31 Oktober 2014

Kemelut Politik di DPR

Kemelut politik di tubuh DPR tak boleh dibiarkan berlarut-larut. Dualisme kelembagaan di internal parlemen ini harus segera diakhiri. Terlalu mahal implikasi yang harus ditanggung bersama segenap bangsa jika kemelut itu tak segera berakhir -- entah implikasi politik, sosial, maupun ekonomi.

Secara politik, kemelut di tubuh DPR ini bisa membuat masyarakat terbelah dalam dua kutub dan saling berhadapan sebagai musuh. Ini berbahaya: kohesivitas kebangsaan bisa terkoyak. Terlebih benih-benih ke arah itu, yang sempat bersemi seiring pelaksanaan pilpres tempo hari, belum benar-benar sirna. 

Secara sosial, kemelut itu juga memberi pelajaran yang tidak sehat bagi khalayak luas. Para elite politik di parlemen tidak memberi teladan bahwa konflik kepentingan -- betapapun kerasnya -- bisa diselesaikan secara baik dan elegan. Mereka justru memberi rujukan seolah-olah perpecahan adalah pilihan terbaik untuk sebuah konflik kepentingan.

Di sisi lain, secara ekonomi, kemelut politik di tubuh parlemen ini juga amat merugikan. Aneka program pemerintah, yang dirancang untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat, bisa sulit diimplementasikan.

Selama terkoyak oleh perseteruan berbau sentimen perkubuan, DPR niscaya sulit bisa berfungsi sebagaimana mestinya. Itu pula yang bisa membuat pemerintah tak dapat bekerja secara efektif -- karena banyak hal harus lebih dulu dibicarakan bersama DPR sebelum sebuah program atau kebijakan diluncurkan ke tangah masyarakat.   

Tentu amat mengherankan sekaligus memuakkan kalau saja para politisi di parlemen tidak memiliki kesadaran dan keinginan baik untuk segera mengakhiri kemelut politik di antara mereka. Apa pun alasan atau dalih masing-masing pihak, itu sama sekali tak bisa dijadikan sebagai pembenaran untuk berkukuh di posisi masing-masing.

Walhasil, kedua kubu di parlemen sungguh tak elok terus berseteru bak musuh bebuyutan. Mereka harus segera meredam tensi perseteruan dengan membuang syahwat saling menafikan dan saling meniadakan secara politik. Mereka harus segera duduk bersama untuk menyelesaikan masalah di antara mereka sendiri secara elegan.

Untuk itu, sentimen sempit perkubuan harus disingkirkan. Semangat menang-menangan juga harus dibuang jauh-jauh. Begitu pula perasaan benar sendiri mesti dienyahkan. Semangat rekonsiliasi kudu dikedepankan dan menjadi rujukan bersama.

Terkait itu pula, "dewa-dewa" di setiap parpol yang menguasai kursi di DPR ini tidak boleh tinggal diam. Mereka sungguh tak patut bersikap seolah buta dan tuli atas kemelut politik di tubuh DPR saat ini. Sebagai sesama "dewa" di parpol, mereka harus turun gunung dan saling berkomunikasi untuk melumerkan perseteruan di parlemen.

Setelah berhasil meredakan ketegangan politik menjelang pelantikan presiden dan wapres tempo hari, jiwa besar dan kenegarawanan "dewa-dewa" berbagai parpol ini sekali lagi diuji. Mereka tak boleh justru ikut larut dalam arus kemelut politik di parlemen -- kecuali mereka sudah berubah menjadi badut-badut politik. Dan itu akan dicatat sebagai episode paling memalukan dalam sejarah perpolitikan di dalam negeri.***

Jakarta, 31 Oktober 2014