30 Mei 2012

Hemat Energi, Seriuskah?


Niat baik pemerintah mengantisipasi krisis bahan bakar minyak (BBM) lewat gerakan hemat energi yang diumumkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Selasa malam lalu, patut diapresiasi. Secara konseptual, gerakan tersebut juga positif karena memberi arah yang jelas tentang langkah-langkah penghematan energi. Lewat lima program yang dicanangkan, pemerintah menempatkan penghematan energi sebagai kebutuhan untuk menghindarkan krisis BBM. Juga untuk menyehatkan anggaran negara.

Meski begitu, menjadi pertanyaan besar: apakah gerakan hemat energi ini bakal membuahkan hasil sesuai harapan? Jangan-jangan gerakan tersebut tak benar-benar terlaksana karena pemerintah sendiri tak serius.

Pertanyaan sinis seperti itu tidak mengada-ada. Kenyataan selama ini membuktikan bahwa pemerintah memang cenderung tak sungguh-sungguh dalam melaksanakan program-program kerja. Bukankah Presiden sendiri pernah berkeluh-kesah: betapa banyak instruksi yang dia buat cenderung tak dihiraukan para menteri? Betapa program pemerintah lebih banyak tersimpan di laci para pejabat?

Gerakan dan program hemat energi sendiri sebenarnya bukan barang baru. Sejak tampil memerintah pada tahun 2004, Presiden sudah mengeluarkan beberapa inpres tentang gerakan hemat energi ini. Sebut saja inpres tentang pengendalian suhu mesin pendingin ruangan di kantor-kantor pemerintah yang diluncurkan pada tahun 2005 silam. Tetapi karena tidak dilaksanakan secara serius dan konsisten, inpres tersebut tak menghasilkan apa-apa. Program pengendalian suhu ruangan hanya berlangsung beberapa saat. Seiring perjalanan waktu, program tersebut lambat-laun menguap begitu saja.

Kini, di tengah gejolak harga minyak dunia yang berkepenjangan, pemerintah kembali mencanangkan gerakan hemat energi. Becermin kepada pengalaman, wajar jika sinisme pun serta-merta muncul: jangan-jangan gerakan tersebut akan kandas pula. Terlebih, secara teknis, pelaksanaan lima program dalam rangka gerakan hemat energi yang baru diluncurkan Presiden ini amat tidak mudah. Program penghematan listrik dan air di kantor-kantor pemerintah, misalnya, menuntut segenap pejabat dan pegawai benar-benar melaksanakannya.

Nah, kesadaran tersebut jelas tak cukup sekadar diharapkan tumbuh begitu saja. Dibutuhkan mekanisme tertentu yang membuat semua pegawai pemerintah -- sejak level pimpinan hingga office boy -- memperlakukan program itu sebagai kebutuhan. Adakah mekanisme itu?

Di sisi lain, gerakan hemat energi juga menuntut sistem pengawasan yang mampu menutup berbagai celah penyelewengan atau penyimpangan. Dengan sistem pengawasan yang ketat, kendaraan perusahaan pertambangan dan perkebunan, misalnya, benar-benar terkondisi tidak bisa berbuat lain kecuali menggunakan BBM nonsubsidi.

Nah, adakah sistem pengawasan yang ketat itu? Juga, apakah sistem tersebut sudah teruji kebal terhadap segala tindak main mata yang membuat program menjadi mandul?

Jawaban atas berbagai pertanyaan seperti itu berpulang kepada keseriusan dan ketegasan pemerintah sendiri -- terutama Presiden -- dalam melaksanakan program kerja. Jika keseriusan dan ketegasan itu tetap minim, gerakan hemat energi kali ini pun niscaya lagi-lagi menjadi sekadar pepesan kosong.***

Jakarta, 30 Mei 2012

25 Mei 2012

Pahitnya Buah Lokal


Pengetatan impor buah-buahan mestinya dilakukan sejak lama. Yaitu tatkala buah-buahan impor sudah begitu nyata membanjiri pasar dalam negeri, sehingga menjadi disinsentif terhadap produksi dan pemasaran buah-buahan lokal.

Idealnya, impor memacu daya saing buah-buahan lokal. Tapi apa yang selama ini terjadi, impor justru pelan-pelan menghancurkan agribisnis buah-buahan lokal. Buah-buahan dalam negeri bukan hanya menjadi sulit berkembang -- kuantitatif maupun kualitatif --, melainkan juga kehilangan pasar di negerinya sendiri.

Perlahan tapi pasti, buah-buahan lokal semakin tersisihkan produk impor. Konsumen makin lama makin tidak menyukai buah-buahan lokal. Konsumen lebih menggandrungi buah-buahan impor karena penampilan lebih menarik, rasa relatif lebih maknyus, dan terutama harga lebih murah.

Maka, setelah berjalan sekian lama, jeruk garut ataupun jeruk pontianak kini nyaris tinggal cerita. Apel malang juga tak kurang bernasib malang: kalah bersaing oleh apel impor eks China ataupun Amerika. Sedangkan aneka duren lokal, meski relatif tak kehilangan pasar, kalah pamor oleh duren monthong asal Thailand. Sementara itu, sederet buah-buahan lokal lain -- seperti manggis, jambu, atau kedondong -- praktis sudah tak punya tempat lagi dalam peta pasar buah-buahan dalam negeri.

Secara umum, buah-buahan impor memang sudah benar-benar menguasai pasar dalam negeri. Lapak-lapak di kakilima hingga gerai-gerai di supermarket sarat dipenuhi aneka buah impor. Buah-buahan lokal sendiri sekadar menjadi pemain penggembira di pinggiran kota.

Kenyataan itu menunjukkan pemerintah tak cukup punya kemauan baik dalam membangun agribisnis buah-buahan lokal. Pemerintah selama ini seolah tutup mata terhadap kenyataan betapa kebijakan impor yang super longgar sudah menghancurkan agribisnis buah-buahan di dalam negeri. Padahal jika ditangani secara serius, termasuk dukungan kebijakan yang bersifat memihak, buah-buahan lokal punya potensi besar menjadi agribisnis penuh daya saing.

Dengan keunggulan spesifik seperti dimiliki salak pondoh, nanas subang, ataupun mangga indramayu, Indonesia sejatinya bisa menjadi pemain garda depan dalam peta agribisnis buah-buahan. Persoalannya hanya bagaimana keunggulan-keunggulan spesifik itu diolah menjadi kekuatan lewat konsep agribisnis modern.

Kesadaran seperti itu kini mulai tumbuh. Pengetatan impor buah-buahan bisa diartikan sebagai koreksi terhadap kekeliruan pemerintah selama ini menyangkut pembangunan agribisnis buah-buahan di dalam negeri.

Tetapi koreksi itu tak cukup sekadar ditandai oleh pengetatan impor. Bagaimanapun kebijakan tersebut mutlak harus dibarengi rangkaian kebijakan lain yang bersifat terpadu sejak hulu hingga hilir, sehingga agribisnis buah-buahan di dalam negeri bisa tumbuh secara subur dan sehat.

Jadi, tanpa dibarengi langkah strategis ke arah pembangunan agribisnis yang sehat, pengetatan impor buah-buahan niscaya tak punya banyak arti. Konsumen, dalam konteks ini, menjadi kesulitan memperoleh buah-buahan yang berkualitas dan relatif murah. Sementara buah-buahan lokal sendiri tetap saja "pahit" -- bagi petani, pedagang, maupun konsumen.***

Jakarta, 25 Mei 2012

24 Mei 2012

Krisis BBM di Kalimantan


Krisis pasokan bahan bakar minyak (BBM) subsidi di Kalimantan tak boleh dipandang sebagai masalah sepele. Jika tak segera dicarikan solusi yang memuaskan masyarakat setempat, masalah tersebut bisa menggumpal menjadi bom waktu. Manakala meledak, bom tersebut bukan sekadar bisa merepotkan secara ekonomi. Bukan tidak mungkin, ledakan itu juga menumbuhkan bibit-bibit yang lambat-laun mengarah kepada disintegrasi.

Gejala ke arah itu bahkan kini sudah mulai terlihat. Gejala itu tecermin dalam bentuk ancaman para gubernur se-Kalimantan untuk menghentikan produksi hasil tambang di daerah masing-masing jika hingga akhir Mei ini pemerintah pusat tidak segera mengatasi krisis pasokan BBM subsidi di wilayah mereka. Dalam konteks ini, mereka menuntut penambahan kuota BBM subsidi. Mereka minta tambahan karena catu untuk wilayah mereka sekarang ini sudah tidak mencukupi lagi. Maklum, karena konsumsi terus meningkat secara signifikan.

Nah, kesepakatan para gubernur se-Kalimantan itu sungguh patut diwaspadai. Bahkan kesepakatan itu layak dipandang sebagai bibit "perlawanan" daerah terhadap pusat. Dengan menghentikan produksi hasil tambang, mereka niscaya bisa membuat pemerintah kerepotan. Repot, karena ekonomi nasional niscaya terganggu.  Bahkan, jika terus berlarut-larut, kekacauan ekonomi itu bisa berimbas terhadap kehidupan politik.

Sebagai penghasil utama komoditas tambang (batubara, minyak  bumi, gas alam), peran Kalimantan dalam kehidupan ekonomi nasional memang tak bisa dipandang enteng. Karena itu, sedikit saja "berulah", seperti ancaman yang menjadi kesepakatan para gubernur se-Kalimantan itu tadi, mereka niscaya tak kesulitan mengacaukan ekonomi nasional.

Oleh sebab itu, pemerintah pusat harus bisa memelihara suasana kondusif sehingga rakyat Kalimantan tidak sampai "berulah". Dalam konteks ini, mereka jangan sampai merasa mendapat perlakuan tidak adil. Becermin kepada sejarah masa-masa awal kemerdekaan, perasaan seperti itu bahkan bisa menumbuhkan perlawanan yang mengarah kepada disintegrasi NKRI.

Rakyat Kalimantan sendiri sekarang ini sedikit banyak mulai disusupi perasaan diperlakukan tidak adil. Ya, bagi mereka, krisis BBM subsidi yang berlarut-larut adalah ironi yang menumbuhkan parasaan itu. Sebagai daerah penghasil minyak bumi, mereka merasa tak seharusnya mengalami krisis BBM. Terlebih jika mengingat kontribusi wilayah mereka terhadap ekonomi nasional selama ini.

Walhasil, sekali lagi, pemerintah tak boleh memandang remeh krisis BBM di Kalimantan ini. Pemerintah harus menyadari betul bahwa kejengkelan atas krisis tersebut bisa membuncahkan ketidakpuyasan rakyat Kalimantan akibat merasa diperlakukan tidak adil.

Untuk itu, tuntutan rakyat Kalimantan sebagaimana direpresentasikan oleh kesepakatan para gubernur di wilayah itu patut diindahkan. Dalam konteks ini, pemerintah tidak boleh bersikap kaku. Tuntutan rakyat Kalimantan -- penambahan kuota BBM subsidi -- jangan diperlakukan semata dalam kodridor teknis ekonomi karena niscaya tak bakal melahirkan solusi yang mengakhiri krisis. Tuntutan itu juga harus dipandang dalam perspektif politis: menjaga keutuhan NKRI.***

Jakarta, 24 Mei 2012

10 Mei 2012

Hikmah Tragedi Sukhoi

Musibah jatuhnya pesawat Rusia Sukhoi Superjet 100 (SSJ-100) di kawasan Gunung Salak, Sukabumi, Jabar, adalah tragedi dunia penerbangan sekaligus tragedi kemanusiaan. Tragedi dunia penerbangan, karena musibah itu menambah panjang daftar kecelakaan pesawat dalam beberapa tahun terakhir -- terutama di dalam negeri.

Musibah itu juga tragedi kemanusiaan karena sekian banyak orang yang ikut dalam penerbangan pesawat itu -- termasuk pilot dan awak kabin -- menjadi korban tewas. Dengan latar belakang sosial masing-masing, kematian mereka tentu menorehkan duka mendalam. Tidak hanya bagi keluarga mereka, melainkan juga bagi khalayak luas. Semua bersimpati sekaligus berempati atas tragedi ini. 

Dalam suasana duka ini pula, semua pihak berharap agar penyelidikan mendalam dan tuntas mampu mengungkap penyebab musibah itu. Bukan untuk mencari siapa yang bersalah, melainkan terutama untuk mencari jawab atas pertanyaan yang sangat mengusik: kenapa bisa terjadi kecelakaan? Karena faktor tekniskah? Keteledorankah (human error), , entah awak pesawat ataupun petugas pengatur lalu lintas penerbangan di darat? Ataukah karena faktor-faktor lain?

Pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti itu harus bisa dijawab secara gamblang lewat langkah penyelidikan mendalam, teliti, dan objektif. Dengan demikian, langkah perbaikan bisa dilakukan sehingga kecelakaan serupa tidak terulang di kemudian hari. 

Hasil penyelidikan tak hanya penting bagi pihak Sukhoi sendiri selaku produsen pesawat, melainkan juga bagi dunia perbangan di dalam negeri. Pihak Sukhoi sangat berkepentingan karena kecelakaan SSJ-100 Rusia di Gunung Salak langsung maupun tidak langsung menganggu reputasi mereka di dunia penerbangan internasional. Karena itu pula bisa dipahami jika pihak Rusia langsung berkomitmen mengirim sejumlah petugas mereka untuk ikut bergabung dalam tim penyelidik Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) yang sudah mulai diterjunkan ke lapangan. 

Bagi dunia penerbangan di dalam negeri sendiri, hasil penyelidikan mengenai penyebab kecelakaan pesawat SSJ-100 Rusia ini juga tak kurang penting. Terutama jika kelak penyebab kecelakaan terbukti bukan faktor teknis pesawat, hasil penyelidikan itu bisa menjadi bahan masukan berharga ke arah penataan kembali dunia penerbangan nasional secara lebih mendasar.

Dunia penerbangan nasional memang perlu penataan dan pembenahan ulang. Diakui ataupun tidak, dunia penerbangan nasional masih dihanggapi banyak kelemahan. Itu paling gamblang tecermin dari relatif seringnya terjadi kecelakaan pesawat di dalam negeri selama beberapa tahun terakhir. 

Boleh jadi, langkah pembenahan selama ini sudah banyak dilakukan. Tetapi, tampaknya, pembenahan-pembenahan itu masih cenderung tambal-sulam alias tidak bersifat mendasar. Itu pula yang membuat potret dunia penerbangan nasional tetap buram -- terutama karena kecelakaan pesawat masih relatif sering terjadi. Kecelakaan pesawat SSJ-100 sendiri, suka ataupun tidak, niscaya ikut menambah buram potret itu.***


Jakarta, 9 Mei 2012

09 Mei 2012

Vonis 4 tahun 6 bulan penjara yang dijatuhkan terhadap terdakwa kasus penyuapan anggota DPR, Nunun Nurbaeti, kemarin, sungguh jauh dari harapan publik. Vonis tersebut, bagi publik, jauh memenuhi rasa keadilan -- mengingat peran sentral Nunun dalam kasus itu. Terlebih Nunun sempat tidak kooperatif terhadap upaya penegakan hukum. Lalu nilai korupsi dalam kasus itu sendiri tidak tergolong kelas ecek-ecek.

Karena itu, vonis terhadap Nunun ini lagi-lagi mengecewakan publik. Lagi-lagi, karena sebelum ini Pengadilan Tipikor juga menjatuhkan hukuman relatif ringan terhadap sejumlah terdakwa kasus korupsi kelas kakap. M Nazaruddin, aktor utama kasus korupsi proyek wisma atlet SEA Games 2011, misalnya, hanya dihukum 4 tahun 10 bulan penjara plus denda Rp 200 juta. Padahal peran Nazaruddin dalam proyek super kakap itu demikian sentral. 

Begitu pula vonis kurungan yang dijatuhkan terhadap Rosalina Manulang -- anak buah Nazaruddin di Grup Permai miliknya -- hanya dua tahun 6 bulan plus denda Rp 200 juta. Juga El Idris, Manajer Pemasaran PT Duta Graha Indah yang memberikan suap kepada Nazaruddin dan Sekretaris Menpora Wafid Muharam terkait proyek wisma atlet, hanya diganjar hukuman 2 tahun penjara plus denda Rp 200 juta. Wafid sendiri divonis penjara 3 tahun dan denda Rp 150 juta. Peran ketiga orang tersebut dalam perkara korupsi proyek wisma atlet ini juga 
bukan sekadar "figuran". 

Karena itu, vonis untuk Nunun makin meneguhkan kesan bahwa Pengadilan Tipikor Jakarta lembek dalam menghukum koruptor. 
Mereka seperti tak memiliki cukup keberanian untuk menjatuhkan hukuman seberat-beratnya. Vonis penjara yang rata-rata di bawah lima tahun, juga hukuman denda yang praktis alakadarnya dibanding nilai korupsi, bagaimanapun sulit diharapkan menimbulkan efek jera bagi pelaku korupsi. 

Jadi, wajar dan sah-sah saja jika publik dibuat kecewa oleh vonis-vonis ringan untuk koruptor ini. Publik kecewa karena sejak awal mereka sangat berharap koruptor diganjar hukuman seberat-beratnya. Bukan saja karena uang yang digasak membuat khalayak luas dirugikan, melainkan juga karena publik ingin korupsi bisa diberantas tuntas. Publik amat mendambakan korupsi tidak terus-terusan menjadi kanker yang merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. 

Hukum mestinya mencerminkan nurani masyarakat. Nurani itu sendiri adalah rasa keadilan. Jika rasa keadilan masyarakat tak terpenuhi atau bahkan terabaikan, berarti hukum bisa dibilang buta dan tuli. 

Jelas, hukum tak boleh buta dan tuli -- karena membuat masyarakat kehilangan pegangan dan pijakan. Hukum harus peduli terhadap nurani masyarakat. Nah, dalam perkara-perkara korupsi -- terlebih perkara korupsi yang membuat publik terguncang -- hukum harus bisa memenuhi rasa keadilan masyarakat, sekaligus menumbuhkan efek jera bagi pelaku tindak pidana korupsi. Itu berarti, tak bisa lain, koruptor harus divonis penjara seberat-beratnya dengan denda maksimal atau bahkan membuat mereka benar-benar jatuh miskin.***

Jakarta, 9 Mei 2012

Vonis untuk Koruptor


Vonis 4 tahun 6 bulan penjara yang dijatuhkan terhadap terdakwa kasus penyuapan anggota DPR, Nunun Nurbaeti, kemarin, sungguh jauh dari harapan publik. Vonis tersebut, bagi publik, jauh memenuhi rasa keadilan -- mengingat peran sentral Nunun dalam kasus itu. Terlebih Nunun sempat tidak kooperatif terhadap upaya penegakan hukum. Lalu nilai korupsi dalam kasus itu sendiri tidak tergolong kelas ecek-ecek.

Karena itu, vonis terhadap Nunun ini lagi-lagi mengecewakan publik. Lagi-lagi, karena sebelum ini Pengadilan Tipikor juga menjatuhkan hukuman relatif ringan terhadap sejumlah terdakwa kasus korupsi kelas kakap. M Nazaruddin, aktor utama kasus korupsi proyek wisma atlet SEA Games 2011, misalnya, hanya dihukum 4 tahun 10 bulan penjara plus denda Rp 200 juta. Padahal peran Nazaruddin dalam proyek super kakap itu demikian sentral.

Begitu pula vonis kurungan yang dijatuhkan terhadap Rosalina Manulang -- anak buah Nazaruddin di Grup Permai miliknya -- hanya dua tahun 6 bulan plus denda Rp 200 juta. Juga El Idris, Manajer Pemasaran PT Duta Graha Indah yang memberikan suap kepada Nazaruddin dan Sekretaris Menpora Wafid Muharam terkait proyek wisma atlet, hanya diganjar hukuman 2 tahun penjara plus denda Rp 200 juta. Wafid sendiri divonis penjara 3 tahun dan denda Rp 150 juta. Peran ketiga orang tersebut dalam perkara korupsi proyek wisma atlet ini juga
bukan sekadar "figuran".

Karena itu, vonis untuk Nunun makin meneguhkan kesan bahwa Pengadilan Tipikor Jakarta lembek dalam menghukum koruptor.
Mereka seperti tak memiliki cukup keberanian untuk menjatuhkan hukuman seberat-beratnya. Vonis penjara yang rata-rata di bawah lima tahun, juga hukuman denda yang praktis alakadarnya dibanding nilai korupsi, bagaimanapun sulit diharapkan menimbulkan efek jera bagi pelaku korupsi.

Jadi, wajar dan sah-sah saja jika publik dibuat kecewa oleh vonis-vonis ringan untuk koruptor ini. Publik kecewa karena sejak awal mereka sangat berharap koruptor diganjar hukuman seberat-beratnya. Bukan saja karena uang yang digasak membuat khalayak luas dirugikan, melainkan juga karena publik ingin korupsi bisa diberantas tuntas. Publik amat mendambakan korupsi tidak terus-terusan menjadi kanker yang merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Hukum mestinya mencerminkan nurani masyarakat. Nurani itu sendiri adalah rasa keadilan. Jika rasa keadilan masyarakat tak terpenuhi atau bahkan terabaikan, berarti hukum bisa dibilang buta dan tuli.

Jelas, hukum tak boleh buta dan tuli -- karena membuat masyarakat kehilangan pegangan dan pijakan. Hukum harus peduli terhadap nurani masyarakat. Nah, dalam perkara-perkara korupsi -- terlebih perkara korupsi yang membuat publik terguncang -- hukum harus bisa memenuhi rasa keadilan masyarakat, sekaligus menumbuhkan efek jera bagi pelaku tindak pidana korupsi. Itu berarti, tak bisa lain, koruptor harus divonis penjara seberat-beratnya dengan denda maksimal atau bahkan membuat mereka benar-benar jatuh miskin.***

Jakarta, 9 Mei 2012

08 Mei 2012

Moral di Balik Korupsi

Pernyataan Ketua DPR Marzuki Alie soal gudang koruptor memang konyol. Konyol, karena pernyataan tersebut sama sekali tidak berdasar. Pernyataan itu lebih merupakan sinyalemen ketimbang fakta terukur, sehingga sulit bisa dipertanggungjawabkan.

Juga konyol, bahkan gegabah, karena pernyataan itu dinisbahkan kepada beberapa institusi perguruan tinggi tertentu di dalam negeri. Lebih konyol lagi, pernyataan itu dilontarkan seorang Ketua DPR yang seharusnya menunjukkan kenegarawanan. Sebagai orang nomor tiga di Republik Indonesia ini, Marzuki sungguh tidak patut berkata-kata seperti itu. 

Menuding institusi tertentu sebagai gudang koruptor memang sama tidak tak beralasan atau bahkan ngaco. Terlebih institusi tersebut adalah perguruan tinggi. Mana mungkin perguruan tinggi mendidik orang menjadi koruptor! Bahwa relatif banyak alumnus perguruan tinggi terjerat kasus korupsi, itu tak serta-merta menjadi bukti bahwa perguruan tinggi mencetak koruptor. 

Namun, memang, dunia pendidikan -- bukan hanya perguruan tinggi -- tak bisa berlepas tangan dari masalah korupsi ini. Bagaimanapun, maraknya korupsi di Indonesia merupakan wujud kegagalan sistem pendidikan nasional dalam membangun manusia yang berintegritas tinggi. Diakui ataupun tidak, sistem pendidikan nasional selama ini cenderung mengabaikan pembentukan manusia yang berintegritas tinggi ini. Mulai tingkat dasar hingga tingkat tinggi, sistem pendidikan cenderung lebih mementingkan aspek kognitif-intelektual. Sementara aspek moral dan etika sedikit sekali memperoleh porsi. 

jadi, peserta didik lebih cenderung disiapkan melulu menjadi manusia pintar secara intelektual. Mereka sangat sedikit memperoleh introduksi nilai-nilai moral dan etis. Pendidikan agama dan etika, dalam konteks ini, sekadar menjadi sampiran. 

Dalam situasi dan kondisi seperti itu, kehidupan sosial di luar tembok lembaga pendidikan juga semakin serba pragmatis sebagaimana ditandai oleh melonggarnya sistem nilai. Demi menggapai tujuan, orang tak ragu menghalalkan segala cara. Demi meraih kemenangan, orang tak segan berbuat curang. 

Langsung maupun tidak, kecenderungan negatif itu terinternalisasikan ke dalam sistem nilai generasi belia. Bahkan secara tak sadar lingkungan acap mengarahkan mereka menjalani praktik-praktik yang menafikan kejujuran. Untuk bisa masuk sekolah favorit, misalnya, banyak anak tidak diterjunkan berkompetisi dalam proses seleksi yang sehat dan fair. Mereka beroleh bangku karena orangtua mereka menyogok -- notabene sogokan itu dibungkus dengan sebutan-sebutan manipulatif.

Jadi, sistem pendidikan dalam pengertian luas gagal membentuk manusia berintegritas tinggi. Bahkan sistem pendidikan ini secara tidak langsung seolah turut menyemai manusia-manusia berwatak culas dan bermental maling. Mereka pintar secara intelektual, tetapi lemah karakter dan miskin integritas. Itu pula yang membuat korupsi begitu merajalela. 

Walhasil, pemberantasan korupsi tak cukup lewat penegakan hukum yang tegas dan adil. Pemberantasan korupsi juga harus dibarengi upaya pembentukan manusia berintegritas tinggi. Itu berarti, pendidikan moral dan etika wajib digalakkan -- di jalur formal, informal, juga dalam kehidupan kemasyarakatan.***

Jakarta, 8 Mei 2012