Angka undisbursed
loan alias kredit menganggur di perbankan nasional yang semakin menggunung, tak
bisa tidak, harus dibaca sebagai gambaran buruk iklim investasi di sektor riil.
Iklim itu tidak menggairahkan, sehingga sebagian investor (baca: debitor bank)
tak kunjung mencairkan kredit. Mereka menunda merealiasikan proyek investasi di
sektor riil. Atau bahkan mungkin sebagian mereka sama sekali urung menanam
modal di proyek baru atau di proyek ekspansi usaha.
Menurut data
statistik yang dipublikasikan Bank Indonesia, per Oktober lalu angka kredit
menganggur di perbankan nasional ini menembus rekor, yaitu mencapai Rp 887
triliun. Itu meningkat signifikan (38,2 persen) dibanding angka kredit
menganggur per Oktober 2011 yang mencapai Rp 641 triliun.
Angka Rp 887
triliun sungguh besar. Angka yang bukan main. Kalau saja angka itu efektif
terserap proyek investasi, sektor riil niscaya lebih menggeliat. Sekian banyak
lapangan kerja jelas bisa tercipta. Secara makro, pertumbuhan ekonomi nasional
juga niscaya lebih mengesankan lagi: mungkin menembus 7 persen.
Jadi, angka
kredit menganggur ini sungguh masalah yang menyesakkan. Kondisi ekonomi global
mungkin memberi kontribusi terhadap masalah itu. Krisis ekonomi yang masih
mencengkram negara-negara di belahan Eropa dan AS -- juga pertumbuhan ekonomi
China yang melambat -- boleh jadi membuat banyak investor menahan diri untuk
tidak segera merealisasikan proyek penanaman modal.
Meski begitu,
pemerintah juga tak bisa berlepas tangan atas masalah kredit menganggur di
perbankan ini. Bahkan bukan tidak mungkin, pemerintah merupakan pihak yang
memberi porsi terbesar terhadap fenomena itu. Persisnya, fenomena tersebut
merefleksikan kegagalan pemerintah membenahi sektor riil. Pemerintah belum juga
mampu mengatasi sederet masalah yang membuat investasi di sektor riil tidak
benar-benar menggairahkan investor.
Masalah itu,
antara lain, situasi kamtibmas yang belakangan ini acap membuat kalangan
investor jadi miris untuk menanamkan modal. Situasi tersebut terutama aksi-aksi
demo buruh yang bukan saja makin marak, melainkan juga jadi cenderung
anarkistis.
Di sisi lain,
kinerja birokrasi juga boleh jadi ikut menghambat kegiatan investasi ini.
Paling tidak, birokrasi tidak berfungsi optimal dalam melayani kegiatan
penanaman modal. Sebut saja, birokrasi belum membuat proses pembebasan
mulus laiknya
jalan tol. Proses pembebasan lahan masih saja berlarut-larut atau bahkan macet
kepentok perizinan ataupun proses legal. Akibatnya, proyek investasi acap tidak
bisa bergulir karena lahan belum bisa dibebaskan. Maklum, karena lahan adalah
faktor fundamental bagi proyek investasi di sektor riil.
Mestinya
pemerintah sejak awal sudah melapangkan jalan bagi investor dalam memperoleh
soal lahan ini. Bahkan, kalau memungkinkan, investor tidak perlu lagi dibuat
pusing mengurus seluk-beluk proses pembebasan lahan. Untuk itu, katakanlah
pemerintah memiliki semacam bank lahan sehingga investor cukup tinggal
melakukan proses legal pembebasan.
Sungguh
mengherankan bahwa pemerintah sepertinya tak kunjung mampu membenahi
masalah-masalah yang membelit sektor riil ini. Karena itu, jika fenomena kredit
menganggur di perbankan nasional pun bukannya surut, melainkan terus
membengkak.***
Jakarta, 19
Desember 2012