08 Oktober 2008

Suspensi Bursa Saham

Suspensi atau penghentian perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia (BEI), kemarin siang, sungguh mengejutkan. Bukan semata karena dilakukan mendadak, melainkan terutama karena tindakan tersebut tidak biasa. Padahal ketika krisis ekonomi-meneter mendera negeri kita dengan demikian hebat saja, persis sepuluh tahun lalu, perdagangan di bursa saham lokal ini tidak pernah dihentikan. Meski ketika itu krisis membuat harga saham remuk redam, perdagangan di pasar modal tidak dikenai suspensi.

Konon, otoritas bursa kemarin terpaksa melakukan suspensi perdagangan saham adalah dalam rangka meredakan kepanikan investor. Dalam pandangan mereka, jika perdagangan terus dilangsungkan, kepanikan bisa kian menjadi-jadi. Konsekuensinya, jelas, harga saham di bursa bisa jeblok tidak karuan.

Pada saat kemarin suspensi diberlakukan pada pukul 11.08 WIB, indeks harga saham gabungan (IHSG) sudah ambrol 168 poin atau 10,38 persen. Itu paling buruk dibanding kejatuhan indeks bursa lain di berbagai belahan dunia yang kemarin rata-rata mencatat kerontokan 4-5 persen. Angka koreksi 10,38 persen itu, setelah sederet koreksi lain belakangan ini, sekaligus mengantarkan IHSG ke posisi terendah sejak September 2006.

Jadi, suspensi juga dimaksudkan untuk mengamankan nilai saham yang diperdagangkan agar tidak semakin rontok. Karena itu pula, sejumlah pihak menyatakan setuju terhadap tindakan otoritas bursa melakukan suspensi ini -- meski mereka juga tidak yakin bahwa harga saham tidak makin tergerus manakala perdagangan nanti dibuka kembali.

Memang, sulit menjamin bahwa situasi di pasar modal pada hari-hari ini menjadi membaik. Kepanikan pemain pasar belakangan ini, bagaimanapun, bersifat sistemik. Kepanikan itu adalah imbas kondisi keuangan global yang kini tidak menentu sebagai dampak krisis finansial di AS.

Dalam konteks itu, otoritas bursa seharusnya tidak ikut-ikutan panik. Pertama, karena krisis keuangan global ini sebenarnya sudah diprediksi sejak jauh hari. Kedua, karena pasar modal kita sendiri telanjur mengalami penggelembungan (bubble) yang luar biasa. IHSG yang sempat menembus level 2000-an adalah bukti nyata dan tak terbantahkan mengenai fenomena bubble ini.

Secara kondisional, bubble di pasar modal kita memang sudah rentan meletus. Itu sangat mungkin terjadi setiap saat. Justru itu, kondisi rush seperti kemarin melanda mestinya dibaca sebagai fenomena letusan bubble ini.

Kalau saja fenomena itu sudah benar-benar diantisipasi, otoritas bursa tak perlu grogi ataupun panik. Suspensi perdagangan saham tak sampai perlu mereka lakukan. Pasar boleh gerah dan panik oleh perkembangan situasi keuangan global yang tidak menentu. Tapi kenyataan itu mestinya bisa disiasati otoritas bursa lewat aturan main yang sudah disiapkan sejak jauh hari, yang secara taktis-strategis memungkinkan penciutan bubble di pasar berlangsung smooth alias tidak menyerupai letusan yang merontokkan harga saham.

Tampaknya, antisipasi seperti itu gagal dilakukan otoritas bursa kita. Bahkan selama ini mereka seperti tak kunjung tergerak menyelesaikan masalah-masalah fundamental yang nyata-nyata potensial merusak pasar. Misalnya saja, seperti kata seorang analis di sebuah sekuritas, masalah short selling, praktik gadai-menggadai saham, juga penentuan margin trading.

Tak mengherankan, karena itu, otoritas bursa saham kita pun panik ketika pasar dilanda rush. Mereka terkesan tidak tahu harus berbuat apa untuk membendung aksi jual saham yang, seperti kemarin, semakin deras bak air bah. Bagi mereka, suspensi adalah pilihan paling mungkin untuk meredakan kepanikan pasar sekaligus untuk mengamankan nilai saham agar tidak rontok lebih dalam lagi.

Tapi setelah nanti suspensi dibuka lagi, mungkinkah rush di pasar benar-benar reda?
Jakarta, 08 Oktober 2008