20 Februari 2006

Menakar Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi dalam kisaran relatif tinggi bagi kita sekarang ini memang menjadi kebutuhan mendesak. Pertumbuhan ekonomi tinggi adalah jawaban strategis terhadap masalah sosial-ekonomi di masyarakat kita yang telanjur menggunung dengan kadar yang kian serius. Kita tahu, pengangguran kian membengkak, kemiskinan semakin dalam dan luas, juga kesehatan masyarakat terus cenderung menurun.

Karena itu, pernyataan Menko Perekonomian Boediono tentang pertumbuhan ekonomi nasional serta-merta menerbitkan harapan. Dia berani menargetkan pertumbuhan ekonomi nasional tahun ini sebesar 6-7 persen. Bahkan dia juga mengaku optimis bahwa target itu bisa dicapai.

Angka target pertumbuhan ekonomi yang disebut Boediono itu jelas terbilang relatif tinggi, sekaligus jauh lebih baik dibanding realisasi pertumbuhan ekonomi tahun lalu yang hanya 5,6 persen. Karena itu, kita boleh berharap bahwa beban masalah sosial-ekonomi kita tahun ini bisa berkurang. Dengan pertumbuhan ekonomi dalam kisaran relatif tinggi, lapangan kerja bisa lumayan banyak tercipta. Itu, pada gilirannya, niscaya berdampak positif terhadap penurunan masalah kemiskinan maupun perbaikan kesehatan masyarakat.

Jadi, sekali lagi, target dan optimisme Boediono tentang pertumbuhan ekonomi nasional tahun ini sungguh membesarkan hati. Cuma, jujur saja, kita tidak mendapat penjelasan mengenai munculnya angka pertumbuhan sebesar 6-7 persen yang disebut Boediono itu. Terlebih angka itu menunjukkan lompatan dibanding pertumbuhan ekonomi nasional tahun lalu.

Di sisi lain, kita juga tidak menemukan argumen meyakinkan yang membuat Boediono bisa optimis tentang pertumbuhan ekonomi sebesar 6-7 persen ini. Sejauh terungkap dalam pemberitaan pers, optimisme Boediono ini berpijak pada premis bahwa semua pihak sungguh-sungguh bekerja keras menggerakkan ekonomi. Juga, di lain pihak, situasi dan kondisi di dalam negeri relatif kondusif alias menunjang kegiatan ekonomi.

Walhasil, ihwal pertumbuhan ekonomi yang disebut Boediono ini sebenarnya lebih merupakan hipotesis -- bukan sesuatu yang hampir pasti tercapai. Artinya, angka maupun optimisme tentang pertumbuhan itu hanya mungkin menjadi kenyataan bila faktor dependen -- kerja keras semua pihak dan situasi yang kondusif -- terpenuhi. Padahal justru faktor dependen itu yang sekarang ini menjadi persoalan serius kita. Paling tidak perkembangan selama setahun terakhir gamblang memberi gambaran tentang itu.

Sulit dipungkiri bahwa selama setahun terakhir ini pemerintah sudah benar-benar bekerja keras menggerakkan kehidupan ekonomi nasional. Mungkin benar, masing-masing pengambil kebijakan tetap sibuk seperti biasa. Tapi kesibukan itu tidak saling bersinergi. Kesan yang kental mengemuka, masing-masing pengambil kebijakan -- terutama di tim ekonomi -- tidak kompak. Itu pula yang membuat sasaran pertumbuhan ekonomi nasional tahun lalu gagal dicapai.

Bahwa sekarang ini kabinet sudah dirombak, itu belum menjadi jawaban bahwa pertumbuhan ekonomi tahun ini bisa membaik sebagaimana optimisme Boediono. Pertama, karena tim ekonomi belum menunjukkan diri sebagai tim yang solid dan kompak. Bahkan, dalam beberapa kasus, tim ekonomi hasil reshuffle ini terkesan saling berseberangan atau saling ganjal.

Kedua, seperti kata kalangan ekonom, pertumbuhan ekonomi pada satu tahun tertentu bukan merupakan satu kesatuan yang terpisah. Sedikit atau banyak, pertumbuhan ekonomi pada tahun tertentu dipengaruhi oleh kinerja ekonomi pada tahun sebelumnya. Justru itu, kalaupun membaik, pertumbuhan ekonomi tahun ini agak musykil bisa melompat signifikan dibanding tahun lalu.

Ketiga, kegiatan ekonomi kita sekarang ini tidak berpijak pada sebuah grand strategy sebagimana dipaparkan ekonom Didik J Rachbini lewat artikelnya di sebuah harian nasional. Padahal, seperti sudah ditunjukkan di sejumlah negara yang sukses menjulangkan kemajuan ekonomi, grand strategy sungguh mutlak perlu dan harus ada.

Atas dasar itu semua, angka maupun optimisme Boediono tentang pertumbuhan ekonomi nasional tahun ini agaknya terlalu mengawang-awang. Memang membesarkan hati. Namun tak cukup realistis.***
Jakarta, 20 Februari 2006