26 Agustus 2005

Kenapa Ditunda-tunda?

Pemerintah dan Bank Indonesia kelihatan makin keteteran dalam mengendalikan kurs rupiah sekarang ini. Berbagai cara sudah dilakukan kedua institusi tersebut. Toh tekanan terhadap rupiah tak kunjung reda. Rupiah bahkan semakin serius tertekan.

Kemarin, nilai tukar rupiah kembali melorot 65 poin dibanding Rabu lalu menjadi Rp 10.350 per dolar AS. Itu semakin mengukuhkan kenyataan bahwa dalam sepekan ini praktis tiada hari tanpa rupiah terdepresiasi. Itu juga sekaligus menjadi posisi terburuk dalam tiga tahun terakhir.

Krisis ekonomi seperti 1997-1998 pun kini membayang. Pesimistis, memang. Tapi tampaknya itu memang realita yang kita hadapi saat ini. Apa boleh buat, karena faktor penyebab depresiasi rupiah sekarang ini bukan lagi sekadar bersifat teknis ekonomi. Penyebab itu lebih merujuk pada masalah kepercayaan terhadap pemerintah yang telanjur meluntur.

Itu pula yang membuat berbagai langkah yang dilakukan pemerintah maupun Bank Indonesia menjadi nyaris sia-sia. Intervensi yang belakangan ini hampir tiap dilakukan Bank Indonesia ke pasar uang, misalnya, praktis gagal total. Jutaan dolar yang diguyurkan Bank Indonesia ke pasar sama sekali tak mampu membendung depresiasi rupiah ini.

Padahal di samping intervensi ke pasar uang, Bank Indonesia selaku otoritas moneter juga sudah lebih dulu meluncurkan sejumlah jurus. Tapi jurus-jurus itu terbukti mandul.

Demikian pula langkah-langkah pemerintah. Mungkin upaya pemerintah juga mandul karena beberapa menteri cenderung menganggap sepi masalah. Mereka tidak menganggap luar biasa gejolak rupiah sekarang ini.

Karena itu, seperti dikeluhkan Ketua DPR Agung Laksono, pemerintah pun terkesan tidak serius dalam melakukan upaya-upaya meredam gejolak rupiah ini. Bisa dipahami jika pada gilirannya itu membuat kepercayaan terhadap ekonomi nasional semakin menipis.

Karena itu pula tak mengherankan jika langkah Presiden Yudhoyono melakukan pertemuan koordinasi dengan pimpinan Bank Indonesia pun, Rabu malam lalu, sama sekali tak digubris pasar. Pertemuan tersebut sungguh tak berdampak positif terhadap nilai tukar rupiah. Pasar terkesan memandang pertemuan tersebut -- juga kedatangan beberapa menteri ke bursa saham Jakarta, kemarin siang -- sekadar seremoni biasa.

Ketika kepercayaan masyarakat terhadap ekonomi nasional -- juga terhadap pemerintah -- sudah pudar, apa pun yang dilakukan pemerintah tak punya makna apa-apa. Semua mandul dan sia-sia.

Justru itu, langkah yang harus diayunkan pemerintah sekarang ini tidak lain adalah memulihkan kepercayaan masyarakat -- khususnya pemilik modal. Mereka harus dibuat merasa yakin bahwa ekonomi nasional tidak bermasalah -- dan karena itu tak beralasan merasa tidak nyaman menggenggam uang dalam denominasi rupiah.

Membuat masyarakat yakin bahwa ekonomi nasional tidak bermasalah tak cukup dilakukan sekadar lewat pernyataan. Itu harus ditunjukkan melalui tindakan nyata dan berani. Tindakan itu sendiri jelas harus merupakan jawaban atas penyebab yang telah membuat luntur kepercayaan masyarakat sekarang ini.

Pemerintah sendiri sudah menyadari bahwa penyebab lunturnya kepercayaan masyarakat ini adalah defisit anggaran yang semakin membengkak. Itu terkait dengan lonjakan subsidi bahan bakar minyak (BBM) sebagai konsekuensi melambungnya harga minyak mentah di pasar dunia yang saat ini sudah di atas 65 dolar AS per barel -- jauh melampaui patokan APBN sebesar 45 dolar AS.

Walhasil, tindakan nyata yang harus dilakukan pemerintah pun jelas: membuat subsidi BBM menciut. Itu berarti, harga BBM harus dinaikkan lagi. Tindakan ini harus segera dilakukan. Kenaikan harga BBM tak bisa lagi ditunda-tunda hingga awal tahun depan seperti rencana pemerintah.

Tindakan itu memang tidak populer. Tapi kapan pun dilakukan, kenaikan harga BBM tetap tidak populer. Karena itu, kenapa langkah ke arah itu mesti ditunda-tunda? Terlebih lagi pimpinan DPR toh sudah memberi lampu hijau.***
Jakarta, 26 Agustus 2005

Tidak ada komentar: