29 Juni 2005

Dirut Pertamina dan Krisis BBM

Penggantian orang nomor satu di Pertamina jelas mengejutkan.
Pertama, jika berita tentang itu benar, karena krisis bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri belum juga tertangani. Kedua, karena Widya Purnama belum genap setahun menjabat sebagai dirut. Dia baru menduduki jabatan tersebut terhitung sejak 11 Agustus 2004.

Kita tidak tahu apakah penggantian Widya selaku Dirut Pertamina ini terkait dengan krisis BBM sekarang ini. Yang pasti, krisis itu sendiri memang terasa kian membuat miris. Di sejumlah daerah, BBM sekarang sudah menjadi barang langka.

Kalaupun masih tersedia di tempat-tempat tertentu, BBM telanjur dikuasai spekulan kagetan. Mereka menjual BBM seharga dua-tiga kali lipat dibanding harga resmi yang dipatok pemerintah.

Kenyataan itu membuat miris karena jelas berimplikasi serius terhadap berbagai kegiatan ekonomi masyarakat. Seperti di sejumlah daerah, kelangkaan BBM mulai melumpuhkan beberapa sektor ekonomi. Kalangan nelayan di Pantura Jatim, misalnya, sejak sepekan terakhir sudah tak bisa lagi melaut karena bahan bakar solar sulit mereka peroleh.

Karena itu, orang mungkin saja mengira penggantian dirut Pertamina ini erat berkaitan dengan krisis BBM. Dalam kaitan ini, mereka sendiri boleh jadi menilai Widya gagal mengamankan ketersediaan BBM di dalam negeri -- meski soal itu bukan melulu menjadi tanggung jawab Pertamina. Justru itu, bagi mereka, Widya selaku orang yang paling bertanggung jawab atas pasokan BBM ke tengah masyarakat memang layak diganti.

Widya sendiri, barangkali, sudah mengira ihwal penggantian itu. Terlebih lagi, dalam beberapa hari terakhir dia menunjukkan sikap berseberangan dengan pemerintah terkait negosiasi pengelolaan ladang migas di Blok Cepu (Jateng) antara tim perunding pemerintah dan pihak ExxonMobil. Dalam beberapa kesempatan, dia bahkan menyatakan tak akan menandatangani kesepakatan yang dihasilkan dalam perundingan itu -- konon karena dia khawatir muncul persoalan di kemudian hari.

Walhasil, penggantian orang nomor satu ini seolah begitu niscaya sebagai sesuatu yang patut dan memang perlu. Padahal belum tentu -- karena masalah krisis BBM bukan faktor yang berdiri sendiri. Bagaimanapun, krisis BBM adalah tanggung jawab pemerintah secara keseluruhan.

Justru itu, mengharapkan pengganti Widya serta-merta mampu mengatasi krisis BBM sekarang ini bisa menyesatkan. Memang, figur Dirut Pertamina pengganti Widya -- konon Martiono Hadianto -- adalah sosok yang tepat.

Martiono bukan sosok asing dalam masalah perminyakan. Paling tidak, dia segera bisa tahu tentang apa yang harus segera dilakukan. Sebagai orang yang pernah menduduki posisi Dirut Pertamina selama periode 1998-2000, Martiono jelas tidak membutuhkan lagi masa sosialisasi. Ibarat sopir, dia amat bisa diharapkan langsung tancap gas dan melakukan manuver-manuver.

Tetapi tetap saja, krisis BBM bukan masalah sederhana yang bisa diatasi semudah membalikkan tangan. Sekali lagi, masalah ketersediaan BBM di tengah masyarakat bukan faktor yang berdiri sendiri dan bukan pula melulu tanggung jawab Pertamina.

Terlebih lagi harga minyak mentah di pasar dunia kini melambung hingga menembus level baru sepanjang sejarah: 60 dolar AS lebih per barel. Sementara di sisi lain, pemerintah dan DPR telanjur bersepakat mematok asumsi harga BBM dalam APBN sebesar 45 dolar AS per barel.

Sesungguhnya, krisis BBM bisa dikatakan sebagai akumulasi persoalan kita dalam konteks pengelolaan sumber daya migas selama ini. Jujur saja, sebagai bangsa yang dikaruniai sumber daya migas yang relatif melimpah, tak semestinya kita terjebak krisis BBM. Tapi, barangkali, kita memang tak becus mengelola karunia itu.

Karena itu, penggantian Dirut Pertamina jangan diasumsikan sebagai obat yang serta-merta akan menuntaskan krisis BBM sekarang ini. Paling tidak dalam jangka menengah dan panjang, krisis BBM masih terus membayangi kita.
Jakarta, 29 Juni 2005

25 Juni 2005

Pajak Progresif Kendaraan Pribadi

Pengenaan pajak progresif terhadap kendaraan pribadi sebenarnya bukan wacana baru. Pemikiran tentang itu sudah beberapa kali mengemuka, terutama terkait dengan masalah kemacetan lalu-lintas di kota-kota besar yang kian hari kian menjadi.

Tapi seiring perjalanan waktu, lambat-laun wacana tentang itu menguap begitu saja. Selalu tak ada tindak-lanjut. Di satu sisi, pengambil kebijakan sepertinya memang belum berniat menerapkan pajak progresif terhadap kendaraan pribadi ini.

Di sisi lain, masyarakat sendiri seolah telanjur toleran dan terbiasa terhadap kemacetan lalu-lintas yang nyata-nyata menjengkelkan itu. Kita tanpa sadar menganggap masalah kemacetan lalu-lintas sebagai bagian hidup keseharian. Mungkin diam-diam kita memang pasrah terhadap masalah tersebut.

Kini wacana tentang pengenaan pajak progresif terhadap kendaraan pribadi ini mengemuka kembali. Wapres Jusuf Kalla menyatakan, pemerintah sedang menimbang kemungkinan menerapkan kebijakan tersebut sebagai salah satu strategi menekan konsumsi bahan bakar minyak (BBM).

Tentu saja, wacana itu tetap relevan -- bahkan kian urgen di tengah krisis BBM di dalam negeri sekarang ini. Pengenaan pajak progresif terhadap kendaraan pribadi, memang, bisa sekaligus berfungsi menekan tingkat konsumsi BBM.

Dalam soal konsumsi BBM, mungkin kita termasuk bangsa paling boros. Ini terutama karena pemilikan kendaraan pribadi praktis tanpa kendali. Bahkan karena menunjang prestise, pemilikan kendaraan pribadi seolah menjadi insentif sosial.
Karena itu, pemilikan kendaraan pribadi tidak lagi melulu karena alasan-alasan rasional-obyektif, melainkan juga karena dorongan kebutuhan menunjukkan kelas sosial.

Maka jangan heran jika kita cenderung merasa tidak cukup jika sekadar miliki sebuah sepeda motor. Kita juga merasa perlu memiliki mobil pribadi. Bahkan tidak cukup satu buah, melainkan kita juga merasa beralasan memiliki dua, tiga, empat, atau lima buah mobil.

Jika memungkinkan, pemilikan kendaraan lebih dari satu ini bukan hanya dalam konteks satu kesatuan keluarga, melainkan untuk tiap anggota keluarga! Jadi, ayah, ibu, dan masing-masing anak -- kendati belum cukup umur sekalipun -- bisa memiliki kendaraan!

Itu pula yang membuat tingkat konsumsi BBM di negeri kita cenderung boros dan kurang produktif, di samping mengakibatkan jalan-jalan raya di berbagai kota besar selalu padat dan macet. Tentu, di lain pihak, pencemaran lingkungan pun menjadi risiko tersendiri yang semakin mencemaskan.

Karena itu, sekali lagi, pengenaan pajak progresif terhadap kendaraan pribadi menjadi relevan dan urgen. Dengan itu, kita terkondisikan tidak lagi leluasa dan tidak nyaman memiliki kendaraan pribadi secara berlebihan. Dengan kata lain, pemilikan kendaraan pribadi bisa digiring ke arah alasan-alasan yang lebih rasional dan produktif.

Mereka yang berani mengabaikan conditioning tentang pemilikan kendaraan pribadi ini, tentu, siap menanggung beban ekonomi lebih besar sesuai jumlah kendaraan yang mereka miliki. Tapi itu tak apa, karena jelas memberi manfaat nyata kepada negara berupa setoran pajak yang lebih besar.

Tapi, efektivitas pajak progresif kendaraan pribadi ini bukan tanpa prasyarat. Sepanjang sarana dan prasarana angkutan umum tidak dibenahi menjadi benar-benar nyaman, aman, dan efisien, instrumen pajak progresif ini tak akan benar-benar efektif menekan tingkat konsumsi BBM sekaligus mengurangi kamecatan lalu-lintas dan menurunkan tingkat pencemaran lingkungan.

Jadi, sebagai kebijakan, instrumen pajak progresif kendaraan pribadi tidak bisa berdiri sendiri. Tapi seberapa seriuskah pemerintah untuk menerapkan kebijakan tersebut? Jangan-jangan, setelah krisis BBM teratasi, gagasan tentang itu lantas menguap begitu saja.***
Jakarta, 25 Juni 2005

21 Juni 2005

Kelangkaan BBM, Ada Apa?

Jelas sudah, kenapa bahan bakar minyak (BBM) -- terutama premium -- di sejumlah daerah dalam beberapa hari terakhir mengalami kelangkaan. Ya, karena stok di tangan Pertamina sudah menipis. Dirut Pertamina Widya Purnama mengungkapkan, stok premium secara nasional kini hanya mencukupi kebutuhan selama 12,7 hari. Itu jauh di bawah level aman yang selama ini menjadi patokan Pertamina: 22-25 hari.

Jadi, karena stok sudah menipis, Pertamina harus pintar-pintar mengelola distribusi. Dalam kaitan ini, mereka memberlakukan mekanisme catu ke berbagai unit Pertamina di daerah. Itu, pada gilirannya, menjalar pula ke berbagai stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU).

Teoritis, pengaturan catu itu dilakukan berdasar tingkat konsumsi di masing-masing daerah. Tapi, tampaknya, perhitungan tentang itu lebih banyak meleset. Atau mungkin, karena stok telanjur menipis, catu yang dikucurkan Pertamina di bawah tingkat kebutuhan masing-masing daerah.

Karena itu, yang terjadi kemudian, BBM di sejumlah daerah mengalami kelangkaan. Banyak SPBU yang terpaksa tutup karena persediaan BBM di tempat mereka sudah benar-benar tandas. Sementara sejumlah SPBU lain yang masih bisa melayani pembelian praktis diserbu masyarakat. Antrean panjang sungguh tak terhindarkan lagi.

Dulu, terutama sebelum era reformasi, kenyataan seperti itu nyaris tak pernah terjadi. Antrean panjang di berbagai SPBU biasanya hanya terjadi menjelang kenaikan harga BBM. Atau bisa juga terjadi manakala suatu daerah dilanda bencana -- entah bencana alam atau kerusuhan sosial -- yang membuat arus pasokan BBM ke daerah tersebut jadi terhambat.

Di luar itu, pasokan BBM praktis aman alias tak pernah mengalami kelangkaan. Kalaupun terjadi kelangkaan, itu paling hanya dalam hitungan 2-3 jam akibat tanki pengangkut BBM telat tiba.

Itu berarti, dulu ketersediaan BBM di tengah masyarakat lebih terkelola. Sementara sekarang ini, simpul-simpul yang menjamin kelangkaan BBM bisa dihindari tak lagi terjaga baik. Kenapa?

Jujur saja, itu merupakan merupakan konsekuensi pencabutan UU No 44/1960 tentang Pertambangan Migas dan UU No 8/1971 tentang Pertamina yang kini digantikan oleh UU No 22/2001 tentang Migas. Dengan itu, antara lain, status Pertamina bukan lagi badan usaha khusus, melainkan berubah menjadi perseroan terbatas.

Konsekuensinya, Pertamina tidak lagi bisa tampil sebagai lembaga yang gagah perkasa dan bisa selalu trengginas menghadapi masalah. Dalam segi keuangan saja, perubahan status menjadi perseroan membuat Pertamina kehilangan dana retensi dari kalangan mitra kontraktor bagi hasil (KPS). Padahal dana retensi ini, yang sekarang beralih ke lembaga lain sesuai UU No 22/2001, jelas besar: sekitar 1 miliar dolar AS per tahun. Dengan itu, Pertamina bisa memupuk dana cadangan taktis -- antara lain digunakan untuk mengimpor BBM.

Kini, Pertamina tak bisa leluasa lagi mengimpor BBM. Langkah ke arah itu amat tergantung pada kesiapan dan kesigapan pemerintah mengucurkan dana yang dibutuhkan Pertamina. Jika pemerintah tak cukup sigap -- entah karena alasan apa pun -- impor BBM oleh Pertamina praktis tersendat. Akibatnya, tentu, ketersediaan BBM di dalam negeri jadi terganggu.

Itu pula yang terjadi sekarang ini. Kegiatan impor BBM oleh Pertamina terhambat karena pemerintah telat beberapa hari mengucurkan dana ke Pertamina. Stok BBM di tangan Pertamina pun praktis menipis jauh hingga melahirkan kelangkaan di sejumlah daerah.

Kita belum tahu persis alasan pemerintah tentang keterlambatan mengucurkan dana bagi Pertamina sekarang ini. Yang pasti, ke depan ini kejadian serupa bisa kembali terulang dan terulang lagi dengan segala risiko yang membebani masyarakat.***
Jakarta, 21 Juni 2005

15 Juni 2005

Privatisasi Sulit Dihindari?

Privatisasi BUMN sebenarnya tak harus menjadi isu sensitif -- seolah-olah sekadar merupakan penjualan aset negara, khususnya kepada asing. Privatisasi justru bisa positif: mengondisikan pengelolaan BUMN secara profesional sesuai prinsip good corporate governance.

Privatisasi memungkinkan BUMN dikelola transparan dan akuntabel. Dengan demikian, BUMN tidak lagi menjadi "sapi perahan" pihak-pihak yang memiliki akses terhadap kekuasaan.

Tetapi, memang, sekarang ini privatisasi BUMN nyaris identik dengan penjualan aset negara. Ini tidak lain karena motif utama yang melatari privatisasi ini bukan lagi mengondisikan BUMN agar dikelola transparan dan profesional. Rencana privatisasi BUMN sekarang ini tertoreh lebih karena desakan kebutuhan: menutup defisit anggaran yang telanjur menganga.

Defisit menganga, jelas, karena keuangan kita telanjur "besar pasak daripada tiang". Dalam APBN Perubahan (APBNP) 2005, pendapatan kita mencapai Rp 491,6 triliun. Sementara di sisi lain, belanja negara mencapai Rp 511,9 triliun. Maka defisit pun otomatis tertoreh. Jumlahnya Rp 20,3 triliun.
Angka itu jauh lebih besar daripada usulan pemerintah ke DPR lewat APBNP 2005 sebesar Rp 19,5 triliun. Bahkan dibanding APBN 2005 sebesar Rp 17,3 triliun, defisit APBNP 2005 ini terlihat lebih besar lagi.

Boleh jadi, nilai belanja jauh lebih besar ketimbang pendapatan memang tak terhindarkan -- meski tidak selalu berarti bermanfaat secara ekonomi. Pos belanja pegawai, misalnya, memang sulit diciutkan. Begitu pula pos pembayaran utang -- kecuali kita memang siap menanggung risiko mengemplang kewajiban membayar pinjaman.

Tetapi pos belanja lain, seperti subsidi bahan bakar minyak (BBM), amat jauh dari pengertian produktif -- dalam arti memberikan imbal balik atau manfaat ekonomi yang nyata dan signifikan kepada negara. Bagaimanapun subsidi BBM lebih banyak berfungsi sebagai katup pengaman sosial dan politik. Padahal nilai subsidi BBM ini, dalam APBNP 2005, tak bisa dibilang kecil: Rp 76,5 triliun.

Karena itu pula, defisit anggaran menjadi tak terhindarkan. Dalam kaitan ini, privatisasi BUMN pun menjadi salah satu alternatif. Tapi justru itu, privatisasi BUMN ini lantas terasosiasikan seolah sekadar penjualan aset negara. Ini bisa menjadi isu yang kian sensitif jika privatisasi dipersepsi sebagai asingisasi. Maklum, karena di masa lalu banyak BUMN yang dijual pemerintah ke investor asing.

Mungkin sentimen itu pula, antara lain, yang membuat Wapres Jusuf Kalla beberapa waktu lalu menyatakan bahwa privatisasi BUMN tak akan dilakukan. Lalu, untuk menambal defisit APBN, dividen BUMN yang menjadi bagian pemerintah menjadi alternatif. Untuk itu, jumlah dividen bagian pemerintah ini harus meningkat hingga mampu menutup defisit anggaran yang semula harus ditambal melalui privatisasi BUMN.

Tapi itu tak mudah. Kalaupun prognosis Menneg BUMN Sugiharto mengenai dividen bagian pemerintah tahun ini benar bisa mencapai Rp 11,5 triliun -- melampaui target dalam APBNP 2005 sebesar Rp 9,5 triliun -- defisit anggaran tak serta-merta tertutupi semua. Paling tidak, defisit APBN masih menganga sebesar Rp 2 triliun.

Karena itu, tampaknya, privatisasi BUMN tetap harus dilakukan. Tapi, sebetulnya, itu juga tidak masalah sepanjang privatisasi ini bukan sekadar dalam rangka menjual aset negara, melainkan terutama guna mengondisikan profesionalisme pengelolaan yang membuat BUMN sehat dan menguntungkan.
Dalam kaitan itu, investor strategis jangan dijadikan pilihan sehingga privatisasi tak dipersepsi sebagai asingisasi. Itu berarti, penawaran saham kepada publik (IPO) layak ditempuh dalam rangka privatisasi BUMN ini.***
Jakarta, 15 Juni 2005

10 Juni 2005

Batam Surga Investasi?

Batam telah menjadi contoh paling bagus tentang cara kita memperlakukan peluang. Letak strategis Batam yang begitu berdekatan dengan salah satu pusat ekonomi dunia, Singapura, mestinya membuat kawasan itu menjadi unggulan kita dalam menjaring investor.

Tapi apa yang terjadi, terutama dalam beberapa tahun terakhir, justru sebaliknya. Kalangan investor cenderung enggan -- atau paling tidak bersikap melihat dan menunggu perkembangan (wait and see) -- untuk menanam modal di Batam. Bahkan sejumlah investor yang telah menabur investasi di kawasan-kawasan industri di daerah itu memilih angkak kaki ke luar negeri.

Itu bisa terjadi akibat kepastian berinvestasi tak terjamin, menyusul penentuan Batam sebagai free trade zone (FTZ) alias kawasan perdagangan bebas yang berlarut-larut tak menentu. September tahun lalu, sebenarnya, DPR sudah menyetujui RUU Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam menjadi undang-undang. Tapi di lain pihak, pemerintah justru berkukuh menolak karena status FTZ yang dilekatkan pada Batam membuat keistimewaan fiskal lebih banyak dinikmati mereka yang bukan tergolong investor.

Perbedaan sikap dan pandangan itu terletak pada luasan FTZ Batam. DPR menginginkan kawasan perdagangan bebas itu diberlakukan meliputi seluruh Batam. Itu, bagi DPR, membuat Batam tampil lebih menggiurkan bagi investor.

Namun pemerintah berpendirian bahwa keistimewaan itu hanya mencakup beberapa kawasan saja (enclave). Ini karena pemberlakuan FTZ bagi seluruh Batam memang membuat semua warga di kawasan itu terbebas dari kewajiban membayar pajak pertambahan nilai (PPN), pajak penjualan barang mewah (PPnBM), juga bea masuk.

Tapi bila visi pemerintah yang diberlakukan, berarti pemberian insentif fiskal itu hanya meliputi tujuh kawasan perdagangan di Batam sebagaimana digariskan PP No 63/2003. Justru itu, penduduk yang tinggal di luar zona itu sama sekali tak berhak menikmati fasilitas pajak dan kepabeanan.

Tarik-menarik itu tak kunjung mencapai titik temu. Justru itu, kalangan investor jadi bimbang atau bahkan tak yakin akan kepastian berusaha di Batam ini. Tak heran jika kegiatan investasi di pulau tersebut kian hari kian menunjukkan kecenderungan mencemaskan. Itu tadi: bukan saja investasi baru enggan masuk, bahkan investasi lama pun satu demi satu hengkang ke mancanegara.

Tapi syukurlah. Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono segera tanggap. Kecenderungan yang bukan tidak mungkin membuat Batam akhirnya bernasib seperti Sabang itu -- ditinggalkan investor -- coba dibendung.

Seperti diungkapkan Menteri Perdagangan Mari Pangestu di depan Komisi VI DPR, kemarin, status Batam sebagai daerah industri yang menurut Keppres No 28/1982 merupakan bounded zone (kawasan terbatas) segera ditingkatkan menjadi bounded zone plus dengan memberikan sejumlah insentif menarik bagi investor.

Insentif itu berupa kemudahan dan kecepatan pemeriksaan administrasi kepabeanan, juga pembebasan bea masuk dan PPN untuk bahan baku/bahan penolong yang hasil produksinya diekspor. Di samping itu, pengenaan pajak juga digariskan tidak berlaku surut.

Mungkin langkah itu memang bisa menggoda investor melirik kembali Batam sebagai alternatif penanaman modal. Tapi kalangan investor sendiri tampaknya tetap digayuti pertanyaan: apakah peningkatan status Batam menjadi bounded zone plus ini otomatis mengubur wacana tentang kawasan perdagangan bebas?

Selama pertanyaan itu tak beroleh jawaban pasti, kalangan investor boleh jadi tak serta-merta tergiur oleh status Batam sebagai bounded zone plus. Terlebih bila persiapan dan kesiapan di lapangan tak memadai, mungkin Batam tetap saja tidak menjadi surga bagi penanaman modal.***
Jakarta, 10 Juni 2005

08 Juni 2005

Pemberantasan Korupsi

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kemarin, mengungkapkan bahwa kelompok-kelompok tertentu berupaya menghambat atau bahkan menggagalkan langkah pemberantasan korupsi yang kini dilakukan pemerintah. Ini tidak mengagetkan, sebenarnya. Bagaimanapun, memang, tak semua orang setuju terhadap langkah tersebut.

Mereka yang langsung maupun tidak langsung terlibat korupsi, jelas tak akan mendukung langkah pemberantasan korupsi. Mereka tak akan rela hati langkah tersebut terayun mulus. Bagi mereka, langkah pemberantasan korupsi adalah ancaman atau bahaya -- dan karena itu harus dihambat atau digagalkan.

Karena itu, pernyataan Presiden Yudhoyono justru lebih terasa menggugah kesadaran tentang sesuatu yang mencemaskan ketimbang mengejutkan. Mencemaskan, karena upaya kelompok-kelompok tertentu menggagalkan pemberantasan korupsi ini bisa lebih berbahaya ketimbang tindak korupsinya sendiri. Segala macam cara niscaya ditempuh pihak-pihak yang berkepentingan agar borok mereka -- terlibat korupsi, entah langsung maupun tidak -- tak terbongkar atau tak terjamah hukum.

Kenyataan itu terasa lebih mencemaskan lagi karena kita tahu bahwa korupsi di negeri kita tidak lagi bersifat individual. Sebagaimana tercermin dalam sejumlah kasus yang mencuat ke permukaan, tindak korupsi di negeri kita ini sudah bersifat kolektif atau -- menurut istilah lain -- berjamaah.

Justru itu, resistensi atau perlawanan terhadap gerakan pemberantasan korupsi pun niscaya sungguh tak bisa dipandang remeh. Mereka yang terlibat korupsi tentu berupaya saling melindungi dan saling menyelamatkan. Solidaritas ini, pada gilirannya, jelas membuat perlawanan terhadap gerakan pemberantasan korupsi menjadi demikian sengit.

Perlawanan tersebut bahkan menjadi arus yang dahsyat dan rumit ketika kekuasaan (power) di birokrasi pemerintahan ikut dimanfaatkan. Itu pula yang melahirkan kenyataan bahwa sejauh ini relatif sedikit koruptor yang terjamah hukum. Bahkan mereka yang sudah tersentuh proses hukum pun terbukti bisa melenggang bebas dengan status bersih. Padahal korupsi di negeri kita sudah demikian merajalela.

Lalu, haruskah kita pesimis terhadap gerakan pemberantasan korupsi yang kini digencarkan pemerintahan Presiden Yudhoyono? Tidak! Gerakan pemberantasan korupsi tak boleh sampai layu di tengah jalan. Segala macam resistensi dan perlawanan justru harus membuat gerakan pemberantasan korupsi ini semakin bergelora.

Untuk itu, jelas, dibutuhkan prasyarat. Pimpinan nasional, dalam konteks ini, dituntut bersikap konsisten dan konsekuen terhadap gerakan pemberantasan korupsi ini. Segala peluang yang bisa membuat gerakan itu melemah harus ditepis sejak dini. Ironi pemerintahan Presiden Soeharto sungguh harus dijadikan pelajaran: bahwa gerakan antikorupsi akhirnya hanya menjadi mimpi karena pimpinan nasional justru terjebak oleh konflik kepentingan.

Jadi, sikap konsisten dan konsekuen dalam gerakan pemberantasan korupsi harus terus dijaga dan dipelihara. Setitik pun sikap tersebut tidak boleh pudar atau melempem. Dengan demikian, kita yakin bahwa gerakan pemberantasan korupsi bisa terus bergulir bak bola salju.

Dengan itu pula, solidaritas di kalangan koruptor niscaya bisa dibuat pudar. Bahkan keseriusan dan konsistensi gerakan pemberantasan korupsi ini bisa diharapkan melahirkan efek domino. Tengok saja pengungkapan kasus korupsi di tubuh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK): sikap gigih dan lugas penyidik membuat para tersangka justru saling membeberkan keculasan mereka dalam menangguk uang haram.***
Jakarta, 8 Juni 2005

04 Juni 2005

Kesepakatan RI-Jepang

Lawatan Presiden Yudhoyono ke Jepang punya makna tersendiri: bisa diharapkan mendorong peningkatan kegiatan ekonomi kedua negara. Ini terutama karena lawatan tersebut membuat kedua negara berhasil menyepakati langkah ke arah pembentukan Economic Partnership Agreement (EPA). Bahkan negosiasi tentang itu sudah pula disepakati: paling lambat mulai Juli 2005.

Bagi kita, EPA sungguh menjanjikan. Kita tahu, Jepang adalah salah satu raksasa ekonomi dunia. Justru itu, lewat EPA, kegiatan ekonomi nasional dimungkinkan terkatrol bergulir lebih kencang seiring dinamika ekonomi Jepang. Namun di lain pihak, tentu, Jepang sendiri memetik manfaat ekonomi tidak kecil pula dari kita.

Menurut hasil studi Indonesia-Jepang, kerja sama ekonomi akan menguntungkan kedua negara. Arus perdagangan barang dan jasa, tenaga kerja, juga aliran modal di antara kedua negara bisa mengalir deras.

Selama ini, memang, Jepang sudah merupakan mitra utama kita dalam perdagangan dan investasi. Bahkan dalam bidang investasi, Jepang termasuk lima besar. Karena itu pula, tingkat kemajuan ekonomi kita saat ini sedikit banyak terkait dengan peran Jepang secara tidak langsung.

Namun, dalam beberapa tahun belakangan ini, perkembangan hubungan ekonomi kedua negara mulai sedikit berubah. Seiring perkembangan situasi dan kondisi regional -- di samping karena pergeseran iklim investasi di dalam negeri sendiri -- Jepang tak lagi menempatkan Indonesia sebagai fokus utama dalam mengembangkan kemitraan di bidang ekonomi. Jepang kini sudah mulai berpaling ke negara-negara tetangga, seperti Cina atau Vietnam.

Itu tidak hanya dalam konteks investasi baru. Bahkan sebagian investasi Jepang yang sudah lama mapan di Indonesia pun diboyong pindah atau direlokasi ke negara lain. Sony Corp, misalnya, beberapa tahun lalu memindahkan salah satu pabrik produk mereka di Indonesia ke negara tetangga. Belakangan sejumlah industri lain mengambil langkah serupa. Terakhir, giliran pihak Mitsubishi mengumumkan keputusan mereka memindahkan pabrik kendaraan keluarga ke negeri jiran.

Kenyataan itu memang tidak spesifik ditunjukkan kalangan investor Jepang. Tapi karena selama ini Jepang merupakan mitra utama ekonomi Indonesia, perkembangan tadi sungguh mencemaskan. Jika pergeseran orientasi Jepang dalam konteks investasi dan perdagangan ini terus berlangsung, dampaknya terhadap ekonomi nasional jelas bisa amat signifikan. Yang sudah pasti saja, lapangan kerja di dalam negeri niscaya jadi menyempit. Itu, pada gilirannya, membuat masalah pengangguran bisa menjadi bom waktu.

Karena itu, sekali lagi, kesepakatan Indonesia-Jepang memulai langkah ke arah pembentukan EPA sungguh menjanjikan. Kelak, melalui EPA, hubungan ekonomi kedua negara bisa kembali istimewa seperti selama tiga dasawarsa lalu. Bahkan, bila menilik ruang lingkup EPA yang menyentuh aspek-aspek strategis -- notabene merupakan titik-titik lemah kita selama ini, semisal kebijakan persaingan -- hubungan tersebut mungkin bisa lebih istimewa lagi: mengondisikan ekonomi nasional turut menjadi pemain aktif dalam kancah globalisasi.

Tapi, tampaknya, implementasi EPA sendiri kelak tak serta-merta bergulir mulus. Paling tidak, kalangan pemilik modal di Jepang masih harus yakin dulu bahwa iklim investasi di Indonesia sudah benar-benar kondusif -- termasuk soal keamanan. Bahkan jika setelah di Tentena (Sulteng) ternyata teror bom masih terus berledakan, EPA niscaya tak punya makna sama sekali.***
Jakarta, 4 Juni 2005

01 Juni 2005

Kenaikan Harga Rokok

Harga rokok semakin mahal. Mulai 1 Juli 2005, pemerintah resmi menaikkan harga eceran rokok sebesar 20 persen. Jelas itu kenaikan yang terbilang signifikan -- dan karena itu kalangan industri rokok pun sempat menyatakan keberatan terhadap kebijakan pemerintah menaikkan harga rokok ini.

Tapi kita ragu bahwa kenaikan harga eceran rokok serta-merta akan menurunkan permintaan atas komoditas tersebut. Pengalaman selama ini gamblang menunjukkan, kenaikan harga tidak berbanding lurus dengan tingkat konsumsi rokok.

Kalangan perokok nyaris tak peduli terhadap kenaikan harga rokok. Meski semakin mahal dibanding sebelumnya, mereka tetap saja mengonsumsi rokok. Kalaupun kenaikan harga menurunkan permintaan, itu biasanya hanya berlangsung beberapa saat.

Karena itu, kenaikan harga rokok kali ini tak bakal membuat industri rokok bertumbangan. Mereka juga kemungkinan tak akan dibuat terpaksa melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal sebagaimana mereka asumsikan. Percayalah, industri rokok beserta segala komponennya akan tetap baik-baik saja.

Dari sisi pemerintah, kenaikan harga rokok ini juga lagi-lagi menjadi berkah amat berarti: penerimaan negara, khususnya cukai, niscaya meningkat signifikan. Dalam konteks ini, pemerintah jelas tak perlu terlampau risau atau pusing untuk mengejar target penerimaan cukai. Bahkan meski target penerimaan cukai ini meningkat signifikan -- dari semula Rp 28,9 triliun pada APBN 2005 menjadi Rp 31,4 triliun pada APBN Perubahan (APBNP) 2005, pemerintah boleh tetap optimistis.

Tapi justru itu, niat pemerintah menjadikan kenaikan harga rokok kali ini sekaligus sebagai upaya memenuhi konvensi tentang pengendalian konsumsi rokok internasional (Framework Convention on Tobacco Control/FCTC) tampaknya tak banyak bermakna. Bahkan kita menangkap kesan bahwa niat itu sekadar basa-basi: mungkin agar pemerintah terlihat cukup responsif terhadap gerakan antirokok yang kian gencar disuarakan dunia internasional sekarang ini.

Kesan itu gamblang terlihat Selasa kemarin yang resmi merupakan Hari Tanpa Tembakau Sedunia. Pemerintah -- juga berbagai komponen masyarakat -- nyaris tak menunjukkan kegiatan konkret guna mengisi Hari Tanpa Tembakau Dunia ini. Bukankah itu bukti tak terbantahkan bahwa komitmen pemerintah terhadap gerakan antirokok memang baru sekadar basa-basi?

Bukti lain, pemerintah belum juga menunjukkan gelagat segera meratifikasi FCTC. Tentang itu, Menkeu Jusuf Anwar tempo hari menyiratkan sikap enggan pemerintah -- karena tidak siap kehilangan penerimaan cukai rokok!

Memang, sebagai alternatif penerimaan pemerintah, cukai rokok adalah tambang yang tak pernah kering. Karena itu, bagi pemerintah, penerimaan cukai terlampau berharga jika harus hilang begitu saja hanya karena meratifikasi konvensi FCTC.

Namun, bagi kita sendiri, nilai kerugian yang ditanggung masyarakat akibat konsumsi rokok di negeri kita yang praktis tanpa kendali itu jauh lebih besar dibanding rata-rata penerimaan cukai yang masuk ke kas negara. Menurut survei kesehatan rumah tangga, pada tahun 2002 saja 73 persen penduduk Indonesia atau sekitar 141 juta orang merupakan perokok aktif. Lalu rata-rata 57.000 orang per tahun meninggal karena penyakit yang disebabkan asap rokok, seperti jantung, paru-paru, kanker mulut, kanker tenggorok, juga stroke.

Jadi, haruskah kesehatan masyarakat tergadai oleh penerimaan cukai?***
Jakarta, 1 Juni 2005