Moratorium
rekrutmen pegawai negeri di negara kita memang sudah menjadi kebutuhan
mendesak, sehingga beralasan dilakukan. Jika moratorium tidak cepat-cepat
dilakukan, penerimaan pegawai negeri niscaya makin tak terkendali. Jumlah
pegawai terus bertambah tanpa selalu bertaut dengan kebutuhan maupun kemampuan
anggaran.
Data menunjukkan, dalam sewindu terakhir
jumlah pegawai birokrasi kita bertambah sangat signifikan -- sekitar sejuta
orang -- menjadi 4,7 juta orang. Memang, dengan angka itu proporsi jumlah
pegawai birokrasi kita dibanding total penduduk Indonesia sekarang ini masih
tergolong moderat. Artinya, rasio jumlah tenaga birokrasi ini terhadap populasi
penduduk masih dalam batas kewajaran alias belum berlebihan.
Namun dalam konteks anggaran negara, jumlah pegawai negeri ini sudah tak
proporsional lagi. Itu gamblang tecermin dalam pembelanjaan negara. Sekarang
ini, sekitar 60 persen anggaran negara praktis tersedot untuk membiayai
pegawai.
Jadi, dalam perspektif anggaran, birokrasi
pemerintahan kita sudah kelewat gemuk serta tidak efisien dan tak efektif alias
mandul -- karena proses rekrutmen tidak selalu berbasis kebutuhan dan
kompetensi. Dalam sejumlah kasus, rekutmen pegawai negeri ini sekadar menjadi
ajang pengangkatan orang dalam rangka KKN. Juga menjadi praktik balas budi
kepala daerah terhadap mereka yang telah berjasa sebagai tim sukses di ajang
pilkada.
Dalam kondisi anggaran negara yang lebih
banyak tersedot untuk mengongkosi pegawai ini, belanja untuk keperluan
pembangunan justru semakin ciut. Artinya, kita sudah terjerumus menjadi bangsa
yang hanya mampu menghabiskan anggaran untuk keperluan membiayai
nonpembangunan.
Implikasinya, tentu, kegiatan pembangunan
cenderung tersendat dan kedodoran dalam menjawab kebutuhan. Kalangan investor,
misalnya, selama beberapa tahun ini mengeluhkan keterbatasan infrastruktur
vital, seperti jalan raya, jembatan, atau pelabuhan. Tapi pemerintah seolah tak
mampu berbuat banyak untuk merespons keluhan itu karena kekurangan anggaran.
Karena itu, roda ekonomi nasional pun
selama ini lebih banyak digerakkan oleh sektor finansial ketimbang oleh sektor
riil. Padahal, kegiatan sektor finansial tidak langsung menyentuh degup
kehidupan ekonomi di lapangan. Kegiatan sektor finansial sekadar menapak dalam
portofolio alias cuma dalam angka-angka.
Lantaran itu pula, pengangguran dan
kemiskinan di negeri kita tetap menjadi masalah yang memprihatinkan. Artinya,
rakyat kebanyakan nyaris tak bisa menikmati perbaikan kesejahteraan yang
notabene justru menjadi cita-cita dan tujuan kemerdekaan negeri kita dari
belenggu penjajahan. Kesejahteraan rakyat menguap menjadi impian karena negara
makin tak berdaya mengongkosi keperluan untuk itu.
Oleh sebab itu, langkah pemerintah
melakukan moratorium penerimaan pegawai negeri mulai awal September 2011
sungguh patut kita dukung. Namun hendaknya langkah tersebut bukan sekadar
bermakna menghentikan penerimaan pegawai baru untuk sementara (sampai akhir
2012), melainkan juga menjadi ajang penataan mendasar kepegawaian kita dalam
rangka mewujudkan birokrasi pemerintahan yang sehat, efektif, dan efisien.
Untuk itu, perlu dilakukan pemetaan
mengenai kebutuhan akan pegawai birokrasi kita dengan berbasis pada faktor
kewilayahan dan kompetensi. Dalam konteks ini, proses perekrutan dilakukan
terpusat sehingga daerah-daerah tak lagi bisa seenak udel mengangkat pegawai.
Di sisi lain, karena proses rekrutmen juga berbasis kompetensi, paradigma the
right man on the right place dalam birokrasi kita bisa diwujudkan.***
Jakarta, 19
Agustus 2011