25 Februari 2009

Antikorupsi

Deklarasi Sekadar Kosmetik?

Seluruh parpol peserta Pemilu 2009 kemarin mendeklarasikan gerakan antikorupsi. Dalam konteks itu, mereka menandatangani piagam berisi komitmen untuk tidak melakukan tindak korupsi sekaligus mengambil bagian dalam berbagai gerakan pemberantasan korupsi.

Deklarasi itu sungguh gagah berani. Gagah, karena deklarasi antikorupsi ini justru dilakukan oleh mereka yang selama ini terkesan kental dengan perilaku koruptif. Deklarasi itu juga terkesan berani karena bagi jajaran parpol, komitmen ambil bagian dalam gerakan antikorupsi jelas amat tidak mudah. Komitmen tersebut sungguh menuntut perubahan sikap mental secara mendasar. Menuntut kesadaran dan kerelaan membuang tabiat mencari ataupun memanfaatkan berbagai peluang korupsi yang bisa begitu mudah mereka peroleh.

Suka ataupun tidak, selama ini publik telanjur menilai parpol begitu lengket dengan tindak korupsi. Tentu itu bukan tanpa alasan. Paling tidak, karena sejumlah kasus demikian terang-benderang menunjukkan bahwa banyak politisi dihukum penjara karena terbukti melakukan korupsi. Bahkan seperti di Sumbar, seluruh anggota DPRD periode yang lalu digiring ke meja hijau dan divonis bersalah karena terbukti berjamaah mengorupsi dana APBD.

Sementara itu, survei lembaga Transparansi Internasional Indonesia dalam beberapa tahun terakhir selalu menempatkan parpol sebagai salah satu institusi paling korup di negeri kita. Ini tentu menambah kuat kesan maupun penilaian publik bahwa kecenderungan korupsi di kalangan parpol atau politisi kita sudah mendarah-daging.

Kehidupan parpol-parpol di negeri kita selama ini memang tidak sehat. Parpol cenderung diperlakukan sekadar sebagai wadah untuk memperoleh kekuasaan an sich. Parpol bukan terutama dijadikan sebagai alat untuk memperjuangkan kepentingan publik. Karena itu, seolah membenarkan premis Lord Acton -- bahwa kekuasaan cenderung korup -- parpol begitu mudah tergoda menyalahgunakan kekuasan politik di tangan mereka. Parpol begitu gampang dan tega memanipulasi penyelewengan, kongkalingkong, praktik dagang sapi, dan lain-lain sebagai tindakan atas nama rakyat dan prorakyat.

Karena itu, publik cenderung apriori terhadap parpol. Ini tentu mencemaskan karena berdampak tidak sehat terhadap kehidupan demokrasi. Apriori publik terhadap parpol amat tidak sehat karena bisa melahirkan gejala golput dalam pemilu nanti. Sedemikian kentalnya apriori publik terhadap parpol ini, sampai-sampai beberapa survei menyimpulkan bahwa angka golput dalam Pemilu 2009 bisa mencapai 20 hingga 30 persen jumlah pemilih. Ini gawat karena hasil pemilu pun menjadi kurang legitimate. Kenyataan tersebut, tentu pula, punya konsekuensi tersendiri. Konsekuensi itu tak bisa dipandang remeh karena amat merugikan kehidupan kita dalam bermasyarakat dan bernegara.

Namun justru itu, deklarasi partai-partai peserta pemilu menyangkut gerakan antikorupsi ini patut diapresiasi. Sebagai sebuah keinginan dan tekad, bagaimanapun deklarasi itu menjanjikan perbaikan. Intinya, parpol bisa diharapkan tidak lagi kental dengan tabiat koruptif.

Tetapi itu bukan tanpa prasyarat etis. Masing-masing parpol tidak boleh main-main dengan komitmen mereka untuk ambil bagian dalam gerakan antikorupsi. Komitmen itu tidak boleh sekadar merupakan obral janji atau basa-basi dalam rangka menarik simpati masyarakat pemilih agar berpartisipasi dalam pemilu nanti.

Untuk itu, tiap parpol dituntut konsekuen menegakkan nilai-nilai antikorupsi di lingkungan internal masing-masing. Nilai-nilai itu harus ditanamkan ke dalam diri tiap anggota parpol menjadi sebuah prinsip. Untuk itu, perilaku antikorupsi di internal parpol mesti benar-benar terukur agar mudah dicek dan dipertangtungjawabkan. Jika tidak, deklarasi antikorupsi ini niscaya sekadar menjadi kosmetik parpol menjelang pemilu.***

Jakarta, 25 Februari 2009

15 Februari 2009

Dialog Politik

Kuda Tunggangan Politisi
Pertemuan kalangan pengusaha dan parpol-parpol, yang digelar di Jakarta selama tiga hari terakhir, penting dan strategis. Penting, karena pertemuan itu menjadi wahana saling mendengarkan. Kalangan pengusaha bisa mendengarkan visi dan misi masing-masing parpol menyangkut kebijakan-kebijakan ekonomi ke depan ini. Di lain pihak, jajaran parpol juga bisa menyimak berbagai keluh-kesah, harapan, juga keinginan dan tuntutan dunia usaha mengenai pembangunan ekonomi nasional.

Karena itu pula, pertemuan itu menjadi strategis. Bukan hanya karena pertemuan tersebut digelar menjelang pemilu, melainkan terutama lantaran parpol-parpol terkondisi tak bisa sembarangan obral janji. Karena secara tersirat pertemuan itu dilangsungkan dalam semangat yang menyerupai uji kepantasan dan kepatutan tiap parpol sebagai kontestan pemilu, maka suka tak suka masing-masing parpol harus berani memberi obligasi moral berupa komitmen: bahwa mereka akan sungguh-sungguh memperjuangkan kepentingan dunia usaha nasional.

Komitmen itu, bagi dunia usaha, amat penting. Dunia usaha tidak cukup bisa terbuai oleh janji-janji, sekalipun itu semua dibungkus dengan sebutan keren: "visi dan misi" parpol. Apa boleh buat, karena sudah sering terbukti bahwa janji-janji parpol hanya pepesan kosong. Janji-janji parpol sering terbukti sekadar merupakan "kecap nomor satu" yang khusus dijajakan menjelang pemilu.

Jadi, bagi dunia usaha, komitmen parpol mengenai pembangunan ekonomi nasional sungguh mutlak. Komitmen itu membuat dunia usaha bisa lebih memiliki pegangan: bahwa parpol tidak akan main-main dengan segala visi dan misi mereka. Bahwa visi dan misi itu adalah pedoman dunia usaha dalam mengayuh aktivitas sehari-hari.

Selama ini, pengusaha cenderung diperlakukan sekadar sebagai kuda tunggangan atau bahkan sapi perahan kaum politisi. Sebagai kuda tunggangan, dunia usaha hanya diperlakukan penting saat menjelang pemilu. Untuk memenangi persaingan di arena pemilu, politikus memperlakukan dunia usaha sebagai sumber pendanaan. Tetapi setelah pemilu, dunia usaha praktis ditinggal dan dilupakan.

Kalaupun hubungan kedua belah pihak terjalin kembali, itu lebih bersifat perselingkuhan berbagai transaksional serta mengondisikan pengusaha sebagai sapi perahan. Dalam konteks ini, kaum politisi memperjuangkan kepentingan pengusaha bukan sebagai obligasi moral mereka sesuai janji-janji saat pemilu, melainkan lebih sebagai kesepakatan transaksional. Barangkali karena itu pula, hubungan-hubungan yang terjalin acap tidak transparan. Transaksi kedua belah pihak berlangsung di bawah tangan. Itu pula yang kemudian melahirkan penyakit berbahaya yang bernama kolusi, korupsi, dan nepotisme.

Kita tahu, pola hubungan seperti itu amat destruktif. Dunia usaha yang seolah bisa membeli kaum politisi membuat hajat ekonomi tidak bisa dikmati secara luas. Kue ekonomi praktis hanya dinikmati mereka yang memiliki akses khusus terhadap dunia politik.

Di sisi lain, kaum politisi yang memperlakukan pengusaha sebagai sapi perahan juga mengakibatkan politik bukan lagi sebagai wahana untuk memperjuangkan kepentingan bersama dalam pengertian luas. Kegiatan politik menjadi amat sempit: semata transaksi-transaksi konsesi ekonomi yang serba tertutup dan hanya menguntungkan kelompok kecil tertentu.

Seharusnya kaum pengusaha dan politisi bersinergi. Masing-masing berperan saling mengisi atau saling melengkapi. Kaum pengusaha bertindak sebagai pelaku kegiatan ekonomi yang berdampak memberi manfaat nyata dan luas terhadap kehidupan nasional. Sementara politisi bertindak sebagai aktor yang gigih merumuskan serta memperjuangkan kebijakan-kebijakan strategis yang berdampak membuat kehidupan ekonomi berlangsung produktif, sehat, dan adil.

Pertemuan kalangan pengusaha dan sejumlah parpol dalam tiga hari terakhir barangkali bisa diharapkan melahirkan paradigma itu. Paling tidak, pertemuan itu sendiri bisa dipandang sebagai wujud keinginan masing-masing pihak untuk menuju ke arah itu.***

Jakarta, 15 Februari 2009