09 Januari 2009

Harga BBM

Penurunan Harus Maksimal

P
emerintah tampaknya sudah mantap untuk menurunkan kembali harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, yaitu premium dan solar. Bahkan Wapres Jusuf Kalla menyebutkan, penurunan itu efektif dilakukan mulai 15 Januari 2009. Jadi, penurunan harga BBM bersubsidi untuk kali ketiga ini hanya tinggal soal waktu.

Tapi Wapres tidak mengungkapkan besaran penurunan itu. Begitu pula menteri-menteri terkait. Masing-masing hanya menekankan bahwa harga BBM akan diturunkan kembali dalam rangka mendongkrak daya beli masyarakat.

Kita hargai niat baik itu. Niat tersebut pertanda pemerintah sadar bahwa beban kehidupan masyarakat luas nyata-nyata semakin berat didera imbas badai krisis keuangan global. Apalagi daya beli masyarakat belum benar-benar membaik meski harga BBM bersubsidi sudah diturunkan dua kali. Beban masyarakat tidak banyak berkurang karena toh harga aneka barang dan jasa ternyata tak serta-merta menjadi turun.

Boleh jadi, harga barang dan jasa tidak otomatis menyusul turun karena tempo hari pemerintah telanjur menjanjikan bahwa harga BBM bersubsidi masih akan kembali diturunkan. Janji tersebut membuat kalangan pengusaha menahan diri untuk melakukan langkah penyesuaian harga. Mereka lebih memilih bersikap menunggu sampai harga premium dan solar belar-benar diturunkan kembali untuk kali ketiga.

Secara teknis, janji pemerintah menurunkan kembali harga BBM bersubsidi memang membuat pengusaha kesulitan melakukan hitung-hitungan mengenai penyesuaian atas harga barang dan jasa. Terlebih lagi sejak dini pemerintah sudah memberi isyarat bahwa penurunan harga BBM bersubsidi untuk kali ketiga dilakukan dalam tempo tidak terlalu lama dibanding saat kenaikan yang kedua. Artinya, rentang waktu antara hari H kenaikan pertama dan kedua relatif pendek.

Jadi, jangan salahkan bahwa pengusaha cenderung bersikap menahan diri -- tidak menurunkan harga barang dan jasa -- karena mereka menanti kepastian. Kepastian bahwa harga BBM bersubsidi benar-benar diturunkan kembali untuk kali ketiga.

Mestinya pemerintah sejak awal bersikap arif: bahwa bagi pengusaha, hitung-hitungan bisnis harus berpijak pada kondisi yang bersifat pasti dan stabil untuk jangka waktu relatif panjang. Kondisi berubah-ubah dalam rentang waktu pendek sangat tidak mereka sukai karena lebih banyak membuat keadaan menjadi kacau dan membingungkan. Hitung-hitungan bisnis berisiko meleset, sehingga langkah penyesuaian pun bisa berdampak konyol dan merugikan.

Karena itu, penurunan harga BBM bersubsidi untuk kali ketiga sekarang ini harus bisa berlaku untuk jangka waktu relatif panjang. Artinya, pemerintah harus menutup wacana menurunkan kembali harga premium dan solar untuk kali keempat dan seterusnya. Jika tidak, harga barang dan jasa bisa tetap tak kunjung beranjak turun. Implikasinya, tentu, daya beli masyarakat pun tak cukup terangkat.

Untuk itu, kebijakan penurunan harga BBM bersubsidi harus dijauhkan dari kesan sebagai ajang pengumpulan poin pemerintah di mata publik. Toh tanpa dicicil-cicil pun, penurunan harga BBM bersubsidi niscaya diapresiasi masyarakat sebagai wujud kepedulian pemerintah terhadap perbaikan kehidupan khalayak luas.

Itu berarti, niat baik pemerintah mendongkrak daya beli masyarakat lewat penurunan harga BBM bersubsidi mesti berpijak pada perhitungan yang benar-benar objektif. Artinya, besaran penurunan itu secara teknis-ekonomis sudah paling maksimal dan rasional.

Dalam konteks itu, pemerintah harus membuang jauh-jauh godaan "mencari untung" atas selisih harga BBM bersubsidi yang diberlakukan dibanding harga rata-rata minyak mentah di pasar internasional. Tapi di sisi lain, harga yang diberlakukan itu juga tidak boleh berimplikasi negatif terhadap beban fiskal yang menjadi tanggung jawab pemerintah.***
Jakarta, 9 Januari 2009

07 Januari 2009

Perbankan

Jangan Sekadar Jadi Goodwill

Bank Indonesia (BI) kembali menurunkan suku bunga acuan (BI Rate). Kali ini penurunan itu sebesar 50 basis poin, sehingga BI Rate sekarang bertengger di posisi 8,75 persen. Masih relatif tinggi, memang.

Kita menilai, langkah BI menurunkan kembali BI rate ini sebagai wujud kemauan baik (goodwill) mereka mendukung upaya pemerintah menangani tekanan imbas krisis keuangan global terhadap kehidupan ekonomi nasional. Terlebih lagi laju inflasi juga sudah mulai cenderung jinak. Artinya, inflasi tak bisa lagi dianggap BI sebagai momok yang harus dikerangkeng dengan mengerek BI Rate tinggi-tinggi.

Jadi, secara kondisional-objektif BI memang tak cukup punya alasan lagi ogah-ogahan menurunkan BI Rate. Karena itu, kita sungguh mengapresiasi langkah BI yang dalam sebulan terakhir sudah dua kali menurunkan BI Rate. Namun kita berharap langkah tersebut tak hanya berhenti hingga di situ. Kita ingin agar penurunan BI Rate ini masih dilakukan lagi pada bulan-bulan mendatang. Itu tadi, karena BI Rate di level 8,75 persen pun masih relatif tinggi.

Kita khawatir BI Rate yang kini bertenger di posisi 8,75 persen belum juga menjadi insentif bagi perbankan nasional untuk segera menurunkan bunga pinjaman. Bukan tidak mungkin, karena berbagai alasan -- termasuk karena faktor insefisiensi industri perbankan nasional -- penurunan BI Rate ke tingat 8,75 persen sekadar berdampak menurunkan bunga simpanan. Sementara bunga pinjaman cenderung dipertahankan alias tidak ikut diturunkan.

Kondisi itu jelas sungguh tidak sehat. Sekarang ini saja, selisih bunga simpanan dan bunga pinjaman di perbankan nasional rata-rata mencapai 5,2 persen. Itu jauh di atas rata-rata di tingkat global. Tak mengherankan sektor riil di dalam negeri pun bisa terkondisi tetap meranggas. Padahal imbas krisis keuangan global justru kian menuntut sektor riil segera bangkit. Karena itu pula, penurunan BI Rate pun -- jika hanya berhenti di level 8,75 persen -- bisa-bisa sekadar menjadi good will BI alias tidak menjadi faktor yang menunjang kebangkitan sektor riil.

Patut pula diakui, dibanding di kalangan negara maju, tingkat suku bunga acuan di negeri kita, meski sudah turun ke level 8,75 persen, masih kelewat menjulang. Tingkat bunga acuan di AS (The Fed Fund), misalnya, kini bahkan praktis nol persen. Bank sentral AS sadar betul bahwa itu merupakan kebutuhan dan tuntutan kondisional untuk mendukung program penanganan krisis keuangan yang digulirkan pemerintah AS.

Jadi, berdasar perpektif itu, BI Rate pun beralasan diturunkan lebih jauh lagi pada bulan-bulan mendatang ini. Setelah inflasi bukan lagi menjadi momok, BI patut segera mengejar ketertinggalan selama ini: menurunkan bunga acuan ke level yang benar-benar bisa menggairahkan sektor riil. Terlebih lagi, sebagaimana diakui BI sendiri, imbas dampak krisis keuangan global terhadap ekonomi nasional sekarang ini sudah bukan lagi ancaman yang harus diwaspadai. Imbas itu sudah mulai bergulir nyata.

Justru itu, BI perlu memberi dukungan lebih optimal terhadap upaya pemerintah dalam menangani imbas dampak krisis keuangan global ini. Pemerintah tak boleh seolah dibiarkan berkutat sendirian dalam menyelamatkan ekonomi nasional dari gempuran krisis keuangan global. Program-program yang disiapkan untuk itu, terutama program stimulus ekonomi berupa insentif fiskal senilai Rp 50 triliun, tak boleh sampai menjadi mandul akibat terdistorsi faktor lain yang di luar kendali pemerintah.

Untuk itu, penurunan BI Rate secara berlanjut hingga ke level yang benar-benar kondusif merupakan pilihan strategis yang patut ditempuh BI. Apalagi BI Rate pada dasarnya memang bisa difungsikan sebagai instrumen handal dalam menopang pertumbuhan ekonomi maupun stabilisasi nilai tukar rupiah.***

Jakarta, 7 Januari 2009