15 Januari 2007

BI Rate sebagai Katalisator

Tingkat suku bunga perbankan memang merupakan salah satu faktor penentu geliat kehidupan ekonomi. Jika suku bunga perbankan tinggi mengawang, kegiatan ekonomi megap-megap. Dunia usaha tertatih-tatih. Bahkan jika sudah mencapai titik ekstrem, tingkat suku bunga ini membuat pelaku usaha bertumbangan. Sekadar untuk bertahan hidup (survive) saja, mereka amat kesulitan.

Sebaliknya jika suku bunga relatif rendah, dunia usaha penuh gairah. Kegiatan produksi berjalan lancar. Ekspansi bisnis juga merebak. Bahkan tingkat suku bunga perbankan yang relatif rendah ini, sepanjang tidak tergelincir ke titik ekstrem sehingga menjadi tidak sehat, merupakan insentif tersendiri bagi investasi baru.

Barangkali kerangka pikir seperti itu pula yang mendorong Presiden Yudhoyono menyeru Bank Indonesia agar kembali menurunkan suku bunga rujukan (BI Rate). Bagi Presiden, penurunan BI Rate merupakan katalisator untuk menghela pertumbuhan ekonomi nasional, terutama sektor riil.

Dengan itu, masalah sosial-ekonomi yang kini tergolong sudah dalam kondisi krusial -- pengangguran dan kemiskinan -- bisa diharapkan tertangani secara meyakinkan. Selebihnya, tentu, secara keseluruhan kehidupan ekonomi yang bergairah memang menjanjikan peningkatan taraf kesejahteraan.

Sebenarnya, sekarang ini BI Rate sudah jauh menurun dibanding setahun lalu. Berkat langkah progresif BI, terutama selama paruh kedua tahun lalu, BI Rate sudah turun 300 basis poin. Penurunan yang sudah amat signifikan itu jelas membuka ruang bagi penurunan suku bunga perbankan.

Tetapi, faktanya, suku bunga perbankan nasional tak serta-merta melorot drastis. Paling tidak, perbankan terkesan masih enggan segera menurunkan suku bunga secara signifikan ke level yang teoritis kondusif bagi kegiatan usaha. Boleh jadi, secara teknis ekonomis, mereka masih membutuhkan waktu sebelum menurunkan suku bunga secara signifikan ini.

Apakah kenyataan itu pula yang membuat Presiden Yudhoyono merasa perlu menyeru BI agar kembali menurunkan BI Rate? Entahlah. Yang pasti, BI sendiri sebenarnya sudah memberi sinyal bahwa penurunan BI Rate sulit bisa dilakukan secara agresif lagi. Bagi BI, penurunan BI Rate sebesar 300 basis poin sepanjang tahun lalu sudah terbilang maksimal.

Memang, otoritas BI mengakui bahwa penurunan BI Rate ini masih dimungkinkan. Celah untuk itu masih tersedia. Terutama jika kondisi makro ekonomi di dalam negeri tergolong favorable, BI Rate bisa saja diturunkan lagi. Tapi, itu tadi, celah ke arah itu sudah amat sempit.

Dengan kata lain, penurunan BI Rate ke level lebih signifikan justru bisa berdampak kontra produktif. Kehidupan ekonomi nasional secara keseluruhan berisiko jadi tidak sehat. Sebut saja, antara lain, nilai tukar rupiah tidak stabil. Atau laju inflasi sulit bisa dikendalikan.

Walhasil, mengharapkan BI Rate menjadi katalisator untuk menghela ekonomi nasional adalah sah-sah saja. Tapi patut disadari, itu bukan satu-satunya faktor. Terlebih tingkat BI Rate sendiri sekarang ini relatif sudah memberi ruang cukup longgar bagi penurunan suku bunga perbankan. Barangkali, penurunan suku bunga perbankan ke level yang lebih kondusif bagi kegiatan ekonomi, khususnya di sektor riil, cuma soal waktu.

Justru itu, pemerintah sepatutnya lebih antisipatif. Jika tidak, tingkat suku bunga yang sudah kondusif itu tetap saja tidak serta-merta menjadi faktor yang menghela ekonomi nasional. Penurunan suku bunga perbankan tidak otomatis menggerakkan sektor ekonomi produktif, melainkan lebih mendorong pertumbuhan sektor konsumsi -- sesuatu yang justru berbahaya, sebenarnya.

Antisipasi yang patut dilakukan pemerintah adalah membenahi faktor-faktor yang selama ini membelenggu sektor ekonomi produktif. Seperti sudah sering dibahas, begitu banyak masalah yang menghambat sektor ekonomi produktif di dalam negeri ini. Misalnya birokrasi yang berbelit, pungli atau korupsi yang mengondisikan ekonomi biaya tinggi, atau juga sistem fiskal yang miskin insentif.

Jadi, "bola" kebangkitan ekonomi nasional ini sejatinya ada di tangan pemerintah. Tapi tampaknya itu belum benar-benar disadari.***
Jakarta, 15 Januari 2007