09 September 2012

Liberalisasi Kian Niscaya


Liberalisasi perdagangan semakin menjadi keniscayaan, menyusul kesepakatan pertemuan puncak para pemimpin forum Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) yang berlangsung di Vladivostok, Rusia, sejak Sabtu lalu dan berakhir Minggu kemarin. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ikut ambil bagian dalam perhetalan akbar forum beranggotakan 20 negara itu.
    
Liberalisasi perdagangan memang menjadi salah satu butir kesepakatan pertemuan puncak itu, di samping beberapa isu strategis lain seperti pertumbuhan ekonomi, penguatan ketahanan pangan, juga pembangunan ketahanan energi. Kesepakatan tersebut pada dasarnya merupakan penegasan atas komitmen masing-masing pemimpin ekonomi APEC dalam pertemuan puncak yang digelar saban tahun itu.

Artinya, liberalisasi perdagangan bakal jalan terus dengan segala konsekuensinya -- positif ataupun negatif. Orang bilang: isu tersebut sudah menjadi point of no return alias tak bisa diharapkan surut lagi.

Liberalisasi perdagangan memang bisa dikatakan sebagai ruh forum APEC. Karena itu, sejak awal, pertemuan puncak forum APEC senantiasa mengusung semangat tersebut. Dalam setiap pertemuan puncak, yang digelar saban tahun sejak 1989 di Canberra, para pemimpin ekonomi APEC terus meneguhkan komitmen tentang itu.

Jadi, sebenarnya, hasil pertemuan puncak di Vladivostok pun tidak mengandung kejutan karena sekadar menegaskan komitmen tentang liberalisasi perdagangan ini. Tetapi justru itu, penegasan tersebut menjadi sesuatu yang menyesakkan bagi banyak kalangan di dalam negeri. Menyesakkan, karena itu tadi: liberalisasi perdagangan semakin menjadi keniscayaan. Liberalisasi perdagangan kian menjadi point of no return.

Itu berarti, ekonomi nasional niscaya semakin jauh masuk ke sistem perdagangan bebas. Padahal sejauh ini saja, pusaran perdagangan bebas sudah membuat ekonomi nasional tertatih-tatih atau bahkan termehek-mehek. Karena kelemahan dan ketidaksiapan dalam banyak aspek, sementara langkah liberalisasi perdagangan dan investasi yang diambil pemerintah begitu menggebu, ekonomi nasional sejauh ini tak bisa berbuat banyak dalam menghadapi gempuran persaingan.

Tidak mengherankan, karena itu, banyak aset nasional kemudian jatuh ke dalam penguasaan asing. Bahkan sejumlah aset strategis yang semestinya mati-matian dipertahankan tetap dalam penguasaan ekonomi nasional -- karena menguasai hajat hidup orang banyak -- tak terkecuali jatuh ke tangan asing.

Jadi, sekarang ini, nyaris tak ada sektor ekonomi di dalam negeri yang tidak dalam genggaman asing. Sebut saja perdagangan, perhubungan, telekomunikasi, juga perbankan.
Dalam perpektif ini, perdagangan bebas sungguh telah membuat ekonomi nasional "tergadai". Kedaulatan ekonomi nasional dari hari ke hari terus tanggal dan jatuh ke pelukan asing.

Karena itu pula, banyak pihak kian nyaring menggugat komitmen pemerintah terhadap ekonomi nasional ini. Mereka meminta pemerintah membuat kebijakan yang tegas-tegas melindungi ekonomi dalam negeri dari gempuran asing. Dalam kaitan ini, mereka juga berharap pemerintah menahan diri dalam meliberalisasi ekonomi dan perdagangan.

Tetapi menilik hasil pertemuan puncak para pemimpin ekonomi APEC di Vladivostok, yang lagi-lagi meneguhkan semangat dan komitmen liberalisasi ekonomi, harapan seperti itu sepertinya sekadar ilusi. Jadi, suka ataupun tidak suka, siap ataupun tidak siap, liberalisasi ekonomi bakal jalan terus dan niscaya kian dalam.***

Jakarta, 9 September 2012