27 Maret 2012

Menghargai Aksi Unjuk Rasa

Aksi unjuk rasa kemarin kembali marak. Massa mahasiswa, buruh, juga simpatisan sebuah parpol, tumpah-ruah turun ke jalan. Tidak saja di ibu kota Jakarta, tetapi juga di sejumlah kota besar lain. Di mana-mana massa pengunjuk rasa mengusung tema yang sama: menolak rencana kebijakan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi mulai 1 April mendatang.

Karena tujuan aksi unjuk rasa adalah menentang kenaikan harga BBM menjadi kenyataan, boleh jadi hari ini -- mungkin juga besok dan berhari-hari ke depan – massa kembali turun ke jalan. Bahkan, seperti pengakuan kalangan aktivis mahasiswa di Jakarta, massa yang turun ke jalan hari ini dan besok-besok mungkin jauh lebih besar ketimbang kemarin.

Kenyataan itu menunjukkan bahwa pengunjuk rasa serius dengan tuntutan mereka. Paling tidak, keseriusan tersebut menghinggapi massa mahasiswa dan buruh. Sebab bagi massa yang lain, massa sebuah parpol, keseriusan itu masih mengundang tanya – karena aksi mereka turun berunjuk rasa lebih karena mobilisasi pengurus parpol alias belum tentu murni sejalan dengan kesadaran mereka sendiri.

Tetapi serius ataupun tidak, aksi unjuk rasa massa menentang penaikan harga BBM ini dihadapi aparat dengan sikap keras. Karena itu, seperti hari kemarin, aksi-aksi unjuk rasa berlangsung ricuh. Bentrok fisik antara massa pengunjuk rasa dan aparat tak terhindarkan.

Patut dihargai bahwa aksi-aksi unjuk rasa ini hanya dihadapi aparat kepolisian. Paling tidak hingga kemarin, aparat TNI tidak turut dikerahkan ke lapangan. Tetapi apakah karena harus menanggung beban sendirian lantas polisi terkesan bertindak keras terhadap pengunjuk rasa?

Tampaknya tidak. Toh tindakan keras polisi ini terlihat hampir dalam menghadapi setiap aksi unjuk rasa. Bahkan dalam sejumlah kasus, tindakan polisi tergolong brutal. Dalam aksi unjuk rasa kemarin, kebrutalan itu juga kembali dipertunjukkan. Seperti dalam tayangan di sebuah stasiun televisi, seorang mahasiswa pengunjuk rasa di Jakarta, yang terpojok jauh dari kawan-kawannya, didorong polisi hingga terjerembab ke got. Selanjutnya, mahasiswa itu dihajar polisi secara beramai-ramai. Bukan hanya ditonjok atau ditendang, melainkan juga dihajar pakai tongkat dengan sepenuh tenaga.

Aparat kepolisian cenderung bertindak keras terhadap massa penunjuk rasa boleh jadi karena soal pendekatan. Aparat bukan bertindak mengawal aksi unjuk rasa agar berlangsung tertib dan aman, melainkan karena mereka menganggap massa pengunjuk rasa seolah gerombolan yang harus ditumpas.

Namun mungkin kecenderungan itu karena polisi terpancing oleh tindakan massa pengunjuk rasa sendiri yang tak jarang berlebihan. Bukan hanya mengganggu ketertiban umum, melainkan mereka juga acap melakukan perusakan fasilitas publik. Akibatnya, aksi unjuk rasa mereka menjadi anarkistis. Gambaran itu tak terkecuali mengemuka dalam aksi unjuk rasa massa di beberapa tempat, kemarin.

Walhasil, pengunjuk rasa maupun aparat kepolisian perlu melakukan koreksi. Pengunjuk rasa harus bisa mengendalikan diri agar aksi mereka tidak menjadi anarkistis. Bukan hanya sama sekali tidak produktif, aksi anarkistis juga membuat unjuk rasa menjadi tidak simpatik. Artinya, aksi unjuk rasa harus dikembalikan kepada proporsinya: sebagai wahana penyampaian aspirasi. Tidak lebih.

Di lain pihak, polisi juga harus menempatkan diri melulu sebagai pengaman situasi di lapangan agar aksi unjuk rasa berlangsung tertib dan aman. Mereka tidak boleh tampil sebagai “pemadam kebakaran” sehingga tindakan keras atau bahkan brutal pun dilakukan dalam mengawal aksi unjuk rasa ini.

Sementara itu, pejabat pemerintah sendiri kudu lebih menghargai aspirasi rakyat. Mereka tak boleh menganggap remeh atau apalagi bersikap cuek bebek terhadap aksi-aksi penyampaian aspirasi rakyat, khususnya aksi unjuk rasa. Paling tidak, pejabat pemerintah patut mendengar baik-baik aspirasi di balik aksi-aksi unjuk rasa massa rakyat. Mengabaikan aksi unjuk rasa dengan dalih apa pun -- entah berdinas ke luar kota ataupun melakukan muhibah ke mancanegara – sungguh tak patut dilakukan pejabat pemerintah. Terlebih jika pejabat itu adalah presiden!***


25 Maret 2012

Aplikasi Favorit di BlackBerry

Banyak orang bilang bahwa BlackBerry itu bukanlah Handphone. BlackBerry adalah BlackBerry. Sulit untuk menjelaskan apakah BlackBerry itu. Itulah sebabnya Komunitas BlackBerry banyak bertebaran baik di Facebook maupun di Mailing List.
Salah satu yang membuat orang menikmati BlackBerry adalah banyaknya aplikasi-aplikasi gratis yang bisa diinstal di dalam os Blackberry.
Inilah beberapa Aplikasi Gratis yang banyak dipakai oleh pemakai BlackBerry:
1. Facebook
Facebook dengan blackberry sekarang sepertinya sudah tidak bisa dipisahkan. Banyak orang beli Blackberry hanya supaya mereka bisa mengupdate Facebook mereka setiap hari.
Link Over the Air (OTA):http://mobileapps.blackberry.com/devicesoftware/mobile/downloadServlet
2. Opera Mini
Ini adalah aplikasi browser yang paling banyak dipakai oleh dunia mobile. Penggunaan Opera Mini di blackberry sangat diperlukan. Banyak link yang terlalu berat untuk dibuka di browser bb, dan lebih mudah dilihat jika menggunakan Opera Mini.
Link OTA: http://mini.opera.com/mini.jad?rnd=1580561319&cert=none&edition=hifi&rel=4
3. Amplop merah (Gmail)
Penggunaan gmail marak di kalangan pengguna blackberry yang doyan banget ikutan mailing list. Ada beberapa kelebihan Gmail dibanding Message bb. (Dibahas di artikel sebelumnya)
Link OTA: http://m.google.com/mail/download/mail.jad?dc=gorganic&ver=2.0.6
4. Google map
Aplikasi ini merupakan alternatif lain dari BlackBerry Map. Kelebihan dari google map versi terbaru adalah adanya Lattitude. Dengan lattitude kita bisa mengetahui keberadaan sesama pengguna lattitude lainnya.
Link OTA: http://m.google.com/maps/download/maps.jad?dc=gorganic&ver=3.0.2
5. Viigo
Dengan aplikasi ini kita bisa mendapatkan update berita-berita dari seluruh dunia. Mulai dari CNN, ESPN, sampai ke yang lokal seperti Detik, Kompas, dll. Semua link berformat rss reader bisa dimasukan ke dalam aplikasi Viigo. Link:
Link OTA: http://viigo.com/download

detik.com

22 Maret 2012

Pemilihan Komisioner KPU


Kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode mendatang ini harus lebih baik. KPU bukan hanya dituntut mampu meningkatkan partisipasi rakyat dalam perhelatan demokrasi lima tahunan, melainkan sekaligus mampu menyelenggarakan pemilu secara lancar, tertib, bersih, dan fair. Segala bentuk kecurangan harus bisa diantisipasi dan ditekan, sehingga hasil pemilu benar-benar legitimate - dan karena itu diterima semua pihak dengan sikap hormat.

Untuk itu, tak bisa tidak, KPU wajib diisi oleh figur-figur yang bukan saja menguasai teknis penyelenggaraan pemilu, melainkan terutama juga memiliki integritas bagus. Komisioner-komisioner KPU tidak boleh merupakan sosok-sosok yang mudah dipengaruhi ataupun gampang diintervensi pihak lain. Mereka harus benar-benar punya kepribadian teguh alias tahan terhadap iming-iming kekuasaan ataupun materi.

Komisioner-komisioner KPU juga tak boleh memiliki syahwat politik ataupun menyimpan agenda tersembunyi menyangkut kekuasaan. Mereka harus mengenyahkan jauh-jauh segala bentuk syahwat politik ataupun agenda kekuasaan, karena kedua soal itu merupakan bibit yang bisa membuat mereka tega melakukan perselingkuhan politik sehingga kelembagaan KPU pun menjadi invalid secara moral.

Karena itu pula, proses pemilihan komisioner KPU di DPR sekarang ini sungguh strategis. Proses tersebut sangat diharapkan berhasil melahirkan sosok-sosok komisioner KPU yang independen dan berintegritas. Proses pemilihan tak boleh lagi seperti di waktu lalu: gagal melahirkan komisioner-komisoner yang profesional, independen, dan berintegritas.

Justru itu, dalam melakukan pemilihan, segenap anggota Komisi II DPR juga harus bisa menanggalkan segala agenda politik masing-masing. Mereka harus membuang syahwat-syahwat kepentingan yang membuat proses pemilihan komisioner KPU melupakan tujuan idealnya.

Jadi, segenap anggota DPR kudu bisa memilah dan mimilih calon-calon tanpa muatan kepentingan lain kecuali menghasilkan komisioner-komisioner yang profesional alias mampu bekerja, independen, dan berintegritas.

Dengan kata lain, proses pemilihan komisioner di DPR mesti terlaksana objektif. Proses pemilihan harus terjamin bebas dari segala bias politik. Dengan demikian, kinerja KPU periode mendatang pun sungguh bisa diharapkan lebih baik dibanding periode sekarang ini yang notabene dikeluhkan banyak pihak.
Untuk itu, proses uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test), yang digelar Komisi II DPR terhadap sejumlah kandidat komisoner sejak beberapa hari lalu, harus dijaga agar tidak menyimpang menjadi ajang transaksi politik. Proses fit and proper test justru wajib dijadikan rujukan. Rujukan dalam mengukur kapabilitas dan integritas tiap kandidat. Rujukan dalam menentukan prioritas pilihan tentang sosok-sosok yang layak duduk sebagai komisioner KPU bukan atas dasar komimen atau deal-deal politik tertentu, melainkan murni berdasar ukuran-ukuran profesional dan patokan integritas.

Sosok-sosok calon komisioner sendiri relatif menjanjikan. Mereka bukan "kucing dalam karung". Dalam segi kemampuan teknis, sejumlah kandidat secara umum bisa diandalkan karena sudah memiliki jam terbang cukup memadai sebagai komisioner KPU di daerah. Dalam segi integritas, sosok-sosok kandidat ini juga kelihatannya belum terkena "polusi" politik.

Justru itu, maka "bola" sepenuhnya berada di tangan DPR. Sejauh DPR tidak tergoda menjadikan proses pemilihan sebagai ajang transaksi politik, sosok-sosok komisioner terpilih bisa diharapkan mampu melahirkan KPU periode mendatang tampil profesional, independen, dan berintegritas. Dengan demikian, pesta demokrasi lima tahunan ke depan ini juga niscaya lebih lancar, bersih, dan fair.***

20 Maret 2012

Operator Tol Kudu Berbenah

Tindakan Menneg BUMN Dahlan Iskan menyerbu dan kemudian selama beberapa saat bertindak menjadi petugas gardu tol di daerah Semanggi, Jakarta, patut diapresiasi. Memang, tindakan tersebut terkesan sebagai bentuk arogansi kekuasaan. Namun banyak pengguna jalan tol setuju terhadap tindakan tersebut.

Publik setuju bukan cuma karena kemacetan arus lalu lintas menjelang gerbang tol Semanggi menjadi lancar, melainkan terutama karena tindakan Menneg BUMN itu terasa mewakili pelampiasan unek-unek dan kekesalan mereka selama ini menyangkut mutu layanan jalan tol yang tidak memuaskan.

Karena itu, bagi publik, tindakan Menneg BUMN ini merupakan tamparan bagi PT Jasa Marga sebagai operator jalan tol di dalam kota Jakarta. Dengan tamparan itu, Jasa Marga dipaksa mengakui bahwa layanan mereka sungguh buruk. Bahwa Jasa Marga patut memperbaiki orientasi dengan tidak lagi memperlakukan penggguna jalan tol sekadar objek.

Selama ini, pengguna jalan tol di dalam kota Jakarta seolah tak punya hak untuk menikmati layanan prima. Seolah-olah mereka cuma berkewajiban membayar akses jalan tol. Soal apakah mereka memperoleh layanan secara patut selama menggunakan jalan tol, pihak operator sepertinya tak pernah ambil pusing.

Karena itu, mutu layanan jalan tol di dalam kota Jakarta selama ini boleh dibilang memble. Kelancaran arus lalu lintas menjadi sesuatu yang langka. Arus lalu lintas di jalan tol dalam kota Jakarta hanya benar-benar lancar pada waktu tengah malam sampai dini hari. Begitu pagi merekah, jalan tol tak ubah dengan jalan biasa: padat merayap atau bahkan macet. Kondisi seperti itu berlangsung sampai siang atau bahkan malam hari.

Memang, kondisi itu terkait erat dengan volume kendaraan. Tapi pihak operator juga punya kontribusi tidak kecil -- karena mereka nyaris tak pernah terlihat berupaya melakukan pengaturan dan pengendalian menyangkut kelancaran dan kenyamanan arus lalu lintas di jalan tol. Mereka sepertinya melulu berpinsip sederhana: siapa pun bisa mengakses jalan tol -- tak soal kepadatan di jalan tol sendiri sudah uyel-uyelan atau bahkan macet sekalipun.

Jadi, pihak operator selama ini tidak berorientasi terhadap mutu layanan. Mereka cenderung memperlakukan pengguna jalan tol melulu sebagai objek. Karena itu, mereka tak pernah tergerak melakukan mekanisme pengaturan dan pengendalian atas arus masuk kendaraan ke jalan tol sehingga volume kendaraan di jalan itu pun tidak kelewat padat.

Pengguna jalan tol juga acap dibuat kesal oleh sikap tak acuh pihak operator. Seperti insiden di gerbang Semanggi yang kemarin membuat Menneg BUMN berang -- dan karena itu turun tangan langsung ke lapangan --, gardu tol kerap ditutup sebagian. Entah dengan alasan apa. Tindakan itu -- entah di gardu akses masuk ataupun di gardu akses keluar -- dilakukan sama sekali tanpa beban. Tak terkecuali pada saat lalu lintas kendaraan sedang sangat padat.

Aksi Menneg BUMN di gerbang Semanggi seyogyanya menyadarkan operator jalan tol. Bukan cuma Jasa Marga, karena toh mutu layanan operator-operator lain pun, di ruas jalan tol mana pun, selama ini kurang lebih sama saja. Sama-sama cenderung menempatkan pengguna jalan tol sebagai objek.

Nah, operator jalan tol kudu berbenah. Melakukan perbaikan ke dalam. Mengubah orientasi. Intinya, pengguna jalan mesti menjadi acuan segala bentuk layanan dalam penyelenggaraan jasa jalan tol ini. Dengan demikian, jalan tol bisa diharapkan berfungsi sebagaimana mestinya: menjadi alternatif yang menjamin kelancaran arus mobilitas sosial-ekonomi.***

Jakarta, 20 Maret 2012

Layanan Jalan Tol


Tindakan Menneg BUMN Dahlan Iskan menyerbu dan kemudian selama beberapa saat bertindak menjadi petugas gardu tol di daerah Semanggi, Jakarta, patut diapresiasi. Memang, tindakan tersebut terkesankan sebagai bentuk arogansi kekuasaan. Namun banyak pengguna jalan tol setuju terhadap tindakan tersebut.
    
Publik setuju bukan cuma karena kemacetan arus lalu lintas menjelang gerbang tol Semanggi menjadi lancar, melainkan terutama karena tindakan Menneg BUMN itu terasa mewakili pelampiasan unek-unek dan kekesalan mereka selama ini menyangkut mutu layanan jalan tol yang tidak memuaskan.
    
Karena itu, bagi publik, tindakan Menneg BUMN ini merupakan tamparan bagi PT Jasa Marga sebagai operator jalan tol di dalam kota Jakarta. Dengan tamparan itu, Jasa Marga dipaksa mengakui bahwa layanan mereka sungguh buruk. Bahwa Jasa Marga patut memperbaiki orientasi dengan tidak lagi memperlakukan penggguna jalan tol sekadar objek.
    
Selama ini, pengguna jalan tol di dalam kota Jakarta seolah tak punya hak untuk menikmati layanan prima. Seolah-olah mereka cuma berkewajiban membayar akses jalan tol. Soal apakah mereka memperoleh layanan secara patut selama menggunakan jalan tol, pihak operator sepertinya tak pernah ambil pusing.
    
Karena itu, mutu layanan jalan tol di dalam kota Jakarta selama ini boleh dibilang memble. Kelancaran arus lalu lintas menjadi sesuatu yang langka. Arus lalu lintas di jalan tol dalam kota Jakarta hanya benar-benar lancar pada waktu tengah malam sampai dini hari. Begitu pagi merekah, jalan tol tak ubah dengan jalan biasa: padat merayap atau bahkan macet. Kondisi seperti itu berlangsung sampai siang atau bahkan malam hari.
    
Memang, kondisi itu terkait erat dengan volume kendaraan. Tapi pihak operator juga punya kontribusi tidak kecil -- karena mereka nyaris tak pernah terlihat berupaya melakukan pengaturan dan pengendalian menyangkut kelancaran dan kenyamanan arus lalu lintas di jalan tol. Mereka sepertinya melulu berpinsip sederhana: siapa pun bisa mengakses jalan tol -- tak soal kepadatan di jalan tol sendiri sudah uyel-uyelan atau bahkan macet sekalipun.
    
Jadi, pihak operator selama ini tidak berorientasi terhadap mutu layanan. Mereka cenderung memperlakukan pengguna jalan tol melulu sebagai objek. Karena itu, mereka tak pernah tergerak melakukan mekanisme pengaturan dan pengendalian atas arus masuk kendaraan ke jalan tol sehingga volume kendaraan di jalan itu pun tidak kelewat padat.
    
Pengguna jalan tol juga acap dibuat kesal oleh sikap tak acuh pihak operator. Seperti insiden di gerbang Semanggi yang kemarin membuat Menneg BUMN berang -- dan karena itu turun tangan langsung ke lapangan --, gardu tol kerap ditutup sebagian. Entah dengan alasan apa. Tindakan itu -- entah di gardu akses masuk ataupun di gardu akses keluar -- dilakukan sama sekali tanpa beban. Tak terkecuali pada saat lalu lintas kendaraan sedang sangat padat.
    
Aksi Menneg BUMN di gerbang Semanggi seyogyanya menyadarkan operator jalan tol. Bukan cuma Jasa Marga, karena toh mutu layanan operator-operator lain pun, di ruas jalan tol mana pun, selama ini kurang lebih sama saja. Sama-sama cenderung menempatkan pengguna jalan tol sebagai objek.
    
Nah, operator jalan tol kudu berbenah. Melakukan perbaikan ke dalam. Mengubah orientasi. Intinya, pengguna jalan mesti menjadi acuan segala bentuk layanan dalam penyelenggaraan jasa jalan tol ini. Dengan demikian, jalan tol bisa diharapkan berfungsi sebagaimana mestinya: menjadi alternatif yang menjamin kelancaran arus mobilitas sosial-ekonomi.***

Jakarta, 20 Maret 2012

16 Maret 2012

Hukum Berat Polisi Nyabu

Tindak penyalahgunaan narkoba kini sudah sampai tahap mencemaskan. Sudah masuk tahap gawat darurat. Betapa tidak, karena pengguna narkoba kini bukan lagi rakyat biasa ataupun sebatas selebritas. Kalangan aparat penegak hukum -- khususnya kepolisian -- tak terkecuali sudah banyak pula terlibat tindak penyalahgunaan narkoba ini. Meski masih bersifat kasuistis, fenomena tersebut sungguh tak bisa dipanjang remeh.

Secara kuantitatif, anggota kepolisian yang tertangkap tangan menjadi pengguna narkoba sudah tidak lagi dalam hitungan jari. Selama tiga bulan terakhir saja, polisi yang terjerat kasus narkoba ini sudah mencapai 45 orang. Sangat boleh jadi, angka itu lebih merupakan fenonema gunung es. Artinya, dalam kenyataan di lapangan, pengguna narkoba di kalangan kepolisian ini jauh lebih banyak ketimbang jumlah mereka yang tertangkap tangan.

Secara kualitatif, tindak penyalahgunaan narkoba di tubuh institusi Polri ini juga tak kurang mencemaskan. Mereka yang ketahuan menjadi pengguna bukan sekadar kelompok bintara, melainkan juga perwira. Belum lama ini, misalnya, Kapolsek Cibarusah, Bekasi, Ajun Komisaris Heru Budhi Sutrisno; serta Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak di Polres Metropolitan Jakarta Selatan Inspektur Satu Rita ditangkap aparat. Keduanya dinyatakan mengonsumsi narkoba.

Kenyataan itu jelas mencemaskan. Sebab, bagaimanapun jajaran kepolisian adalah andalan utama dalam penanggulangan tindak penyalahgunaan narkoba ini. Nah, jika institusi kepolisian sendiri semakin serius dirasuki tindak penyalahgunaan narkoba, tentu masyarakat tak bisa lagi berharap banyak bahwa fenomena itu benar-benar bisa efektif ditekan. Paling tidak, kepolisian kehilangan legitimasi dan kredibilitas selaku institusi andalan dalam program penanggulangan penyalahgunaan narkoba.

Konsekuensinya, fenomena penyalahgunaan narkoba di tengah masyarakat niscaya semakin luas. Semakin merajalela. Orang tak lagi takut-takut menjadi produsen, pengedar, ataupun sekadar pengguna narkoba.

Karena itu, institusi kepolisian dituntut melakukan pembenahan ke dalam secara serius dan tanpa pandang bulu. Anggota kepolisian yang tertangkap tangan terlibat penyalahgunaan narkoba patut ditindak tegas dan lugas. Mereka tak cukup sekadar dikenai sanksi semacam pencopotan jabatan atau penurunan pangkat, melainkan pemecatan dari korps kepolisian.

Dengan itu, anggota kepolisian niscaya berpikir dua-tiga kali sebelum coba-coba terlibat tindak penyalahgunaan narkoba. Artinya, karena itu, institusi kepolisian pun bisa diharapkan relatif bersih dari fenomena penyalahgunaan itu -- entah yang bersifat langsung pelaku ataupun tidak langsung seperti melindungi praktis bisnis narkoba.

Karena itu pula, ke luar, kredibilitas dan legitimasi kepolisian selaku institusi pemberantas tindak penyalahgunaan narkoba bisa tetap ditegakkan. Masyarakat niscaya melihat institusi kepolisian tidak main-main dalam memberantas penyalahgunaan narkoba ini.

Tentu, itu menjadi nilai plus tersendiri terhadap gerakan pemberantasan penyalahgunaan narkoba secara keseluruhan. Terlebih lagi jika sanksi hukum terhadap mereka yang terbukti menjadi produsen, pengedar, atau sekadar pengguna narkoba juga tidak terkesan kurang serius seperti selama ini -- sampai-sampai sejumlah kasus yang divonis hukuman mati pun tak kunjung dieksekusi.***

Jakarta, 16 Maret 2012

14 Maret 2012

Seleksi Komisoner KPU


Kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode mendatang ini harus lebih baik. KPU bukan hanya dituntut mampu meningkatkan partisipasi rakyat dalam perhelatan demokrasi lima tahunan, melainkan sekaligus mampu menyelenggarakan pemilu secara lancar, tertib, bersih, dan fair. Segala bentuk kecurangan harus bisa diantisipasi dan ditekan, sehingga hasil pemilu benar-benar legitimate -- dan karena itu diterima semua pihak dengan sikap hormat.
      
Untuk itu, tak bisa tidak, KPU wajib diisi oleh figur-figur yang bukan saja menguasai teknis penyelenggaraan pemilu, melainkan terutama juga memiliki integritas bagus. Komisioner-komisioner KPU tidak boleh merupakan sosok-sosok yang mudah dipengaruhi ataupun gampang diintervensi pihak lain. Mereka harus benar-benar punya kepribadian teguh alias tahan terhadap iming-iming kekuasaan ataupun materi.
      
Komisioner-komisioner KPU juga tak boleh memiliki syahwat politik ataupun menyimpan agenda tersembunyi menyangkut kekuasaan. Mereka harus mengenyahkan jauh-jauh segala bentuk syahwat politik ataupun agenda kekuasaan,  karena kedua soal itu merupakan bibit yang bisa membuat mereka tega melakukan perselingkuhan politik sehingga kelembagaan KPU pun menjadi invalid secara moral.
      
Karena itu pula, proses pemilihan komisioner KPU di DPR sekarang ini sungguh strategis. Proses tersebut sangat diharapkan berhasil melahirkan sosok-sosok komisioner KPU yang independen dan berintegritas. Proses pemilihan tak boleh lagi seperti di waktu lalu: gagal melahirkan komisioner-komisoner yang profesional, independen, dan berintegritas.
      
Justru itu, dalam melakukan pemilihan, segenap anggota Komisi II DPR juga harus bisa menanggalkan segala agenda politik masing-masing. Mereka harus membuang syahwat-syahwat kepentingan yang membuat proses pemilihan komisioner KPU melupakan tujuan idealnya.
      
Jadi, segenap anggota DPR kudu bisa memilah dan mimilih calon-calon tanpa muatan kepentingan lain kecuali menghasilkan komisoner-komisioner KPU yang profesional alias mampu bekerja, independen, dan berintegritas.
      
Dengan kata lain, proses pemilihan komisioner di DPR mesti terlaksana objektif. Proses pemilihan harus terjamin bebas dari segala bias politik. Dengan demikian, kinerja KPU periode mendatang pun sungguh bisa diharapkan lebih baik dibanding periode sekarang ini yang notabene dikeluhkan banyak pihak.
      
Untuk itu, proses uji kelayakan dan kepatutan (fit and profer test), yang digelar Komisi II DPR terhadap sejumlah kandidat komisoner sejak beberapa hari lalu, harus dijaga agar tidak menyimpang menjadi ajang transaksi politik. Proses fit and proper test justru wajib dijadikan rujukan. Rujukan dalam mengukur kapabilitas dan integritas tiap kandidat. Rujukan dalam menentukan prioritas pilihan tentang sosok-sosok yang layak duduk sebagai komisoner KPU bukan atas dasar komimen atau deal-deal politik tertentu, melainkan murni berdasar ukuran-ukuran profesional dan patokan integritas.
      
Sosok-sosok calon komisioner sendiri relatif menjanjikan. Mereka bukan "kucing dalam karung". Dalam segi kemampuan teknis, sejumlah kandidat secara umum bisa diandalkan karena sudah memiliki jam terbang cukup memadai sebagai komisioner KPU di daerah. Dalam segi integritas, sosok-sosok kandidat ini juga kelihatannya belum terkena "polusi" politik.
      
Justru itu, maka "bola" sepenuhnya berada di tangan DPR. Sejauh DPR tidak tergoda menjadikan proses pemilihan sebagai ajang transaksi politik, sosok-sosok komisioner terpilih bisa diharapkan mampu melahirkan KPU periode mendatang tampil profesional, independen, dan berintegritas. Dengan demikian, pesta demokrasi lima tahunan ke depan ini juga niscaya lebih lancar, bersih, dan fair.***

Jakarta, 14 Maret 2012

09 Maret 2012

Gerakan Antikorupsi dalam Bahaya


Gerakan melawan korupsi tak boleh surut ataupun melemah. Bukan hanya karena praktik korupsi di negeri Indonesia sudah sangat kronis - dan karena itu tergolong gawat darurat -, melainkan juga karena bagaimanapun korupsi tak boleh ditoleransi. Korupsi, sekecil apa pun, harus diperlakukan sebagai najis dan musuh bersama - karena korupsi merupakan pengkhianatan terhadap cita-cita kemerdekaan Indonesia: mewujudkan kesejahteraan seluruh masyarakat.

Karena itu, upaya-upaya yang bersifat menyurutkan gerakan antikorupsi harus dihadang atau bahkan dilawan. Dalam konteks ini, institusi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak boleh sampai dikebiri. Sebagai garda terdepan gerakan pemberantasan korupsi, keberadaan KPK dengan segala kewenangan yang melekat sekarang ini patut dipertahankan. Bahkan, jika perlu, kewenangan-kewenangan itu - sejauh tidak keluar dari koridor hukum - justru ditingkatkan. Dengan demikian, KPK bisa diharapkan makin optimal dalam mengemban peran dan fungsinya.

Atas dasar itu, revisi UU KPK yang kini bergulir menjadi sangat merisaukan jika semangat yang melatarinya adalah mengebiri KPK. Dengan mempreteli kewenangan KPK melakukan fungsi penindakan, dan karena itu lembaga tersebut menjadi sekadar fokus pada fungsi pencegahan, maka gerakan pemberantasan korupsi sungguh dalam ancaman nyata. Gerakan antikorupsi bukan cuma menuju antiklimaks, melainkan sekaligus mengalami pembusukan.

Kenyataan itu kian membuat miris karena di sisi lain UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagai instrumen KPK dalam mengemban peran dan fungsinya, pada saat bersamaan juga dalam proses pelemahan. Melalui proses revisi yang bergulir sejak Maret tahun lalu, UU Tipikor dicoba ditelikung menjadi sekadar macan ompong. Draf RUU Tipikor yang diajukan pemerintah nyata sekali bersemangat ke arah itu. Pasal ancaman hukuman mati terhadap pelaku tindak korupsi, misalnya, dihilangkan. Padahal pasal tersebut, meski sejauh ini memang belum memakan korban karena tidak diterapkan entah karena alasan apa, bisa membuat miris orang untuk berbuat korup.

Sementara itu, pasal yang mengatur tentang kerugian negara akibat tindak pidana korupsi juga dibredel. Padahal selama ini pasal tersebut banyak digunakan oleh aparat penegak hukum untuk menjerat koruptor. KPK sendiri telah menjerat sekian banyak koruptor dengan menggunakan pasal tersebut.

Dalam draf RUU Tipikor pula, kewenangan KPK melakukan penuntutan tidak disebutkan secara jelas. Ini menjadi indikasi bahwa kewenangan KPK dalam melakukan penuntutan dicoba dibonsai.
Jadi, sekali lagi, gerakan antikorupsi kini dalam ancaman nyata. Perang melawan korupsi sedang dicoba diredupkan menjadi sekadar perang-perangan - bukan perang sungguhan. Gerakan antikorupsi sedang direduksi menjadi perang setengah hati. Sekadar basa-basi.

Itu sungguh berbahaya bagi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Berbahaya, karena praktik korupsi niscaya semakin bersimaharajalela dan merontokkan sendi-sendiri kehidupan bersama.

Karena itu, arus yang meredupkan gerakan korupsi harus bisa dibendung. Dalam konteks ini, keinginan mengamputasi institusi KPK mesti dibuang jauh-jauh. Juga niat mengebiri UU Tipikor menjadi sekadar macan ompong kudu dikubur dalam-dalam.

Selebihnya, gerakan antikorupsi justru harus lebih digelorakan. Untuk itu, barisan harus dirapatkan. Ketentuan perundangan yang menjadi dasar gerakan itu wajib diterapkan secara optimal alias jangan lagi setengah hati. Lalu institusi penegak hukum - KPK, kepolisian, dan kejaksaan - juga harus diberdayakan menjadi benar-benar independen dan berintegritas.***