21 November 2008

Skema Baru Harga Premium dan Solar

Harga premium dan solar bersubsidi tak akan lagi ajek pada tingkat tertentu yang dipatok pemerintah. Mulai tahun depan, harga premium dan solar bersubsidi turun-naik mengikuti perkembangan pasar. Mirip harga bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi selama ini, tapi dengan batasan tertinggi dan terendah.

Untuk itu, pemerintah sudah menyiapkan skema harga batas atas (ceiling price) dan harga batas bawah (floor price). Di antara kedua kutub itulah kelak harga premium dan solar bersubsidi bergerak naik-turun seiring fluktuasi harga minyak di pasar global.

Lalu manakala harga minyak di pasar dunia melonjak tinggi, harga premium dan solar bersubsidi di dalam negeri tak lantas terpaksa didongkrak pemerintah ke tingkat yang bisa membuat masyarakat megap-megap karena kelewat tinggi. Harga hanya bergerak naik maksimal hingga batas atas yang sudah ditetapkan pemerintah.

Begitu pula sebaliknya. Manakala harga minyak dunia terjun bebas, pemerintah juga tak lantas ditekan kiri-kanan agar terjun bebas pula melakukan penyesuaian. Harga premiun dan solar bersubsidi meluncur maksimal hingga batas bawah.

Skema itu tampaknya dilatari oleh keinginan pemerintah untuk menghindari keruwetan melakukan penghitungan ulang harga BBM bersubsidi, khususnya premium dan solar, manakala harga minyak di pasar dunia berubah amat signifikan. Jadi, dengan mematok harga batas atas dan harga batas bawah, pemerintah terbebas dari desakan banyak pihak agar melakukan penyesuaian.

Dengan itu pula, fluktuasi tajam harga minyak di pasar global tak membuat energi pemerintah banyak terkuras. Maklum karena penyesuaian harga BBM bersubsidi bukan saja ruwet secara ekonomi maupun politik, melainkan juga sangat melelahkan.

Bagi masyarakat sendiri, skema harga premium dan solar bersubsidi berdasar ceiling price dan floor price itu relatif menjanjikan kepastian. Manakala harga minyak dunia gonjang-ganjing, terutama, masyarakat tak lantas terdorong berspekulasi mengenai tindak penyesuaian pemerintah, termasuk soal besarannya. Itu positif, karena spekulasi hampir selalu tidak produktif terhadap kehidupan sosial-ekonomi atau bahkan politik.

Karena itu, rencana pemerintah menyangkut kebijakan harga premium dan solar bersubsidi ini patut kita dukung. Tapi, tentu, itu bukan tanpa syarat. Angka-angka yang menjadi harga batas atas dan harga batas bawah mesti benar-benar objektif dan rasional. Objektif, dalam arti bahwa angka-angka yang ditetapkan bebas dari beban inefisiensi dalam proses produksi dan pengolahan BBM di dalam negeri.

Juga mesti rasional, dalam arti rentang harga batas bawah dan batas atas mengindahkan daya beli masyarakat di satu sisi, serta tidak mengabaikan asas efisiensi pemakaian BBM di sisi lain. Selebihnya, terutama angka harga batas, faktor daya dukung keuangan pemerintah juga tidak boleh sampai terlampaui.

Itu berarti, hitung-hitungan mengenai angka harga batas atas dan harga batas bawah mesti jelas dan transparan. Jika tidak, skema baru harga premium dan solar bersubsidi ini niscaya membawa "cacat bawaan", terutama menyangkut efisiensi dalam proses produksi BBM di dalam negeri. Jika hitung-hitungan itu tidak jelas dan tidak pula transparan, skema baru harga premium dan solar bersubsidi jelas sekadar kosmetik yang melanggengkan praktik-praktik tidak sehat dalam industri perminyakan nasional.

Maka, untuk itu, peran lembaga legislatif sekali lagi amat diperlukan. Lembaga wakil rakyat dituntut optimal melakukan fungsi kontrol menyangkut hitung-hitungan tentang angka harga batas atas dan harha batas bawah premium dan solar bersubsidi ini.***

Jakarta, 21 November 2008

12 November 2008

Blanket Guarantee Sudah Mendesak

Penjaminan menyeluruh (blanket guarantee) atas kewajiban perbankan tampaknya mendesak dilakukan pemerintah. Mendesak, karena -- seperti diungkapkan Bank Indonesia (BI) -- belakangan ini makin menggejala tindak pengalihan dana dari perbankan nasional ke luar negeri.

Sangat boleh jadi, deposan tidak cukup merasa tenang untuk terus menyimpan dana mereka di perbankan nasional. Memang, pemerintah sudah menggelar program penjaminan atas dana masyarakat di perbankan nasional. Tetapi penjaminan itu bersifat terbatas, yakni hanya mencakup dana maksimal Rp 2 miliar. Dana di atas jumlah itu, sama sekali tak dijamin pemerintah.

Artinya, nasib dana di atas Rp 2 miliar bisa amblas tak karuan kalau saja bank yang menjadi tempat menyimpan dana itu mengalami kebangkrutan. Padahal, di tengah krisis keuangan global sekarang ini, risiko bangkrut atau tak mampu lagi memenuhi kewajiban begitu pekat membayangi perbankan di mana pun. Tak terkecuali di Indonesia.

Karena itu, gejala pengalihan dana dari perbankan nasional ke mancanegara belakangan ini, khususnya ke negara-negara yang sudah menerapkan blanket guarantee, sungguh tindakan rasional. Langkah tersebut jelas merupakan tindak pengamanan agar dana terbebas dari kemungkinan amblas bersama kebangkrutan bank yang bisa tiba-tiba terjadi.

Tapi gejala pengalihan dana ke luar negeri ini juga merisaukan karena niscaya berimplikasi negatif terhadap stabilitas ekonomi di dalam negeri. Yang sudah pasti saja, seperti sudah mulai terlihat, kurs rupiah tertekan.

Barangkali tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kurs rupiah sekarang ini benar-benar dalam pertaruhan. Betapa tidak, karena dana di perbankan nasional yang tidak tercakup program penjaminan bernilai sekitar Rp 590 triliun. Kalau saja dana tersebut terus mengalir deras ke luar negeri, bisa dipastikan kurs rupiah ambrol ke level terburuk.

Jadi, arus pengalihan dana dari perbankan nasional ke mancanegara ini harus segera dihentikan. Dalam konteks ini, penerapan blanket guarantee oleh pemerintah merupakan jawaban strategis. Dengan itu, deposan tak beralasan lagi waswas atas keselamatan dana mereka di perbankan nasional. Bahkan bukan tidak mungkin, dana yang telanjur dialihkan ke mancanegara pun menjadi mengalir balik masuk ke perbankan nasional. Jelas, karena itu, kurs rupiah pun bisa diharapkan menguat kembali. Paling tidak, kurs rupiah tidak terus melorot seperti gejala yang berlangsung selama beberapa pekan terakhir ini.

Di sisi lain, iklim perbankan nasional juga bisa kembali sehat. Program blanket guarantee -- notabene tidak sekadar menjamin dana masyarakat yang tersimpan di bank, melainkan juga menjamin semua kewajiban bank, seperti pembayaran ekspor-impor -- memungkinkan gejala tidak saling percaya yang kini melanda perbankan nasional menjadi pupus. Masing-masing tak bakalan saling menaruh prasangka bahwa pihak lain berisiko gagal memenuhi kewajiban antarbank. Dengan demikian, bunga fasilitas pinjaman antarbank untuk tempo semalam (over night) pun niscaya turun ke tingkat yang lebih rasional. Pada gilirannya, itu bisa diharapkan berimbas positif terhadap tingkat bunga pinjaman bank kepada masyarakat.

Karena itu, mestinya pemerintah tidak bersikap enggan ataupun lelet dalam menanggapi kebutuhan menyangkut penerapan program blanket guarantee ini. Sikap enggan maupun lelet sungguh berisiko. Sikap enggan sama saja membiarkan perbankan nasional dilanda krisis kepercayaan, dan karena itu bisa melahirkan risiko serius yang bersifat sistemik. Sikap lelet juga tidak bagus karena pengalihan dana dari perbankan nasional ke mancanegara terus berlangsung dengan tendensi yang cenderung membesar, sehingga stabilitas ekonomi-keuangan di dalam negeri berisiko telanjur rusak ketika blanket guarantee kelak diterapkan.

Walhasil, sekali lagi, program blanket guarantee kini sudah menjadi kebutuhan mendesak. Jadi, kenapa tidak?***

Jakarta, 12 November 2008

06 November 2008

Realistis terhadap Obama

Kemenangan Barack Obama dalam Pemilihan Presiden AS mendapat sambutan gegap-gempita. Bukan saja di dalam negeri AS sendiri, melainkan juga di berbagai penjuru dunia. Tak terkecuali di Indonesia. Bahkan dibanding bangsa-bangsa lain, ekspresi kita dalam menanggapi kemenangan Obama ini terkesan agak istimewa.

Kita sebagai warga Indonesia tak bisa menyembunyikan rasa suka-cita terhadap kemenangan Obama bukan semata karena Obama menampilkan citra pemimpin yang mempesona. Juga bukan lantaran kita sudah muak oleh gaya George W Bush selama memimpin AS yang lebih mirip koboi, sehingga Obama pun kita lihat sebagai sosok antitesis.

Di samping alasan-alasan itu, kita ikut bersuka-cita atas kemenangan Obama juga karena kita memiliki ikatan emosional dengan Obama. Masa kecil Obama yang selama beberapa tahun dihabiskan di Jakarta membuat kita merasa sebagai bagian dari keluarga besar Obama. Karena itu, kita merasa kemenangan Obama merebut posisi orang nomor satu di AS sebagai kemenangan kita juga.

Sikap seperti itu wajar-wajar saja. Tidak berlebihan. Larut dalam romantisme kadang memang sulit dihindari. Namun sungguh tidak boleh terjadi jika kita lantas berasumsi bahwa Obama sebagai pemimpin AS serta-merta akan memberi perhatian khusus kepada kita. Juga jangan sesekali bermimpi bahwa di bawah kepemimpinan Obama, pemerintah AS memberi perlakuan istimewa terhadap kita.

Perlu disadari bahwa di mana pun dan siapa pun, pimpinan sebuah negara niscaya sangat memprioritaskan kepentingan nasional masing-masing. Dia tak bakal mau mempertaruhkan posisinya sendiri demi alasan-alasan yang sama sekali tidak strategis bagi negaranya.

Begitu pula Obama. Dia baru mungkin memberi perhatian terhadap negara atau bangsa lain -- tak terkecuali terhadap kita, Indonesia -- semata jika negara atau bangsa itu memberi manfaat strategis terhadap kepentingan nasional AS. Jelas sungguh naif jika Obama serta-merta memperlakukan kita secara istimewa hanya karena alasan romantis: bahwa dia pernah tinggal di Jakarta selama beberapa tahun.

Jadi, sepanjang secara objektif dinilai tidak termasuk strategis -- dalam arti bisa memberikan banyak manfaat terhadap kepentingan nasional AS -- kita tetap tidak menjadi siapa-siapa bagi Obama sebagai Presiden AS.

Di samping itu, orientasi dan kebijakan politik luar negeri AS sendiri di bawah kepemimpinan Obama, tidak bisa tidak, mesti berada dalam bingkai atau koridor Partai Demokrat sebagai partai yang menaunginya. Mustahil Obama lepas dari paradigma ini, kecuali dia sudah tidak waras secara politik.

Partai Demokrat sendiri sangat sensitif terhadap isu-isu hak asasi manusia, lingkungan hidup, juga secara ekonomi sangat proteksionistis. Karakter ini sudah demikian kental, sehingga siapa pun tokoh Partai Demokrat yang menjadi orang nomor satu di AS niscaya sensitif pula terhadap isu-isu itu. Berbagai orientasi, strategi, ataupun kebijakan yang dia gariskan hampir selalu bertautan dengan isu-isu itu. Tak terkecuali dalam konteks kebijakan politik luar negeri. Saat posisi presiden diduduki tokoh Partai Demokrat, Bill Clinton (1993-2001), misalnya, kita mendapat tekanan politis pemerintahan AS terkait isu pelanggaran HAM di Timtim dan Irian Jaya (kini Papua).

Di bawah kepemimpinan Obama pun, bukan tidak mungkin sikap politik yang tidak menyenangkan itu kita alami lagi. Tentu itu kalau kita dinilai bermasalah dalam konteks isu-isu sensitif di mata Partai Demokrat.

Jadi, kita tak perlu berlebihan berharap kepada Obama setelah kelak dia resmi berperan sebagai Presiden AS. Bagaimanapun, sikap dan kebijakan AS terhadap kita di bawah kepemimpinan Obama ini belum tentu lebih baik daripada pemerintahan Bush selama ini.***

Jakarta, 6 November 2008