19 Agustus 2011

Birokrasi Mandul


Moratorium rekrutmen pegawai negeri di negara kita memang sudah menjadi kebutuhan mendesak, sehingga beralasan dilakukan. Jika moratorium tidak cepat-cepat dilakukan, penerimaan pegawai negeri niscaya makin tak terkendali. Jumlah pegawai terus bertambah tanpa selalu bertaut dengan kebutuhan maupun kemampuan anggaran.
      
Data menunjukkan, dalam sewindu terakhir jumlah pegawai birokrasi kita bertambah sangat signifikan -- sekitar sejuta orang -- menjadi 4,7 juta orang. Memang, dengan angka itu proporsi jumlah pegawai birokrasi kita dibanding total penduduk Indonesia sekarang ini masih tergolong moderat. Artinya, rasio jumlah tenaga birokrasi ini terhadap populasi penduduk masih dalam batas kewajaran alias belum berlebihan.
      
Namun dalam konteks anggaran negara, jumlah pegawai negeri ini sudah tak proporsional lagi. Itu gamblang tecermin dalam pembelanjaan negara. Sekarang ini, sekitar 60 persen anggaran negara praktis tersedot untuk membiayai pegawai.
      
Jadi, dalam perspektif anggaran, birokrasi pemerintahan kita sudah kelewat gemuk serta tidak efisien dan tak efektif alias mandul -- karena proses rekrutmen tidak selalu berbasis kebutuhan dan kompetensi. Dalam sejumlah kasus, rekutmen pegawai negeri ini sekadar menjadi ajang pengangkatan orang dalam rangka KKN. Juga menjadi praktik balas budi kepala daerah terhadap mereka yang telah berjasa sebagai tim sukses di ajang pilkada.
      
Dalam kondisi anggaran negara yang lebih banyak tersedot untuk mengongkosi pegawai ini, belanja untuk keperluan pembangunan justru semakin ciut. Artinya, kita sudah terjerumus menjadi bangsa yang hanya mampu menghabiskan anggaran untuk keperluan membiayai nonpembangunan.
      
Implikasinya, tentu, kegiatan pembangunan cenderung tersendat dan kedodoran dalam menjawab kebutuhan. Kalangan investor, misalnya, selama beberapa tahun ini mengeluhkan keterbatasan infrastruktur vital, seperti jalan raya, jembatan, atau pelabuhan. Tapi pemerintah seolah tak mampu berbuat banyak untuk merespons keluhan itu karena kekurangan anggaran.
      
Karena itu, roda ekonomi nasional pun selama ini lebih banyak digerakkan oleh sektor finansial ketimbang oleh sektor riil. Padahal, kegiatan sektor finansial tidak langsung menyentuh degup kehidupan ekonomi di lapangan. Kegiatan sektor finansial sekadar menapak dalam portofolio alias cuma dalam angka-angka.
      
Lantaran itu pula, pengangguran dan kemiskinan di negeri kita tetap menjadi masalah yang memprihatinkan. Artinya, rakyat kebanyakan nyaris tak bisa menikmati perbaikan kesejahteraan yang notabene justru menjadi cita-cita dan tujuan kemerdekaan negeri kita dari belenggu penjajahan. Kesejahteraan rakyat menguap menjadi impian karena negara makin tak berdaya mengongkosi keperluan untuk itu.
      
Oleh sebab itu, langkah pemerintah melakukan moratorium penerimaan pegawai negeri mulai awal September 2011 sungguh patut kita dukung. Namun hendaknya langkah tersebut bukan sekadar bermakna menghentikan penerimaan pegawai baru untuk sementara (sampai akhir 2012), melainkan juga menjadi ajang penataan mendasar kepegawaian kita dalam rangka mewujudkan birokrasi pemerintahan yang sehat, efektif, dan efisien.
      
Untuk itu, perlu dilakukan pemetaan mengenai kebutuhan akan pegawai birokrasi kita dengan berbasis pada faktor kewilayahan dan kompetensi. Dalam konteks ini, proses perekrutan dilakukan terpusat sehingga daerah-daerah tak lagi bisa seenak udel mengangkat pegawai. Di sisi lain, karena proses rekrutmen juga berbasis kompetensi, paradigma the right man on the right place dalam birokrasi kita bisa diwujudkan.***

Jakarta, 19 Agustus 2011

05 Agustus 2011

Jangan Omdo


Langkah sigap ditunjukkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), kemarin. Merespons perkembangan ekonomi dunia yang menunjukkan gelagat mengkhawatirkan, Presiden mendadak menggelar rapat koordinasi terbatas bidang perekonomian
yang diikuti sejumlah menteri terkait, termasuk Gubernur Bank Indonesia dan Ketua Komite Ekonomi Nasional.
      
Kita patut mengapresiasi sikap tanggap Presiden dalam menghadapi gelagat memburuknya ekonomi dunia ini. Sikap antisipatif memang perlu karena perkembangan ekonomi dunia yang memburuk itu sangat mungkin mengimbas terhadap ekonomi nasional. Dengan menyiapkan langkah-langkah koordinasi antarinstansi, ekonomi nasional bisa diharapkan tidak ikut-ikutan memburuk. Kalaupun terimbas, dampak yang kemudian lahir masih mungkin tidak terlalu buruk.
      
Jadi, langkah Presiden mendadak menggelar rapat yang khusus membahas koordinasi untuk mengantisipasi krisis ekonomi dunia ini membuat kita tak beralasan cemas atau apalagi panik. Kalangan pemain pasar, dalam konteks ini, barangkali bisa dibuat lega. Mereka tak perlu terus bersikap paranoid seperti kemarin sebagaimana tecermin dalam anjloknya indeks harga saham di Bursa Efek Indonesia.
      
Secara fundamental ekonomi, kita juga tak cukup beralasan mencemaskan kemungkinan ekonomi nasional tersungkur oleh imbas krisis global. Cadangan devisa, misalnya, jelas mantap: bernilai 122 miliar dolar AS. Dengan posisi cadangan devisa serupa itu, tak masuk akal kalau arus uang dan modal di pasar keuangan kita seketika berbalik mengalir deras ke luar. Dengan itu pula, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS juga bisa diharapkan tetap konsisten terjaga baik di level menggairahkan bagi kehidupan ekonomi.
      
Secara taktis-strategis, kita juga sudah memiliki protokol manajemen krisis. Dengan itu, kita tak perlu sampai
termehek-mehek manakala ekonomi nasional mengalami guncangan hebat, termasuk didera krisis global. Terlebih lagi secara psikologis kita juga memiliki pengalaman bagus dalam mengatasi imbas krisis ekonomi global ini.
      
Pengalaman itu tertorehkan tiga tahun lalu ketika krisis ekonomi AS menjadi gelombang tsunami yang menerjang ekonomi banyak negara, termasuk negara kita. Tapi ketika itu kita berhasil meminimalisasi imbas krisis itu sehingga tsunami krisis AS relatif tak membuat ekonomi kita ikut-ikutan porak-poranda.
      
Tetapi, memang, perkembangan ekonomi dunia sendiri sekarang ini terasa membuat riskan -- karena bukannya menunjukkan gejala menuju pemulihan, melainkan malah cenderung kian memburuk. Akibat krisis utang berkepanjangan yang melanda sejumlah negara di belahan Eropa, juga kondisi ekonomi AS yang menampakkan tanda-tanda di tubir krisis, kemarin sejumlah pusat keuangan dunia pun berguncang hebat. Indeks harga saham di bursa global maupun regional, termasuk bursa lokal kita sendiri, rontok secara signifikan.
      
Tentu, kita berharap gejolak di pasar keuangan dunia itu sekadar gejala sementara atau bahkan sesaat. Terutama di pasar keuangan kita sendiri, mudah-mudahan gejolak itu mereda. Itu tadi, karena dari sejumlah sisi kita tak beralasan bersikap risau atau apalagi panik -- kecuali fungsi koordinasi yang kemarin disiagakan Presiden lewat forum rapat terbatas ternyata tidak jalan!
      
Itu patut digarisbawahi karena soal kesungguhan melaksanakan fungsi-fungsi manajemen merupakan salah satu simpul kelemahan pemerintahan Presiden SBY sekarang ini. Buktinya: bahkan sebagian besar instruksi Presiden tentang program-program pembangunan pun sekadar menjadi omongan doang alias omdo karena tak dilaksanakan menteri-menteri terkait!***

Jakarta, 5 Agustus 2011