19 Desember 2013

Konsistensi KPK

Dalam menangani kasus korupsi yang diduga melibatkan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah -- juga sejumlah kasus lain -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan sikap-tindak gesit dan penuh semangat. Ratu Atut ditetapkan sebagai tersangka hanya dalam tempo beberapa pekan setelah KPK membongkar kasus suap dengan aktor utama Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar. Bahkan adik Atut -- Tubagus Chaeri Wardhana alias Wawan --  sudah lebih dulu diberi status serupa dan dikurung di tahanan KPK sejak beberapa waktu lalu.

KPK menyatakan Ratu Atut dan Wawan terlibat tindak pidana suap dalam pengurusan sengketa Pilkada Kabupaten Lebak, Banten, di Mahkamah Konstitusi; serta tindak pidana korupsi dalam pengadaan alat kesehatan di Provinsi Banten. KPK juga konon tengah melakukan pendalaman dan pengumpulan fakta hukum terkait indikasi keterlibatan anggota lain keluarga besar Ratu Atut -- entah dalam kasus yang sama ataukah kasus lain lagi.

Kasus yang menjerat Ratu Atut merupakan hasil pendalaman dan pengembangan yang dilakukan KPK atas kasus yang melibatkan Akil Mochtar, khususnya dugaan suap dalam pengurusan sengketa Pilkada Lebak di Mahkamah Konstitusi. Sementara kasus korupsi dalam pengadaan alat kesehatan ditelisik KPK berdasar info masyarakat, menyusul pengungkapan kasus suap yang diduga melibatkan Wawan.

Gerak langkah KPK yang trengginas menangani kasus yang menjerat Raut Atut ini -- juga sejumlah kasus lain, seperti kasus suap yang melibatkan Ketua SKK Migas Rudi Rubiandini ataupun kasus korupsi dalam pengadaan simulator mengemudi yang menjerat Kepala Korlantas Mabes Polri Irjen Pol  Djoko Susilo -- jelas patut diapresiasi.

Sikap itu bukan hanya menunjukkan semangat tinggi, melainkan juga menjadi perwujudan komitmen KPK menegakkan prinsip equality before the law. Entah jenderal, entah kongmerat, entar gubernur, entah politisi Senayan, entah petinggi parpol --  semua diperlakukan sama di depan hukum.

Tetapi sikap seperti itu tak konsisten diperlihatkan KPK. Dalam beberapa kasus yang diduga melibatkan pusat kekuasaan, seperti kasus bailot Bank Century, KPK terkesankan bersikap ogah-ogahan menggarap aktor-aktor di pusat kekuasaan ini. Seolah KPK kehilangan semangat dan nyali. Dalam bahasa lugas, KPK tampak bersikap tebang pilih.

Yang aktual, sikap itu diperlihatkan KPK dalam menghadapi keterangan mantan Direktur Keuangan Grup Permai Yulianis. Bekas anak buah terpidana korupsi proyek Wisma Atlet M Nazaruddin itu beberapa kali menyebut putera Presiden Yudhoyono yang juga Sekjen Partai Demokrat, Eddie Baskoro alias Ibas, ikut menerima uang dari Nazaruddin.

Yulianis membeberkan ihwal itu saat bersaksi pada persidangan kasus korupsi dengan terdakwa Kepala Biro Perencanaan Kemenpora Deddy Kusdinar. Menurut Yulianis, ada aliran uang sebesar 200.000 dollar AS kepada Ibas. Aliran tersebut tercatat dalam pembukuan yang dia pegang.

Yulianis juga mengaku bahwa kesaksian itu dia sampaikan pula saat diperiksa oleh penyidik KPK. Tetapi, memang, keterangan dia kepada penyidik ini tidak masuk berita acara pemeriksaan -- sesuatu yang di luar kehendak dan di luar kuasa Yulianis.

Meski pengakuan Yulianis itu begitu gamblang, toh KPK terkesankan ogah melakukan tindak lanjut dengan antara lain seharusnya sigap meminta keterangan Ibas. Bahkan, Ketua KPK Abraham Samad tanpa tedeng aling-aling menafikan keterangan Yulianis dengan mengatakan perempuan tersebut aneh -- karena dia menilai Yulianis hanya mengutarakan keterangan soal Ibas ini dalam persidangan dan  tidak masuk berita acara pemeriksaan.

Sikap Abraham itu pula yang mendorong Yuslianis beberapa hari lalu mengajukan protes. Dia menuntut Abraham mencabut pernyataannya tentang Yuslianis yang dia sebut sebagai orang aneh.

Bagi publik, sikap Yuslianis yang begitu kukuh mengenai Ibas ini meerupakan petunjuk bahwa perempuan itu tidak main-main. Justru itu, menjadi aneh jika KPK tak bersemangat atau bahkan hilang nyali untuk melakukan tindak lanjut sebagaimana mestinya: meminta keterangan Ibas. Keanehan ini pada akhirnya bisa bermuara pada kesan bahwa KPK hanya trengginas bertindak terhadap kasus yang tidak bersinggungan dengan pusat kekuasaan.***

19 Desember 2013

18 Desember 2013

UU Desa, Lega dan Cema

Persetujuan DPR agar RUU Desa disahkan Presiden menjadi undang-undang, kemarin, memunculkan kelegaan sekaligus kecemasan. Lega, karena undang-undang tersebut jelas kental bersemangat mengangkat kesejahteraan masyarakat desa, termasuk perangkat desanya sendiri.

Tapi keberadaan UU Desa ini juga mencemaskan. Bukan tidak mungkin nanti terjadi berbagai tindak penyelewengan dalam penggunaan anggaran desa, sehingga tujuan mulia undang-undang ini -- mengangkat kesejahteraan masyarakat desa -- banyak terganggu.

Karena itu, bukan tidak mungkin kelak muncul koruptor-koruptor tingkat desa sebagaimana fenomena korupsi di tingkat pemerintahan lebih atas yang demikian marak. Mungkin juga, karena besaran dan pengucuran anggaran desa ditentukan pemkab/pemkot, UU Desa ini melahirkan pula tindak penyimpangan berupa pemotongan anggaran ataupun pungli oleh oknum pejabat di tingkat kabupetan/kota.

Di sisi lain, UU Desa juga menyimpan potensi bara yang bisa mengoyak stabilitas kehidupan sosial di tingkat desa. Konflik antarelite desa bisa meningkat -- terutama terkait pemilihan kepala desa. Belum lagi praktik politik uang juga hampir pasti tumbuh subur dalam setiap perhelatan pemilihan kepala desa, sehingga nilai-nilai idealisme di desa bisa tercemar.

Dari sisi kelembagaan, kelahiran UU Desa merupakan tonggak bersejarah. Bersejarah, karena kerangka pemerintahan di tingkat desa, termasuk hak-hak dan kewajiban desa, resmi diatur. Masa jabatan kepala desa, misalnya, ditetapkan enam tahun dan bisa diperpanjang maksimal hingga tiga kali. Perangkat desa juga saban bulan menikmati gaji tetap dari pemerintah.

Selama ini, perangkat desa tidak mendapatkan gaji resmi sebagaimana lazim dinikmati pejabat publik. Kesejahteraan perangkat desa selama ini melulu disandarkan kepada hasil pemanfaatan tanah bengkok plus belas kasih masyarakat.

Selain gaji, perangkat desa juga sekarang menikmati jaminan kesehatan yang diberikan pemerintah. Jadi, bagi perangkat desa, UU Desa bukan cuma menjadi tonggak sejarah, melainkan juga sungguh menyejahterakan. Karena itu, perangkat desa sungguh patut menyambut kelahiran undang-undang tersebut dengan suka cita. Terlebih Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kemarin langsung berkomitmen segera melakukan pengesahan.

Bagi masyarakat desa sendiri, UU Desa tak terkecuali patut disambut gembira -- karena menjanjikan kesejahteraan. Ini terutama terkait alokasi anggaran yang bernilai antara Rp 500 juta hingga Rp 1 miliar per tahun untuk setiap desa. Anggaran tersebut melulu untuk proyek-proyek pembangunan di tingkat desa. Itu pun proyek-proyek yang bersifat produktif secara sosial-ekonomi bagi masyarakat desa, seperti pembangunan prasarana jalan, jembatan, atau irigasi desa.

Namun justru itu, implementasi UU Desa menuntut pengawasan ekstra ketat. Bagaimanapun, untuk tingkat desa, anggaran Rp 500 juta hingga Rp 1 miliar per tahun bukan jumlah kecil. Maka harus diatur rinci pihak dan tindak pengawasan agar dana tersebut tidak dimanipulasi atau diselewengkan menjadi bancakan oleh oknum-oknum yang memiliki akses kuasa.***

18 Desember 2013

17 Desember 2013

Bahaya Laten Kekuasaan

Menjadi pejabat publik di negeri kita ini sangat berat dan tidak mudah. Godaan yang harus dihadapi, yang bisa menjerumuskan ke arah tindak penyelewengan kekuasaan, sungguh bukan main. Godaan itu bukan cuma datang dari lingkungan eksternal, melainkan juga dari lingkaran dalam sendiri -- entah teman, kerabat, atau keluarga.

Bahkan sebagaimana tecermin dalam beberapa kasus korupsi yang bergulir ke pengadilan, godaan dari lingkaran dalam jauh lebih serius. Saking seriusnya, godaan itu bisa berubah menjadi tekanan yang sangat merongrong kekuasaan di tangan pejabat publik. Direstui ataupun tidak, mereka memanfaatkan kekuasaan sang pejabat entah untuk keuntungan sendiri maupun bersama, juga untuk kepentingan pihak lain.

Tentang itu, simak saja kasus korupsi proyek Hambalang. Dalam persidangan kasus tersebut terungkap bagaimana Andi Zulkarnaen Anwar -- akrab dikenal sebagai Choel Mallarangeng -- diduga merongrong kekuasaan sang kakak,  Andi Alifian Mallarangeng -- kala menjabat Menpora. Saksi yang dihadirkan dalam persidangan  menyatakan bahwa Choel meminta rente alias fee kepada pihak yang dinyatakan sebagai pemenang proyek. Konon, fee itu tak lain untuk sang kakak sendiri -- karena dia enggan meminta langsung kepada pemenang proyek.

Contoh lain, kasus hukum yang membelit Luthfi Hasan Ishaaq tak lepas dari sepak-terjang sang sohib, Fathanah. Dengan sepengetahuan atau restu Luthfi, Fathanah begitu leluasa bertindak sebagai makelar proyek di lingkungan Kemtan. Dalam konteks ini, Fathanah mentransaksikan pengaruh Luthfi sebagai orang nomor satu di Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Pengaruh tersebut amat berharga karena institusi Kemtan dipimpin kader PKS.

Di lingkungan pemerintahan Provinsi Banten, peran makelar proyek itu diduga dilakukan oleh adik gubernur. Sang adik begitu leluasa mengatur siapa saja yang bisa menjadi pemenang proyek. Karena itu pula, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun menyandangkan status tersangka kepada kakak beradik ini.

Kkekuasaan orang nomor satu di negeri kita juga tak terkecuali bisa dirongrong oleh lingkaran dalam. Sebagaimana pemberitaan sebuah koran Australia, yang mengutip bocoran data Wikileaks, Ibu Negara Ani Yudhoyono disebut acap ikut cawe-cawe dalam urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab sang suami, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Meski dibantah pejabat-pejabat Istana, isu tersebut tak pelak seolah menjadi pembenaran bahwa jika tak pandai-pandai menjaga integritas, pejabat publik bisa dirongrong oleh lingkaran dalam sendiri.

Rongrongan itu tak pelak bisa membuat kekuasaan menjadi distorsif sekaligus koruptif. Kekuasaan tidak lagi terutama diacukan untuk kemaslahatan orang banyak, melainkan diselewengkan menjadi alat bagi kepentingan orang per orang atau kelompok di sekitar pemegang kekuasaan.

Jadi, lingkaran dalam bisa menjadi bahaya laten kekuasaan. Seorang pejabat publik boleh bersih dan punya komitmen besar menggunakan kekuasaan di tangannya bagi kepentingan rakyat banyak. Tetapi sahabat, kerabat, anak, istri, dan lain-lain yang masuk lingkaran dalam bisa diam-diam mendompleng sehingga kekuasaan menjadi distorsif dan koruptif.

Bagi masyarakat paternalistik seperti di Indonesia, potensi kekuasaan menjadi distorsif dan koruptif ini sungguh besar. Rongrongan lingkaran dalam lambat-laun bisa membuat pejabat berintegritas pun menjadi lumer dan akhirnya terdorong menyalahgunakan kekuasaan.

Justru karena merupakan lingkaran dalam, bahaya laten yang menyertainya jelas tak bisa dienyahkan begitu saja. Justru itu, kunci masalah terletak pada integritas sang pejabat sendiri. Dalam konteks ini, komitmen moral dan nurani menjadi pijakan yang menentukan apakah pejabat itu bisa teguh memegang integritas atau menjadi pengkhianat bagi dirinya sendiri.(*)

17 Desember 2013

11 Desember 2013

Antisipasi Isu Tapering

Nilai tukar rupiah belum juga menunjukkan tanda-tanda bisa stabil. Titik keseimbangan baru, setelah kurs rupiah ini lebih dari 20 persen terdepresiasi sejak awal tahun, belum juga terbentuk. Kecenderungasn yang terjadi, rupiah masih saja terus tertekan. Kemarin, misalnya, rupiah kembali terperosok ke level psikologis Rp 12.000 per dolar. Bahkan di sebuah bank swasta nasional, kemarin kurs jual rupiah sempat menyentuh Rp 12.120 per dolar.

Nilai tukar rupiah yang cenderung terus melemah ini jelas membuat kehidupan ekonomi nasional menjadi menggerahkan. Jajaran korporat, misalnya, harus menanggung risiko pembengkakan beban utang luar negeri. Di sisi lain, kredit perbankan juga melambung, sementara daya beli masyarakat menyusut karena aneka harga barang konsumsi -- terutama yang bersentuhan dengan impor -- terus meroket. 

Kenyataan itu sungguh mengenaskan karena Bank Indonesia (BI) maupun pemerintah sudah melakukan upaya pengendalian yang terbilang signifikan. Selain intensif mengintervensi pergerakan kurs dengan menggelontorkan dolar ke pasar uang, BI juga bertubi-tubi mengerek suku bunga acuan alias BI Rate sebesar 175 basis poin sejak Juni lalu hingga menjadi 7,5 persen sekarang ini. Selain itu, BI memainkan pula instrumen moneter lain seperti Sertifikat Deposito Bank Indonesia (SDBI), hedging, swap-reswap, juga pembelian valas hasil ekspor dengan tenor dan varian yang lebih atraktif.

Di lain pihak, Agustus lalu pemerintah meluncurkan paket stimulus fiskal yang terutama disiapkan sebagai instrumen untuk mengatasi defisit transaksi berjalan. Masalah tersebut disadari benar merupakan salah satu faktor yang serius menekan kurs rupiah. 

Namun, itu tadi, pergerakan rupiah tetap bergeming dengan kecenderungan melemah. Seolah-olah paket kebijakan fiskal yang diluncurkan pemerintah tak diyakini pelaku pasar uang bisa efektif mengatasi masalah defisit transaksi berjalan. Terlebih lagi, memang, impor bahan bakar minyak (BBM) -- faktor utama yang menorehkan defisit transaksi berjalan -- tetap tinggi. Lalu, implementasi paket kebijakan fiskal sendiri masih harus dijabarkan menjadi kebijakan-kebijakan operasional.

Begitu pula serangkaian kebijakan moneter yang ditebar BI tak serta-merta membuat dana investasi portofolio asing tetap ngendon di pasar uang dalam negeri -- ditanamkan dalam deposito dan berbagai instrumen surat berharga. Secara pasti, dana investasi portofilio asing ini terus saja mengalir ke mancanegara.

Di sisi lain, kalangan eksportir juga tidak otomatis berbondong-bondong menarik masuk dana valas hasil ekspor ke dalam negeri. Mereka terkesankan tetap lebih merasa nyaman memarkir dana hasil ekspor itu di luar negeri.

Jadi, intinya, upaya pemerintah menahan laju depresiasi rupiah kalah seksi oleh isu tentang rencana bank sentral AS melakukan pengurangan stimulus moneter (tapering off). Sentimen negatif ini semakin pekat membayang, sehingga rupiah pun hari-hari ini terus tertekan.

Tak bisa tidak, karena itu, pemerintah perlu segera meluncurkan lagi kebijakan antisipatif yang  bisa mendinginkan tensi psikologi pelaku di pasar uang. Jika tidak, kita khawatir kurs rupiah bablas masuk jurang karena investasi portofio serta-merta mengalir deras ke AS manakala tapering off direalisasikan. Kabijakan antisipatif ini terutama perlu dilakukan di sisi fiskal, karena antisipasi di sektor moneter sendiri bisa dikatakan sudah pol.***

11 Desember 2013

09 Desember 2013

Permisif Korupsi?


Pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), bahwa negara harus membela pejabat pemerintah yang terjebak korupsi, sungguh terasa mengusik. Pernyataan yang diutarakan Senin lalu dalam acara peringatan Hari Antikorupsi se-Dunia dan Hari HAM itu serta-merta menorehkan kesan bahwa SBY permisif terhadap praktik korupsi. Seolah-olah tindakan korupsi tidak selalu merupakan perbuatan hina dan jahat.

SBY menjelaskan bahwa korupsi bisa merupakan tindakan yang disengaja, dan bisa pula merupakan perbuatan yang tidak dilandasi niat pelaku. Nah, untuk korupsi kategori pertama, SBY bilang good bye. Artinya, pelaku (baca: pejabat pemerintah) tak perlu dibela. Biarkan dia dikenai sanksi hukum secara maksimal.

Sementara untuk perbuatan korupsi yang tidak dilandasi niat pelaku, dalam pandangan SBY, negara harus memberikan pembelaan. Itu karena dalam konteks tersebut korupsi bukan lagi merupakan perbuatan jahat. Korupsi terjadi bukan karena pelaku memang punya niat melakukan perbuatan tersebut, melainkan lebih karena dia tidak paham mengenai praktik korupsi.

Tidak jelas, apakah pernyataan SBY itu merujuk kepada kasus mantan Menpora Andi Alifian Mallarangeng yang ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka perkara dugaan korupsi proyek Hambalang? Yang pasti, di tengah praktik korupsi di Indonesia yang merajalela dan menggurita sekarang ini, pernyataan itu terasa enah atau bahkan naif. Bagaimana mungkin ada pejabat pemerintah tidak bisa membaca praktik-praktik rasuah sehingga dia terjebak kasus korupsi?

Lagi pula, bukankah pemerintah sendiri sudah menerbitkan perangkat peraturan menyangkut upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi sebagaimana tertuang dalam Inpres No 17/2011? Bahkan inpres tersebut dilengkapi dengan sejumlah program dan rencana aksi segala?

Jadi, dengan adanya Inpres No 17/2011, setiap pejabat pemerintah mestinya tahu batas-batas perbuatan beraroma korupsi dan tidak. Karena itu, sungguh sulit mengandaikan ada pejabat pemerintah sampai tidak tahu atau tidak paham praktik korupsi. Kalaupun sampai ada pejabat yang terjerat kasus korupsi karena dia tidak bisa mengenali praktik rasuah, itu sungguh keterlaluan dan konyol. Sebagai pejabat, dia jelas tidak kredibel alias tidak layak punya posisi strategis di pemerintahan.

Karena itu, benar kata Ketua KPK Abraham Samad: pejabat pemerintahan mutlak harus cerdas, sehingga dia tak bisa terjebak praktik korupsi. Pejabat pemerintahan tidak boleh merupakan pribadi lugu atau apalagi naif sehingga tak bisa mengenali batas-batas perbuatan hina dan jahat seperti korupsi dengan perbuatan amal saleh.

Walhasil, konstatasi SBY soal korupsi sebagai tindakan yang disengaja dan korupsi yang tidak dilandasi niat pelaku bisa menyesatkan. Bagaimanapun, di Indonesia ini setiap kasus korupsi sulit diasumsikan tanpa kesadaran atau bahkan tanpa niat pelaku. Yang mungkin terjadi, pelaku pura-pura tidak tahu atau bermuslihat tidak mengerti praktik korupsi.

karena itu pula, negara tidak patut memberikan pembelaan terhadap pejabat pemerintah yang terlibat korupsi berdasar asumsi bahwa pejabat itu tidak paham praktik rasuah. Biarkan proses hukum bergulir sebagaimana seharusnya. Toh mekanisme hukum mengenal asas praduga tak bersalah. Mekanisme hukum juga memberikan hak orang yang terbelit kasus hukum untuk memperoleh pembelaan hukum.
     Lagi pula, bukankah di negara Indonesia ini siapa pun berkedudukan sama di muka hukum?***

Jakarta, 9 Desember 2013

06 Desember 2013

Teladan Delegasi India

Sikap delegasi India dalam Konferensi Tingkat Menteri (KTM) ke-9 Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) di Nusa Dua, Bali, sungguh patut diteladani. Demi kepentingan nasional India, mereka kukuh pada pendirian yang sejak awal mereka perjuangkan. Sikap mereka tak lantas lumer oleh lobi intensif delegasi-delegasi lain, meski karena itu mereka menjadi lain sendiri.

Delegasi India jelas sadar betul bahwa sikap mereka itu bisa membuat mereka dicap sebagai biang penyebab kegagalan konferensi WTO di Bali. Padahal cap tersebut berkonotasi sangat buruk karena konferensi WTO di Bali sejak jauh hari sangat diharapkan dunia internasional mengakhiri kebuntuan perundingan Putaran Doha yang sudah berlangsung sejak 12 tahun lalu.

Toh delegasi India bergeming. Mereka tak gampang menyusut karena sikap tersebut punya implikasi serius terhadap kepentingan nasional India. Bagi mereka, lembek dalam berunding sama saja dengan  menyerahkan kedaulatan India terhadap agenda-agenda WTO. Padahal agenda-agenda itu tidak selalu menguntungkan kepentingan nasional mereka selaku negara berkembang. Sebab, diakui ataupun tidak, agenda-agenda WTO cenderung menguntungkan kelompok negara maju.

Jadi, sikap delegasi India dalam konferensi WTO di Bali ini jelas tidak bersifat membabi-buta. Mereka memiliki alasan sangat mendasar: kepentingan nasional India, yang bersifat fundamental, tak boleh diobral. Dalam konteks WTO, kepentingan nasional India yang bersifat fundamental ini adalah nasib petani dan pertanian mereka yang harus aman terlindungi, sehingga tidak menjadi korban konyol perdagangan global. 

Nah, sikap itu yang sungguh patut diteladani oleh para perunding kita dalam berbagai forum perjanjian internasional. Tanpa mengurangi apresiasi terhadap keinginan baik dan kerja keras dalam mengikuti perundingan-perundingan internasional, sikap mereka selama ini terkesankan lembek. Tidak seperti delegasi India dalam konferensi WTO di Bali, mereka cenderung tak menunjukkan sikap militan dalam memperjuangkan kepentingan nasional yang bersifat fundamental ini.

Bahkan, secara umum, para perunding kita terkesankan kelewat gampang menerima atau menyetujui klausul-klausul perjanjian internasional. Mereka seolah mengabaikan faktor kesiapan dan kamampuan fundamental kita untuk melaksanakan klausul-klausul itu.

Dalam konteks itu, para perunding kita sepertinya mudah terbuai oleh potensi manfaat atau keuntungan sebuah perjanjian. Seolah-olah manfaat itu sudah pasti bisa kita nikmati. Mereka seolah alpa bahwa jika tak didukung kesiapan dan kemampuan sendiri, perjanjian itu juga punya implikasi yang bisa merugikan kepentingan nasional.

Karena itu, tidak mengherankan sejumlah perjanjian internasional yang ikut kita sepakati -- khususnya perjanjian bilateral ataupun regional tentang liberalisasi perdagangan dan investasi -- membuat kepentingan nasional seolah tergadai. Banjir aneka produk impor sekarang ini adalah implikasi nyata perjanjian-perjanjian itu.

Banjir aneka produk impor cenderung  merugikan kepentingan nasional lantaran produk-produk serupa yang kita hasilkan kalah bersaing. Jadi, karena faktor kesiapan dan kemampuan kita tidak mendukung, perjanjian-perjanjian itu lebih mengondisikan negeri kita sebagai pasar bagi produk barang dan jasa mitra dagang. Kita sendiri relatif sedikit mampu melakukan ekspansi dagang ke mancanegara.

Maka, sekali lagi, kesadaran dan militansi delegasi India di forum konferensi WTO di Bali sungguh patut diteladani. Terlebih India juga tergolong negara berkembang seperti kita.**

6 Desember 2013

24 November 2013

Surat Balasan PM Abbott

Keengganan pihak Istana menjelaskan isi surat balasan Perdana Menteri Australia Tony Abbott kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dengan alasan tidak etis, terasa menggelikan. Menggelikan, karena surat-menyurat antara dua kepala pemerintahan itu menyangkut masalah yang justru kita nilai tidak etis: tindak penyadapan.

Di sisi lain, masalah itu sendiri telanjur terbuka dan mengaduk-aduk emosi publik Indonesia. Justru itu, segenap publik Indonesia berhak mengetahui isi surat balasan Perdana Menteri Abbott. Apakah surat tersebut sekadar berisi ungkapan penyesalan sebagaimana pernyataan Perdana Menteri Abbot saat berbicara di parlemen Australia? Ataukah pernyataan itu juga dilengkapi permohonan maaf pemerintah Australia sebagaimana tuntutan pemerintah dan publik Indonesia?

Jadi, Istana sungguh perlu memaparkan substansi surat balasan Perdana Menteri Abbott kepada publik Indonesia. Dengan demikian, publik Indonesia bisa menilai apakah sikap pemerintah Australia atas kemarahan Indonesia soal penyadapan yang mereka lakukan sudah memadai ataukah tidak. Ini penting karena menentukan sikap lebih lanjut publik Indonesia terhadap Australia -- dan karena itu bisa mempengaruhi masa depan hubungan bilateral Indonesia-Australia setelah heboh kasus penyadapan. 

Surat-menyurat antara Presiden Yudhoyono dan Perdana Menteri Abbott kali ini memang bukan soal biasa. Bukan hanya soal komunikasi antara pemimpin kedua negara. Bagaimanapun surat-menyurat itu juga melibatkan soal emosi publik Indonesia yang telanjur tersinggung dan marah akibat tidak pelecehan pemerintah Australia lewat aksi penyadapan telepon sejumlah tokoh nasional, termasuk Presiden Yudhoyono. 

Karena itu, isi surat balasan Perdana Menteri Abbot kepada Presiden Yudhoyono tak bisa dilokalisasi menjadi sekadar diketahui lingkar dalam Istana. Terlebih lagi sebelumnya Presiden Yudhoyono sendiri bersikap transparan mengenai suratnya kepada Perdana Menteri Abbot. 

Jadi, kalau Presiden Yudhoyono bersikap terbuka menyangkut suratnya yang tempo hari dikirim kepada pihak Australia, kenapa sekarang Istana enggan membeberkan ihwal substansi surat balasannya? Kenapa sekarang beralasan soal etika, sementara tempo hari -- saat bicara soal surat untuk Perdana Menteri Abbott -- Istana seolah bersikap bebas nilai?

Bagi publik, keengganan Istana mengungkapkan substansi surat balasan Perdana Menteri Abbott kepada Presiden Yudhoyono soal isu penyadapan ini malah mencurigakan atau bahkan mengundang syak wasangka. Seolah-olah Istana ingin menutupi sesuatu dalam surat itu yang bersinggungan dengan Presiden Yudhoyono. 

Keengganan itu juga sekaligus seolah menjadi pembenaran terhadap isu miring yang sebelumnya menyeruak ke ruang publik. Yaitu bahwa Presiden marah disadap Australia karena apa yang disadap itu adalah sesuatu yang meruntuhkan marwahnya selaku pemimpin bangsa dan negara. 

Walhasil, keengganan Istana membeberkan substansi surat balasan Perdana Menteri Abbot kepada Presiden Yudhoyono ini bukan cuma menafikan hak publik Indonesia untuk mengetahuinya. Lebih dari itu, secara politis juga tidak produktif bagi marwah Presiden Yudhoyono sendiri.  

Boleh jadi, keengganan itu bukan sikap atau kehendak Presiden Yudhoyono. Keengganan itu lebih mencerminkan keinginan lingkar dalam Istana memproteksi Presiden sekaligus merupakan wujud kegagapan mereka dalam merespons kemarahan publik di dalam negeri terhadap Australia.***

Jakarta, 24 November 2013

Penyimpangan Anggaran

Temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) soal indikasi tindak penyimpangan anggaran negara, baik di instansi pemerintah pusat maupun daerah, jelas perkara serius. Serius, karena dugaan kasus tindak penyimpangan itu terbilang bejibun serta berkecenderungan terus meningkat.

Di sisi lain, dari segi nominal anggaran, tindak penyimpangan ini juga tak kalah gawat. Untuk semester I/2013, penyimpangan tersebut bernilai Rp 56,98 triliun (13.969 kasus). Angka itu meningkat signifikan dibanding semester II/2012 yang total bernilai Rp 9,72 triliun (12.947 kasus). 

Ditarik lebih jauh ke belakang, gambaran serupa tetap tertoreh. Gambaran tersebut menunjukkan bahwa secara kuantitatif maupun kualitatif, tindak penyimpangan anggaran sudah tidak bisa dipandang remeh. 

Namun sungguh mengherankan bahwa laporan BPK soal indikasi penyimpangan anggaran negara ini nyaris tidak pernah ditindaklanjuti pemerintah. Seolah-olah pemerintah tidak merasa perlu melakukan berbagai pembenahan kelembagaan maupun penindakan hukum. Seolah-olah laporan BPK adalah dokumen tak berharga. 

Padahal laporan BPK sendiri tidak sekadar menyodorkan angka-angka, tetapi juga rinci membeberkan faktor penyebab kasus-kasus tindak penyimpangan itu. Misalnya, sistem pengendalian internal kedodoran, sistem administrasi diselewengkan, juga prinsip ekonomi diabaikan sehingga penggunaan anggaran tidak hemat, tidak efisien, dan tidak efektif. 

Dengan itu, mestinya pemerintah tidak sulit melakukan tindak-lanjut atas laporan BPK soal penyimpangan anggaran ini. 
Ibarat berkendara, pemerintah tinggal tancap gas. Pemerintah tak perlu bingung menentukan arah yang harus dituju karena BPK sudah memberikan peta jalan.

Pemerintah perlu atau bahkan secara moral wajib melakukan tindak-lanjut atas temuan BPK karena bagaimanapun anggaran negara harus digunakan dengan sebaik-baiknya. Terlebih di tengah kondisi penerimaan negara saat ini yang cenderung seret. 

Lebih dari itu, anggaran tak boleh digunakan secara semena-mena karena merupakan uang rakyat. Artinya, berbagai tindak penyimpangan harus dicegah -- atau ditindak tegas jika penyimpangan itu telanjur terjadi. Untuk itu, pembenahan moral aparat maupun pembenahan sistem kelembagaan merupakan keharusan. 
 
Namun, itu tadi, pemerintah sepertinya tidak memiliki cukup kemauan untuk melakukan tindak-lanjut atas berbagai kasus dugaan penyimpangan anggaran yang ditemukan dan dilaporkan BPK. Justru itu, moral culas di jajaran pemerintahan menyangkut anggaran pun seolah sengaja dipelihara. Begitu pula sistem pengendalian internal terkesankan dibiarkan terus memble. 

Dalam konteks itu, tak bisa tidak, reformasi birokrasi pemerintahan yang digulirkan sejak beberapa tahun terakhir pun seperti tak punya banyak arti. Reformasi birokrasi seolah bersifat setengah hati. Reformasi baru lebih banyak menyentuh aspek insentif finansial bagi pegawai ketimbang pembenahan mendasar sistem kelembagaan. 

Kenyataan itu menunjukkan perlunya dibuat ketentuan perundangan yang membuat pemerintah berkewajiban menindaklanjuti setiap temuan penyimpangan anggaran yang dilaporkan BPK. Tindak-lanjut bukan sekadar berupa pembenahan sistem kelembagaan dan moral aparat, melainkan juga proses hukum terhadap setiap temuan kasus penyimpangan.***


Jakarta, 24 November 2013

17 November 2013

Aturan Genap-Ganjil


Penerapan aturan genap-ganjil nomor polisi (nopol) kendaraan di DKI Jakarta, yang menurut rencana dimulai medio tahun ini, patut didukung semua pihak. Bahwa aturan tersebut belum teruji efektif mengatasi kemacetan arus lalu lintas kendaraan di jalan raya, itu tak bisa dijadikan alasan untuk apriori dan menampiknya. Paling tidak, aturan genap-ganjil ini patut dicoba dulu diterapkan -- karena masalah kemacetan lalu lintas jalan raya di ibukota Jakarta sudah sangat akut.

Aturan genap-ganjil nopol kendaraan memang merupakan salah satu strategi Pemda DKI Jakarta untuk mengurangi kemacetan lalu lintas jalan raya. Penerapan aturan tersebut memungkinkan kendaraan yang beroperasi di jalan-jalan raya ibukota Jakarta bisa menurun drastis. Artinya, tingkat kepadatan arus kendaraan dan tingkat kemacetan lalu lintas pun bisa diharapkan menurun pula secara signifikan.

Dalam semangat menangani masalah kemacetan lalu lintas jalan raya pula, aturan genap-ganjil ini selaras dengan upaya Pemda DKI Jakarta mendorong masyarakat pengguna kendaraan pribadi beralih menggunakan angkutan umum. Untuk itu, layanan angkutan umum di DKI Jakarta kini mulai dibenahi.

Melihat keseriusan pihak pemda, pembenahan itu bisa diharapkan membuat angkutan umum di ibukota Jakarta perlahan tapi pasti menjadi nyaman, aman, dan terjangkau. Karena itu, sekali lagi, penerapan aturan genap-ganjil ini patut didukung.

Namun belum apa-apa, aturan genap-ganjil ini sudah terdistorsi. Persisnya: karena Polda Metro Jaya memberi keleluasan bagi masyarakat untuk memesan ataupun menukar nopol kendaraan  -- nomor genap menjadi ganjil dan sebaliknya ganjil menjadi genap.

Kebijakan itu terkesankan tidak produktif karena mendistorsi tujuan yang ingin dicapai oleh aturan genap-ganjil. Kebijakan itu tidak sejalan dengan strategi penanganan masalah kemacetan lalu lintas lewat pengurangan kepadatan kendaraan yang turun ke jalan-jalan raya di seantero Jakarta.

Memang, kebijakan itu merupakan wujud keinginan dan niat baik Polda Metro memberi kemudahan kepada masyarakat. Namun keinginan dan niat baik saja tidak cukup atau tidak relevan jika tidak produktif.

Dengan memberi keleluasaan bagi masyarakat untuk memesan ataupun menukar nopol kendaraan, Polda Metro nyata-nyata memberi angin bagi mereka yang memiliki cukup kemampuan untuk memiliki kendaraan lebih dari satu. Minimal warga Jakarta dimungkinkan memiliki dua buah kendaraan dengan nomor genap dan ganjil, sehingga mereka bisa tetap berkendara di Jalan raya.

Selama ini, sumber kemacetan lalu lintas jalan raya, khususnya di Jakarta, antara lain adalah banyaknya warga menggunakan kendaraan pribadi. Dengan alasan angkutan umum tidak nyaman dan tidak aman, banyak pula warga yang mampu secara ekonomi memiliki kendaraan lebih dari satu.

Kini, kecenderungan itu diwadahi oleh keleluasaan untuk memesan ataupun menukar nopol kendaraan. Justu itu, aturan genap-ganjil pun menjadi tak bakal efektif menurunkan kepadatan kendaraan di jalan raya. Artinya, masalah kemacetan lalu lintas pun tak bisa diharapkan teratasi secara signifikan.

Karena itu, ketimbang repot melayani penukaran nopol plat kendaraan, lebih baik Polda Metro fokus menyiapkan pembatasan kendaraan melalui implementasi aturan genap-ganjil. Mereka harus bisa memastikan bahwa aturan tersebut pada saatnya bisa efektif diterapkan sekaligus berfungsi mendorong masyarakat perlahan beralih menggunakan angkutan umum.***

Jakarta, 17 November 2013

Budi Mulya Bukan Akhir

Pernyataan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad, Sabtu lalu, bahwa penahanan mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Budi Mulya bukan akhir pengungkapan skandal korupsi dalam penyelamatan (bailout) Bank Century sungguh melegakan. Pernyataan tersebut menjadi jaminan bahwa KPK akan terus menelisik keterlibatan tokoh-tokoh lain, terutama aktor utama, dalam skandal yang merugikan keuangan negara hingga Rp 6,7 triliun itu.

Budi Mulya disangka menyalahgunakan kewenangan dalam penyaluran fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) kepada Bank Century, sekaligus dalam penetapan bank tersebut sebagai bank gagal berdampak sistemik. Tetapi pengambilan keputusan di BI bersifat kolektif kolegial. Artinya, keputusan itu tak mungkin dilakukan sendiri oleh Budi Mulya.

Budi Mulya sendiri menyatakan bahwa kebijakan pengucuran FPJP kepada Bank Century diputuskan oleh Dewan Gubernur BI yang saat itu dipimpin Boediono (kini Wapres). Karena, tekad dan komitmen KPK untuk menelisik tokoh-tokoh lain yang diduga terlibat dalam skandal penyelamatan Bank Century ini sungguh relevan dan urgen.

Selain Budi Mulya, sejauh ini KPK sudah pula menetapkan status tersangka terhadap bekas petinggi lain BI, yaitu mantan Deputi Gubernur Siti Fadjrijah. Namun proses pemeriksaan terhadap Fadjridah tak bisa berlanjut karena dia menderita sakit serius.

Secara keseluruhan, KPK sudah memanggil dan meminta keterangan terhadap lebih dari 30 orang yang dipandang punya kaitan langsung maupun tidak langsung dengan proses penyelamatan Bank Century ini. Selain Budi Mulya dan Sisi Fadjrijah, mereka antara lain mantan Direktur Pengaturan Perbankan BI Wimboh Santoso serta mantan Menkeu sekaligus mantan Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) Sri Mulyani Indrawati dan Sekretaris KSSK Raden Pardede.

Sri Mulyani turut terseret-seret karena selaku Ketua KSSK dia berperan penting dalam rapat penentuan status Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik yang kemudian menjadi pijakan bagi tindak penyelamatan bank tersebut. Rapat itu sendiri juga dihadiri Gubernur BI Boediono selaku Wakil Ketua KSSK kala itu.

Selain meminta keterangan sejumlah saksi, KPK juga sudah menggeledah serta menyita sejumlah dokumen dari BI. Dokumen tersebut menjadi bahan penting untuk lebih mendalami keterangan saksi-saksi yang sudah diperiksa.

Jadi, proses penanganan kasus Bank Century oleh KPK ini sebenarnya sudah terbilang jauh. Terlebih kalau ditarik ke titimangsa kasus tersebut, yaitu November 2008, rentang waktu yang telah dilalui demikian panjang.

Tetapi toh kasus Bank Centiry masih saja lebih merupakan benang kusut. Siapa yang diduga menjadi aktor intelektual, terutama, belum juga tergambar -- meski berbagai spekulasi sudah mengarahkan telunjuk kepada figur-figur tertentu.

Karena itu, berpilin dengan proses politik di DPR, isu Bank Century ini terasa begitu banyak menguras energi sekaligus sarat mengundang kegaduhan di ruang publik. Masyarakat sendiri sudah lelah dan nyaris bosan oleh proses penanganan kasus tersebut, entah secara politik ataupun secara hukum lewat peran KPK.

Oleh sebab itu pula, penahanan Budi Mulya harus dibuktikan memang bukan akhir proses pengungkapan skandal penyelamatan Bank Century. KPK harus serius menelusuri lebih jauh dan lebih dalam seputar tokoh-tokoh lain yang diduga terlibat skandal itu, terutama figur yang menjadi aktor utama. Dalam konteks ini, pemeriksaan Boediono sangat urgen.***


Jakarta, 17 November 2013