16 Agustus 2004

Divestasi Permata

Jelas sudah, siapa saja yang segera saling bersaing dalam tender penjualan 51 persen saham pemerintah di Bank Permata. PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA) akhir pekan lalu resmi meloloskan sepuluh penawar (bidder) dalam divestasi Bank Permata melalui penjualan berpola aliansi strategis (strategic sale) ini. Kesepuluh calon investor itu lolos dalam pengajuan minat awal (indicative interest).

Menurut rencana, calon-calon investor itu disaring lagi untuk masuk daftar penawar terbatas (short listed bidder), Selasa besok. Pemenang tender penjualan saham Bank Permata ini kemudian diumumkan pada November mendatang.

Kesepuluh bidder itu sendiri terdiri atas Konsorsium Barclays Bank-Rabobank-Danamon; Bumiputera Commerce Bank; Bank Mandiri-Bank Buana; Konsorsium Bank Panin-ANZ Group Ltd; Stanchart-Astra International; Swissfirst; Wachofia; Maybank-Jamsostek; BRI-Hong Leong Bank; dan UOB. Mereka telah memeroleh letter of procedure dan information memorandum yang diperlukan dalam rangka memersiapkan indicatice interest pada Senin ini.

Terus-terang, kita sulit memerkirakan konsorsium mana yang kelak keluar sebagai pemenang tender penjualan 51 persen saham pemerintah di Bank Permata ini. Yang pasti, kita agak tergelitik oleh pertanyaan berikut: mungkinkah investor lokal mengalahkan pihak asing?

Pertanyaan itu menggelitik karena selama ini selalu saja investor asing yang tampil sebagai pemenang dalam berbagai divestasi aset negara kita. Temasek (Singapura), misalnya, sukses menguasai Bank Danamon. Lalu Commerce Asset Berhad (Malaysia) memenangi tender penjualan saham pemerintah di Bank Niaga. Sementara Swissglobal berhasil menjadi pemilik baru Bank Lippo, lalu konsorsium investor Singapura dan Korsel menguasai Bank Internasional Indonesia. Di lain pihak, Konsorsium Faralon sukses mengambil-alih Bank BCA.

Di sisi lain, investor asing juga terbukti tidak lebih becus dalam mengelola bank. Kajian Institute for Development of Economics and Finance (Indef) yang diumumkan pekan lalu mengungkapkan, bank-bank nasional yang mayoritas sahamnya kini dikuasai asing melalui divestasi tidak menunjukkan peningkatan kinerja mengesankan. Profitabilitas, produktivitas, efisiensi, ataupun margin usaha bank-bank tersebut tidak lebih baik dibanding bank hasil divestasi yang kini dikendalikan pemodal domestik.

Karena itu, tidak berlebihan kalau kita amat berharap agar pemenang tender penjualan saham Bank Permata adalah investor lokal. Ini bukan semata semangat nasionalisme, melainkan terutama karena investor lokal lebih bisa diharapkan memiliki komitmen besar memfungsikan bank sebagai motor pembangunan nasional.

Melihat komposisi peserta tender penjualan saham Bank Permata sendiri, sebenarnya antara sosok asing dan lokal bisa dikatakan berimbang. Apalagi kebanyakan konsorsium merupakan perpaduan asing dan lokal. Sementara sosok yang sepenuhnya asing -- dalam arti tidak menggandeng investor lokal -- kali ini diwakili oleh Swissfirst, Wachofia, dan UOB. Tapi karena sosok lokal murni sendiri hanya terdiri atas Bank Mandiri-Bank Buana, agaknya sosok asing dalam divestasi Bank Permata ini pun masih bisa dikatakan relatif mendominasi. Justru itu, jika semata menimbang sosok peserta, jelas probabilitas asing memenangi tender penjualan saham Bank Permata lebih tinggi.

Namun, tentu, peluang investor lokal sendiri tetap tidak bisa dibilang kecil. Probabilitas mereka tampil sebagai pemilik baru Bank Permata sama seperti peluang asing ataupun gabungan asing dan lokal. Toh pemenang tender penjualan saham Bank Permata ini bukan ditentukan oleh soal faktor sosok asing ataupun lokal. Bagaimanapun, faktor penentu kemenangan adalah harga penawaran tertinggi plus rencana bisnis serta aspek kelayakan dan kepatutan (fit and proper) calon investor.

Kita sendiri berharap, di samping mengalirkan pemasukan ke kas negara, divestasi Bank Permata ini menghasilkan makna strategis terhadap industri perbankan serta kehidupan ekonomi nasional. Divestasi Bank Permata jangan lagi seperti divestasi bank-bank terdahulu: sekadar memindahkan kepemilikan.

Terus-terang, kita menginginkan agar divestasi kali ini menjadi wahana ke arah penguatan kelembagaan dan skala usaha perbankan nasional sesuai Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yang digariskan Bank Indonesia. Itu berarti, kita berharap pemenang tender kelak tidak memerlakukan Bank Permata sebagai unit usaha yang tetap berdiri sendiri, melainkan dilebur ke tubuh institusi perbankan mereka sendiri hingga kemudian lahir bank yang lebih besar dan kuat dalam segala aspek.

Untuk itu, mudah-mudahan pemenang tender penjualan Bank Permata ini adalah investor lokal. Kita percaya, investor lokal lebih memiliki keinginan besar segera memenuhi API, di samping memiliki komitmen lebih mendorong pembangunan ekonomi nasional.***
Jakarta, 16 Agustus 2004

14 Agustus 2004

Kebijakan Alternatif

Pemerintah sudah memastikan bahwa subsidi pupuk belum akan dihapus. Kebijakan tersebut tetap akan digelar. Paling tidak, hingga tahun depan subsidi yang dalam praktik diberikan melalui subsidi harga gas bagi produsen pupuk itu, teroritis, masih bisa dinikmati petani. Jumlahnya juga tetap Rp 1,3 triliun.

Untuk itu, pemerintah berjanji memerbaiki sistem atau mekanisme produksi maupun distribusi pupuk bersubsidi hingga bisa tepat waktu dan tepat jumlah. Dengan demikian, krisis pupuk pada musim tanam tak lagi tertoreh seperti selama ini.

Sejauh terbukti efektif, barangkali itu lebih baik ketimbang menerapkan mekanisme penyanggaan harga gabah petani sebagaimana wacana yang sempat berkembang terkait dengan subsidi pupuk ini. Terlebih lagi, kita belum beroleh gambaran bahwa mekanisme penyanggaan harga gabah di tingkat petani bisa benar-benar efektif.

Patut diakui, memang, selama ini subsidi pupuk terasa mubazir. Betapa tidak, karena krisis pupuk hampir selalu terjadi saat musim tanam tiba. Kalangan petani padi kesulitan memeroleh pupuk. Sarana produksi tani tersebut hilang begitu saja dari pasar justru ketika mereka amat membutuhkan.

Kalaupun bisa diperoleh, harga pupuk melambung jauh di atas patokan harga eceran tertinggi yang digariskan pemerintah. Tak pelak lagi, bagi petani, kebijakan subsidi pupuk ini jadi terasa nyaris tak berguna.

Kuat dugaan, subsidi pupuk ini justru lebih banyak dinikmati pihak pabrikan dan distributor. Karena subsidi pupuk ini disalurkan dalam bentuk subsidi gas kepada pabrik pupuk, maka pihak terakhir itu kemudian bisa menghasilkan pupuk yang relatif lebih murah dari segi ongkos produksi dibanding di mancanegara. Ini yang kemudian menimbulkan moral hazard di kalangan pabrik pupuk dengan menjual produk mereka ke pasar ekspor. Dengan begitu, mereka bisa memeroleh untung jauh lebih besar. Tapi akibatnya, pasokan untuk petani padi -- notabene adalah sasaran pemberian subsidi pupuk -- menjadi berkurang.

Kenyataan itu diperparah oleh penyimpangan di tingkat distribusi. Disparitas harga pupuk untuk petani padi (bersubsidi) dan pupuk untuk perkebunan (tidak bersubsidi) lagi-lagi melahirkan moral hazard. Distribusi pupuk bersubsidi diselewengkan distributor atau pengecer ke sektor perkebunan. Maka, pasokan pupuk (bersubsidi) untuk petani padi pun jadi morat-marit. Ketika musim tanam tiba, krisis pupuk nyaris tak terhindarkan lagi.

Karena itu, kita bisa memahami pemikiran untuk mengalihkan subsidi pupuk ini langsung kepada petani. Subsidi tak lagi diberikan dalam bentuk pupuk, melainkan dialokasikan untuk pembelian gabah petani.

Memang, pengalihan subsidi niscaya membuat harga pupuk melambung sesuai harga pasar. Tapi, boleh jadi, itu bagi petani tak terlalu jadi soal. Toh selama ini pun pemberian subsidi pupuk acap tak efektif hingga mereka terpaksa membeli pupuk dengan harga mendekati pasar. Justru itu pula, pengalihan subsidi barangkali malah lebih baik karena petani tak berisiko kesulitan memeroleh pupuk saat musim tanam tiba.

Di sisi lain, pengalihan dana subsidi pupuk menjadi subsidi langsung kepada petani juga menjanjikan kemungkinan bahwa harga gabah di musim panen raya tidak jeblok lagi. Dengan memindahkan alokasi dana subsidi pupuk menjadi dana pembelian gabah, pemerintah bisa menyerap gabah pada tingkat harga tertentu yang relatif memberi keuntungan bagi petani.

Tetapi, bagaimanapun, itu masih teoritis. Perlu kita sadari pula bahwa kenyataan yang terjadi bisa lain. Belum ada jaminan bahwa harga gabah di tingkat petani pada musim panen raya tidak jeblok.

Memang, di masa lalu, Bulog pernah berperan sebagai institusi penyangga harga gabah petani ini. Terutama manakala terindikasi harga gabah petani melorot, Bulog kala itu segera turun melakukan penyerapan melalui satgas-satgas dan jajaran Dolog di berbagai daerah. Secara umum, peran tersebut acap berhasil: harga gabah di tingkat petani bisa ternagkat kembali -- minimal di sekitar harga patokan pemberlian yang dipatok pemerintah.

Apakah dalam rangka pengalihan subsidi pupuk ini Bulog perlu ditunjuk kembali melakukan fungsi penyanggaan harga gabah? Jika semata menimbang kelengkapan infrastruktur, Bulog memang paling bisa diandalkan mengemban peran itu. Dengan jaringan organisasi yang tersebar demikian luas hingga jauh ke pelosok-pelosok -- termasuk kelengkapan pergudangan -- Bulog memang amat strategis difungsikan lagi sebagai institusi penyenggaan harga gabah petani ini.

Tetapi soalnya, kelembagaan Bulog sendiri sudah berubah. Bulog bukan lagi seperti dulu yang setiap saat siap terjun melakukan penyerapan gabah petani tanpa memertimbangkan faktor untung-rugi. Karena sudah berstatus sebagai perusahaan umum, bagaimanapun kini Bulog sulit bisa diharapkan mampu optimal mengemban peran itu. Sedikit atau banyak, mereka tentu harus berhitung dalam mengemban peran penyanggaan harga gabah ini. Jika lebih banyak menorehkan kerugian, tentu mereka keberatan.

Kalaupun ditunjuk lembaga lain yang berfungsi mengemban peran itu, terus-terang kita ragu bahwa maksud tujuan utama pengalihan subsidi pupuk bisa efektif tercapai. Bukan saja peran tersebut menuntut kemampuan manajerial tersendiri, melainkan juga membutuhkan kelengkapan infrastruktur. Tanpa kedua prasyarat itu, fungsi penyanggaan harga gabah sulit diharap bisa berhasil.

Pemerintah sendiri, tampaknya, sudah melakukan langkah penjajakan menyangkut peran dan fungsi yang dulu pernah diemban Bulog. Dalam rangka mengamankan harga gabah di tingkat petani, pemerintah menunjuk sebuah BUMN -- PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) -- melakukan peran dan fungsi itu. Namun sejauh ini PPI terbukti kedodoran. Bekal pengalaman maupun kelengkapan infrastruktur mereka, tampaknya, amat tidak memadai.

Karena itu pula, keputusan pemerintah tetap menggelar kebijakan subsidi pupuk -- sepanjang konsisten diikuti dengan pembenahan mekanisme produksi dan distribusi pupuk bersubsidi -- barangkali memang lebih baik. Jika langkah tersebut sama sekali tak mengubah kecenderungan selama ini -- terjadi krisis pupuk saat musim tanam tiba -- subsidi pupuk amat beralasan dihapuskan.

Dana subsidi pupuk sendiri lebih baik dialihkan utuk perbaikan infrastruktur pertanian yang memungkinkan produktivitas dan efisiensi budidaya padi meningkat drastis, serta di sisi lain kualitas gabah yang dihasilkan pun membaik pula. Dengan demikian, harga gabah di tingkat petani bisa diharapkan tak lagi tertekan seperti selama ini.***
Jakarta, 14 September 2004

13 Agustus 2004

Asumsi Harga

Subsidi bahan bakar minyak (BBM) dalam RAPBN 2005 dialokasikan sebesar Rp 21 triliun. Sangat boleh jadi, dalam tahap realisasi nanti, nilai subsidi BBM yang harus dikucurkan pemerintah malah lebih besar lagi. Maklum karena harga minyak mentah di pasar dunia cenderung tetap tinggi. Sekarang ini saja, harga minyak mentah ini sudah hampir menyentuh 50 dolar AS per barel. Di bursa berjangka New York Merchantile, akhir pekan lalu, harga minyak untuk kontrak September mencapai rekor baru sepanjang sejarah: 48,88 dolar AS per barel. Begitu juga di pasar Asia, harga minyak mentah ini semakin mendekati level 50 dolar AS per barel.

Menurut kalangan analis dan pengamat masalah perminyakan, harga minyak mentah di pasar internasional kemungkinan besar tetap bertahan di atas 45 dolar AS per barel. Mereka menunjuk beberapa faktor yang cenderung kuat melahirkan kondisi seperti itu. Antara lain kemampuan Organisasi Negara Perngekspor Minyak (OPEC) semakin kendor. Juga konsumsi minyak di Cina dan India melonjak hebat. Belum lagi raksasa produsen minyak Rusia, Yukos, terancam bangkrut. Di lain pihak, kondisi Irak tak kunjung stabil hingga berpengaruh terhadap kinerja mereka dalam memproduksi minyak. tak kunjung stabil.

Di tengah kondisi harga minyak mentah yang cenderung terkondisi tingggi itu, asumsi harga BBM dalam RAPBN justru lebih rendah. Presiden Megawati Soekarnoputri, saat menyampaikan nota keuangan dan RAPBN 2005 di hadapan sidang pleno DPR, beberapa waktu lalu, memang tak eksplisit menyebut angka tentang itu. Tapi dalam kesempatan terpisah, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro mengungkapkan bahwa patokan harga BBM dalam RAPBN 2005 adalah Rp 24 dolar AS per barel.

Angka itu jelas terlampau jauh di bawah tingkat harga minyak mentah di pasar internasional sekarang ini. Selisih harga yang tertoreh mencapai 20 dolar AS lebih. Ini amat riskan karena menyimpan bom waktu. Seperti kalangan analis dan pengamat, harga minyak di luar negeri tidak mungkin turun amat drastis. Harga minyak mentah tidak mungkin mengalami crash. Meski asumsi harga minyak dalam RAPBN adalah harga rata-rata setahun, mustahil harga 24 dolar AS per barel bisa tercapai.

Kalaupun tahun depan harga minyak mentah dunia mengalami penurunan signifikan sekalipun, itu paling-paling hanya menyentuh sampai level 35-40 dolar AS per barel. Andai benar itu yang terjadi, antara harga patokan dalam RAPBN 2005 dan harga riil di pasar menorehkan selisih tetap besar. Selisih tersebut adalah "bom" yang serta-merta meledakkan nilai subsidi BBM.

Dengan kata lain, asumsi pemerintah tentang harga minyak kemungkinan besar meleset jauh. Implikasinya pun amat serius: subsidi BBM niscaya membengkak hebat. RAPBN 2005 pun, tak bisa tidak, pasti babak-belur.

Tentang itu, Dirjen Lembaga Keuangan (Depkeu) Darmin Nasution pernah membeberkan bahwa setiap satu dolar selisih harga BBM dibanding rata-rata harga minyak mentah di pasar dunia membuat APBN tekor sekitar Rp 950 miliar. Atas dasar itu, kalau selisih harga patokan BBM dalam APBN dan harga minyak mentah dunia mencapai 20 dolar saja per barel, berarti risiko tekor yang harus ditanggung APBN bernilai sekitar Rp 19 triliun.

Itu, sekali lagi, merupakan angka tertoreh berdasar perkiraan konservatif. Justru itu, bisa dibayangkan betapa tingginya pembengkakan subsidi BBM dalam tahun anggaran mendatang ini jika harga minyak mentah ternyata terus berkibar jauh di atas 45 dolar AS.

Justru itu, langkah-langkah antisipatif mutlak harus dilakukan pemerintah. RAPBN 2005 harus dirombak. Patokan harga BBM, dalam kaitan ini, perlu diubah ke tingkat yang lebih realistis sesuai perkembangan pasar. Alokasi subsidi BBM -- jika kebijakan tersebut masih akan dipertahankan -- juga tak terkecuali harus disesuaikan.

Tentu, itu melahirkan implikasi-implikasi terhadap ekonomi nasional secara keseluruhan. Dunia usaha nasional, terutama, akan amat merasakan implikasi-implikasi tersebut. Ongkos produksi mereka niscaya membengkak. Itu, pada gilirannya berimbas terhadap daya saing produk yang mereka hasilkan. Justru itu, kinerja ekspor nasional pun hampir pasti melemah. Terlebih pasar internasional sendiri, akibat krisis harga minyak mentah ini, tak terkecuali ikut-ikutan jadi lesu darah. Karena itu, risiko kebangkrutan mungkin harus ditanggung banyak pelaku industri.

Maka tak ada pilihan lain, langkah antisipasi memang harus dilakukan komprehensif. Langkah tersebut tak cukup hanya diayunkan pemerintah. Bagaimanapun, dunia usaha nasional harus pula dilibatkan. Dengan begitu, barangkali, dampak krisis harga minyak dunia saat ini bisa diharapkan bisa dieliminasi.***
Jakarta, 13 Agustus 2004

10 Agustus 2004

Sense of Crisis

Lonjakan harga minyak mentah di pasar dunia bukan lagi berkah bagi kita. Lonjakan tersebut, yang kini sudah mencapai di atas 44 dolar AS per barel, bahkan menjadi malapetaka. Bayangkan, kenaikan harga minyak mentah ini sudah mencapai lebih dua kali lipat dibanding patokan APBN 2004 sebesar 22 dolar AS per barel.

Kalangan pengamat maupun analis berkeyakinan bahwa harga minyak mentah ini sulit diharapkan segera turun kembali. Bahkan menurut mereka, paling tidak hingga akhir tahun, harga minyak mentah justru masih terus cenderung naik. Berbagai faktor mengondisikan kecenderungan itu. Antara lain, bangkrutnya raksasa perusahaan minyak Rusia serta berlipatnya konsumsi minyak dunia sekarang ini.

Walhasil, bagi kita, kenaikan harga minyak mentah sekarang ini serta-merta menjadi malapetaka. Itu tak lain karena sekarang ini kita bukan lagi eksportir minyak. Sejak beberapa tahun terakhir, kita sudah menjadi net importer karena volume bahan bakar minyak yang harus kita impor jauh lebih tinggi daripada minyak yang kita ekspor.

Itu bisa terjadi karena tingkat konsumsi energi kita terus meningkat, sementara minyak yang kita hasilkan justru cenderung turun. Pada tahun 1999, misalnya, produksi minyak mentah kita masih berkisar antara 1,4 juta hingga 1,5 juta barel per hari. Tetapi sekarang ini, akibat investasi baru nyaris mandek, produksi minyak mentah nasional rata-rata hanya sekitar 970 ribu barel per hari -- sampai-sampai kuota yang diberikan OPEC sebesar 1,2 juta barel per hari pun tak bisa kita penuhi.

Justru itu, tak seperti di masa lalu, lonjakan harga minyak mentah di pasar dunia pun bukannya mendatangkan rezeki nomplok (windfall profit) berupa tambahan penerimaan negara. Apa yang terjadi sekarang, kita malah mengalami shutfall profit: lonjakan harga minyak mentah membuat keuangan negara jadi tekor. Itu bisa terjadi karena subsidi bahan bakar minyak dalam APBN jadi membengkak.

Pemerintah sendiri, sebagaimana diungkapkan Menteri Energi dan Suberdaya Mineral Purnomo Yusgiantoro, pekan lalu, subsidi BBM tahun ini diperkirakan membengkak menjadi Rp 35 triliun hingga Rp 40 triliun. Padahal alokasi subsidi BBM yang ditetapkan pemerintah di dalam APBN 2004 hanya Rp 14,5 triliun.

Karena itu, sulit kita pahami jika pemerintah masih saja bersikap adem-ayem -- dalam arti cenderung menganggap sepi lonjakan harga minyak mentah ini. Padahal masalah yang dihadapi amat serius. Bagaimanapun, subsidi BBM yang jadi membengkak lebih dari dua kali lipat jelas mempunyai implikasi serius terhadap keuangan negara. Persisnya, defisit APBN niscaya semakin hebat. Selama semester I/2004 saja, defisit APBN ini sudah bernilai sekitar Rp 18,55 triliun.

Defisit APBN 2004 sendiri ditargetkan sebesar Rp 24,4 triliun atau 1,2 persen produk domestik bruto (PDB). Melihat tingginya lonjakan harga minyak mentah saat ini, juga kecenderungan pergerakan komoditas tersebut hingga akhir tahun, amat boleh jadi defisit APBN 2004 ini jauh terlampaui. Terlebih jika memperhitungkan kurs rupiah yang sudah terdepresiasi cukup dalam dibanding patokan APBN 2004. Saat ini, kurs rupiah sudah berkisar di atas Rp 9.000 per dolar AS. Sementara dalam APBN 2004, patokan kurs rupiah ini sebesar Rp 6.600 per dolar AS.

Jadi, lonjakan harga minyak mentah jelas punya implikasi amat serius terhadap APBN. Paling tidak, defisit yang menjadi kian menganga lebar niscaya berpengaruh besar terhadap kemampuan pemerintah mengelola kesejahteraan rakyat. Justru itu, seharusnya, pemerintah tidak bersikap adem-ayem saja menghadapi lonjakan harga minyak mentah ini. Kita menilai, harga minyak mentah yang benar-benar menggila adalah krisis -- dan karena itu sepatutnya dihadapi dengan sikap-tindak antisipatif. Dengan demikian, krisis harga minyak bisa dihindari tak sampai melahirkan krisis keuangan pemerintah dengan segala implikasinya.

Dengan kata lain, kita amat mengharapkan pemerintah menunjukkan sense of crisis dalam menghadapi lonjakan harga minyak mentah ini. Sikap yang cenderung menganggap enteng persoalan bukan saja menggusarkan, melainkan juga menyimpan bom waktu.

Kita sendiri sama sekali bukan meragukan kemampuan pemerintah dalam menghadapi masalah. Cuma, beberapa pernyataan kalangan pejabat terkait lonjakan harga minyak sekarang ini terkesan menyederhanakan masalah. Argumen-argumen yang mereka utarakan tak cukup menenteramkan. Kita tak cukup yakin bahwa APBN akan tetap bisa terkendali, sementara kita tidak memperoleh keterangan dan penjelasan soal langkah darurat sebagai pengamanan atas dampak kenaikan abnormal harga minyak mentah dunia sekarang ini.***
Jakarta, 10 Agustus 2004