18 Februari 2008

Jalur Pantura Lumpuh

Bencana banjir membuat jalur lalu lintas di pantai utara (pantura) Jateng sejak Jumat pekan lalu lumpuh, khususnya di ruas antara Semarang dan Rembang. Sejumlah banyak kendaraan terjebak genangan air. Mereka tak bisa meneruskan perjalanan sampai banjir surut nanti. Laporan terakhir menyebutkan, kelumpuhan arus lalu lintas akibat banjir di jalur pantura Jateng ini membentang sejauh 50 kilometer.

Kondisi itu pula yang membuat arus lalu lintas di pantura Jateng sejak Minggu lalu terpaksa dialihkan lewat Solo, Sragen, Ngawi. Ini bukan sekadar membuat perjalanan menjadi lebih jauh karena harus memutar. Lebih dari itu, perjalanan juga menjadi terasa kurang nyaman dan mengesalkan. Pengalihan lalu lintas dari jalur pantura yang terkenal padat serta-merta membuat jalur alternatif Solo, Sragen, Ngawi menjadi sesak. Tak heran, di sejumlah titik, kemacetan lalu lintas sungguh tak terhindarkan.

Akibatnya, jelas, mobilitas sosial-ekonomi jadi terganggu. Aktivitas tersendat. Ini berarti inefisiensi waktu maupun biaya. Celakanya, ibarat virus disentri, inefisiensi begitu cepat dan amat tak terhindarkan membuat kegiatan ekonomi menjadi tidak sehat.

Tentang itu, tengok saja harga kebutuhan sehari-hari di sejumlah daerah di Jawa, khususnya Jakarta, yang mengandalkan jalur pantura sebagai urat nadi kegiatan ekonomi. Seiring kelumpuhan jalur lalu lintas di pantura Jateng akibat bencana banjir, harga kebutuhan sehari-hari di daerah-daerah itu merangkak naik.

Padahal tanpa didorong faktor distribusi yang terganggu pun, harga aneka kebutuhan sehari-hari ini -- khususnya bahan pokok pangan -- sudah membuat rakyat kebanyakan menjerit. Jadi, dengan kata lain, kelumpuhan arus lalu lintas di jalur pantura membuat nasib rakyat kebanyakan -- terutama di kota besar seperti Jakarta -- kini kian terhimpit. Itu tak terhindarkan karena jalur pantura telanjur menjadi urat nadi kegiatan sosial-ekonomi.

Entah sampai kapan kelumpuhan arus lalu lintas di jalur pantura Jateng ini akan berlangsung. Namun karena hujan masih kerap lebat mengguyur -- di daerah lokasi banjir maupun di daerah hulu -- boleh jadi jalur tersebut baru hidup lagi dalam beberapa hari mendatang.

Tetapi kalaupun genangan banjir sudah surut nanti, kondisi arus lalu lintas di jalur pantura tak otomatis pulih seperti sedia kala. Paling tidak, arus lalu lintas hampir pasti tersendat dan amat tidak nyaman. Laju kendaraan tak lagi bisa kencang, mulus, dan lancar. Bencana banjir pasti menyisakan masalah yang membikin runyam dan mengesalkan. Masalah itu adalah kondisi jalan yang berlubang-lubang. Ini seolah sudah menjadi keniscayaan. Bahwa genangan banjir hampir selalu membuat jalan jadi rusak. Jalan menjadi penuh lubang.

Kenyataan itu bukan sekadar melahirkan ketidaknyamanan bagi siapa saja yang melintas berkendara di jalur pantura. Lebih dari itu, kerugian sosial-ekonomi dalam skala besar dan luas dapat dipastikan menjadi harga yang harus ditebus. Itu sungguh tak terhindarkan sebagai dampak lebih jauh bencana banjir di jalur lalu lintas di pantura.

Barangkali tidak berlebihan jika dikatakan bahwa jalur pantura Jawa kini terancam tak mampu berfungsi optimal. Padahal, sekali lagi, jalur tersebut adalah urat nadi kegiatan sosial-ekonomi bagi sejumlah kota besar di Jawa, termasuk DKI Jakarta.

Karena itu pula, sebuah antisipasi dini patut dilakukan. Begitu bencana banjir berlalu, jalur pantura perlu segera direhabilitasi melalui sebuah program darurat (crash program). Ini menuntut kepedulian dan komitmen segera pemerintah pusat karena jalur pantura termasuk rentang jalan negara.

Kita perlu mengingatkan pemerintah tentang itu. Maklum karena sekarang ini begitu banyak masalah mendesak yang juga menuntut perhatian. Pemerintah perlu diingatkan bahwa rehabilitasi jalur lalu lintas di pantura pascabanjir sekarang ini sungguh mendesak dan harus menjadi prioritas utama. Sebagai urat nadi kegiatan sosial-ekonomi, jalur pantura harus selalu terjaga prima.***
Jakarta, 18 Februari 2008

Calon Gubernur BI Miskin Variasi

Keberatan beberapa kalangan terhadap calon Gubernur Bank Indonesia (BI) yang diajukan Presiden ke DPR sungguh bisa dipahami. Ini bukan soal figur calon-calon itu sendiri, karena toh dua nama yang diajukan Presiden memiliki kredibilitas memadai untuk menduduki kursi orang nomor satu di BI. Paling tidak, kedua calon itu -- Agus Martowardojo dan Raden Pardede -- selama ini sudah intens berkecimpung di sektor keuangan.

Agus Martowardojo adalah banker tulen. Sederet posisi strategis pernah dia isi di sejumlah perbankan nasional. Terakhir, sejak dua tahun lalu, dia menjabat sebagai Dirut Bank Mandiri yang notabene adalah bank (BUMN) terbesar di dalam negeri. Lalu posisi sebagai Ketua Ikatan Banker Indonesia serta Ketua Umum Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) juga mempertegas sosok Agus di sektor keuangan ini, khususnya dunia perbankan. Singkatnya, kapabilitas Agus untuk menempati posisi Gubernur BI sama sekali tak perlu diragukan lagi.

Raden Pardede sendiri memang tidak sejak awal berkarier di sektor keuangan seperti Agus Martowardojo. Namun dia dalah sosok yang juga punya cukup bekal pengalaman di bidang finansial. Dia antara lain pernah menjadi analis di PT Danareksa, sebuah BUMN yang bergelut di sektor keuangan.

Tapi yang lebih mengesankan lagi, Raden Pardede sejak tahun lalu dipercaya menjabat sebagai Ketua Tim Forum Stabilitas Sistem Keuangan. Lembaga yang dibentuk BI dan Departemen Keuangan itu amat strategis karena mengemban fungsi utama menganalisis perkembangan ekonomi-moneter sebagai pijakan bagi kalangan pengambil kebijakan -- termasuk BI -- dalam menjaga sistem keuangan nasional tetap stabil dan sehat. Jadi, jelas, sosok Raden Pardede dalam urusan ekonomi-moneter ini juga tak bisa dipandang remeh.

Karena itu, sekali lagi, keberatan sejumlah kalangan terhadap calon Gubernur BI yang diajukan Presiden ke DPR bukan menyangkut masalah kapabilitas profesional masing-masing calon. Keberatan itu lebih karena calon yang diajukan Presiden sama sekali tanpa figur orang dalam BI sendiri. Seolah-olah BI tidak memiliki stok untuk itu. Seolah-olah Presiden tidak percaya atau ragu terhadap orang dalam BI untuk sekadar dijadikan salah satu calon Gubernur BI.

Padahal, tentu, BI punya segudang sosok yang layak ditunjuk Presiden sebagai calon pengganti Burhanuddin Abdullah dalam memimpin BI. Bahkan, boleh jadi, BI sendiri selama ini diam-diam sudah menyiapkan kader untuk itu. Sebut saja, antara lain, Hariadi A Sarwono dan Muliawan D Hadad yang kini sama-sama menduduki jabatan sebagai Deputi Geburnur, serta Miranda Swaray Goeltom yang sekarang menjadi Deputi Senior Gubernur. Di luar itu, BI juga punya beberapa "alumnus" seperti Aulia Pohan -- mantan Deputi Gubernur.

Karena itu, memang terasa agak janggal bahwa nama-nama calon Gubernur BI yang diajukan Presiden ke DPR tak satu pun merupakan orang dalam BI sendiri. Sungguh terasa aneh bahwa BI sampai tak terwakili dalam percalonan untuk posisi paling strategis di institusi mereka sendiri.

Tapi, karena alasan etis, BI secara formal sulit terang-terangan menunjukkan keberatan ataupun kekecewaan. Juga BI tak mungkin menolak nama-nama calon yang diajukan Presiden. Namun boleh diyakini, BI pasti memendam harapan: orang mereka sendiri termasuk calon yang diajukan Presiden ke DPR.

Bagi kita sendiri, harapan BI itu -- juga keberatan sejumlah kalangan terhadap calon yang sudah diajukan Presiden ke DPR -- lebih dari sekadar patut. Lebih dari sekadar bisa dimaklumi. Artinya, nama dari lingkungan dalam BI sendiri mestinya turut masuk menjadi calon untuk memberi variasi pilihan.

Kita berkeyakinan, pilihan bervariasi menganai calon Gubernur BI ini lebih membuka kemungkinan tentang sebuah proses pemilihan yang lebih objektif dan sehat. Sebab, sesuai proses uji kepantasan dan kepatutan (fit and proper test) terhadap semua calon, DPR bisa melakukan perbandingan secara memadai. Dengan demikian, figur yang kelak terpilih bisa diharapkan tidak sekadar memenuhi tantangan dan tuntutan objektif, melainkan juga secara psikologis lebih bisa diterima semua pihak. Termasuk oleh BI sendiri, meski figur terpilih ternyata bukan dari lingkungan dalam mereka sekalipun.***
Jakarta, 17 Februari 2008

16 Februari 2008

Mengurangi Impor Pangan

Optimistis bahwa produksi pangan di dalam negeri meningkat, pemerintah serta-merta berketetapan mengurangi impor sejumlah komoditas pangan. Tekad tersebut jelas bagus. Pertanda pemerintah punya keinginan mengurangi ketergantungan terhadap impor.

Bagi negara agraris seperti kita, ketergantungan terhadap impor pangan memang sebuah cela. Atau bahkan aib. Ketergantungan itu menunjukkan kita tidak becus mengolah dan mengelola potensi sumber daya alam yang kita miliki.

Mestinya, sebagai negara agraris, kita tak perlu sampai mengimpor pangan. Artinya, kebutuhan konsumsi di dalam negeri seharusnya bisa dicukupi oleh produksi sendiri. Bahkan, idealnya, kita sekaligus mampu menjadi pemain yang diperhitungkan dalam pasar komoditas pangan dunia.

Di sisi lain, ketergantungan terhadap impor pangan juga berbahaya. Bukan sekadar karena devisa terus terkuras, melainkan juga terutama lantaran impor menjadi disinsentif terhadap kegiatan produksi pertanian di dalam negeri. Terlebih bila dilakukan menurut mekanisme pasar, impor bahan pangan adalah racun yang perlahan-lahan mematikan gairah pertanian kita.

Tetapi, benarkah ketergantungan terhadap impor pangan ini bisa dikurangi? Beralasankah kita optimistis bahwa produksi pangan di dalam negeri meningkat?

Optimisme pemerintah sendiri berpijak pada kenyataan bahwa produksi pangan tahun lalu menunjukkan peningkatan. Produksi padi, misalnya, tahun lalu naik 4,7 persen menjadi 57,07 juta ton dibanding tahun 2006. Bahkan peningkatan produksi jagung pada tahun lalu lebih mengesankan lagi: mencapai 14,39 persen menjadi 13,28 juta ton dibanding tahun 2006.

Kalau saja kecenderungan itu memang stabil, kita layak percaya diri bahwa kebutuhan akan pangan impor bisa dikurangi. Tapi yang menjadi soal, justru tak ada jaminan bahwa produksi pangan kita bisa terus meningkat. Di sisi kebijakan, misalnya, kita tidak melihat terobosan yang menjanjikan. Pemerintah tidak menyiapkan kebijakan strategis yang bisa menjadi insentif bagi petani agar benar-benar bergairah berproduksi.

Contoh sederhana saja, harga pembelian pemerintah (HPP) sebagai instrumen insentif dalam konteks produksi padi tampaknya tidak akan diubah. Padahal inflasi belakangan ini jelas-jelas menggerogoti daya beli. Jadi, bagaimana mungkin gairah petani bisa menyala-nyala dalam melakukan budidaya padi kalau mereka sadar betul bahwa nilai ekonomis usaha mereka justru melorot digerogoti peningkatan harga aneka barang dan jasa.

Di sisi teknologi, kegiatan produksi pertanian kita juga nyaris tanpa inovasi. Kegiatan pertanian kita masih saja berpijak pada teknologi yang sebenarnya sudah usang. Karena itu, jangan-jangan produksi pangan kita sudah jenuh. Artinya, secara kondisional produksi pangan kita mungkin sulit bisa meningkat signifikan. Terlebih lagi bila dikaitkan dengan kenyataan bahwa konversi lahan pertanian produktif terus berlangsung dalam skala masif.

Karena itu, optimisme tentang produksi pangan kita bisa menjebak. Bila ternyata produksi pangan ini stagnan atau bahkan melorot, sementara impor telanjur direm, kita bisa terseok-seok dalam memenuhi kebutuhan. Apalagi secara global produksi pangan tahun ini diperkirakan jeblok. Tidak kurang dari Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) meramalkan bahwa sejumlah negara, termasuk Indonesia, terancam mengalami krisis pangan.

Walhasil, mestinya kita jangan kelewat percaya diri dengan tergesa-gesa berketetapan mengurangi impor pangan. Sekadar sebagai sebuah tekad atau keinginan, mengurangi impor boleh-boleh saja. Tapi bila sebagai sebuah langkah operasional, agaknya itu kelewat berani. Kelewat berisiko. Kecuali produksi pangan di dalam negeri benar-benar bisa diandalkan meningkat signifikan seiring kebijakan dan strategi yang kondusif dan produktif. Namun selama kebijakan dan strategi itu masih berpijak pada paradigma lama, impor pangan tetap harus menjadi pilihan. Demi keamanan ketahanan pangan kita.***
Jakarta, 15 Februari 2008


06 Februari 2008

Produksi Minyak Naik?

Angka produksi minyak yang dipatok Badan Pelaksana Hulu Minyak dan Gas (BP Migas) untuk tahun ini sungguh mengundang takjub. Orang dibuat takjub karena angka tentang itu begitu kental menyiratkan sikap optimistik. Seolah-olah berbagai faktor yang selama ini menelikung kegiatan produksi minyak kita sudah sirna. Sudah teratasi.

Angka produksi yang dipatok BP Migas itu sendiri adalah 1,05 juta barel per hari -- terdiri atas minyak mentah dan kondensat. Dibanding realisasi produksi selama beberapa tahun terakhir, yang rata-rata berkisar 950 ribu barel per hari, angka itu menunjukkan peningkatan signifikan. Itulah yang serta-merta mengundang takjub.

Pemerintah sendiri sudah menunjukkan sikap lebih realistis. Itu tercermin dari penurunan angka asumsi produksi minyak yang diajukan kepada DPR, beberapa waktu lalu. Dalam revisi tersebut, pemerintah mengasumsikan bahwa produksi minyak kita pada tahun ini turun dari 1,034 juta barel menjadi 910 ribu barel per hari.

Pemerintah menurunkan angka asumsi produksi minyak tentu bukan tanpa alasan mendasar. Alasan itu adalah kenyataan bahwa selama ini produksi minyak kita dalam beberapa tahun terakhir amat sulit menembus angka satu juta barel per hari. Sampai-sampai target produksi minyak selalu terbukti gagal bisa dicapai.

Jadi, dengan menurunkan angka asumsi, pemerintah ingin bersikap realistis. Pemerintah tampaknya sadar betul bahwa produksi minyak kita sudah amat susah bisa melampaui angka rata-rata 900-an barel per hari. Paling tidak untuk sementara.

Lalu, apa yang melandasi BP Migas kini berani mematok angka produksi minyak di level 1,05 juta barel? Sejauh terekam dalam pemberitaan, BP Migas menyebutkan bahwa keyakinan tentang itu berpijak pada kenyataan bahwa rata-rata produksi minyak kita selama sepuluh hari terakhir Januari lalu menembus angka satu juta barel per hari. Kenapa bisa begitu? Tak ada penjelasan!

Peningkatan produksi minyak sekarang ini memang merupakan kebutuhan mendesak. Pertama, karena tingkat konsumsi minyak di dalam negeri telanjur tinggi dengan kecenderungan terus meningkat. Kedua, karena harga minyak mentah di pasar dunia kini menjulang.

Walhasil, jika produksi minyak kita bisa ditingkatkan, kedua faktor itu tidak lagi menjadi beban yang membuat tidak sehat struktur APBN. Bahkan kalau saja angka produksi minyak ini bisa hingga jauh di atas tingkat konsumsi nasional, kita bisa menikmati kembali rezeki nomplok berupa windfall profit atas tingginya harga minyak dunia.

Karena itu, optimisme BP Migas mengenai angka produksi minyak ini sesungguhnya melegakan. Paling tidak, karena dengan itu tingkat harga minyak dunia tidak lagi menjadi beban yang menyesakkan.

Tapi, soalnya, seberapa realistiskah angka produksi yang dipatok BP Migas ini? Itulah yang menjadi soal. Kita khawatir BP Migas tergesa-gesa dalam menarik asumsi dan keyakinan mengenai angka produksi minyak ini. Jika hanya tren produksi selama sepuluh hari terakhir pada Januari lalu yang menjadi pijakan, bisa-bisa kelak kita kembali kecewa.

Kita bisa kecewa karena bisa saja tren produksi yang menjadi pijakan itu ternyata sekadar perkembangan sesaat -- karena faktor-faktor lain yang mendasar dan selama ini mengganjal produksi minyak kita tidak diperhitungkan. Justru itu, angka produksi yang dipatok BP Migas pun kelak bisa saja ternyata lagi-lagi tak menjadi kenyataan. Artinya, produksi minyak kita secara rata-rata dalam tahun ini tetap di bawah angka satu juta barel per hari.

Pesimistik? Mungkin. Tapi itu lebih baik ketimbang kita bersikap over confident sehingga asumsi dan keyakinan kita mengenai produksi minyak nasional tidak realistis lagi.

Dalam kondisi seperti sekarang ini, yaitu tingkat konsumsi minyak di dalam negeri menjulang tinggi dan di sisi lain harga minyak di pasar dunia juga selangit, sikap realistis mengenai produksi minyak nasional ini lebih bermanfaat. Dengan bersikap realistis, paling tidak kita terus dibuat sadar bahwa persoalan minyak di dalam negeri amat krusial. Dengan begitu, kita pun senantiasa terkondisi waspada menghadapi segala kemungkinan buruk.***
Jakarta, 5 Februari 2008