Liberalisasi
perdagangan semakin menjadi keniscayaan, menyusul kesepakatan pertemuan puncak
para pemimpin forum Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) yang berlangsung di
Vladivostok, Rusia, sejak Sabtu lalu dan berakhir Minggu kemarin. Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono ikut ambil bagian dalam perhetalan akbar forum
beranggotakan 20 negara itu.
Liberalisasi
perdagangan memang menjadi salah satu butir kesepakatan pertemuan puncak itu,
di samping beberapa isu strategis lain seperti pertumbuhan ekonomi, penguatan
ketahanan pangan, juga pembangunan ketahanan energi. Kesepakatan tersebut pada
dasarnya merupakan penegasan atas komitmen masing-masing pemimpin ekonomi APEC
dalam pertemuan puncak yang digelar saban tahun itu.
Artinya,
liberalisasi perdagangan bakal jalan terus dengan segala konsekuensinya --
positif ataupun negatif. Orang bilang: isu tersebut sudah menjadi point of no
return alias tak bisa diharapkan surut lagi.
Liberalisasi
perdagangan memang bisa dikatakan sebagai ruh forum APEC. Karena itu, sejak
awal, pertemuan puncak forum APEC senantiasa mengusung semangat tersebut. Dalam
setiap pertemuan puncak, yang digelar saban tahun sejak 1989 di Canberra, para
pemimpin ekonomi APEC terus meneguhkan komitmen tentang itu.
Jadi, sebenarnya,
hasil pertemuan puncak di Vladivostok pun tidak mengandung kejutan karena
sekadar menegaskan komitmen tentang liberalisasi perdagangan ini. Tetapi justru
itu, penegasan tersebut menjadi sesuatu yang menyesakkan bagi banyak kalangan
di dalam negeri. Menyesakkan, karena itu tadi: liberalisasi perdagangan semakin
menjadi keniscayaan. Liberalisasi perdagangan kian menjadi point of no return.
Itu berarti,
ekonomi nasional niscaya semakin jauh masuk ke sistem perdagangan bebas. Padahal
sejauh ini saja, pusaran perdagangan bebas sudah membuat ekonomi nasional
tertatih-tatih atau bahkan termehek-mehek. Karena kelemahan dan ketidaksiapan
dalam banyak aspek, sementara langkah liberalisasi perdagangan dan investasi
yang diambil pemerintah begitu menggebu, ekonomi nasional sejauh ini tak bisa
berbuat banyak dalam menghadapi gempuran persaingan.
Tidak
mengherankan, karena itu, banyak aset nasional kemudian jatuh ke dalam
penguasaan asing. Bahkan sejumlah aset strategis yang semestinya mati-matian
dipertahankan tetap dalam penguasaan ekonomi nasional -- karena menguasai hajat
hidup orang banyak -- tak terkecuali jatuh ke tangan asing.
Jadi, sekarang
ini, nyaris tak ada sektor ekonomi di dalam negeri yang tidak dalam genggaman
asing. Sebut saja perdagangan, perhubungan, telekomunikasi, juga perbankan.
Dalam perpektif
ini, perdagangan bebas sungguh telah membuat ekonomi nasional
"tergadai". Kedaulatan ekonomi nasional dari hari ke hari terus
tanggal dan jatuh ke pelukan asing.
Karena itu pula,
banyak pihak kian nyaring menggugat komitmen pemerintah terhadap ekonomi
nasional ini. Mereka meminta pemerintah membuat kebijakan yang tegas-tegas
melindungi ekonomi dalam negeri dari gempuran asing. Dalam kaitan ini, mereka
juga berharap pemerintah menahan diri dalam meliberalisasi ekonomi dan
perdagangan.
Tetapi menilik
hasil pertemuan puncak para pemimpin ekonomi APEC di Vladivostok, yang
lagi-lagi meneguhkan semangat dan komitmen liberalisasi ekonomi, harapan
seperti itu sepertinya sekadar ilusi. Jadi, suka ataupun tidak suka, siap
ataupun tidak siap, liberalisasi ekonomi bakal jalan terus dan niscaya kian
dalam.***