23 Mei 2014

Momok Gejolak Harga

Setiap kali menghadapi momen besar nasional seperti Ramadhan dan Lebaran, harga kebutuhan pokok -- terutama pangan -- selalu bergejolak. Semua pihak -- tak terkecuali pemerintah -- nyaris dibuat tak berdaya. Bak bola salju, lonjakan harga selalu saja menggelinding demikian pasti. Tak terbendung. Tak terhindarkan.

Karena itu, gejolak harga seiring momen hari besar nasional ini sudah menjadi momok yang meresahkan. Meresahkan, karena daya beli masyarakat luas tergerogoti. Bahkan bagi masyarakat lapisan bawah, gejolak harga ini praktis menjadi faktor yang menurunkan kesejahteraan. Dalam bahasa ekonomi, kemiskinan pun bukan hanya semakin dalam, tetapi juga kian merunyak.

Menghadapi momen Ramadhan dan Lebaran tahun ini, yang tak lama lagi menjelang, pemerintah sekali lagi menunjukkan kemauan untuk mengendalikan harga kebutuhan pokok. Pertama, meski tidak spesifik merujuk kepada momen Ramadhan dan Lebaran, jauh-jauh hari pemerintah sudah mengalokasikan dana senilai Rp 2 triliun untuk stabilisasi harga.

Dana itu tiap saat bisa digunakan manakala harga kebutuhan pokok di masyarakat bergejolak. Secara operasional, dana tersebut terutama digunakan untuk menambah pasokan barang ke pasar.

Kedua, tak kurang dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri baru-baru ini mewanti-wanti berbagai pihak di pemerintahan agar mengantisipasi inflasi. Presiden meminta agar momen Ramadhan dan Lebaran jangan sampai mengerek inflasi secara berlebihan.

Presiden jelas sangat menginginkan pemerintah tak "dipecundangi" lagi oleh momok berupa lonjakan harga kebutuhan pokok pada momen Ramadhan dan Lebaran mendatang ini. Atas dasar itu, maka pemerintah pun mulai mengonsolidasikan fungsi koordinasi antarinstansi terkait -- termasuk pihak swasta yang bergerak di usaha ritel kebutuhan pokok.

Tentu, kita berharap antisipasi pemerintah itu efektif membuahkan hasil: harga kebutuhan pokok selama Ramadhan dan Lebaran relatif stabil. Tetapi perlu diingat bahwa fenomena gejolak harga seiring momen hari besar nasional ini juga merupakan cerminan buruknya pola transportasi serta kondisi infrstruktur jalan yang amburadul.

Selama ini, mobilitas sosial-ekonomi -- termasuk distribusi barang -- entah kenapa kelewat bertumpu kepada angkutan jalan raya. Sedikit sekali distribusi barang -- terutama bahan pokok bangan -- diwadahi oleh angkutan kereta api ataupun kapal laut. Bahkan kegiatan distribusi antarpulau sekali pun tak terkecuali banyak ditumpukan kepada angkutan jalan raya.

Kenyataan itu menyedihkan, karena infrastruktur jalan bukan hanya terbatas, melainkan juga amburadul -- dalam arti tak benar-benar menunjang kelancaran arus lalu lintas. Tengok saja kondisi jalan di pantai utara (pantura) Jawa -- juga jalan lintas Sumatera ataupun jalan trans Kalimantan -- yang banyak bergelombang atau bahkan bolong-bolong.

Kondisi itu membuat jalan pantura Jawa ataupun lintas Sumatera sama sekali tak memenuhi syarat sebagai urat nadi kegiatan sosial-ekonomi. Oleh sebab itu, ketika permintaan melonjak seiring momen hari besar nasional, pasokan barang ke pasar menjadi kedodoran. Terlebih jika spekulan ikut bermain.

Tak bisa tidak, harga-harga pun bergejolak tak terkendali. Itu pula yang selama ini membuat upaya pemerintah melakukan stabilisasi harga pun nyaris sia-sia.

Karena itu, mestinya, upaya stabilisasi harga lebih bersifat mendasar -- bukan sekadar program dadakan dan sementara seperti operasi pasar yang acap terbukti tidak ampuh mengatasi keadaan. Tanpa pendekatan mendasar, gejolak harga seiring momen hari besar senantiasa menjadi momok yang meresahkan.***

23 Mei 2014

21 Mei 2014

Penghematan Anggaran

Pemerintah memangkas anggaran tahun berjalan sekarang ini senilai Rp 100 triliun. Langkah tersebut ditempuh untuk menjaga defisit anggaran berada di level 2,5 persen produk domestik bruto (PDB). Angka defisit itu sendiri merupakan hasil koreksi atas RAPBN 2014.

Semula, angka defisit dalam RAPBN 2014 adalah 1,69 persen PDB. Koreksi RAPBN 2014 dilakukan, karena subsidi energi, termasuk bahan bakar minyak (BBM) dan listrik, membengkak dari semula Rp 262,1 triliun menjadi Rp 392,1 triliun. Di sisi lain, pemasukan pajak sebagai sumber utama penerimaan negara justru turun dari proyeksi Rp 1.280,4 triliun menjadi Rp 1.232,1 triliun.

Subsidi energi membengkak terutama karena konsumsi BBM terus menanjak. Sementara penurunan penerimaan pajak merupakan konsekuensi kontraksi pertumbuhan ekonomi yang dilakukan pemerintah dalam rangka mengatasi defisit transaksi berjalan. Di sisi lain, kinerja ekspor juga melemah akibat kebijakan pengendalian ekspor bahan mineral mentah, di samping kondisi pasar ekspor sendiri secara keseluruhan masih kurang bergairah.

Teoritis, defisit anggaran bisa diatasi dengan memotong subsidi BBM sebagai faktor utama yang membuat pengeluaran negara membengkak. Tetapi pemerintah tidak memiliki keberanian untuk itu. Karena situasi dan kondisi di dalam negeri secara sosial-politis saat ini dinilai riskan, pemerintah enggan menaikkan harga BBM subsidi sebagai solusi untuk memangkas subsidi energi yang membengkak.

Maka, pemangkasan anggaran belanja kementerian/lembaga pemerintah lantas menjadi pilihan. Sebagaimana digariskan Inpres No 4/2014, penghematan/pemangkasan anggaran ini terutama meliputi belanja honorarium, perjalanan dinas, biaya rapat/konsinyering, iklan, pembangunan gedung kantor, pengadaan kendaraan operasional, belanja bantuan sosial, sisa dana lelang atau swakelola, serta anggaran kegiatan yang belum terikat kontrak.

Tetapi sekarang ini tahun anggaran telanjur berjalan. Hingga Mei ini, anggaran niscaya sudah relatif banyak direalisasikan. Walhasil, penghematan/pemangkasan anggaran pun praktis difokuskan terhadap waktu yang masih tersisa hingga tahun anggaran berakhir. Justru itu, dalam bulan-bulan ke depan ini niscaya kegiatan kementerian/lembaga pemerintah menyusut drastis. Kementerian Pekerjaan Umum, misalnya, hampir pasti terpaksa menghentikan sejumlah proyek infrastruktur.

Itu berarti, pertumbuhan ekonomi pun relatif jadi terhambat. Risiko tersebut tak terhindarkan, karena Kementerian Pekerjaan Umum mendapat porsi terbesar pemangkasan anggaran, yaitu Rp 22,7 triliun atau 27 persen. Sementara proyek-proyek infrastruktur yang menjadi tanggung jawab Kementerian Pekerjaan Umum ini berdampak vital dalam menghela ekonomi. Infrastruktur adalah tulang punggung kegiatan ekonomi.

Jadi, sekali lagi, pemangkasan anggaran -- khususnya di lingkungan Kementerian Pekerjaan Umum -- berdampak menghambat pertumbuhan ekonomi. Sementara pertumbuhan ekonomi justru merupakan prasyarat bagi simpul-simpul pemasukan negara, terutama lewat pemungutan pajak. Penerimaan pajak sendiri mestinya menjadi salah satu alternatif untuk menambal defisit anggaran.

Pemerintah seharusnya tidak terjebak dalam lingkaran setan seperti itu. Problem pembengkakan anggaran seharusnya tak melulu disiasati dengan pemangkasan belanja. Subsidi BBM yang menjadi faktor utama penyebab pembengkakan anggaran sepatutnya disiasati pula.

Mungkin benar, pemangkasan subsidi -- yang berimplikasi menaikkan harga BBM -- untuk saat sekarang ini secara sosial-politik terbilang riskan. Tetapi tak boleh dijadikan alasan untuk seolah menafikan begitu saja problem pembengkakan subsidi BBM. Paling tidak, program pengurangan konsumsi BBM subsidi harus lebih sungguh-sungguh direalisasikan. Implementasi program tersebut jangan lagi terkesankan setengah hati -- dan karena itu bersifat hangat-hangat tahi ayam!***


21 Mei 2014

15 Mei 2014

Pejabat Baru Menko Perekonomian

Langkah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak berlama-lama membiarkan pos Kemko Perekonomian kosong sungguh patut diapresiasi. Demikian juga keputusan Presiden mengangkat konglomerat Chairul Tanjung mengisi pos tersebut, menggantikan pejabat lama Hatta Rajasa yang beberapa hari lalu mengundurkan diri karena punya agenda besar: ikut maju ke arena pemilu presiden.

Kedua langkah itu menunjukkan kepekaan Presiden untuk mengamankan ekonomi nasional di tengah hingar-bingar hajat politik akbar sekarang ini. Meski tidak bisa mengeksekusi kebijakan di lapangan, Kemko Perekonomian bagaimanapun punya peran vital: mengharmoniskan program maupun kebijakan, sekaligus memastikan irama kerja berbagai kementerian teknis di bidang ekonomi tetap terjaga baik.

Jadi, pos Kemko Perekonomian tak boleh berlama-lama tanpa komandan karena berisiko membuat kinerja pemerintah di bidang ekonomi menjadi tidak fokus atau bahkan melemah. Itu tak boleh terjadi. Bukan saja karena kehidupan ekonomi di dalam negeri maupun mancanegara sekarang ini sarat tantangan berat, melainkan juga karena pelemahan kinerja itu bisa menjadi episode buruk pemerintahan Presiden Yudhoyono justru di ujung masa baktinya.

Bahwa komandan pos Kemko Perekonomian pengganti Hatta Rajasa ini dipercayakan kepada Chairul Tanjung, itu juga merupakan langkah jitu Presiden. Pertama, karena Chairul adalah orang yang tahu betul hitam-putih ekonomi nasional sekarang ini. Dia adalah pengusaha papan atas yang sudah terbukti unggul dan digjaya dalam menggeluti dunia bisnis. Dia juga selama beberapa tahun terakhir ini memimpin lembaga penasihat pemerintah di bidang ekonomi, yaitu Komite Ekonomi Nasional (KEN). 

Dengan dua latar belakang itu, Chairul punya bekal memadai untuk memimpin pos Kemko Perekonomian ini. Dia niscaya tidak akan gamang ataupun butuh waktu untuk belajar dulu sebelum mampu berperan efektif sebagai Menko Perekonomian. Dengan demikian, sisa waktu pemerintahan Presiden Yudhoyono yang praktis kini tinggal lima bulan lagi tidak lantas banyak tersia-siakan.

Itu berarti, kinerja ekonomi pemerintah dalam masa lima bulan ke depan bisa diharapkan tetap terjaga baik -- bahkan mungkin lebih baik dibanding selama ini.

Kedua, penunjukan Chairul Tanjung sebagai Menko Perekonomian ini jitu karena dia memiliki komitmen tinggi dalam mengemban tanggung jawab. Komitmen tersebut antara lain melepaskan kendali atas kerajaan bisnisnya. Dengan itu, Chairul tidak akan terjebak oleh konflik kepentingan sekaligus bisa berkonsentrasi penuh dan fokus mengemban amanah sebagai Menko Perekonomian.

Chairul juga tidak terobsesi untuk ikut ambil bagian dalam pemerintahan mendatang. Dia bertekad kembali menjadi the big boss di kerajaan bisnisnya setelah kelak selesai menunaikan tugas Menko Perekonomian selama lima bulan di sisa pemerintahan Presiden Yudhoyono. Nah, komitmen ini menjadi poin tambahan bahwa Chairul bukan figur haus kekuasaan sehingga bisa diharapkan benar-benar fokus dan objektif berperan di pemerintahan.

Komitmen total seperti itu sungguh urgen karena kehidupan ekonomi sekarang ini sangat tidak mudah. Di lingkungan eksternal, krisis ekonomi di sejumlah negara maju belum juga berlalu. Walhasil, krisis global tetap menjadi momok yang tiap saat bisa mengoyak ekonomi negara-negara lain, termasuk ekonomi nasional.

Di lingkungan internal sendiri, tantangan di bidang ekonomi tidak kalah ruwet dan berat. Di satu sisi, hiruk-pikuk hajat politik berupa pemilu presiden dan suasana menjelang pergantian pemerintahan secara psikologis bisa membuat kendali-kendali ekonomi mengendur dan tidak fokus lagi. Di sisi lain, kondisi fiskal juga menuntut terobosan lanjutan terutama karena masih digayuti defisit transaksi berjalan yang terbilang serius serta pengeluaran pemerintah yang cenderung over dosis.***

15 Mei 2014

14 Mei 2014

Suntikan ke Bank Mutiara

Langkah Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mengucurkan modal tambahan Rp 1,5 triliun ke Bank Mutiara, sesuai permintaan resmi Bank Indonesia (BI), serta-merta membuat banyak pihak terperangah. Orang terheran-heran, karena persis lima tahun lalu bank yang dulu bernama Bank Century itu menerima gerojokan dana bailout sebesar Rp 6,7 triliun. Kok sekarang bank tersebut masih harus disuntik lagi modal tambahan dalam jumlah yang relatif besar pula? Apa yang terjadi sebenarnya?

Konon, modal tambahan harus dikucurkan karena tingkat kecukupan modal minimum (CAR) Bank Mutiara kini di bawah ketentuan yang digariskan BI sebesar 14 persen. Menurut infomasi, posisi terakhir CAR Bank Mutiara ini di bawah 8 persen. Manajemen Bank Mutiara beralasan, modal bank tersebut tergerus signifikan karena rasio kredit bermasalah membengkak.

Tetapi itu berarti Bank Mutiara tetap digerogoti penyakit kronis. Berarti pengelolaan bank tersebut selama lima tahun terakhir -- setelah diselamatkan dari ajal lewat suntikan dana pemerintah sebesar Rp 6,7 triliun -- bisa dikatakan gagal. Pihak manajemen tidak berhasil melakukan penyehatan  dari problem klasik namun sekaligus mendasar!

Apakah itu pula yang membuat bank tersebut tak kunjung dilirik investor? Meski pihak LPS selaku "pemilik" sudah resmi mengumumkan rencana penjualan, nyaris tak satu pun investor yang menunjukkan minat serius untuk membeli. Jadi, ibarat anak perawan, Bank Mutiara ini masih saja menjomblo alias tak kunjung dipinang orang karena dinilai penyakitan.

Tetapi bagi banyak kalangan, bukan terutama anggapan seperti itu yang membuat mereka terperangah oleh tindakan LPS mengucurkan modal tambahan Rp 1,5 triliun ke Bank Mutiara ini. Mereka terperangah karena pengucuran dana bailout Rp 6,7 triliun saja masih kontroversial -- bahkan belum sepenuhnya clear dan tuntas secara hukum. Kok sekarang bisa-bisanya pengucuran modal tambahan dilakukan?

Sejauh ini, baru beberapa figur yang terindikasi terlibat skandal bailout Bank Century diseret ke pangadilan -- itu pun sebagian masih bebas berkeliaran di luar negeri. Sementara aktor utama di balik pengambilan kebijakan pengucuran dana bailout, yang diduga berbau perselingkuhan sehingga terindikasi merugikan negara, belum juga tersentuh proses hukum.

Karena itu, wajar jika suntikan modal tambahan Rp 1,5 triliun pun serta-merta menumbuhkan syak wasangka di kalangan masyarakat. Intinya, banyak pihak curiga: jangan-jangan suntikan modal tambahan itu menjadi skandal Bank Century jilid dua. Terlebih pengucuran modal tambahan itu dilakukan LPS tanpa persetujuan DPR. Padahal, sesuai permintaan resmi BI kepada LPS, tindakan itu jelas dimaksudkan sebagai penyelamatan agar kondisi kesehatan Bank Mutiara tidak makin memburuk. Alhasil, pengucuran modal tambahan ini paling tidak bisa bermasalah secara hukum.

Kecurigaan bahwa pengucuran modal tambahan itu bisa menjadi skandal Bank Century jilid dua mungkin berlebihan. Namun suasana kemasyarakatan sekarang ini harus diakui memberi ruang bagi tumbuhnya kecurigaan seperti itu. Seperti lima tahun lalu, saat ajal Bank Century diselamatkan lewat suntikan dana bailout Rp 6,7 triliun, suasana kemasyarakatan sekarang ini kental dengan atmosfer politik. Maklum, perhelatan pemilu tinggal beberapa bulan lagi.

Dalam suasana demikian, seperti juga lima tahun lalu terkesankan dalam pengucuran dana bailout ke Bank Century, perselingkuhan antarpihak untuk kepentingan mobilisasi dana politik bisa mudah terjadi. Karena itu pula, pengucuran modal tambahan Rp 1,5 triliun ke Bank Mutiara ini pun beralasan diwaspadai sebagai modus bancakan dana politik.***

14 Mei 2014

06 Mei 2014

Krisis Waktu KPU

Komisi Pemilihan Umum (KPU) kini benar-benar berpacu dengan waktu. Mereka menghadapi krisis waktu. Mereka harus mampu menyelesaikan semua tahapan proses rekapitulasi suara hasil pemilu legislatif pada Jumat lusa (9/5). Jika gagal memenuhi tenggat, mereka melanggar undang-undang.

Semula, proses rekapitulasi ini dijadwalkan rampung Selasa kemarin. Namun hingga Selasa petang, sejak penghitungan suara mulai dilakukan 26 April lalu, KPU baru menetapkan hasil rekapitulasi di 13 provinsi dari 33 provinsi. Lalu 13 provinsi mengalami penundaan pengesahan hasil rekapitulasi karena sejumlah parpol peserta pemilu berkeberatan. Pengesahan baru bisa dilakukan nanti setelah Bawaslu menyampaikan rekomendasi. 

Walhasil, rekapitulasi di 7 provinsi hingga kemarin sama sekali belum  tergarap. Karena itu, KPU pun memundurkan waktu penyelesaian rekapitulasi suara ini menjadi Jumat lusa (9/5). Mau tidak mau, karena harus memenuhi amanat undang-undang, penyelesaian proses rekapitulasi ini menjadi berpepetan dengan jadwal pengumuman hasil pemilu yang ditenggat undang-undang paling lambat 9 Mei 2014.

Toh KPU mengaku optimistis mampu merampungkan seluruh tahapan rekapitulasi suara ini pada 9 Mei 2014, sehingga mereka tak sampai melanggar undang-undang. Sikap tersebut sungguh patut diapresiasi sekaligus didukung.

Kita tentu sangat berharap KPU benar-benar mampu menuntaskan semua pekerjaan seputar hasil pemilu legislatif ini tepat waktu serta dengan hasil baik, sehingga semua pihak -- terutama jajaran parpol peserta pemilu -- dapat menerimanya. Dengan demikian, perhelatan pemilu legislatif kali ini tidak lantas melahirkan keruwetan-keruwetan politik dan hukum. Dengan itu pula, hasil perhelatan tersebut pun bisa diharapkan legitimatif.

Meski begitu, melihat banjir keberatan jajaran parpol, perhelatan pemilu legislatif kali ini bukan tanpa cacat. Bahkan bisa dikatakan pemilu legislatif kali ini paling buruk dibanding perhelatan serupa sejak reformasi bergulir. Paling buruk, karena pemilu legislatif kali ini dibanjiri kecurangan dan praktik politik uang.

Dalam kondisi seperti itu, kinerja KPU sendiri tak sepenuhnya sigap. Seperti tergambar dalam proses penghitungan suara, manajemen kerja KPU sungguh tidak efisien dan tidak efektif. Waktu banyak terbuang oleh pembahasan masalah (gugatan parpol) yang seharusnya diselesaikan cukup di tingkat KPU kabupaten atau KPU provinsi.

KPU pusat memang seharusnya tak perlu sampai terbawa arus mengurusi masalah yang sebenarnya merupakan porsi KPU daerah. Untuk itu, mereka mestinya benar-benar mengindahkan asas proporsionalitas sekaligus tegas, lugas, namun tetap cermat, imparsial, dan adil.

Prinsip-prinsip itu pula yang sepatutnya diindahkan KPU dalam menghadapi krisis waktu sekarang ini. Mereka juga,  harus berani mengambil keputusan mengenai hasil pemilu legislatif ini sesuai tenggat. Berbagai keberatan parpol peserta pemilu, yang hampir pasti hingga penetapan dan pengumuman hasil pemilu nanti masih saja bersisa, biar menjadi bahan pekerjaan yang diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi.

Lagi pula berbagai parpol peserta pemilu kemungkinan besar tak akan begitu saja puas dan menerima penetapan hasil pemilu oleh KPU. Mereka juga niscaya tak akan berdiam diri. Mereka pasti tergerak mengajukan gugatan kepada Mahkamah Konstitusi. 

Jadi, biar Mahkamah Konstitusi ikut berperan.***

6 Mei 2014

05 Mei 2014

Tumbal Pertumbuhan

Kinerja ekonomi nasional masih saja tertatih. Pertumbuhan ekonomi sekarang ini terus menapak di bawah 6 persen. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pertumbuhan ekonomi selama triwulan I/2014 hanya mencapai 5,12 persen. Itu turun relatif signifikan dibanding triwulan IV/2013 sebesar 5,72 persen.

Sepanjang tahun lalu, pertumbuhan ekonomi ini mencapai 5,78 persen. Angka tersebut turun dibanding pertumbuhan ekonomi selama tahun 2012 sebesar 6,23 persen. Lalu dibanding tahun 2011, pertumbuhan ekonomi tahun 2012 juga turun 0,27 persen.

Jadi, selama dua tahun terakhir ini pertumbuhan ekonomi cenderung terus turun. Penurunan tersebut, antara lain, karena kinerja ekspor masih tertekan. Selain kondisi ekonomi global belum juga kondusif sebagaimana disebut Kepala BPS Suryamin, kinerja ekpor juga tertekan oleh pelarangan ekspor bahan mentah mineral.

Di sisi lain, menurut Suryamin, perlambatan kinerja sektor pertanian juga memberi kontribusi terhadap pelemahan pertumbuhan ekonomi selama triwulan I/2014 ini. Kinerja sektor pertanian melemah karena pergeseran masa panen yang berdampak menurunkan produksi.

Selebihnya, masih menurut Suryamin, penurunan pertumbuhan ekonomi selama triwulan I/2014 juga disumbang oleh perlambatan kinerja sektor perdagangan dan sektor jasa keuangan. Walhasil, pertumbuhan ekonomi ini lebih ditopang permintaan domestik, terutama konsumsi rumah tangga.

Dipacu oleh momen perhelatan pemilu legislatif, konsumsi rumah tangga selama triwulan I/2014 mampu tumbuh 5,61 persen. Sementara konsumsi pemerintah relatif tidak signifikan -- hanya tumbuh 3,58 persen -- akibat pola belanja pada awal tahun yang memang selalu cenderung lemah.

Tetapi tren pertumbuhan ekonomi sekarang ini sejatinya  dikehendaki pemerintah. Bahkan, dalam rangka mengendalikan defisit transaksi berjalan yang terus memburuk sejak tahun 2011, pelemahan tersebut memang didesain bersama oleh otoritas fiskal dan moneter.

Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) merasa perlu mengerem pertumbuhan ekonomi lantaran defisit transaksi berjalan pada medio tahun lalu sudah terbilang gawat: sudah mencapai 4,4 persen produk domestik bruto. Itu bisa terjadi karena neraca perdagangan makin babak-belur didera defisit.

Kondisi tersebut gawat karena mengancam stabilitas makro ekonomi. Nilai tukar rupiah, misalnya, terus tertekan. Lalu inflasi juga cenderung menjulang.

Walhasil, kontraksi pertumbuhan ekonomi dipandang sebagai pilihan strategis untuk mengamankan stabilitas makro ekonomi. Lalu, seiring beberapa paket kebijakan  ekonomi, langkah strategis itu diharapkan mampu memperbaiki iklim investasi. Dengan demikian, investasi pun bisa tumbuh sebagai pilar penting dalam struktur ekonomi nasional. Terlebih jika pemerintah serius membenahi problem klasik seperti buruknya infrastruktur, bobroknya layanan birokrasi karena berbelit dan sarat pungli, juga ketidakpastian hukum.

Namun di balik itu, pengamanan makro ekonomi melalui kontraksi pertumbuhan ini bukan tidak melahirkan ekses yang mengundang miris. Ekses tersebut terutama berupa penyusutan kapasitas penyerapan tenaga kerja, sehingga tingkat pengangguran pun mencuat.

BPS sendiri mencatat, per Agustus tahun lalu angka pengangguran melonjak 6,25 persen dibanding posisi Agustus 2012. Angka tersebut meleset dari target tahun 2013 sebesar 5,8 persen.

Karena itu, muncul pertanyaan: sampai kapan pertumbuhan ekonomi dikondisikan tetap rendah? Sampai seberapa dalam sektor ketenagakerjaan dikorbankan sebagai tumbal?***

5 Mei 2014