16 September 2012

Beban di Pundak SBY


Kegalauan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengenai peluang Partai Demokrat dalam memenangi Pemilu 2014 sungguh wajar dan masuk akal. Pidato SBY di forum Silaturahmi Nasional Partai Demokrat di Sentul, Bogor, akhir pekan lalu, jelas memberi isyarat. SBY sadar betul betapa Partai Demokrat saat ini sulit diharapkan mampu mempertahankan kesuksesan gilang-gemilang yang mereka raih dalam Pemilu 2009.

Sebagaimana tecermin dalam sejumlah hasil survei belakangan ini, elektabilitas Partai Demokrat kini terpuruk di bawah 10 persen. Kenyataan itu tak terelakkan karena citra Partai Demokrat di mata publik telanjur jeblok. Partai yang dibidani SBY ini kuyup dengan isu korupsi, menyusul kasus rasuah yang menyeret sejumlah elite mereka ke Pengadilan Tipikor. Bahkan sang ketua umum partai, Anas Urbaningrum, juga tersandera isu berbau rasuah ini.

Karena itu, slogan antikorupsi yang semasa kampanye Pemilu 2009 begitu gencar disuarakan Partai Demokrat, kini seolah menjadi bumerang. Bahkan sebuah stasiun televisi seperti sengaja mengolok-olok partai tersebut dengan acap menayangkan ulang iklan kampanye itu. Tayangan itu hari-hari ini terasa menjadi olok-olok karena sebagian tokoh yang menyuarakan slogan antikorupsi dalam iklan itu justru sekarang menjadi terdakwa atau terpidana kasus korupsi.

Dalam situasi seperti itu pula, soliditas di internal Partai Demokrat ini meluntur. Harmoni dan kekompakan sebagai sebuah tim memudar. Antarfaksi terlibat gontok-gontokan atau bahkan saling sikut. Pemecatan Ruhut Sitompul dari kepengurusan partai menjadi salah satu bukti kerasnya saling sikut antarfaksi ini.

Tak bisa tidak, SBY harus segera melakukan penyelamatan. Bukan semata karena SBY secara struktural menjabat Ketua Dewan Pembina, melainkan terutama karena dia juga merupakan satu-satunya figur yang bisa menyolidkan kembali internal partai. SBY adalah faktor perekat bagi keutuhan Partai Demokrat.

Soliditas dan kekompakan di internal Partai Demokrat memang niscaya harus dibangun kembali. Jika tidak, langkah-langkah partai tersebut menapaki persaingan dalam Pemilu 2014 niscaya terseok-seok. Justru itu, raihan suara pun kemungkinan lebih buruk dari perkiraan seperti tecermin dalam berbagai hasil survei mutakhir.

SBY juga dituntut membersihkan Partai Demokrat dari isu-isu korupsi. Jelas, upaya ke arah itu tak cukup hanya dilakukan dengan menyatakan permintaan maaf kepada publik atas banyaknya kader Partai Demokrat terlibat kasus korupsi. Suka tidak suka, SBY juga harus menunjukkan tindakan konkret terkait keterlibatan sejumlah kader dalam kasus korupsi ini. Intinya, SBY jangan membiarkan Partai Demokrat menjadi bunker bagi kader-kader yang terlibat kasus korupsi.

Secara psikologis, langkah ke arah itu mungkin tidak gampang karena kader-kader bersangkutan merupakan figur potensial -- atau di waktu lalu berjasa besar terhadap partai. Tetapi dalam sisa waktu sekarang ini, yang relatif tidak banyak lagi menjelang laga Pemilu 2014, SBY hampir tidak punya pilihan lain kecuali menindak tegas kader-kader yang terindikasi kuat berkubang dalam tindak korupsi ini.

Jadi, sepatutnya SBY tidak sekadar menunjukkan kegalauan atas prospek Partai Demokrat terkait Pemilu 2014 ini. Kagalauan itu juga harus dijabarkan menjadi tindak penyelamatan partai secara pasti, tegas, lugas, dan nyata.***

Jakarta, 16 September 2012

09 September 2012

Liberalisasi Kian Niscaya


Liberalisasi perdagangan semakin menjadi keniscayaan, menyusul kesepakatan pertemuan puncak para pemimpin forum Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) yang berlangsung di Vladivostok, Rusia, sejak Sabtu lalu dan berakhir Minggu kemarin. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ikut ambil bagian dalam perhetalan akbar forum beranggotakan 20 negara itu.
    
Liberalisasi perdagangan memang menjadi salah satu butir kesepakatan pertemuan puncak itu, di samping beberapa isu strategis lain seperti pertumbuhan ekonomi, penguatan ketahanan pangan, juga pembangunan ketahanan energi. Kesepakatan tersebut pada dasarnya merupakan penegasan atas komitmen masing-masing pemimpin ekonomi APEC dalam pertemuan puncak yang digelar saban tahun itu.

Artinya, liberalisasi perdagangan bakal jalan terus dengan segala konsekuensinya -- positif ataupun negatif. Orang bilang: isu tersebut sudah menjadi point of no return alias tak bisa diharapkan surut lagi.

Liberalisasi perdagangan memang bisa dikatakan sebagai ruh forum APEC. Karena itu, sejak awal, pertemuan puncak forum APEC senantiasa mengusung semangat tersebut. Dalam setiap pertemuan puncak, yang digelar saban tahun sejak 1989 di Canberra, para pemimpin ekonomi APEC terus meneguhkan komitmen tentang itu.

Jadi, sebenarnya, hasil pertemuan puncak di Vladivostok pun tidak mengandung kejutan karena sekadar menegaskan komitmen tentang liberalisasi perdagangan ini. Tetapi justru itu, penegasan tersebut menjadi sesuatu yang menyesakkan bagi banyak kalangan di dalam negeri. Menyesakkan, karena itu tadi: liberalisasi perdagangan semakin menjadi keniscayaan. Liberalisasi perdagangan kian menjadi point of no return.

Itu berarti, ekonomi nasional niscaya semakin jauh masuk ke sistem perdagangan bebas. Padahal sejauh ini saja, pusaran perdagangan bebas sudah membuat ekonomi nasional tertatih-tatih atau bahkan termehek-mehek. Karena kelemahan dan ketidaksiapan dalam banyak aspek, sementara langkah liberalisasi perdagangan dan investasi yang diambil pemerintah begitu menggebu, ekonomi nasional sejauh ini tak bisa berbuat banyak dalam menghadapi gempuran persaingan.

Tidak mengherankan, karena itu, banyak aset nasional kemudian jatuh ke dalam penguasaan asing. Bahkan sejumlah aset strategis yang semestinya mati-matian dipertahankan tetap dalam penguasaan ekonomi nasional -- karena menguasai hajat hidup orang banyak -- tak terkecuali jatuh ke tangan asing.

Jadi, sekarang ini, nyaris tak ada sektor ekonomi di dalam negeri yang tidak dalam genggaman asing. Sebut saja perdagangan, perhubungan, telekomunikasi, juga perbankan.
Dalam perpektif ini, perdagangan bebas sungguh telah membuat ekonomi nasional "tergadai". Kedaulatan ekonomi nasional dari hari ke hari terus tanggal dan jatuh ke pelukan asing.

Karena itu pula, banyak pihak kian nyaring menggugat komitmen pemerintah terhadap ekonomi nasional ini. Mereka meminta pemerintah membuat kebijakan yang tegas-tegas melindungi ekonomi dalam negeri dari gempuran asing. Dalam kaitan ini, mereka juga berharap pemerintah menahan diri dalam meliberalisasi ekonomi dan perdagangan.

Tetapi menilik hasil pertemuan puncak para pemimpin ekonomi APEC di Vladivostok, yang lagi-lagi meneguhkan semangat dan komitmen liberalisasi ekonomi, harapan seperti itu sepertinya sekadar ilusi. Jadi, suka ataupun tidak suka, siap ataupun tidak siap, liberalisasi ekonomi bakal jalan terus dan niscaya kian dalam.***

Jakarta, 9 September 2012