10 April 2002

A Good Boy Syndrome

Dalam forum Paris Club III yang digelar 11-12 April 2002, mestinya kita tidak sekadar meminta penjadwalan ulang (rescheduling) utang sebagaimana menjadi tekad pemerintah. Kita sebenarnya sangat beralasan meminta pengurangan utang. Betapa tidak, karena kondisi kita sudah sangat parah. Kita telah mulai terseret ke kondisi terjebak utang (debt trap).

Data menunjukkan, utang luar negeri kita sudah mencapai Rp 1.376 triliun. Itu terdiri atas utang pemerintah senilai Rp 741,64 triliun dan utang swasta Rp 634,38 triliun. Itu masih ditambah utang dalam negeri sekitar Rp 647,9 triliun berupa obligasi dan surat utang. Jadi, utang kita sudah mencapai Rp 2.023 triliun.

Angka itu sungguh jauh di atas produk domestik bruto kita senilai Rp 1.688,3 triliun tahun ini. Justru itu pula, angka debt service ratio (DSR) kita pun membengkak menjadi 50 persen lebih. Padahal posisi aman DSR adalah 20-25 persen. Dengan DSR di atas 50 persen, berarti sebagian besar hasil ekspor kita habis untuk membayar utang.

Jadi bila sekadar memperoleh rescheduling, kita sebenarnya hanya menunda masalah. Sementara masalah itu sendiri jelas akan terus membesar -- sampai akhirnya kita kelak benar-benar tak mampu mengatasinya.

Dengan kata lain, solusi konvesional atas masalah utang melalui skema rescheduling ini sama sekali bukan obat cespleng. Mengapa kita tak tegas-tegas meminta pengurangan utang pada negara-negara kreditur? Padahal itu niscaya membuat kita bisa bernapas lega sekaligus memungkinkan kita bisa menikmati stimulus ekonomi. Dengan itu, kontiunitas pemulihan ekonomi akan terjaga baik yang pada gilirannya bisa mengantarkan kita bisa memupuk kemampuan melunasi utang.

Sekarang ini, dengan tumpukan utang yang demikian membebani, kita sungguh megap-megap. Ditambah defisit sekitar Rp 40 triliun, beban itu membuat APBN 2002 mengalami kontraksi hebat. Sementara langkah penjualan aset di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) maupun privatisasi BUMN sulit diandalkan sebagai langkah strategis mengurangi defisit. Paling tidak, sebagaimana tercermin dalam proses divestasi saham pemerintah di BCA, misalnya, langkah itu sungguh berliku dan sarat kontroversi. Begitu juga penjualan BUMN nyata-nyata mengundang resistensi kalangan karyawan bersangkutan yang membuat privatisasi jadi tak berjalan mulus.

Memang, negara-negara donor selalu menyebutkan bahwa Indonesia bukan tergolong negara miskin yang patut menikmati pengurangan utang. Tapi, sangat boleh jadi, itu sekadar dalih yang mencerminkan keengganan negara-negara kreditur membantu kita bisa bernapas lega karena beban utang berkurang. Dengan kata lain, mereka tidak rela kita terbebas dari risiko jeratan utang. Mereka lebih senang melihat kita megap-megap menanggung beban pinjaman yang demikian menggunung.

Boleh jadi juga, kita sendiri memang enggan meminta fasilitas pengurangan utang pada negara-negara kreditur. Dalam konteks ini, kita terkesan takut oleh bayang-bayang yang kita reka-reka sendiri: bahwa pengurangan utang serta-merta akan menurunkan tingkat kepercayaan dunia internasional terhadap kita. Padahal itu belum tentu menjadi kenyataan.

Mungkin kita perlu bercermin pada kasus Jerman pasca Perang Dunia II dulu. Menghadapi ekonomi yang carut-marut akibat perang, ketika itu Jerman tak segan-segan meminta pengurangan utang pada kalangan kreditur mereka. Tim perunding Jerman ketika itu mungkin sama sekali tak mengkhawatirkan soal jatuhnya kredibilitas negara mereka di mata dunia sebagaimana kini menjadi momok yang menghantui kita. Bagi mereka, pengurangan utang jauh lebih penting dan sangat mendesak untuk menyelamatkan ekonomi negeri mereka dari ambang kebangkrutan.

Karena berhasil meyakinkan kalangan kreditur, akhirnya Jerman memang kemudian memperoleh fasilitas pemotongan pokok utang (hair cut) sebesar 50 persen. Apa yang terjadi kemudian, kepercayaan dunia terhadap Jerman terbukti tidak jeblok. Selebihnya, ekonomi Jerman bisa segera bangkit hingga menjadi salah satu raksasa ekonomi dunia seperti sekarang.

Jadi, mengapa kita mesti mencemaskan risiko yang sebetulnya kita reka-reka sendiri? Yang lebih beralasan justru kita memiliki kemauan dan kemampuan meyakinkan kalangan kreditur bahwa kita memang sungguh layak memperoleh fasilitas pengurangan utang.

Dalam konteks itu, kita jelas harus menanggalkan gengsi. Kita patut jujur bahwa kita nyaris sudah tidak memiliki kemampuan membayar utang. Kita tak sepatutnya lagi terus terbuai oleh pujian kalangan kreditur yang selalu menyebutkan bahwa kita adalah a good boy dalam membayar utang. Kita harus bisa meyakinkan para kreditur bahwa kita sudah dalam kondisi debt trap alias terancam bangkrut akibat tumpukan utang. Lagi pula dengan tingkat pendapatan per kapita hanya 450 dolar sekarang ini, kita sebenarnya sudah tergolong negara miskin. Justru itu, sejatinya, kita layak memperoleh fasilitas pengurangan utang ini.

Kalangan negara donor sendiri memiliki program penyelamatan negara-negara miskin yang terjebak utang ini. Program itu adalah High Indebted Poor Countries (HIPC) yang memiliki fasilitas hair cut sampai 60 persen. Sejumlah negara sudah menikmati fasilitas tersebut, termasuk 8 negara yang terjebak utang. Jadi, sebenarnya, peluang bagi kita untuk memperoleh fasilitas pengurangan utang ini terbuka lebar. Terlebih, untuk memanfaatkan peluang tersebut, kita memiliki posisi tawar (bargaining position) yang bisa lumayan diandalkan -- tergantung kemampuan kita meyakinkan kalangan kreditur.

Posisi tawar kita itu antara lain merujuk pada kenyataan bahwa tak seluruh utang merupakan beban yang harus dipikul rakyat. Betapa atidak, karena sebagian pinjaman luar negeri yang kita terima memang nyata-nyata dikorup oleh kalangan pejabat -- notabene dengan sepengetahuan kreditur. Ihwal pinjaman luar negeri yang dikorup ini, Bank Dunia sendiri pernah menyebut angka yang terbilang signifikan: sekitar 30 persen.

Di sisi lain, sudah menjadi rahasia umum bahwa pemanfaatan pinjaman luar negeri itu sendiri terkait dengan prasyarat yang menorehkan keuntungan bagi negara kreditur bersangkutan. Dalam konteks ini, kita sebagai penerima pinjaman diwajibkan menggunakan produk-produk yang mereka hasilkan dalam proyek-proyek yang mereka danai.

Dengan kata lain, sebenarnya, pihak kreditur bukan sekadar menikmati bunga pinjaman. Sejak pinjaman terkucur, mereka bahkan sudah menikmati keuntungan lain yang bernilai tidak kecil terkait dengan keharusan kita sebagai debitur menggunakan produk-produk yang mereka mereka tadi.

Jadi, kenyataan tersebut bisa kita angkat sebagai bahan bargaining kita dalam upaya memperoleh pengurangan utang. Katakan saja itu dalam rangka berbagi beban risiko (burden sharing).


Dalam mengupayakan pengurangan utang ini, mungkin kita tak perlu telak-telak meminta hair cut. Bagi negara-negara kreditur tertentu, barangkali permintaan tersebut memang sulit dipenuhi karena berimplikasi terhadap kehidupan politik di dalan negeri mereka sendiri. Pemerintah Jepang, misalnya, disebut-sebut menepiskan kemungkinan memberikan hair cut pada kita.

Itu karena mereka harus berhadapan dengan rakyat mereka yang pasti meminta pertanggungjawaban khusus tentang itu. Maklum, konon, karena rakyat Jepang kini berpendirian bahwa bagaimanapun pinjaman yang diberikan pemerintah mereka harus bisa kembali. Rakyat Jepang mungkin tak rela sebagian piutang pemerintah mereka pada negara lain -- tak terkecuali Indonesia -- jadi "menguap" begitu saja akibat kebijakan hair cut.

Karena itu kita perlu melirik alternatif pengurangan utang ini. Alternatif tersebut adalah swap utang dengan program-program pelestarian lingkungan (debt to nature swap), pendidikan (debt to education swap), serta pengentasan kemiskinan (debt to poverty swap).

Untuk itu, jelas kita dituntut mampu meyakinkan kalangan kreditur betapa masalah kelestarian lingkungan, pendidikan, dan kemiskinan di negeri kita sudah sangat krusial dan menuntut kepedulian bersama. Sekian juta hektar hutan kita, misalnya, kini rusak parah hingga mengundang keprihatinan dunia internasional. Maklum, memang, karena hutan kita merupakan paru-paru dunia.

Begitu juga soal kemiskinan. Akibat krisis ekonomi yang menerpa sejak medio 1997, sekian banyak penduduk kita terjerembab ke kubang kemiskinan. Sementara pemulihan ekonomi, notabene menerapkan resep-resep Dana Moneter Internasional (IMF), tak kunjung segera mengangkat nasib mereka.

Jadi, kita bisa mengajukan masalah-masalah itu kepada para kreditur sebagai pijakan dalam memperoleh pengurangan utang melalui skema debt to nature swap, debt to education swap, dan debt to poverty swap. Hanya, sekali lagi, adakah kita memiliki kemauan, keberanian, dan kemampuan?

Jawaban mengenai soal itu berpulang pada kejujuran kita dalam menghadapi pertanyaan-pertanyaan menggelitik berikut ini: haruskah kita tetap mempertahankan gengsi alias tak mau mengakui kenyataan bahwa kita sudah menjadi negara miskin? Patutkah kita terus terbuai oleh pujian kalangan kreditur bahwa kita adalah a good boy dalam membayar utang, sementara kemampuan untuk itu sudah sangat tipis? Tidakkah kalangan kreditur juga mestinya turut bertanggung jawab terhadap tumpukan utang kita sekarang ini?***

Jakarta, 10 April 2002