30 Juli 2013

Resistensi Harga

Dalam beberapa hari terakhir, harga bahan pokok pangan dilaporkan mengalami penurunan. Meski tidak signifikan, penurunan tersebut melegakan. Melegakan, karena penurunan itu jelas berdampak mengurangi beban ekonomi masyarakat. Terlebih di tengah suasana menghadapi Lebaran sekarang ini.

Penurunan harga itu sendiri merupakan gambaran bahwa upaya stabilisasi pasar yang digelar pemerintah tidak sia-sia. Upaya tersebut menunjukkan bahwa jika dilandasi tekad dan semangat bergelora, pemerintah bisa menjinakkan pasar. Tentu, semua berharap penurunan harga bahan pokok pangan ini terus berlanjut dan tidak sekadar merupakan riak. Penurunan tersebut diharapkan bisa mencapai tahap signifikan. Artinya, pemerintah masih harus bekerja keras menggelar program stabilisasi pasar.

Mungkin agak muyskil mengharapkan harga bahan pokok pangan ini bisa pulih seperti sedia kala. Musykil, karena lonjakan harga telanjur kelewat tinggi. Dibanding beberapa pekan terakhir, saat belum bergejolak, tingkat harga bahan pokok pangan sekarang ini terpaut begitu jauh. Secara psikologis, itu bisa menjadi sentimen negatif bagi pasar untuk bisa digerakkan mendorong harga meluncur sampai menyentuh level semula.

Jadi, penurunan harga yang menggejala belakangan ini sangat mungkin sekadar bermuara kepada ekuilibrium baru. Mudah-mudahan saja ekuilibrium baru itu berada di level harga yang relatif terjangkau sehingga tidak membuat masyarakat megap-megap. Cuma, soalnya, harga bahan pokok pangan ini masih resisten bergejolak kembali. Momen Lebaran hampir pasti mendongkrak permintaan masyarakat -- juga mengundang aksi spekulan. Kalau saja tak cukup sigap melakukan antisipasi, pemerintah pun bisa kedodoran lagi: harga bahan pokok pangan kembali meroket.

Karena itu, momen Lebaran menjadi tantangan besar dan berat bagi pemerintah untuk mengamankan harga bahan pokok pangan ini. Momen Lebaran menjadi ajang pembuktian tentang kesanggupan dan kemampuan pemerintah melakukan stabilisasi pasar. Itu berarti, pemerintah tak boleh terbuai oleh keberhasilan relatif program stabilisasi harga bahan pokok pangan sekarang ini.

Dengan kata lain, tekad dan semangat pemerintah dalam menggelar program itu tak boleh lantas menjadi kendur. Jadi, program stabilisasi harga bahan pokok pangan menjelang Lebaran sekarang ini bukan saja tetap urgen dilanjutkan, melainkan juga perlu lebih diintensifkan. Dalam konteks ini, strategi dan pola stabilisasi harus dikembangkan.

Strategi dan pola itu jangan terpaku dan baku berupa operasi pasar murah, melainkan juga harus meliputi operasi yang lebih mendasar: memutus mata rantai yang melahirkan praktik kartel. Ini mendasar karena memang acap menjadi sumber utama yang membuat pasar bahan pokok pangan bergejolak tidak karuan. Pemerintah sendiri mengakui ihwal praktik kartel ini.

Justru itu, sungguh ganjil jika pemerintah sekadar menunjuk fenomena dan tidak berbuat nyata memberangus fenomena itu. Selama praktik kartel tak diberangus, harga bahan pokok niscaya senantiasa resisten bergejolak -- dengan ataupun tanpa momentum seperti Lebaran. Jadi, kenapa praktik kartel tidak diberangus?***

Jakarta, 30 Juli 2013

24 Juli 2013

Lampu Kuning Ekonomi


Kondisi ekonomi nasional saat ini sungguh merisaukan. Beberapa faktor memberi indikasi gamblang bahwa kondisi ekonomi nasional ini sudah masuk fase "lampu kuning" alias berbahaya. Artinya, langkah-langkah penanganan yang bersifat segera dan efektif mutlak harus ditempuh pemerintah sebagai pemegang otoritas kebijakan.

Faktor-faktor yang memberi indikasi bahwa kondisi ekonomi nasional sudah memasuki fase "lampung kuning", antara lain, nilai tukar rupiah yang cenderung terus terpuruk. Kemarin, kurs rupiah di pasar spot antarbank Jakarta sempat menyentuh level Rp 10.300 per dolar sebelum akhirnya ditutup di kisaran Rp 10.200-an per dolar.

Terkait itu, Bank Indonesia (BI) sebenarnya sudah menggelontorkan begitu banyak dolar ke pasar uang sebagai upaya stabilisasi kurs rupiah ini -- sampai-sampai cadangan devisa pun jadi menipis. Per Mei lalu, cadangan devisa ini tinggal 98,095 miliar dolar atau menyusut dari posisi beberapa bulan sebelumnya sebesar 107-an miliar dolar AS.

Boleh jadi, cadangan devisa bakal kian menipis lagi seiring langkah BI terus mengintervensi pasar uang jika rupiah masih saja tertekan, dan di sisi lain pembayaran transaksi impor juga tetap tinggi.

Kenyataan itu mencemaskan, karena batas psikologis kurs rupiah di level Rp 10.000 sudah jauh terlampaui hanya dalam sepekan terakhir. Juga lantaran titik keseimbangan baru nilai tukar tampaknya belum segera terbentuk. Dalam konteks ini, kurs rupiah mungkin masih cenderung terseok-seok akibat berbagai faktor yang tidak kondusif, baik di lingkup internal maupun eksternal.

Faktor lain yang memberi indikasi bahwa ekonomi nasional sudah masuk fase "lampu kuning" adalah defisit dalam neraca pembayaran yang semakin lebar: 6,6 miliar dolar AS per kuartal I/2013. Lalu, pada saat bersamaan, neraca transaksi berjalan juga desifit sebesar 5,3 miliar dolar.

Defisit itu tertoreh terutama karena kinerja ekspor kedodoran. Nilai impor jauh lebih besar ketimbang ekspor akibat ketergantungan terhadap barang dan jasa eks luar negeri kelewat tinggi -- dan semakin tinggi seiring kelemahan di sejumlah sektor, seperti sektor pertanian tanaman pangan.

Di sisi lain, tumpukan utang pemerintah juga semakin menggunung. Sekarang ini, total utang pemerintah sudah jauh melampaui Rp 2.000 triliun. Utang semakin menggunung karena pemerintah cenderung gampangan menerbitkan surat utang sebagai alternatif pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan negara.

Boleh jadi, kecenderungan tersebut didorong oleh kinerja perpajakan yang tidak optimal -- termasuk banyak mengalami kebocoran sebagaimana tecermin dalam sejumlah kasus manipulasi pajak yang menghebohkan.

Faktor lain lagi yang menghantui ekonomi nasional sekarang ini adalah laju inflasi. Berbagai perkiraan menyebutkan, inflasi tahun ini bisa bablas jauh melampaui target pemerintah di level 7,2 persen. Inflasi menjadi momok, karena manajemen perdagangan belakangan ini amat kedodoran -- terutama menyangkut kebutuhan pokok pangan.

Melihat faktor-faktor itu, jelas sikap waspada saja sudah tidak cukup lagi. Kondisi ekonomi yang sudah sampai fase "lampu kuning" ini bagaimanapun menuntut pemerintah melakukan langkah penanganan yang bersifat segera dan efektif. Sikap memandang enteng masalah -- easy going atau business as usual -- sungguh berisiko menyeret ekonomi nasional kian memburuk. Bukan tidak mungkin kondisi ekonomi nasional segera memasuki fase "lampu merah" alias berbahaya.

Persoalannya, adakah kesadaran pemerintah tentang itu di tengah godaan besar hajat politik akbar pada tahun depan?***

Jakarta, 24 Juli 2013

18 Juli 2013

Ulah Kartel?

Kecurigaan bahwa kartel bermain di balik krisis harga bahan pokok pangan sekarang ini sungguh beralasan. Betapa tidak, karena krisis harga ini tak bisa dijelaskan oleh hukum ekonomi. 

Mestinya, menurut hukum ekonomi, harga barang naik karena permintaan masyarakat konsumen jauh lebih besar daripada pasokan. Tapi apa yang terjadi dalam krisis harga bahan pokok pangan sekarang ini tidak demikian. 

Memang, permintaan masyarakat belakangan ini meningkat seiring momentum Ramadhan. Meski begitu, pasokan barang di pasar relatif memadai -- dalam arti tidak kurang -- sehingga masyarakat tak kesulitan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi. Toh harga barang melambung sangat jauh sehingga tidak berkewajaran lagi.

Bahkan seperti dalam kasus daging sapi, panambahan pasokan yang dilakukan pemerintah dengan mengintervensi pasar nyaris tak berpengaruh terhadap harga. Jangankan turun, harga daging sapi malah tetap cenderung naik. 

Jadi, praktik kartel memang merugikan masyarakat luas. Kartel adalah permufakatan antarpelaku usaha dalam mengatur harga, pemasokan, juga wilayah pemasaran. Dengan permukatan ini, mereka bisa seenak udel mendikte pasar demi kepentingan dan keuntungan mereka sendiri. Karena itu, praktik ini sungguh tidak fair atau bahkan jahat. 

Karena itu pula, praktik kartel yang diduga berada di balik krisis harga bahan pokok pangan sekarang ini sungguh merisaukan. Masyarakat sungguh dibuat tak berdaya dan semata menjadi objek pemerahan. Bahkan pemerintah sendiri terkesankan tak berdaya pula. 

Namun kalau dugaan mengenai praktik kartel ini benar, sulit dipahami jika pemerintah sampai tak bisa mengendus. Sama sekali tidak masuk akal kalau pemerintah tak tahu-menahu bahwa krisis harga kebutuhan pokok pangan sekarang ini akibat praktik kartel. 

Karena itu, muncul kecurigaan: bahwa praktik kartel ini direstui sekaligus dipelihara kalangan elite politik. Kecurigaan ini terasa masuk akal: elite politik menjadikan praktik kartel sebagai salah satu sumber pendanaan kegiatan politik mereka. Lebih masuk akal lagi karena menghadapi perhelatan akbar lima tahunan -- Pemilu 2014 -- mereka jelas membutuhkan dana sangat banyak. 

Kecurigaan seperti itu tak boleh dibiarkan terus berkembang menjadi desas-desus. Bukan cuma meresahkan, desas-desus juga amat gampang mengundang fitnah dan bisa mengaburkan substansi masalah. 

Tak bisa tidak, karena itu, pemerintah -- bekerja sama dengan institusi seperti Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) -- harus turun tangan mengusut dugaan praktik kartel di balik krisis harga bahan pokok pangan ini. Siapa saja yang ambil bagian dalam praktik tersebut, itu wajib diungkap dan ditindak tegas.

Dengan langkah itu, pemerintah tak lantas terkesankan menutup mata terhadap praktik itu. Kecurigaan ke arah sana otomatis terbantah. 

Selebihnya, penyebab utama krisis harga bahan pokok pangan bisa diharapkan terungkap -- dan karena itu bisa ditangani pemerintah tanpa meraba-raba lagi. Dinamika pasar bahan pokok pangan pun bisa kembali sejalan dengan hukum supply and demand. Di sisi lain, aneka desas-desus yang meresahkan juga niscaya otomatis hilang sirna.***


Jakarta, 18 Juli 2013

12 Juli 2013

Hantu Inflasi

Harga bahan pokok pangan terus membubung. Belum terlihat tanda-tanda bahwa gonjang-ganjing harga ini segera mereda atau apalagi bergerak turun. Karena itu, tak cuma masyarakat konsumen, bahkan kalangan pedagang sendiri bingung.

Bagi pedagang, harga yang terus bergerak naik menyulitkan kalkulasi sekaligus mengganggu kenyamanan relasi psikologis dengan konsumen. Sementara bagi konsumen, harga yang meroket terus ini adalah malapetaka yang merontokkan daya beli. 

Kerontokana daya beli masyarakat itu gamblang tecermin pada tingkat inflasi. Bank Indonesia (BI), misalnya, memperkirakan inflasi bulan ini mencapai 2,3 hingga 2,5 persen. Ini bisa jadi merupakan inflasi bulanan tertinggi dalam lima tahun terakhir. Juni 2008 silam, kala ekonomi nasional gonjang-ganjing seiring krisis keuangan yang mendera AS kala itu, inflasi mencapai 2,46 persen.

Namun boleh jadi tingkat inflasi Juli dan Agustus mendatang jauh lebih tinggi dibanding perkiraan BI tadi. Sebab perkiraan itu cuma memperhitungkan variabel penaikan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi. Sementara variabel lonjakan harga bahan pokok pangan sendiri, yang menggejala sejak dua pekan terakhir, tidak turut diperhitungkan. 

Di sisi lain, mengingat kondisi objektif di masyarakat, harga bahan pokok pangan masih potensial terus terdongkrak -- kecuali pemerintah melakukan langkah terobosan yang cespleng mengatasi gejolak di pasar. Kondisi objektif itu tidak lain adalah tingkat permintaan yang cenderung tetap tinggi hingga momen Lebaran tiba. 

Karena itu, tingkat inflasi dalam hari-hari mendatang ini sungguh merisaukan. Target pemerintah bahwa inflasi tahun ini sebesar 7,2 persen menjadi terasa kurang masuk akal. Target tersebut hampir pasti jauh terlampaui. Seperti proyeksi kalangan ekonomi, inflasi tahun ini bisa mencapai 8,5 hingga 9 persen. 

Jadi, inflasi kini sudah menjelma menjadi hantu: menumbuhkan rasa takut, namun tak ada mantra sakti untuk mengusirnya. Pemerintah amat terkesankan gagap mengendalikan keadaan di lapangan. Dalam menghadapi lonjakan harga bahan pokok pangan, pemerintah seolah kehilangan komando. Bahkan komandan sendiri tidak terjun langsung di medan tempur.

Sebagai sebuah tim, pemerintah sama sekali tidak solid dalam menghadapi gonjang-ganjing harga bahan pokok pangan ini. Sedemikian tidak solid, sampai-sampai Menko Perekonomian merasa geram karena kementerian tertentu tidak mengindahkan permintaannya agar stok bahan pokok pangan yang bergejolak ditingkatkan. 

Masing-masing institusi pemerintah memang cenderung bergerak sendiri. Itu pun masing-masing sekadar bertindak laiknya pemadam kebakaran: sporadis alias tidak komprehensif. Menteri Perdagangan, misalnya, beberapa kali terjun melakukan inspeksi harga ke pasar tradisional. Selebihnya, sang menteri bertindak mengkoordinasikan program operasi pasar bahan pokok pangan. 

Namun, soalnya, program operasi pasar sekadar merupakan riak kecil di tengah gonjang-ganjing harga bahan pokok pangan sekarang ini. Sebab pemain pasar telanjur menguasai medan: menggenggam sekaligus mengendalikan stok barang. 

Mestinya pemerintah tidak terpaku dengan program operasi pasar. Bagaimanapun program tersebut tidak cespleng dalam segala situasi. Apa yang urgen dilakukan pemerintah sebagai sebuah tim adalah memenangi pertempuran dengan merebut penguasaan stok dan rantai distribusi barang dari tangan pemain pasar. 

Dengan itu pula, hantu inflasi bisa diharapkan sirna -- atau minimal tak kelewat memiriskan.*** 

Jakarta, 12 Juli 2013

08 Juli 2013

Pertaruhan Besar


Penguatan indeks harga saham di Bursa Efek Indonesia (BEI), kemarin, merupakan gambaran bahwa pelaku pasar modal dilanda eforia menyambut pelaksanaan pemilu presiden yang terbukti berlangsung lancar dan aman. Kontroversi mengenai perbedaan hasil hitung cepat yang dilakukan sejumlah lembaga survei atas pemungutan suara dalam rangka pemilu presiden ini praktis tak berpengaruh.

Eforia itu ditunjukkan oleh penguatan indeks harga saham yang terbilang signifikan. Indeks harga saham gabungan (IHSG), misalnya, kemarin ditutup naik 73,30 poin atau 1,44 persen ke posisi 5.098,01. Indeks 45 saham unggulan (LQ-45) juga dikunci menguat 16,25 poin (1,86 persen) ke level 875,65.

Boleh jadi, itu juga karena hasil hitung cepat berbagai lembaga survei menunjukkan selisih suara antara kedua pasangan capres-cawapres relatif tipis. Dalam konteks ini, tampaknya pelaku pasar modal menaruh ekspektasi bahwa pasangan capres-cawapres tertentu -- yang sejak awal lebih mereka sukai -- pada akhirnya kelak dinyatakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai pememang pemilu presiden kali ini.

Pelaku pasar modal mungkin tak menunjukkan eforia kalau saja hasil hitung cepat menunjukkan pasangan capres-cawapres yang mereka sukai gagal meraih suara secara signifikan. Jadi, tampaknya, pelaku pasar modal memang menghendaki pasangan capres-cawapres tertentu tampil sebagai pemenang pemilu presiden.

Keinginan atau harapan itu sendiri diiringi ekspektasi tinggi bahwa pasangan capres-cawapres yang mereka sukai memiliki peluang besar memenangi pemilu presiden. Ekspektasi ini gamblang terbaca paling tidak sejak pertengahan pekan lalu.

Sejak Kamis (3/7), IHSG berturut-turut naik secara relatif signifikan. Senin lalu atau dua hari sebelum pelaksanaan pemilu presiden, misalnya, IHSG bahkan melejit 83,20 poin (1,7 persen) ke level 4989,03 -- tertinggi kedua di tingkat regional. Lalu sehari kemudian, IHSG kembali naik hingga menembus level 5000 -- persisnya ditutup di posisi 5024,712.

Bagi pelaku pasar modal, pasangan capres-cawapres tertentu lebih menjamin kepastian tentang arah ekonomi nasional ke depan ini. Pasangan tersebut mereka nilai lebih mengerti keinginan investor sekaligus punya sikap lebih bersahabat terhadap pasar alias market friendly.

Oleh sebab itu bisa dipahami manakala perolehan suara pasangan capres-cawapres itu unggul dalam pemilu presiden -- meski itu baru berdasar hasil hitung cepat beberapa lembaga survei, serta notabene itu berbanding terbalik dengan hasil hitung cepat beberapa lembaga survei lain -- pelaku pasar modal serta-merta berpesta dengan melakukan aksi pembelian saham.

Pesta atau eforia di pasar modal ini mungkin saja terulang kalau saja KPU kelak memutuskan bahwa pemenang pemilu presiden adalah pasangan capres-cawapres yang lebih disukai pelaku pasar. Tapi sebaliknya jika pasangan tersebut dinyatakan kalah, hampir pasti harga saham di pasar modal sontak bertumbangan.

Pelaku pasar yang kecewa memang niscaya bereaksi dengan melakukan aksi jual saham. Terlebih secara teknis saat ini harga saham di BEI relatif sudah kelewat tinggi sehingga rawan aksi ambil untung.

Atau, kemungkinan lain, pihak yang dinyatakan kalah dalam pemilu presiden tidak sudi berjiwa besar menerima kekalahan. Stabilitas politik di dalam negeri yang menjadi goyah niscaya membuat pasar modal bergolak oleh aksi jual saham pula.

Walhasil, siapa yang kelak ditetapkan KPU sebagai pemenang pemilu presiden kali ini sungguh menjadi pertaruhan besar bagi harga-harga saham di BEI. Satu hal perlu dicatat: persepsi positif tentang sosok pemenang niscaya berdampak menggairahkan pelaku pasar modal. Bahkan, bak bola salju, gairah itu merebak pula di kalangan pelaku sektor-sektor lain.***


07 Juli 2013

Ritual Kenaikan Harga

Menjelang Ramadhan sekarang ini, harga kebutuhan pokok selalu menggila. Menggila, karena kenaikan harga kebutuhan pokok ini kelewat tinggi sehingga tak bisa dikatakan wajar. Betapa tidak, karena kenaikan tersebut berkisar antara 20 persen hingga 50 persen -- tergantung jenis komoditas. 

Kenaikan harga menjelang Ramadhan ini sungguh menyesakkan. Sebab, menyusul penaikan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi, dua pekan lalu, harga kebutuhan pokok sudah pula meroket. Artinya, lonjakan harga menjelang Ramadhan ini adalah pukulan kedua yang bikin puyeng khalayak luas.

Kenyataan itu menegaskan bahwa kenaikan harga kebutuhan pokok menjelang Ramadhan -- juga momen-momen lain yang mendorong permintaan di masyarakat naik -- adalah sebuah "ritual". Sebagai ritual, kenaikan itu begitu niscaya. Tak terhindarkan. 

Tetapi mestinya tidak. Momen Ramadhan ataupun momen-momen lain mestinya tak sampai melonjakkan harga kebutuhan pokok secara berlebihan kalau saja pemerintah sigap melakukan langkah-langkah antisipasi. Dengan antisipasi yang matang, peningkatan permintaan di masyarakat tak mesti membuat harga kebutuhan pokok meroket gila-gilaan. Peningkatan permintaan terkondisi sekadar berdampak mengerek harga ke tingkat yang tergolong wajar alias tidak berlebihan. 

Peningkatan harga yang tidak berlebihan itu sendiri lebih bersifat temporer. Harga kebutuhan pokok kemudian perlahan-lahan bergerak turun kembali ke posisi semula sampai kemudian terkerek lagi saat momen baru muncul.

Namun karena antisipasi pemerintah payah, momen-momen yang mendorong peningkatan permintaan di masyarakat ini selalu saja melejitkan harga kebutuhan pokok secara tidak semestinya. Karena itu, seperti menjelang Ramadhan sekarang ini, lonjakan harga yang tidak semestinya itu menjadi sebuah ritual. 

Menurut hukum ekonomi, kenaikan harga merupakan akibat peningkatan permintaan. Hukum ini mustahil tak dipahami pemerintah selaku pihak yang bertanggung jawab terhadap masalah kesejahteraan masyarakat. 

Justru itu, jika peningkatan harga kebutuhan pokok seperti menjelang Ramadhan sekarang ini tidak lagi sepenuhnya mencerminkan hukum penawaran dan permintaan, berarti pemerintah gagal menyiapkan langkah-langkah taktis agar penawaran dan permintaan di masyarakat tetap berkeseimbangan. 

Kegagalan itu sungguh menyesakkan, karena pemerintah -- mulai di tingkat pusat hingga ke di tingkat pemda -- memiliki sejumlah institusi yang saling bertaut dan bertanggung jawab dalam pengamanan gejolak harga di pasar. Pemerintah juga memiliki Badan Ketahanan Pangan. Bahkan ada pula institusi yang disebut Dewan Ketahanan Pangan.

Toh semua itu seolah sia-sia. Keberadaan berbagai institusi itu sedikit sekali memberi manfaat positif di saat kritis seperti menjelang Ramadhan sekarang ini. 

Tetapi pemerintah memang tidak sungguh-sungguh antisipatif. Tidak seperti di waktu lampau, pemerintah tidak terlihat melakukan persiapan khusus menyongsong tibanya momentum peningkatan permintaan seperti menjelang Ramadhan. Pemimpin nasional sendiri lebih merasa penting berasyik-asyik berkicau di media sosial ketimbang mengonsolidasikan kekuatan untuk mengamankan pasar kebutuhan pokok.

Karena itu, kenaikan harga kebutuhan pokok pun begitu niscaya menjadi ritual yang selalu mengiringi momen tertentu seperti menjelang Ramadhan sekarang ini.***


Jakarta, 7 Juli 2013

04 Juli 2013

Sinyal Pelemahan Rupiah


Kalau sekadar melihat pergerakan harian, depresiasi rupiah terhadap dolar AS belakangan ini masih terbilang wajar. Wajar, karena kurs rupiah tidak tergerus kelewat dalam. Seperti kemarin, rupiah cuma terdepresiasi 4 poin dari posisi Rabu lalu sebesar Rp 9.941 per dolar. Begitu pula depresiasi pada Selasa lalu yang cuma 6 poin dibanding Senin di posisi Rp 9.934 per dolar.

Jadi, pelemahan rupiah secara harian sekarang ini tidak beralasan dirisaukan. Otoritas moneter seperti BI tak perlu reaktif sehingga tergoda melakukan intervensi dengan mengguyurkan rupiah ke pasar uang. Intervensi ke pasar uang hanya relevan dan urgen manakala kurs rupiah terdepresiasi signifikan dengan pergerakan yang cenderung terus tertekan.

Meski begitu, jika menarik garis merah jauh ke belakang, soal nilai tukar rupiah ini sudah terasa merisaukan. Betapa tidak, karena hampir 1,5 tahun ini kurs rupiah praktis terus-menerus tertekan. Data menunjukkan bahwa sejak Januari 2012 hingga Kamis kemarin rupiah sudah terdepresiasi lebih dari 850 poin.

Semula, kecenderungan itu diduga berkaitan dengan ketidakpastian rencana penaikan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi. Dalam konteks itu, pelaku di pasar uang melakukan ekspektasi-ekspektasi karena pemerintah begitu kental memperlihatkan sikap galau dan ragu untuk mengambil keputusan.

Namun setelah pemerintah memutuskan harga BBM subsidi dinaikkan pun, rupiah tetap saja cenderung tertekan. Tren pelemahan nilai tukar rupiah ternyata tak serta-merta berhenti.

Mungkin benar, rencana penaikan harga BBM subsidi yang sempat terombang-ambing begitu lama dalam ketidakpastian merupakan faktor yang membuat kurs rupiah tertekan. Namun, melihat tren yang menunjukkan rupiah masih terus terdepresiasi, isu itu jelas bukan satu-satunya faktor. Isu rencana penaikan harga BBM subsidi sekadar faktor tambahan.

Kalangan pengamat dan pelaku pasar uang sendiri menyebut tren pelemahan kurs rupiah ini lebih merupakan cermin kerapuhan ekonomi nasional. Kerapuhan itu tergambar jelas dari kondisi anggaran negara yang terus mengalami defisit, dan di sisi lain dari neraca perdagangan yang juga mengalami tekor sejak setahun terakhir.

Defisit anggaran tertoreh karena pengeluaran lebih besar daripada penerimaan negara. Sangat boleh jadi, ini bertali-temali dengan pengelolaan keuanggan yang tidak efisien dan terutama banyak digerogoti korupsi.

Di sisi lain, neraca perdagangan juga defisit karena nilai impor jauh lebih besar ketimbang hasil ekspor. Artinya, kinerja ekspor kelewat lemah dibanding tingkat kebutuhan impor.

Walhasil, tren pelemahan kurs rupiah sekarang ini lebih merupakan sinyal bahwa ekonomi nasional harus serius dibenahi sehingga menjadi sehat dan efisien. Untuk itu, pemberantasan korupsi harus menjadi program yang konsisten dan konsekuen dilaksanakan. Lalu, daya saing ekspor juga harus benar-benar ditingkatkan dengan mengbabat habis berbagai praktik ekonomi biaya tinggi.***

Jakarta, 4 Juli 2013