sungguh pelik. Pelik, karena keputusan tentang itu amat menuntut kesiapan dan persiapan pemerintah menyangkut penanganan ekses sosial-ekonomi yang kelak muncul. Ini memang tidak mudah. Terlebih pemerintah sendiri tidak menginginkan penaikan harga BBM subsidi berdampak menyengsarakan rakyat kebanyakan, sekaligus harus terjamin menyehatkan ekonomi nasional.

Tuntutan itu mungkin menimbulkan tarik-menarik begitu alot di tubuh pemerintahan. Sebagian, seperti terkesankan oleh sikap Jusuf Kalla dan Sofyan Djalil, menilai pemerintah sudah siap menaikkan harga BBM subsidi. Tapi sebagian lagi, termasuk Jokowi sendiri, tampaknya tak ingin grasa-grusu: penaikan harga BBM subsidi tak boleh dilakukan sebelum kesiapan dan persiapan pemerintah sudah benar-benar mantap.

Bagi Jokowi, penaikan harga BBM subsidi ini jauh lebih pelik karena punya muatan politis terhadap dirinya sendiri maupun terhadap PDIP sebagai pengusung utamanya. Nah, Jokowi tentu tak menghendaki muatan tersebut kelewat dalam berdampak menurunkan dukungan rakyat.

Tarik-menarik itu pula yang membuat pemerintah terkesan gamang untuk memutuskan penaikan harga BBM subsidi ini. Kegamangan tersebut membingungkan dan menimbulkan ketidakpastian. Rakyat jadi tak memiliki pegangan kapan dilakukan dan bagaimana skema penaikan harga BBM subsidi ini? Padahal sejak jauh-jauh hari, sebelum dilantik sebagai pasangan presiden-wapres, Jokowi dan Jusuf Kalla sudah gembar-gembor bahwa BBM subsidi bakal dinaikkan demi menyehatkan keuangan negara.

Kebingungan di tengah masyarakat itu harus dihindarkan karena sungguh tidak sehat atau bahkan berbahaya: bisa berdampak mengikis kepercayaan terhadap ekonomi nasional. Berbagai kajian selama ini menyimpulkan bahwa beban subsidi BBM sangat membebani keuangan negara. Sekian banyak anggaran habis percuma begitu saja, sehingga APBN pun didera defisit serius.

Jika kini rencana penaikan harga BBM subsidi terkesankan tidak berkepastian akibat pemerintah gamang untuk mengambil keputusan, publik pun -- khususnya pelaku pasar finansial maupun pelaku sektor riil -- bisa serta-merta mempersepsi anggaran negara makin babak-belur alias kian tidak sehat. Ini yang pada gilirannya bisa berimbas menyurutkan kepercayaan publik, sehingga ekonomi nasional kian tertekan.

Karena itu, pemerintah harus membuang jauh-jauh sikap gamang. Penaikan harga BBM subsidi harus segera diputuskan, sehingga khalayak luas beroleh pegangan -- dan ketidakpastian pun tentu hilang sirna. Dengan demikian, ekonomi nasional bukan hanya terbebas dari krisis kepercayaan. Lebih dari itu juga bisa berubah menjadi sehat, efisien, dan produktif.***

Jakarta, 3 November 2014

02 November 2014

Ancaman Ebola di Indonesia

Ancaman virus ebola di negeri kita sudah di depan mata. Ini tidak mengada-ada. Bukan menakut-nakuti. Juga bukan pula pertanda paranoid.

Ancaman virus ebola di Indonesia sungguh sudah mulai mengintai. Dua warga Jatim diduga terpapar virus tersebut. Mereka berdua kini dirawat di ruang isolasi di RSUD Dr Soedono di Kota Madiun dan di RSUD Pare, Kabupaten Kediri.

Dugaan bahwa kedua orang itu terpapar virus ebola bukan tanpa alasan. Sebab keduanya baru kembali dari Liberia -- negara dengan endemi virus ebola -- sebagai tenaga kerja Indonesia (TKI). Untuk sementara, dokter memastikan bahwa kedua orang itu positif terserang malaria. Namun karena baru datang dari negara endemi ebola, dokter lantas menetapkan kedua orang itu berstatus suspect alias terduga terpapar virus ebola.

Untuk memastikan kedua orang itu terpapar ebola, dokter masih harus menunggu perkembangan hingga sepekan lagi. Ini karena masa inbukasi penyakit ebola adalah 21 hari sejak mereka diduga mulai terpapar. Karena itu, dokter mengawasi ketat perkembangan kondisi kedua orang itu.

Selain kedua orang yang berstatus terduga itu, sejumlah orang Indonesia lain juga dalam pantauan petugas kesehatan. Ini karena mereka dalam penerbangan ke Indonesia satu pesawat dengan kedua orang itu.

Sikap waspada seperti itu sungguh patut diapresiasi. Sebab bahaya penyakit ebola sungguh tak bisa dipandang dengan sebelah mata. Penyakit tersebut sangat mematikan. Sejauh ini, sudah sekitar 5.000 orang di sejumlah negara meninggal dunia akibat penyakit ebola ini.

Badan Kesehatan Dunia (WHO) mencatat 13.703 orang kini positif terinfeksi virus ebola. Mereka terbanyak ditemukan di  tiga negara Afrika Barat yang memang dilanda wabah ebola, yaitu Liberia, Guinea, dan Sierra Leone. Di luar itu, penderita ebola juga ditemukan di Spanyol dan Amerika Serikat.

Bagi Indonesia, ebola bisa dikatakan merupakan momok. Bukan karena dua orang sudah dinyatakan berstatus terduga terserang ebola, melainkan terutama karena risiko banyak orang terpapar virus tersebut relatif tinggi. Ini karena kita banyak mengirim TKI ke mancanegara, termasuk ke kawasan yang sudah positif dilanda wabah ebola.

Kontak fisik dalam kerumunan banyak orang dari berbagai penjuru dunia, seperti dalam prosesi ibadah haji ataupun umrah, juga bisa berisiko terpapar ebola. Meski pemerintah Arab Saudi melakukan upaya-upaya preventif atau penangkalan terhadap penyebaran virus ebola di kalangan jemaah haji dan umrah, risiko itu tetap tak bisa dinafikan begitu saja. Itu tadi: karena masa inkubasi ebola relatif lama, sementara gejala-gejala awal terpapar virus tersebut mirip demam biasa sehingga bisa menyesatkan.

Karena itu, tak bisa lain kecuali pemerintah harus benar-benar serius melakukan program pencegahan dan penangkalan ebola. Sikap awas, antisipatif, dan tanpa kompromi mutlak harus menjadi pegangan berbagai pihak terkait, terutama aparat yang diterjunkan bertugas di lapangan, seperti di terminal kedatangan di berbagai bandara internasional, di karantina, di rumah sakit, dan lain-lain.

Kampanye sadar risiko ebola juga perlu dilakukan. Khalayak luas jangan sampai punya anggapan bahwa risiko terinfeksi ebola hanya mungkin dialami di mancanegara, khususnya di negara-negara yang positif dilanda wabah ebola.

Di samping itu, mungkin perlu pula dikaji kemungkinan melakukan moratorium pengiriman TKI ke wilayah atau negara yang sudah teridentifikasi merupakan "sarang" ebola. Bbagaimanapun, tindakan tersebut bisa signifikan menurunkan ancaman ebola masuk ke Indonesia.***

Jakarta, 2 November 2014

31 Oktober 2014

Kemelut Politik di DPR

Kemelut politik di tubuh DPR tak boleh dibiarkan berlarut-larut. Dualisme kelembagaan di internal parlemen ini harus segera diakhiri. Terlalu mahal implikasi yang harus ditanggung bersama segenap bangsa jika kemelut itu tak segera berakhir -- entah implikasi politik, sosial, maupun ekonomi.

Secara politik, kemelut di tubuh DPR ini bisa membuat masyarakat terbelah dalam dua kutub dan saling berhadapan sebagai musuh. Ini berbahaya: kohesivitas kebangsaan bisa terkoyak. Terlebih benih-benih ke arah itu, yang sempat bersemi seiring pelaksanaan pilpres tempo hari, belum benar-benar sirna. 

Secara sosial, kemelut itu juga memberi pelajaran yang tidak sehat bagi khalayak luas. Para elite politik di parlemen tidak memberi teladan bahwa konflik kepentingan -- betapapun kerasnya -- bisa diselesaikan secara baik dan elegan. Mereka justru memberi rujukan seolah-olah perpecahan adalah pilihan terbaik untuk sebuah konflik kepentingan.

Di sisi lain, secara ekonomi, kemelut politik di tubuh parlemen ini juga amat merugikan. Aneka program pemerintah, yang dirancang untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat, bisa sulit diimplementasikan.

Selama terkoyak oleh perseteruan berbau sentimen perkubuan, DPR niscaya sulit bisa berfungsi sebagaimana mestinya. Itu pula yang bisa membuat pemerintah tak dapat bekerja secara efektif -- karena banyak hal harus lebih dulu dibicarakan bersama DPR sebelum sebuah program atau kebijakan diluncurkan ke tangah masyarakat.   

Tentu amat mengherankan sekaligus memuakkan kalau saja para politisi di parlemen tidak memiliki kesadaran dan keinginan baik untuk segera mengakhiri kemelut politik di antara mereka. Apa pun alasan atau dalih masing-masing pihak, itu sama sekali tak bisa dijadikan sebagai pembenaran untuk berkukuh di posisi masing-masing.

Walhasil, kedua kubu di parlemen sungguh tak elok terus berseteru bak musuh bebuyutan. Mereka harus segera meredam tensi perseteruan dengan membuang syahwat saling menafikan dan saling meniadakan secara politik. Mereka harus segera duduk bersama untuk menyelesaikan masalah di antara mereka sendiri secara elegan.

Untuk itu, sentimen sempit perkubuan harus disingkirkan. Semangat menang-menangan juga harus dibuang jauh-jauh. Begitu pula perasaan benar sendiri mesti dienyahkan. Semangat rekonsiliasi kudu dikedepankan dan menjadi rujukan bersama.

Terkait itu pula, "dewa-dewa" di setiap parpol yang menguasai kursi di DPR ini tidak boleh tinggal diam. Mereka sungguh tak patut bersikap seolah buta dan tuli atas kemelut politik di tubuh DPR saat ini. Sebagai sesama "dewa" di parpol, mereka harus turun gunung dan saling berkomunikasi untuk melumerkan perseteruan di parlemen.

Setelah berhasil meredakan ketegangan politik menjelang pelantikan presiden dan wapres tempo hari, jiwa besar dan kenegarawanan "dewa-dewa" berbagai parpol ini sekali lagi diuji. Mereka tak boleh justru ikut larut dalam arus kemelut politik di parlemen -- kecuali mereka sudah berubah menjadi badut-badut politik. Dan itu akan dicatat sebagai episode paling memalukan dalam sejarah perpolitikan di dalam negeri.***

Jakarta, 31 Oktober 2014

14 September 2014

Momentum Penaikan BBM

Penaikan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi kini hanya soal waktu. Presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi), Sabtu lalu, menegaskan bahwa dia siap menanggung risiko tidak populer sebagai dampak politik penaikkan harga BBM subsidi ini.

Dengan kata lain, tekad Jokowi untuk itu sudah bulat. Dia terkesankan tidak hirau oleh desakan sejumlah kalangan agar mencari opsi lain yang memungkinkan harga BBM subsidi tak perlu dinaikkan. Bagi dia, sebagaimana juga sikap wapres terpilih Jusuf Kalla, penaikan harga BBM adalah satu-satunya pilihan untuk menyelamatkan problem fiskal akibat beban subsidi BBM yang terus membengkak.

Meski begitu, penaikan harga BBM subsidi ini tak bisa serta-merta dilakukan begitu Jokowi-Jusuf Kalla resmi dilantik menjadi pasangan presiden dan wapres, Oktober mandatang. Bagaimanapun, seperti pengalaman selama ini, penaikan harga BBM subsidi punya implikasi sosial-ekonomi. Persisnya, kesejahteraan rakyat -- terutama di lapisan bawah -- menurun. Kemiskinan membuncah.

Namun seberapa parah penurunan kesejahteraan rakyat itu tertoreh, itu sangat bergantung pada besaran penaikan harga BBM subsidi. Yang pasti, semakin tinggi harga BBM subsidi ini dinaikkan, keterpurukan kesejahteraan rakyat pun semakin dalam.

Jokowi sendiri belum punya ancar-ancar mengenai pilihan kebijakan yang akan ditempuh menyangkut penaikan harga BBM subsidi ini: apakah dilakukan bertahap ataukah sekaligus sampai tingkat keekonomian BBM, sehingga subsidi pun tak dikucurkan lagi. Tapi opsi mana pun yang dipilih, Jokowi sungguh harus berhitung cermat mengenai ekses yang muncul berupa penurunan kesejahteraan rakyat.

Lebih dari itu, Jokowi harus berpikir keras agar penaikan harga BBM subsidi tidak lantas menumbuhkan kesan sebagai tindakan yang melulu menyengsarakan rakyat -- terutama kelompok wong cilik. Artinya, kebijakan itu harus dibarengi dengan "terapi" berupa jaring pengaman sosial.

Untuk itu, jelas, jaring pengaman sosial harus benar-benar disiapkan lebih dahulu secara matang sebelum penaikan harga BBM subsidi dilakukan. Dalam konteks ini, jaring pengaman sosial tak boleh sekadar merupakan "pelipur lara". Jaring pengaman sosial juga harus sekaligus menjadi instrumen perberdayaan masyarakat yang memungkinkan mereka bisa segera bangkit secara sosial maupun ekonomi setelah harga BBM subsidi dinaikkan.

Jaring pengaman sosial juga menuntut penyiapan dan kesiapan organisasi pelaksana, mulai di tingkat pusat hingga operasional di lapangan. Tanpa organisasi pelaksana yang rapi dan siap bekerja, jaring pengaman sosial hampir pasti tidak akan efektif mencapai sasaran dan tujuan.

Menimbang itu semua, maka langkah penaikan harga BBM subsidi ini baru mungkin bisa dilakukan Jokowi pada tahun depan. Jika dipaksakan tahun ini juga, karena rentang waktu yang tersedia sudah pendek, penaikan itu berisiko melahirkan ekses-ekses sosial-ekonomi tak terduga atau mungkin tak terkendali.


Lalu, last but not least, kebijakan menyangkut BBM subsidi ini harus paralel dilakukan dengan program-program penghematan. Untuk itu, Jokowi tinggal menerapkan program-program yang sudah dirumuskan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Program-program itu, secara konseptual bagus dan feasible diaplikasikan. Namun selama ini pemerintah terkesankan gamang dan tidak konsisten, sehingga konsumsi BBM subsidi terus-menerus kedodoran.

Nah, Jokowi jangan sampai mengulang kesalahan itu.***

Jakarta, 14 September 2014

27 Agustus 2014

ONTOHOD

Setelah cukup lama ditunggu, bus kota itu akhirnya muncul juga. Seolah terengah di tengah riuh lalu-lintas yang terik dipanggang matahari, bus menepi dan kemudian berhenti di depan halte. Saya lihat, bus tak dijejali penumpang seperti saat jam berangkat ataupun bubar kantor.

"Bulus, Bulus! Lebak Bulus!" teriak kondektur mewartakan jurusan yang dituju.

Saya bergerak cepat naik bus itu lewat pintu depan. Seorang penumpang lain berbuat serupa lewat pintu belakang, tempat kendektur menggelantung.

Di perut bus tak ada penumpang yang berdiri. Saya celingukan mencari-cari tempat duduk yang masih kosong. Ah, kursi di sisi kanan baris keempat dari depan masih menyisakan satu-satunya tempat duduk tanpa penumpang. Hup, saya bergerak gesit. Tak mau terdahului penumpang lain yang tadi naik lewat pintu belakang.

Alhamdulillah tempat duduk itu berhasil saya kuasai. Seorang lelaki bertubuh gempal dan agak kumal tak acuh saja saat saya menjatuhkan pantat di sampingnya. Sementara penumpang yang tadi naik lewat pintu belakang akhirnya berdiri bergelantungan di gang dekat tempat duduk saya. Orang itu tinggi, berkulit bersih, dan bertubuh atletis. Kumis tipis menghias bibirnya yang sedikit menghitam. Sementara rambutnya yang pendek dan klimis disisir ke belakang.

Bus bergerak lagi. Suara mesinnya menderum keras mengalahkan deru lalu-lintas kendaraan di jalan yang kebetulan siang itu tak dihadang kemacetan.

Di halte berikutnya, empat penumpang naik lewat pintu depan -- dan entah berapa orang lewat pintu belakang. Salah satu yang naik lewat pintu depan adalah seorang wanita muda bertubuh sintal. Dia langsung memilih tempat -- berdiri menggelantung -- di ujung gang depan, dekat tempat duduk sopir.

Mungkin merasa tak enak hati, atau boleh jadi juga karena halte tujuannya sudah dekat, pemuda ceking di kursi paling depan berdiri dan memberikan tepat duduknya kepada perempuan sintal itu. Dia sendiri kemudian menggelantung persis di sisi kiri tempat duduknya semula.

Melihat itu, lelaki gempal di samping saya mendengus sambil berbisik. "Lihat pemuda ceking itu. Dia ngasih tempat duduknya kepada perempuan itu belum tentu karena dia memang gentle," katanya. Jelas bisikan orang itu ditujukan kepada saya.

"Maksud Anda?" ujar saya tak kuasa menahan heran.

"Lha, iya. Dia memberikan tempat duduknya kepada wanita itu boleh jadi bukan karena dia menghargai dirinya sendiri sebagai lelaki yang harus menghormati wanita," ujar lelaki gempal itu lagi.

Saya diam. Saya merasa tidak tertarik menanggapi. Tapi, eh, si gempal nyerocos lagi. Seperti tak peduli bahwa saya tak berminat mengobrol dengannya.

"Gua yakin, dia menyerahkan tempat duduknya kepada wanita itu sebagai akal bulus. Cuma modus, Bung," kata si gempal.

"Modus? Modus bagaimana?" tanpa sadar saya terpancing juga.

"Iya modus. Modus untuk melecehkan wanita itu. Dia memilih berdiri bergelantungan agar bisa leluasa melakukan pelecehan seksual. Coba saja lihat nanti kalau penumpang padat. Dia pasti beraksi. Dan wanita yang dia kasih tempat duduk itu adalah sasarannya," kata si gempal lagi.

"Ah, Anda berburuk sangka," ujar saya.

"Lha, gua pernah menyaksikan dengan mata kepala sendiri kok bagaimana lelaki seperti dia melakukan pelecehan seksual di atas bus kota. Korbannya bahkan ibu-ibu."

"Benarkah?"

***

Si gempal menarik napas. "Kejadiannya sekitar tiga atau empat bulan lalu. Di bus jurusan ini pula. Saat itu sore. Jam bubaran kantor," katanya kemudian.

Saya diam. Menunggu lanjutan ceritanya.

"Bus kala itu sudah penuh," kata si gempal lagi tanpa saya minta. "Jadi, penumpang yang naik pun harus rela berdiri. Tapi gua sendiri, karena naik saat penumpang bus masih agak lengang, kebagian tempat duduk. Ya, di posisi seperti sekarang ini. Di kursi baris keempat dari depan.

Meski sudah berjejal, bus masih saja menjaring penumpang. Nah, di sebuah halte, antara lain seorang wanita muda naik. Bodinya sintal kayak wanita yang kini duduk di depan itu. Dengan susah-payah, wanita itu berupaya menerobos jejalan penumpang. Upayanya tidak sia-sia. Dia akhirnya bisa mendapat posisi -- berdiri di belakang tempat duduk sopir, menghadap jendela.

Persis di belakang wanita itu, berdiri pula seorang pemuda. Kayaknya mahasiswa. Di punggungnya nemplok tas ransel. Seperti kemejanya, celana yang dikenakan pemuda itu terlihat longgar.

Bus bergerak lagi. Di halte berikutnya, beberapa penumpang turun. Tapi penumpang yang naik lebih banyak ketimbang yang turun. Jadinya, bus makin sesak. Penumpang kian berimpitan serupa ikan sarden.

Di antara penumpang yang baru naik itu adalah sepasang laki-perempuan. Belakangan ketahuan bahwa mereka suami-istri. Sang istri berwajah lumayan cantik. Umurnya mungkin belum tiga puluh. Sementara sang suami kira-kita berumur empat puluh. Tampangnya sedikit sangar.

Boleh jadi karena tampang sangar lelaki itu pula maka penumpang-penumpang lain bergeser menggeliat untuk memberi ruang bagi pasangan suami-istri itu memepet ke bagian depan. Mereka kemudian memilih posisi berdiri berhimpitan di samping kanan mahasiswa bercelana longgar tadi.

Sementara itu, memanfaatkan kepadatan penumpang, si mahasiswa merapatkan badannya ke bagian belakang bodi si wanita sintal. Tak cuma itu, dasar ontohod, lelaki muda itu menggesek-gesekkan anunya ke bokong si sintal.

Awalnya si sintal kelihatan tidak ngeh bahwa dia dikerjain si ontohod. Maklum penumpang dalam bus berdesakan. Tapi lama-lama si sintal sadar juga. Cuma kayaknya dia tak berani berteriak. Mungkin takut atau mungkin juga malu. Hanya ekspresi wajahnya nyata sekali kelihatan senewen kepada si mahasiswa ontohod itu.

Merasa dikerjain tak senonoh, si sintal bergerak mengubah posisi. Meski tidak mudah, dia akhirnya bisa beralih posisi jadi di belakang si ontohod. Tapi entah bagaimana, si ontohod sendiri tahu-tahu jadi menghadap wanita yang tadi naik bersama si sangar. Sementara posisi si sangar malah di belakang si sintal.

Nah, pemuda itu memang benar-benar ontohod! Wanita pasangan si sangar pun segera dia kerjain pula. Persis seperti sebelumnya dia ngerjain si sintal. Gua yakin, si sintal sendiri tahu kelakuan bejat itu pemuda ontohod. Cuma, lagi-lagi dia memilih diam dan hanya pasang mimik senewen.

Namun kemudian gua lihat pasangan si sangar menyadari apa yang terjadi. Wanita itu seketika berteriak. "Eh, apa-apaan kamu, bedebah? Kurang ajar kamu, ya!"

Mendengar itu, si sangar pun terlihat kaget. "Kenapa, Mam?"

"Ini, Pah. Orang ini mepet-mepet dan gosok-gosokin anunya ke bokongku! Kurang ajar dia!" kata wanita itu makin sewot.

Emosi si sangar seketika tersulut. Tanpa banyak cingcong lagi, dia melayangkan tinjunya. Buk, buk, buk! Tiga bogeman dia daratkan di kepala si ontohod. "Setan lu, ya! Berani-beraninya bini gua lu perlakukan gak senonoh!" kata si sangar sambil melayangkan lagi tinjunya ke muka si ontohod.

Menyadari apa yang terjadi, beberapa penumpang lain ikut-ikutan membogem si ontohod. Suasana di dalam bus praktis jadi gaduh sehingga sopir pun menghentikan laju bus. Kesempatan itu dimanfaatkan si sangar untuk menyeret turun si ontohod. Istrinya bergegas ikut turun sambil tak henti memuntahkan makian.

Gua gak tahu apa yang selanjutnya terjadi karena bus segera bergerak lagi lantaran diprotes banyak pengendara lain di belakang dengan ramai-ramai membunyikan klaksok. Cuma gua sempat lihat sekilas, di pinggir jalan itu si sangar masih meneruskan menghujani si ontohod dengan pukulan...."

Saya manggut-manggut. Takjub oleh cerita si gempal barusan.

***

Tanpa saya sadari, bus sudah tak lengang lagi. Penumpang berdesakan. Saya lihat, si atletis -- lelaki yang tadi naik bersamaan dengan saya -- masih berdiri berhimpitan dengan penumpang lain.

Begitu juga pemuda ceking yang tadi memberikan tempat duduknya kepada wanita sintal. Posisi si ceking kini sudah bergeser sedikit ke belakang. Tak lagi persis di samping kiri si sintal.

Saya tersenyum seraya mencolek si gempal di sebelah saya. "Pemuda itu tidak melakukan apa-apa," kata saya berbisik seraya menunjuk ke arah si ceking dengan gerakan mata. "Anda salah sangka tentang pemuda itu. Dia pemuda baik-baik," kata saya setengah meledek.

Si gembal tak bicara. Dia membuang pandangan ke luar jendela seraya mengangkat bahu. Sama sekali tak terlihat rasa bersalah.

Di pintu belakang, kondektur lagi-lagi terdengar berteriak-teriak. Pergtanda bus mendekati halte. "Bulus, Bulus! Lebak Bulus!"

Bus menepi. Sejumlah penumpang turun dengan susah-payah menembus rapatnya penumpang lain yang bergelantungan. Si ceking termasuk ikut turun. Sejurus kemudian, sejumlah panumpang baru gantian naik. Seorang perempuan berusia 50-an, tanpa peduli penumpang lain yang berdesakan, langsung menerobos mencari posisi di tengah. Si altetis terlihat bijak. Dia bergeser sedikit ke belakang, sehingga perempuan itu mendapat ruang di depannya. Perempuan itu lalu berdiri bergelantungan, persis di samping kiri tempat saya duduk.

Ah, saya jadi merasa tak nyaman. Saya tak bisa membiarkan ibu-ibu berdiri berdesakan di depan hidung saya.

Nurani saya mendorong saya berdiri dan menyerahkan tempat duduk kepada perempuan setengah baya berpenampilan menor itu. Tapi sebelumnya saya sempatkan berbisik kepada si gempal. Menggoda.

"Anda jangan mengira saya hendak berbuat yang tidak-tidak terhadap ibu ini. Saya lelaki baik-baik," kata saya. Si gempal mendelik tanpa berkata-kata.

Maka saya dan perempuan menor itu berganti tempat. Saya kini ikut berdiri bergelantungan sambil berdesakan. Persis di belakang saya adalah si atletis.

Saya menebar pandangan ke luar jendela. Yeah, tempat saya turun tinggal tiga halte lagi.

Bus baru bergerak lagi ketika saya merasakan tubuh si atletis kian merapat ke tubuh saya. Pasti itu efek pergerakan bus, pikir saya. Tapi lama-kelamaan saya menjadi tak enak. Bukan saja tubuh si atletis tetap menempel rapat ke badan belakang saya, tapi saya juga merasakan bokong saya didesak-desaknya.

Saya menoleh ke belakang, dan segera beradu pandang dengan si atletis. Muka kami saling berhadapan dalam jarak hanya terpaut beberapa senti. Alamaaak, si atletis tersenyum genit sambil mengedipkan sebelah matanya. Ontohoood!

Bulu kuduk saya seketika merinding. Seketika pula saya berteriak kepada sopir. "Kiri, Bang! Stop, stop, stop! Stooooooop!!!"***

 

Jakarta, 17 Mei 2011



Catatan: 

Ontohod adalah umpatan Sunda untuk orang yang melakukan perbuatan kurang/tidak patut.

Kematian

TIBA-TIBA aku dicekam suasana kematian. Suasana maut itu terasa hadir di sekelilingku, ke mana pun aku pergi. Mencekam. Menyeramkan. Kematian terasa sangat dekat dan seperti segera menjemputku. Terlebih dalam suasana malam seperti sekarang ini. Terasa sangat sepi dan dingin. Detak-detak jam di dinding seolah mengabarkan saat-saat terakhirku. Detak-detak itu seperti menghitung denyut nadiku sampai suatu ketika aku benar-benar mati.

Suasana maut ini mulai membayangiku sesaat setelah kematian Bodin, kawan karibku. Seperti biasa, pagi itu aku dan Bodin lari pagi menyusuri jalan yang masih lengang. Tetapi pagi itu, dengan sangat tiba-tiba, sebuah mobil menyambar Bodin dari sampingku. Seketika Bodin mati dengan dada remuk. Darahnya menggenang di aspal yang hitam. Sedang mobil yang merenggut nyawanya kabur entah ke mana. Tinggal aku sendirian antara kaget, bingung, dan ngeri. Angin pagi yang dingin seketika menghadirkan suasana mencekam, seperti mengabarkan  giliran kematianku.

Sejak itu aku merasa maut ada di mana-mana, mengintai setiap orang. Dan siang tadi, Ceu Romlah yang mendapat giliran. Dia mati setelah terjatuh di kamar mandi. Begitu mudahnya sebuah kemartian terjadi! Padahal Ceu Romlah masih muda dan sehat walafiat.

Sekarang, setelah kematian Ceu Romlah, makin jelas terasa: kematian itu segera menjadi giliranku. Tidak siapa-siapa lagi. Ya, nyawaku tak lama lagi melayang!

Tapi tidak. Aku tak ingin mati. Aku harus meninggalkan suasana maut ini. Aku harus pergi dari tempat ini. Sekarang juga!

AKU bersyukur. Sampai di kampung, ternyata nyawaku masih utuh menyatu dengan jasadku. Dan anehnya, justru di tempat kelahiranku ini suasana maut itu tak terasa lagi. Di sini, aku tak lagi merasa dibayang-bayangi kematian. Sekarang aku merasa tenteram. Suasana di sini terasa hangat. Tak lagi mencekam dan menakutkan.

Melihat kedatanganku, ibu tak dapat menyambunyikan keheranannya. Mungkin karena aku pulang tidak pada musimnya.

“Kok pulang secepat ini, Jo? Mestinya kan baru bulan depan kamu pulang,” ujar ibu.

“Iya, Bu. Kangen kepada semua yang di sini,” jawabku berbohong.

Malam harinya, kepada ibu aku ceriterakan kegelisahanku. Aku beberkan soal bayangan maut yang terasa terus mengintaiku, sekalian kukabarkan kematian Bodin yang sangat tiba-tiba.

Mendengar itu, ibu hanya tersenyum sambil menggeleng-geleng kepala. Sedangkan Budi, adikku, tertawa-tawa mengejek. “Ha ... Kecing. Kakak kecing! Sebenarnya kakak takut sama hantu Kak Bodin,” kata Budi mengolok-olok.

“Tidak, Bud. Sama sekali aku tidak takut sama hantu. Lagi pula aku tak percaya pada hantu gentayangan,” kataku menangkis olok-olok adikku.

“Terus, kenapa sampai kabur ke sini segala?” ujar Budi lagi, masih mengejekku.

“Aku ke sini karena takut akan suasana kematian yang tiba-tiba menghimpitku. Aku merasa seperti mau mati!”

Budi kembali tertawa. Tetap mengejek.

“Jo ...” kata ibu setelah Budi beranjak pergi ke kamarnya, “Perkara kematian tak perlu kita takuti. Kapan saja dan di mana saja, kalau memang sudah waktunya mati, kita pasti mati juga. Yang penting kita harus siap menyongsong kematian itu.”

“Justru itu, Bu. Saya belum siap. Saya merasa masih terlalu muda untuk mati.”

Ibu tersenyum. “Siapa pun orangnya, kalau menyangkut soal mati, pasti selalu merasa belum siap. Tapi, Jo, kematian tidak pernah mengenal siap dan tidak siap. Tua, muda, sakit, ataupun sehat, kalau memang sudah waktunya mati pasti mati juga. Kematian tidak pernah kenal kompromi. Oleh sebab itu, seperti ibu bilang tadi, kita harus senantiasa siap untuk mati. Artinya, kita harus mempersiapkan diri. Berbuat amal baik seperti pesan agama.”

Lama sekali kurenungkan kata-kata ibu itu. Bahkan sampai larut malam. Mungkin benar, selama ini aku kurang bersiap menghadapi kemungkinan mati yang bisa terjadi kapan saja. Aku terlalu larut dalam kesenangan duniawi.

Tapi benarkah aku mesti bersiap menyongsong kematian? Ah, aku tak mau mati terlalu dini. Aku masih sangat mencintai dunia.

SEMINGGU lebih aku tinggal di kampung, menghindari suasana kematian. Selama itu pula kuliahku terbengkalai. Tetapi selama itu pula aku bisa merasakan ketenteraman. Di kampung, aku bisa terbebas dari suasana yang mencekam dan menghimpit. Aku merasa tenang dan dapat menghirup kehidupan dengan penuh nikmat.

Hari ini kuputuskan kembali ke Bandung. Tak berapa lama lagi ujian akhir semester berlangsung. Harapanku, di Bandung aku memperoleh ketenteraman seperti di kampung: tak dibayang-bayangi lagi oleh suasana kematian. Aku berharap bisa belajar dengan tenang, mempersiapkan diri menghadapi tentamen.

Sebelum berangkat, sekali lagi ibu menasihati. “Kematian sama sekali tak perlu ditakuti, Jo. Kalau sudah waktunya, kematian pasti datang juga. Tak bisa ditampik. Tak bisa dielaki. Karena itu, yang penting kamu senantiasa siap menghadapi kemungkinan dijemput maut. Kita bersiap dengan mengumpulkan amal ibadah sebanyak mungkin. Cuma itu ....”

ANEH. Sampai di tempat kost, suasana mencekam itu menyergap lagi. Sangat menekan perasaanku. Detak-detak jam di dinding seperti kembali mengingatkan bahwa ajalku segera tiba! Duh, bagaimana ini? Mengapa kematian di sini terasa begitu akrab menguntitku? Benarkah aku segera dijemput ajal?

Tiba-tiba pintu diketuk orang dari luar. Sejenak aku mematung. Ragu. Apalah itu malaikat yang akan mencabut nyawaku? Algojo misterius?

Pintu diketuk lagi. Sedikit lebih keras. Aku makin tegang. Sekarangkah ajalku?

“Jo ...” suara di balik pintu.

Ah, bukan. Di luar itu bukan malaikat pencabut nyawa. Aku kenal betul suara itu. Pasti Waska, teman kuliahku.

Benar saja. Ketika pintu kubuka, Waska berdiri sambil menebar senyum khasnya. “Ke mana saja kau selama ini, Jo” katanya seraya masuk. Waska lalu  duduk di bibir tempat tidurku.

“Aku mudik, Was,” jawabku pendek saja.

“Lho, bukan musimnya kok mudik?”

“Yah, keuangan macet. Terpaksa!” jawabku berbohong.

Waska tersenyum. Giginya putih bersih seperti kata iklan. “Kau sudah tahu, ibunya kawan kita, Apuy, meninggal?” katanya kemudian.

“Ha?!!”

Bukan karena ibunya Apuy itu yang membuatku kaget bukan kepalang. Tapi soal kematian. Ya, kematian! Lagi-lagi kematian. Gila! Setelah ibunya Apuy, lalu giliran siapa? Aku?

“Kok bengong, Jo?”

“Oh, aku ... Aku sangat kaget. Tak menyangka kawan kita Apuy mendadak kehilangan ibu. Kasihan dia ...”

“Yah, begitulah ...”

“Sakit apa gerangan ibunya Apuy itu?”

“Sama sekali tidak sakit. Malah pagi hari sebelum mati itu dia katanya ikut arisan ibu-ibu di kampung tempatnya tinggal.”

Aku menarik napas dalam-dalam. Bayangan kematian terasa kian dekat. Kian mencekam. Dingin. Oooo, maut segera menyambarku!

“Jo, kau percaya terhadap hal-hal aneh?” kata Waska menyentak kesadaranku.

“Maksudmu?”

“Begini. Kata orang, kalau di malam hari pintu diketuk orang dari luar, tapi saat dilihat tak ada siapa-siapa, konon itu pertanda bakal ada kematian di rumah itu.”

“Was!”

“Nah, sehari sebelum ibunya Apuy meninggal, katanya Apuy mengalami kejadian begitu. Dua kali Apuy terjaga dari tidur karena pintu rumah diketuk dari luar. Tapi setiap kali dilihat, Apuy tidak melihat siapa-siapa di depan pintu itu.”

“Was!”

AKU merasa kian tak tenteram. Jiwaku teramat gelisah. Suasana malam terasa sangat sepi, dingin, dan mencekam. Menyeramkan. Maut kian terasa mendekat. Napasku sesak, sementara jantung berdebur kencang. Keringat dingin meleleh deras. Bayangan-bayangan menyeramkan terpampang jelas di mataku. Teramat menakutkan. Ah, mungkin ini awal kematianku. Mati perlahan-lahan. Ya, barangkali aku sedang sekarat. Tak lama lagi malaikatul maut menjemputku. Dan ruangan ini, kamar ini, telah lebih dulu mati. Dingin. Basah. Lembab. Kamar ini telah menjadi kuburku yang pertama.

“Tok-tok-tok-tok-tok!!”

Nah, kabar kematian telah datang! Maut tak lama lagi menjemput. O, dunia ... selamat tinggal!***

Bandung, 6 Januari 1985