31 Desember 2007

Ketidakwajaran di Ujung Tahun

Jika anggaran negara banyak terserap, mestinya itu pertanda positif. Pertanda kegiatan berjalan lancar. Pertanda semangat dan tanggung jawab aparat pemerintah melaksanakan pekerjaan boleh diacungi jempol.

Karena itu pula, tingginya tingkat penyerapan anggaran mestinya tidak terasa aneh. Tidak harus menjadi sesuatu yang terkesan janggal.

Tetapi manakala ternyata sekian banyak anggaran tersedot di menit-menit terakhir menjelang tutup buku, itu terasa tidak wajar. Aneh. Mencengangkan. Rasa curiga kita serta-merta terusik. Terlebih jika di awal-awal, dengan berbagai alasan, jajaran aparat pemerintah sempat menyatakan tidak sanggup melaksanakan pekerjaan.

Mungkin benar, secara objektif pekerjaan di lapangan terselesaikan sesuai waktu yang ditargetkan. Tapi jika penyelesaian itu dikebut dalam tempo yang terbilang sudah sangat mepet, mutu pekerjaan amat sulit diharapkan bisa memenuhi syarat. Kita tidak yakin bahwa mutu pekerjaan itu bisa dipertanggungjawabkan. Terlebih lagi jika secara teknis pekerjaan itu mustahil bisa dituntaskan dalam sekejap.

Jadi, penyerapan anggaran yang mendadak melonjak drastis di penghujung tahun ini tetap saja amat terasa tidak wajar. Mencengangkan. Hanya Sangkuriang atau Bandung Bondowoso yang mungkin sanggup menyelesaikan pekerjaan berat dalam tempo singkat.

Aparat pemerintahan kita jelas bukan Sangkuriang yang sanggup menerima tantangan Dayang Sumbi membuat perahu raksasa dalam tempo semalam. Mereka juga bukan Bandung Bondowoso yang menyanggupi membangun candi Roro Jongrang hanya dalam waktu semalam suntuk.

Aparat pemerintahan kita bukan saja tidak memiliki mantra sakti abakadabra yang memungkinkan pekerjaan bisa diselesaikan dalam tempo sekejap.

Lebih dari itu, mereka justru sejak lama dikenal lelet alias tidak trengginas dalam bekerja. Mereka terbiasa dengan budaya berleha-leha. Kerja cepat tanpa mengabaikan mutu nyaris tidak masuk dalam rumus mereka. Sampai-sampai ada anekdot, bahwa aparat pemerintahan kita hanya mengucurkan keringat manakala makan besar. Bukan saat bekerja, karena sikap dan perilaku kerja mereka memang amat minimalis!

Karena itu pula, sekali lagi, tingkat penyerapan anggaran yang mendadak naik drastis menjelang tutup buku di penghujung tahun ini serta-merta membuat kita tercenang. Takjub.
Kita nyaris tak percaya. Bahkan kita curiga: bahwa di balik penyerapan anggaran yang menakjubkan ini ada rekayasa. Ada akal-akalan. Semata agar anggaran yang sudah dialokasikan tidak lantas menjadi sia-sia. Agar anggaran bisa habis terpakai.

Sebenarnya, kecenderungan seperti itu sudah sejak lama berlangsung. Sudah rutin. Setiap menjelang tutup buku, tingkat penyerapan anggaran selalu mendadak melonjak drastis hingga mendekati alokasi. Ketika tutup tahun, sedikit sekali anggaran yang tidak terpakai. Padahal sebelum menjelang akhir tahun, menjelang tutup buku, tingkat penyerapan anggaran relatif rendah.

Tetapi selalu saja semua itu sekadar menjadi ketakjuban dan kecurigaan. Kita tidak pernah memperoleh klarifikasi bahwa tingkat penyerapan anggaran yang mendadak naik drastis menjelang tutup tahun itu memang tidak wajar.

Kita tidak pernah memperoleh penjelasan terbuka dan resmi bahwa penyerapan anggaran itu mengandung rekayasa sekadar untuk menghabiskan keuangan negara. Kita tidak pernah menerima laporan bahwa penyerapan anggaran yang menakjubkan itu melanggar prinsip good governance.

Justru itu, kini saatnya kita membuktikan bahwa kecurigaan tentang penyerapan anggaran yang tidak wajar di penghujung tahun itu sungguh tidak mengada-ada. Kita tak boleh lagi seperti tak berdaya untuk melakukan pembuktian. Tahun baru 2008 harus benar-benar kita jadikan momentum untuk menegakkan prinsip good governanve.

Untuk itu, niat Menkeu mengerahkan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk melakukan pemeriksaan terhadap lonjakan drastis penyerapan anggaran di penghujung tutup buku ini tak boleh sekadar lips service. Niat tersebut harus benar-benar dilaksanakan!***
Jakarta, 31 Desember 2007

27 Desember 2007

Pembatasan BBM Dibatalkan

Pembatasan pemakaian bahan bakar minyak (BBM) jenis premium, yang notabene bersubsidi, mungkin tak bakal sampai melahirkan instabilitas politik dan keamanan di dalam negeri. Terlebih, menurut rencana, kebijakan tersebut sebatas diberlakukan di Jabodetabek plus beberapa kota besar lain. Sasarannya juga hanya meliputi pengguna mobil pribadi.

Tapi pemerintah tetap harus rela dicaci-maki. Atau bahkan harus siap "dihukum". Caci-maki dan hukuman pasti dilakukan publik yang merasa dirugikan. Hukuman pasti mereka jatuhkan saat pemilu nanti. Maklum, karena pembatasan pemakaian BBM bersubdidi termasuk tindakan tidak populer. Sangat menohok langsung ke ulu hati publik.

Karena itu, jika benar, pembatalan rencana pembatasan pemakaian premium tak sulit kita pahami. Kita bisa langsung menarik kesimpulan bahwa pemerintah tak mau berisiko dicaci-maki dan dihukum oleh publik.

Bagi pemerintah, biaya politik itu sungguh jauh tak sepadan dengan nilai dana yang bisa dihemat lewat pembatasan pemabakaian BBM bersubsidi. Terlebih dana yang bisa dihemat itu hanya berjumlah sekitar Rp 6 triliun per tahun. Angka itu relatif tak berarti dibanding nilai popularitas pemerintah yang jatuh terpuruk jika rencana pembatasan pemakaian BBM bersubsidi tetap dilaksanakan.

Semula pemerintah demikian menggebu menggulirkan rencana pembatasan pemakaian BBM bersubsidi, khususnya bagi pengguna mobil pribadi ini. Bahkan pemerintah sudah mematok rencana bahwa kebijakan itu diimplementasikan mulai awal tahun depan. Alasan utama tentang itu adalah beban subsidi BBM yang kian membengkak dan membuat struktur anggaran negara menjadi tidak sehat.

Dengan harga minyak mentah di pasar dunia di posisi hampir 100 dolar AS per barel, subsidi BBM dalam APBN membengkak menjadi Rp 87 triliun. Padahal sebelum harga minyak di pasar dunia gonjang-ganjing, subsidi BBM bisa ditekan di bawah Rp 50 triliun.

Subsidi BBM tak terhindarkan membengkak sangat signifikan sebagai konsekuensi lonjakan harga minyak dunia yang mencapai level jauh di atas harga asumsi yang dipatok dalam APBN. Dalam APBN 2008, harga minyak ini diasumsikan 60 dolar AS per barel. Padahal di pasar dunia dunia, harga minyak ini rata-rata sudah di atas 95 dolar AS per barel.

Jadi, memang, amat masuk akal jika tempo hari pemerintah lantas begitu menggebu mencanangkan rencana strategi pembatasan pemakaian BBM bersubsidi mulai awal tahun depan. Tapi jika benar pemerintah memutuskan membatalkan rencana itu, masalah beban subsidi BBM tak serta-merta bisa dilupakan atau dianggap tak merisaukan lagi.

Melihat gelagat yang berkembang, harga minyak di pasar dunia sulit diharapkan bisa melorot ke posisi yang mendekati level asumsi APBN. Sangat boleh jadi, harga minyak di pasar dunia tetap bertahan di level 90-an dolar AS per barel.

Justru itu, kebutuhan menyangkut peningkatan produksi minyak di dalam negeri menjadi kian niscaya. Artinya, program ke arah itu mesti kian serius digencarkan. Berbagai strategi kebijakan yang melicinkan jalan bagi peningkatan produksi minyak di dalam negeri mutlak harus bisa dirumuskan dan diterapkan secara konsisten.

Di sisi lain, program penghematan penggunaan energi, khususnya BBM, tak boleh lagi sekadar menjadi wujud kepanikan sesaat terkait lonjakan harga minyak dunia. Bahwa pembatasan pemakaian BBM bersubsidi dibatalkan, berbagai alternatif kebijakan harus segera dicari dan diterapkan.

Sementara program-program yang sudah mulai dilakukan seyogyanya tidak dikendurkan, melainkan justru kian diintensifkan dengan cakupan yang semakin luas. Misalnya program konversi penggunaan minyak tanah ke gas atau pun penggantian turbin pembangkit listrik yang tidak berbasis minyak.

Di luar itu, dalam jangka panjang, penciutan subsidi BBM harus terus konsisten dilakukan. Itu mutlak karena subsidi adalah kanker berbahaya yang membuat anggaran negara tidak pernah sehat. Terlebih lagi banyak studi menunjukkan bahwa subsidi lebih banyak dinikmati oleh mereka yang bukan sasaran, yaitu kelompok masyarakat menengah atas. Bukan rakyat golongan miskin.***
Jakarta, 27 Desember 2007

28 November 2007

Serius Amankan Anggaran

Apresiasi layak kita berikan kepada pemerintah karena telah menyiapkan jurus untuk mencegah APBN 2008 amburadul diterjang lonjakan harga minyak dunia. Kita salut karena kesiapan itu menunjukkan pemerintah bersikap tanggap dan berani. Sikap tanggap mengandung arti pemerintah tidak memandang masalah dengan sebelah mata. Tidak menganggap enteng persoalan. Sementara sikap berani menunjukkan bahwa pemerintah punya kesediaan untuk realistis. Tidak berupaya menghindari alternatif buruk dan pahit.

Sikap tanggap dan berani amat penting. Sudah menjadi kebutuhan sekarang ini. Karena lonjakan harga minyak dunia sudah demikian serius. Harga minyak kini sudah hampir menjebol level 100 dolar AS per barel, rekor tertinggi dalam sejarah perminyakan global.

Dibanding asumsi yang dipatok di APBN, tingkat harga minyak dunia sekarang ini saja sudah terpaut hampir 40 dolar AS per barel. Padahal kalangan ahli memperkirakan, bukan tidak mungkin harga minyak dunia ini masih terus meroket hingga menembus 110 dolar AS per barel.

Kenyataan itu jelas berimplikasi serius terhadap APBN. Terlebih lagi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS juga kini cenderung melemah. Tanpa jurus-jurus tertentu, faktor harga minyak dan kurs rupiah niscaya membuat APBN 2008 bonyok berdarah-darah.

Defisit pasti membengkak hebat. Perhitungan konservatif yang dibuat pemerintah sendiri menyebutkan, defisit APBN pada tahun depan mencapai 1,8 persen produk domestik bruto (PDB). Itu berdasar asumsi bahwa harga minyak di pasar dunia rata-rata mencapai 100 dolar AS per barel.

Dalam angka nominal, defisit itu adalah Rp 14,4 triliun. Ditambah risiko sejumlah faktor lain, seperti risiko lonjakan inflasi, depresiasi kurs, juga pertumbuhan ekonomi turun, angka defisit APBN 2008 ini total menjadi Rp 54,7 triliun. Sungguh angka defisit yang amat serius dan berbahaya bagi kelangsungan anggaran.

Karena itu, sekali lagi, apresiasi sungguh patut kita sampaikan kepada pemerintah. Melalui forum sidang kabinet, Selasa lalu, pemerintah menunjukkan sikap tanggap sekaligus berani dengan menggariskan skenario pesimistis bagi pengamanan APBN 2008. Skenario itu dijabarkan dalam sejumlah jurus yang langsung merujuk pada langkah operasional mencegah APBN 2008 benar-benar amburadul dihempas harga minyak dunia.

Jurus-jurus itu sendiri, secara konseptual, realistis. Dalam arti, jurus-jurus itu memang merupakan kebutuhan. Sebagai langkah taktis pengamanan APBN, jurus-jurus itu bisa diaplikasikan. Misalnya penerbitan surat utang negara (SUN) atau pemanfaatan dana cadangan pengamanan gejolak harga bahan bakar minyak (BBM). Dengan dua jurus ini saja, menurut skenario pemerintah, defisit yang bisa ditutup bernilai sekitar Rp 24 triliun.

Tapi akankah jurus-jurus itu efektif menambal defisit anggaran? Jawaban tentang itu amat bergantung pada keseriusan, konsistensi, dan sikap konsekuen jajaran pemerintahan sendiri. Celakanya, justru di situ titik krusial pengamanan APBN 2008 ini. Becermin pada pengalaman dan kecenderungan selama ini, banyak kebijakan akhirnya mandul gara-gara pemerintah bersikap "hangat-hangat tahi ayam".

Banyak program akhirnya tak lebih menjadi sekadar angin surga lantaran pemerintah takut tidak populer. Banyak strategi akhirnya hanya menjadi macan omong karena aparat pelaksana terjerat bias kepentingan. Banyak target dan sasaran gagal dicapai gara-gara petugas di lapangan miskin kreasi.

Tentu kita amat berharap sikap-tindak seperti itu tidak tetap menggejala dalam konteks pengamanan APBN 2008 ini. Artinya, mental tidak serius harus benar-benar ditanggalkan. Mental tidak konsisten dan tidak konsekuen harus dikikis habis. Memang tidak mudah. Apalagi ini menyangkut kebiasaan yang nyaris mendarah daging.

Untuk itu, kontrol dan kritik amat dibutuhkan. Kontrol dan kritik jangan sekadar dianggap angin lalu. Juga jangan diperlakukan sebagai serangan yang merongrong wibawa pemerintah.***
Jakarta, 28 November 2007

26 November 2007

Rupiah Kian Bergerak Liar

Sebagai konsekuensi kita menganut rezim devisa mengambang, fluktuasi nilai tukar rupiah sungguh sulit dihindari. Selalu membayang. Seiring hukum permintaan dan penawaran, fenomena fluktuasi kurs setiap saat bisa terjadi. Terlebih ekonomi kita sudah merupakan bagian integral dunia global.

Artinya, gejolak kurs yang terjadi di belahan negara lain, lambat atau cepat pasti mengimbas pula ke dalam negeri. Jadi, fluktuasi kurs adalah fenomena biasa.

Tetapi manakala cenderung tidak normal, fluktuasi kurs segera mengundang waswas. Entah melemah ataupun menguat, gejolak kurs yang relatif tidak normal hampir selalu serta-merta memunculkan kekhawatiran. Jangan-jangan situasi tak terkendali. Jangan-jangan perkembangan tak bakal segera membaik.

Kenyataan seperti itu pula yang kini mulai membayang di tengah masyarakat. Ini sejak kurs rupiah cenderung terus tertekan terhadap dolar AS. Sejak nilai tukar rupiah semakin melemah. Terlebih perkembangan tersebut merupakan anomali. Sebab, memang, kurs berbagai mata uang lain terhadap dolar AS justru menguat. Artinya, arah pergerakan kurs rupiah sekarang ini lain sendiri.

Anomali itu pula yang membuat kekhawatiran di masyarakat jadi kian mengental. Karena tak memperoleh penjelasan gamblang tentang itu, masyarakat semakin waswas. Bahwa arah pergerakan kurs rupiah ke depan ini semakin memburuk. Apalagi kondisi ekternal -- terutama harga minyak mentah di pasar dunia -- potensial kian serius menekan.

Fenomena itu bisa berbahaya. Sikap dan perilaku irasional mulai dominan dalam menyikapi kondisi kurs rupiah. Seolah-olah kondisi objektif ekonomi makro di dalam negeri, yang sesungguhnya tak perlu dikhawatirkan, sama sekali tak bermakna. Seolah-olah fundamental ekonomi nasional yang relatif kokoh hanya bermakna di atas kertas.

Itu berbahaya karena bisa membuat situasi jadi tak terkendali. Ibarat bola salju, kepanikan masyarakat justru bisa membuat kurs rupiah kian terjerembab. Pada gilirannya, seperti pernah kita alami sepuluh tahun lalu, sendi-sendi ekonomi nasional niscaya rontok. Kalau sudah begitu, krisis ekonomi jelas kembali menerpa.

Dalam situasi seperti itu, kita angkat topi terhadap Bank Indonesia (BI). Menghadapi gejolak kurs rupiah sekarang ini, BI tetap mampu bersikap dingin. BI tak terkesan ikut larut dalam kecemasan dan kepanikan yang kini mulai membayangi masyarakat. Sejauh terungkap lewat pernyataan beberapa pejabat BI, kita menangkap kesan bahwa BI masih bisa mengatasi masalah.
Sikap BI itu adalah poin penting. Sebab, manakala BI selaku otoritas moneter ikut-ikutan goyah, apalagi panik, maka perkembangan kurs rupiah niscaya semakin memburuk. Gejolak kurs tak bakal lagi bisa efektif terkontrol.

Namun sikap tenang saja tidak cukup. Yang lebih penting sekarang ini, BI harus melakukan aksi. BI harus berbuat sesuatu yang bisa meredakan kepanikan di masyarakat. BI tak boleh memberi ruang sedikit pun yang bisa membuat kepanikan di masyarakat semakin menggila.

Dengan kata lain, BI harus bisa meyakinkan bahwa segala kecemasan tentang kurs rupiah sama sekali tak beralasan. Pertama, karena fundamental ekonomi nasional justru mengesankan -- dalam arti tidak punya celah yang bisa membuat kurs rupiah tertekan. Kedua, karena gejolak kurs sekarang ini lebih karena faktor eksternal yang tidak sepenuhnya bisa dikendalikan. Untuk itu, BI harus memberi penjelasan meyakinkan mengenai faktor-faktor yang membuat kurs rupiah kini menunjukkan anomali.

Ketiga, ini yang lebih penting, BI tak membiarkan nilai tukar rupiah terus bergulir liar sesuai tekanan pasar. BI sudah saatnya melakukan intervensi. Mungkin tak harus jor-joran. Yang penting, pasar harus diyakinkan bahwa BI tak tinggal diam. Terlebih dengan cadangan devisa yang kini relatif melimpah, BI mestinya tak terlalu sulit menggebrak pasar.***
Jakarta, 26 November 2007

20 November 2007

Stop Ketergantungan!

Ketergantungan kita terhadap pinjaman luar negeri sudah harus diminimalisasi, atau bahkan dihilangkan. Ini bukan hanya karena kita sudah terlalu lama bergantung pada peran pinjaman luar negeri. Sampai-sampai selama ini kita seolah tidak bisa menggerakkan roda ekonomi jika tak memperoleh kucuran pinjaman luar negeri.

Lebih dari itu, karena ketergantungan terhadap pinjaman luar negeri punya implikasi serius yang tidak sehat, bahkan berbahaya. Ketergantungan terhadap pinjaman luar negeri membuat ekonomi nasional mustahil bisa mandiri. Mustahil bebas muatan kepentingan pihak asing. Mustahil bisa berurat-berakar pada sumber daya sendiri.

Memang, selama kita masih terus bergantung terhadap pinjaman luar negeri, selama itu pula kalangan kreditor -- terutama melalui peran lembaga keuangan multiletaral seperti Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (ADB), dan Dana Moneter Internasional (IMF) -- begitu leluasa mendiktekan kepentingan mereka ke dalam berbagai kebijakan strategis kita di bidang ekonomi.

Dengan kata lain, ketergantungan terhadap pinjaman luar negeri membuat kedaulatan kita di bidang ekonomi jadi tergadai.

Di sisi lain, keberpihakan ekonomi terhadap kepentingan nasional juga acap harus dikorbankan. Berbagai subsidi, misalnya, terus dipreteli. Padahal subsidi yang nyata-nyata dibutuhkan rakyat untuk sekadar bertahan hidup (survive) atau untuk amunisi pemberdayaan (empowering) sumber daya ekonomi dikikis dan dihapuskan.

Dalam konteks itu, kalangan kreditor tak henti menekan pengambil kebijakan agar menafikan semangat keberpihakan terhadap rakyat. Lewat ideologi pasar bebas, kalangan negara maju terus menjejalkan doktrin bahwa subsidi adalah kanker yang membuat kehidupan ekonomi tidak bisa sehat. Bahwa daftar negatif investasi adalah najis yang membuat asing ogah menanam modal. Bahwa perlindungan bagi pelaku ekonomi lokal adalah laknat yang membuat iklim investasi bak neraka jahanam.

Karena itu, sekali lagi, ketergantungan terhadap pinjaman luar negeri sudah harus dihilangkan. Atau paling tidak diminimalisasi. Untuk itu, kita harus berani menghentikan pinjaman baru. Di sisi lain, kita juga harus percaya diri untuk meminta pengurangan atau bahkan penghapusan beban utang kepada jajaran kreditor.

Menghentikan pinjaman baru, untuk sekarang ini, rasanya tidak sulit. Toh proporsi kebutuhan akan pinjaman baru sudah tidak signifikan lagi dibanding nilai total APBN. Di awal Orde Baru dulu, proporsi pinjaman baru ini mencapai sekitar 30 persen APBN. Kini angka itu sudah melorot menjadi tinggal sekitar 5 persen.

Jadi, pinjaman baru sesungguhnya bisa kita hindarkan. Terlebih lagi sudah acap terbukti, kemampuan kita menggunakan pinjaman sekarang ini relatif kecil. Karena itu, buat apa mengambil pinjaman baru jika tak bisa optimal dimanfaatkan? Pinjaman baru bukan saja hanya melahirkan beban commitment fee, melainkan terutama secara politis menempatkan kita di mata kreditor menyerupai hamba sahaya.

Di sisi lain, meminta pengurangan atau bahkan penghapusan utang juga beralasan kita lakukan. Pertama, karena proporsi beban utang luar negeri dalam APBN sudah kelewat besar. Separo lebih devisa hasil ekspor kini praktis tersedot untuk mencicil pembayaran utang luar negeri. Jadi, proporsi pembayaran utang luar negeri dalam APBN sudah tidak sehat.

Kedua, sudah menjadi rahasia umum bahwa pinjaman luar negeri banyak dikorupsi oleh oknum pengambil kebijakan dengan restu diam-diam pihak kreditor. Justru itu, secara etis maupun moral, sudah sepatutnya kalangan kreditor pun turut menanggung risiko dengan memberikan keringanan kepada kita menyangkut beban utang ini.

Tapi soalnya, beranikah kita menempuh itu? Adakah political will ke arah sana? Masihkah kita gentar oleh gertakan Bank Dunia, ADB, IMF, ataupun kalangan kreditor lain yang mengancam memasukkan kita ke kelompok the bad boys?***
Jakarta, 20 November 2007

19 November 2007

Tegakkan Kemandirian Ekonomi!

Kemandirian ekonomi nasional sudah begitu lama tergadai. Bahkan mungkin meski kemerdekaan diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, ekonomi kita tidak pernah benar-benar berdaulat. Proklamasi kemerdekaan tidak serta-merta membuat kehidupan ekonomi kita menjadi mandiri, dalam arti kokoh berakar pada kekuatan sendiri. Jika diibaratkan, ekonomi kita adalah tanaman bonsai.

Dalam realitas keseharian di tengah masyarakat, kehidupan ekonomi kita begitu nyata bergantung terhadap kekuatan luar. Di sektor pertanian, misalnya, kita adalah pengimpor besar sejumlah komoditas strategis seperti beras, gandum, bahkan juga gula pasir yang sejatinya dulu di zaman penjajahan Belanda jusru menempatkan kita sebagai produsen nomor wahid di dunia.

Di sektor manufaktur, kita juga tak memiliki kemandirian. Kita amat sangat bergantung pada kekuatan modal dan teknologi asing. Kekayaan sumber daya alam yang kita miliki ternyata tak serta-merta membuat industri manufaktur kita mandiri.
Bahkan dalam sejumlah kasus, ketergantungan itu bukan lagi sekadar menyangkut masalah modal dan teknologi, melainkan juga pasokan bahan baku -- entah bahan baku utama staupun bahan baku penolong. Peran kita sendiri, akhirnya lebih banyak sekadar menjadi penyedia pekerja kasar (blue collar) alias tenaga kuli.

Tak hanya bergantung, kita juga bisa dikatakan sudah kehilangan kendali atas berbagai sendi ekonomi kita. Asing begitu kuat mencengkram. Dalam konteks ini, kita tak berdaya membendung arus masuk kekuatan ekonomi luar. Itulah yang membuat pasar kita banjir dengan aneka produk barang dan jasa impor.

Memang, dalam konteks globalisasi sekarang ini, keterlibatan asing dalam kegiatan ekonomi nasional sungguh mustahil bisa dihindari. Tetapi jika keterlibatan asing ini melahirkan ketergantungan sekaligus membuat kita tak bisa efektif melakukan fungsi kendali, maka kemandirian ekonomi kita hanya di dalam mimpi.

Proses-proses ekonomi jelas tak lagi sepenuhnya berangkat dari kondisi dan potensi lokal. Terlebih jika mekanisme pasar dan liberalisasi menjadi pijakan, maka kegiatan ekonomi kita mustahil bisa optimal mengemban kepentingan nasional. Bahkan atas nama mekanisme pasar, atas nama liberalisasi, kepentingan nasional terpaksa dikorbankan. Artinya, tak bisa lain, ekonomi kita tak berdaulat. Ekonomi kita tergadai.

Dari sisi pengambilan kebijakan, ekonomi kita juga tak bisa dikatakan mandiri. Secara struktural, pemerintah sudah sejak lama amat sulit memformulasikan kebijakan tanpa muatan kepentingan asing, terutama Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) sebagai representasi atau kepanjangan tangan negara-negara maju. Itu sungguh tak terhindarkan sebagai konsekuensi kita yang telanjur begitu besar memanfaatkan pinjaman luar negeri.

Di luar itu, kekuatan berbagai korporasi raksasa dunia juga begitu perkasa mendiktekan kepentingan mereka. Kekuatan modal benar-benar mereka manfaatkan sebagai faktor penekan yang membuat kebijakan ekonomi domestik acap tidak lagi menjadi strategi pemberdayaan nasional.

Walhasil, ketidakmandirian ekonomi ini sungguh berbahaya. Bukan saja mendistorsi kedaulatan kita sebagai bangsa merdeka, ketidakmandirian ekonomi juga tidak produktif atau bahkan destruktif. Resep-resep pemulihan ekonomi yang diitroduksikan IMF dan bank Dunia ketika krisis ekonomi dan moneter melanda negeri kita sepuluh tahun lalu, misalnya, bukan saja terbukti tidak mujarab. Bisa dikatakan, resep-resep itu ngawur sehingga justru berdampak memperparah krisis yang terjadi.

Karena itu, saatnya kini kita mengakhiri ketidakmandirian ekonomi kita ini. Memang, langkah ke arah itu pasti tidak mudah -- terutama karena kita telanjur memiliki banyak ketergantungan kepada kekuatan luar. Tetapi dengan tekad politik membaja, kemandirian ekonomi bukan mustahil bisa kita tegakkan tanpa membuat kita terkucil dari percaturan global. Sejumlah negara bisa jadi contoh yang baik tentang itu.***
Jakarta, 19 November

15 November 2007

Rawannya Ketahanan Energi

Lonjakan harga minyak mentah di pasar dunia kian menorehkan kesadaran: betapa rawan ketahanan energi nasional kita sekarang ini. Rawan, karena lonjakan harga minyak di pasar global begitu nyata dan niscaya berdampak negatif terhadap ekonomi nasional kita. Makin mahal harga minyak dunia, makin serius pula problem ekonomi yang harus kita tanggung. Itu sungguh tak terhindarkan karena minyak telanjur berperan vital dalam berbagai aspek kehidupan ekonomi.

Dulu kenaikan harga minyak dunia adalah rezeki nomplok.
Pertama, karena produksi minyak mentah kita ketika itu relatif melimpah, sehingga kita mampu menjual ke luar negeri (ekspor) dalam volume yang terbilang besar.

Kedua, kala itu tingkat konsumsi bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri relatif rendah. Meski kebutuhan akan BBM ini harus dipenuhi melalui impor, tingkat konsumsi yang rendah ini membuat kita tidak tekor. Hasil penjualan minyak mentah dikurangi nilai impor BBM tetap menyisakan rezeki dalam jumlah banyak.

Kini keadaan sudah berbalik seratus delapan puluh derajat. Kenaikan harga minyak di pasar dunia tidak lagi mendatangkan rezeki nomplok, melainkan justru petaka. Itu karena kita kini sudah menjadi net importer minyak. Tingkat produksi minyak mentah di dalam negeri sekarang ini relatif kecil, sehingga volume dan hasil ekspor pun tak seberapa besar.

Di sisi lain, tingkat konsumsi BBM di dalam negeri sudah demikian tinggi, sehingga kebutuhan impor komoditas tersebut pun tak mampu lagi dicukupi oleh hasil ekspor minyak mentah. Jadi, hasil ekspor minyak dibanding impor BBM telak-telak membuat kita tekor.

Ketahanan energi nasional ini terasa makin mencemaskan karena sejumlah faktor justru tidak kondusif. Tingkat konsumsi BBM, misalnya, terus naik secara pasti. Dalam soal ini, kita sungguh abai dan lalai. Kita nyaris tak pernah peduli oleh laju kenaikan konsumsi BBM.

Kita hampir-hampir tak memiliki kesadaran dan kepedulian untuk menahan laju tersebut. Barangkali kita adalah satu-satunya negara yang tak sedikit pun berupaya serius mengontrol soal itu. Kalaupun terbit kesadaran dan keinginan untuk menekan konsumsi BBM, yang muncul selalu saja program yang berwatak hangat-hangat tahi ayam.

Karena itu pula, dalam konteks penggunaan energi, kita termasuk sangat boros. Kita hampir tak pernah berpikir untuk menggunakan energi secara efisien. Bahkan kebutuhan yang tidak perlu atau sesungguhnya bisa dihindari pun tetap saja kita sandarkan pada BBM. Pembangkit listrik, misalnya, relatif sedikit yang memanfaatkan energi non-BBM. Apa boleh buat, diversifikasi pemanfaatan sumber energi lebih banyak sekadar menjadi wacana.

Yang juga merisaukan, seperti sudah disinggung, produksi minyak kita justru cenderung terus menurun. Ladang-ladang minyak kita kebanyakan telanjur tua-tua, sehingga tidak produktif lagi. Sementara proyek-proyek baru nyaris tak ada akibat iklim investasi yang tidak mengundang gairah investor.

Terkait kenyataan itu, jujur saja kita mempertanyakan kinerja Menteri Purnomo Yusgiantoro. Kita mendapat kesan, Purnomo belum berbuat banyak dan nyata dalam membenahi sektor pertambangan, khususnya dalam mendongkrak produksi minyak kita. Padahal Purnomo sudah menempati pos Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sejak zaman Presiden Abdurrahman Wahid. Artinya, hingga sekarang ini Purnomo telah mendampingi tiga kepala pemerintahan. Karena itu, mestinya grafik produksi minyak kita tidak justru menurun.

Soal ketahanan energi memang bukan melulu tanggung jawab Menteri Energi. Sejatinya, masalah tersebut adalah tanggung jawab kita bersama. Justru itu, mengingat rawannya ketahanan energi kita sekarang ini, semua pihak dituntut merapatkan barisan. Konsolidasi adalah kata kunci. Selebihnya adalah rumusan kebijakan dan program yang meski tajam terarah dan sinambung, serta kerja keras tak kenal lelah.***
Jakarta, 15 Oktober 2007

Kemiskinan Kian Mencemaskan

Kemiskinan di negeri kita sudah termasuk tahap memprihatinkan sekaligus mengerikan. Meprihatinkan, karena masalah kemiskinan tak kunjung tertangani secara meyakinkan. Berbagai upaya ke arah itu terkesan sedikit sekali membawa hasil positif. Jumlah penduduk miskin bukannya berkurang, melainkan justru kian menjulang.

Dua tahun lalu, Bank Dunia menyebutkan bahwa mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan (berpendapatan 2 dolar AS per hari), mencapai 49,5 persen dari total penduduk Indonesia. Berarti, hampir separo penduduk kita berkubang dalam kemiskinan!

Sangat boleh jadi, sekarang ini angka penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan ini sudah lebih besar lagi. Betapa tidak, karena sejumlah faktor mengondisikan kecenderungan ke arah itu. Sebut saja kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) pada tahun 2005 yang sampai dua kali, serta notabene dengan besaran kenaikan yang sangat signifikan. Kenaikan harga BBM pada tahun 2005 menjadi faktor yang serta-merta menurunkan derajat kesejahteraan masyarakat.

Dalam konteks itu, mereka yang semula sudah relatif sejahtera pun terseret turun kembali ke bawah garis kemiskinan. Di sisi lain, kehidupan ekonomi nasional selama dua tahun terakhir juga tak banyak membantu menolong keadaan. Kelesuan di sektor riil berkepanjangan, sehingga masyarakat kesulitan memperoleh topangan untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan.

Walhasil, jelas, jumlah warga miskin pun semakin bertambah. Bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri, saat memberikan sambutan pada puncak peringatan Hari Kesehatan Nasional 2007, kemarin, mengakui, jumlah penduduk miskin di Indonesia masih tinggi.

Tingkat kemiskinan yang tinggi, terlebih dengan perkembangan yang cenderung memburuk, adalah kenyataan mengerikan. Betapa tidak, karena kemiskinan berkorelasi positif dengan tindak kejahatan. Makin tinggi angka kemiskinan, makin tinggi pula berbagai tindak kejahatan.

Lebih mengerikan lagi, karena tindak kejahatan justru semakin berkembang. Bukan hanya secara teknis kian canggih, melainkan terutama karena tindak kejahatan kian tak bernurani. Tindak kejahatan semakin menafikan aspek kemanusiaan: sadistis -- bahkan untuk masalah yang sangat sepele sekalipun.

Karena itu, masalah kemiskinan ini sungguh berbahaya. Jika tetap tak kunjung tertangani secara mendasar dan signifikan, kemiskinan bisa menjadi faktor yang menghancurkan keberadaan kita sebagai sebuah bangsa. Kita bisa kehilangan kebanggaan dan harga diri di tengah percaturan global. Kita juga bisa benar-benar kehilangan daya saing kolektif sebagai bangsa -- dan karena itu kita berisiko dimangsa dan diperhamba bangsa lain. Tanda dan gejala ke arah itu bahkan sudah mulai terlihat dan terasa.

Menilik seriusnya masalah kemiskinan di negeri kita sekarang ini, cara-cara biasa tampaknya tak memadai lagi. Terlebih cara-cara biasa itu acap terbukti tak efektif karena sama sekali tidak menyentuh akar masalah. Pemberian bantuan langsung berupa uang tunai, misalnya, malah melahirkan moral hazard di tengah masyarakat maupun aparat pelaksana program di lapangan.

Pemberian subsidi terhadap aneka komoditas maupun jasa juga lebih banyak menguras anggaran negara. Karena banyak diwarnai bias sasaran, pemberian subsidi nyaris tak berdampak memperbaiki kondisi kehidupan kaum miskin.

Terus-terang, kita cemas bahwa masalah kemiskinan di negeri kita ini justru semakin serius. Ini terutama karena kalangan elite kita miskin empati, miskin terobosan, juga miskin tindakan. Bagi kalangan elite, kemiskinan cenderung diperlakukan sebagai komoditas dan proyek. Karena itu, masalah kemiskinan bahkan mereka perlukan untuk kepentingan kosmetik.***
Jakarta, 15 November 2007

05 November 2007

Renumerasi, Lupakan Saja Dulu!

Pertemuan Menkeu dan tiga menko membahas masalah renumerasi bagi pejabat negara, pekan lalu, seharusnya tandas berkesimpulan bahwa kebijakan tentang itu belum saatnya bisa dilakukan. Tanpa harus alot beradu argumen, pembicaraan dalam pertemuan tersebut mestinya bisa dengan cepat melahirkan kesepakatan bulat. Bahwa pemberian renumerasi bagi pejabat negara untuk saat sekarang tidak urgen dan juga tidak patut.

Tidak patut, karena kondisi kehidupan masyarakat kebanyakan nyata-nyata masih pekat disaput kesulitan ekonomi. Kemiskinan masih kental menyelimuti rakyat dengan kondisi yang cenderung kian parah dan meluas. Gambaran kondisi ke depan ini juga tidak menampakkan gejala membaik.

Karena itu, forum pertemuan setingkat menteri pun mestinya bukan membicarakan masalah renumerasi bagi pejabat negara, melainkan justru membahas langkah-langkah strategis yang bersifat terobosan untuk memperbaiki kondisi kesejahteraan rakyat.

Pembahasan soal renumerasi ini juga tidak urgen dilakukan saat sekarang karena kehidupan pejabat negara sendiri sudah relatif baik dibanding kehidupan rakyat kebanyakan. Gaji yang mereka terima selama ini, jika merujuk pada takaran umum di negeri kita, sudah lebih dari cukup. Ditambah aneka fasilitas yang juga rata-rata di atas lumayan, kesejahteraan pejabat negara kita ini sungguh sulit dikatakan memprihatinkan. Bahkan tak jarang kita melihat kehidupan mereka justru bergelimang kemewahan.

Boleh jadi, memang, kehidupan yang bergelimang kemewahan itu tidak merata dinikmati semua pejabat negara kita. Tetapi juga tetap sulit dibantah bahwa kondisi kehidupan mereka sekarang ini sudah relatif sejahtera. Benar, dibanding di sejumlah negara lain, tingkat kesejahteraan pejabat negara kita ini relatif tertinggal.

Tapi untuk sementara ini, kenyataan tersebut belum terasa menjadi alasan urgen guna memperbaiki renumerasi mereka. Itu tadi, karena kehidupan rakyat kebanyakan masih dililit kemiskinan dengan kondisi yang memprihatinkan.

Artinya, peningkatan renumerasi bagi pejabat negara serta-merta menjadi persoalan etis yang langsung menggugah rasa keadilan. Terlebih lagi, peningkatan renumerasi belum tentu otomatis meningkatkan kinerja mereka. Selama jiwa mereka untuk mengabdi kepada kepentingan publik masih teramat tipis, peningkatan renumerasi boleh jadi sekadar berdampak menambah berat beban pengeluaran negara.

Soal itu terasa mengusik, karena kondisi keuangan negara sendiri sekarang ini tidak cerah. Ke depan ini, defisit anggaran boleh jadi kian membengkak. Kita tahu, harga minyak mentah di pasar dunia belakangan ini bergejolak hingga hampir menembus 100 dolar AS per barel, sementara APBN sendiri mengasumsikan harga minyak di level 60 dolar AS per barel.

Dalam kondisi seperti itu, pemerintah sendiri tampaknya tidak berani menempuh kebijakan tidak populer: menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) sebagai tindak penyesuaian terhadap perkembangan harga minyak dunia.

Implikasinya, itu tadi, defisit anggaran hampir pasti membengkak. Nah, dalam kondisi demikian, peningkatan renumerasi pejabat negara jelas menjadi amat tidak relevan. Peningkatan renumerasi bisa menjadi tindakan konyol sekaligus menyakitkan.

Kita setuju bahwa birokrasi kita perlu direformasi. Tetapi perbaikan renumerasi pejabat bukan satu-satunya faktor yang bisa diandalkan memperbaiki kinerja birokrasi kita. Bahkan masih banyak alternatif lain yang lebih bisa diandalkan untuk itu. Misalnya konsisten dan konsekuen melakukan penegakan hukum terhadap setiap bentuk dan skala tindakan korupsi di lingkungan birokrasi. Singapura atau Hong Kong bisa menjadi contoh terbaik tentang itu, sehingga birokrasi di kedua negara tersebut kini benar-benar efisien dan efektif berfungsi.

Jadi, untuk sementara, lupakan saja dulu gagasan ataupun keinginan membahas soal renumerasi pejabat ini. Selama kemiskinan masih mendera rakyat kebanyakan, juga keuangan negara tidak memungkinkan, godaan maupun tekanan ke arah itu harus dienyahkan jauh-jauh.***
Jakarta, 5 November 2007

20 Oktober 2007

Angkutan Umum Massal

Angkutan umum massal di negeri kita sudah lama cenderung dipandang sebelah mata. Di sisi regulator, sedikit sekali kebijakan yang mengondisikan angkutan umum massal ini bisa berkembang dan menjadi pilihan utama masyarakat. Paling tidak, karena selama ini regulator tidak menunjukkan komitmen dan dukungan besar terhadap penyediaan infrastruktur.

Di sisi operator atau penyelenggara jasa, angkutan umum massal juga tidak menjadi pilihan strategis. Aspek pengelolaan yang mereka lakukan sungguh minimalis. Tak heran, angkutan umum massal seperti kereta api komuter di Jabotabek secara umum nyaris tidak memberikan kenyamanan bagi pengguna jasa. Penumpang cenderung diperlakukan sekadar sebagai bilangan. Karena itu, bak ikan sarden, gerbong kereta api selalu sarat dijejali penumpang. Belum lagi aspek keamanan juga acap terbukti tak terjamin.

Itu pula yang membuat angkutam umum massal di negeri kita secara keseluruhan terkesan tidak berkelas. Kumuh, pengap, jorok, juga amburadul. Angkutan umum massal seolah hanya diperuntukkan bagi kaum marginal.

Memang, belakangan mulai muncul kesadaran di pihak operator untuk menghadirkan layanan angkutan umum massal -- khususnya kereta api komuter -- yang memenuhi syarat kepatutan dan kenyamanan. Tidak kumuh ataupun pengap, melainkan bersih, harum, dan juga tertib. Dengan itu, pihak operator mencoba merengkuh kelompok sosial menengah. Kesan bahwa kereta api komuter melulu pilihan kaum marginal coba dihapuskan.

Namun keinginan baik ke arah sana tergerogoti oleh sikap dan perilaku korup oknum petugas di lapangan. Sembunyi-sembungi ataupun terbuka, mereka menyelundupkan penumpang yang menyetor bayaran ilegal di bawah tarif resmi.

Akibatnya, aspek kenyamanan angkutan umum massal alternatif pun pelan-pelan menguap. Ditambah kegiatan pemeliharaan yang masih saja minimalis, angkutan umum massal itu pun perlahan memudar sebagai alternatif bagi masyarakat kelas menengah.

Karena itu, tak terlalu salah juga kecenderungan masyarakat memengah atas memilih menggunakan kendaraan pribadi. Terlebih, memang, transportasi umum biasa juga gagal menjadi substitusi angkutan umum massal. Selain soal ongkos jatuhnya relatif lebih mahal, layanan angkutan umum biasa juga tidak lebih baik alias amburadul. Bahkan, karena kondisi lalu-lintas jalan raya telanjur padat dan banyak dihadang kemacetan, mobilitas angkutan umum biasa ini juga payah.

Tapi soalnya, kecenderungan untuk memanfaatkan kendaraan pribadi ini sampai kapan bisa diakomodasi? Dari segi ruang, sekarang ini saja kemacetan lalu-lintas sudah parah.
Tanpa solusi strategis, kemacetan lalu-lintas jalan raya ini jelas niscaya semakin menjadi-jadi.

Dalam konteks konsumsi bahan bakar minyak (BBM), kecenderungan itu juga tidak sehat. Tingkat konsumsi BBM menjadi tinggi dan terkondisi boros karena kebutuhan terus meningkat.

Walhasil, secara nasional, layanan angkutan umum massal yang tidak berkembang ini sungguh tidak produktif atau bahkan merugikan -- karena mobilitas sosial-ekonomi makin hari makin tidak lancar, dan di sisi lain harga BBM juga semakin mahal.

Karena itu, pernyataan Wapres Jusuf Kalla sungguh patut kita dukung: bahwa angkutan umum massal harus didorong berkembang. Sekarang ini, angkutan umum massal sudah harus menjadi alternatif utama sarana pendukung mobilitas sosial ekonomi masyarakat.

Tapi mewujudkan soal itu pasti tidak mudah. Keinginan ke arah itu menuntut political will dan komitmen serius pemerintah, di samping dukungan konkret berbagai pihak terkait.

Jelas, kita berharap soal itu tidak lagi lebih banyak tersangkut di awang-awang seperti selama ini. Artinya, keinginan menjadikan angkutan umum massal sebagai pendukung utama mobilitas sosial ekonomi masyarakat ini jangan lagi akhirnya menguap begitu saja manakala gejolak harga BBM mereda.***
Jakarta, 20 Oktober 2007

11 Oktober 2007

Free Trade Zone Babinkar

Sebagai tujuan investasi, pamor Indonesia sudah cukup lama cenderung terus menurun. Selama sekitar sewindu terakhir, kalangan investor tidak lagi menjadikan negeri kita sebagai pilihan utama penanaman modal. Ibarat pasangan kencan, mereka sudah berpaling ke lain hati. Bagi mereka, Indonesia tidak "seksi" lagi.

Itu bukan saja menyangkut investasi baru. Bahkan tak sedikit investasi yang sudah lama berkibar di negeri kita ini tak betah terus bertahan. Dalam konteks itu, relokasi industri ke negeri lain menjadi fenomena.

Maka, ibarat pepatah, kita ini sudah jatuh masih tertimpa tangga pula. Di satu sisi kita kesulitan menggaet investasi baru. Tapi di sisi lain, kita juga terus kehilangan proyek-proyek investasi lama seiring fenomena relokasi industri ke negeri lain.

Jelas, itu sangat memprihatinkan sekaligus merisaukan. Merisaukan karena kegiatan investasi kuat bertali-temali dengan masalah ketenagakerjaan. Makin banyak proyek investasi, berarti makin banyak pula lapangan kerja tercipta. Sebaliknya, makin seret dan surut kegiatan investasi, maka makin sempit pula lapangan kerja yang tersedia.

Dalam konteks itu, pengangguran menjadi masalah krusial. Krusial karena di tengah kondisi lapangan kerja yang cenderung menyusut, angkatan kerja baru terus bertambah. Padahal tanpa angkatan kerja baru pun pengangguran di negeri kita sudah seabrek-abrek.

Dalam situasi dan kondisi seperti itu, kemarin DPR menyetujui peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) tentang kawasan ekonomi khusus berupa zona perdagangan bebas alias free trade zone (FTZ) Batam, Bintan, dan Karimun (Babinkar) menjadi undang-undang.

Keputusan itu sungguh punya makna strategis. Kita bisa berharap keputusan DPR ini mampu membangkitkan kembali kegiatan investasi di negeri kita, khususnya di Batam, Bintan, dan Karimun. Dalam lingkup luas dan jangka menengah, keputusan itu juga bukan tidak mungkin menjadi pemicu dan pemacu kebangkitan ekonomi nasional.

Memang, proses pembahasan perppu menjadi undang-undang itu terbilang kilat. Mulai dibahas 14 September lalu, Selasa kemarin sudah gol disetujui. Walhasil proses pembahasan sampai tuntas tak sampai memakan waktu sebulan. Mudah-mudahan ini bukan pertanda sikap grasa-grusu yang bisa berimplikasi merugikan: konsep UU FTZ Babinkar ini tidak matang dan menyimpan bom waktu.

Sebaliknya, kita percaya bahwa proses pembahasan yang terbilang kilat itu menunjukkan kesadaran tinggi DPR akan kondisi dunia investasi kita yang boleh dikatakan sudah genting dan menuntut terobosan strategis.

Kini, setelah resmi disetujui DPR, bola FTZ Babinkar berada di pihak pemerintah. Secara teknis, pemerintah perlu segera membuat kelengkapan kelembagaan berupa dewan kawasan dan badan pelaksana. Tentu kita berharap agar figur-figur yang kelak dipilih menduduki posisi di kedua lembaga itu benar-benar profesional.

Artinya, mereka memiliki wawasan luas dan menguasai teknis manajerial tentang peran dan fungsi kawasan perdagangan bebas. Dengan demikian, UU FTZ Babinkar benar-benar bermanfaat bagi kepentingan nasional.

Terkait itu pula, kita ingin sedikit mengingatkan bahwa konsepsi kawasan ekonomi khusus berupa FTZ jangan menjadikan Batam, Bintan, dan Karimun sekadar sebagai kantong (enclave) kegiatan investasi marjinal: melulu bersifat padat karya dan berteknologi rendah.

Sebaliknya, kawasan ekonomi khusus di ketiga pulau itu harus menjadi wahana kegiatan ekonomi yang memiliki makna istimewa. Investasi yang masuk harus benar-benar berkualitas dan bercakupan luas: di samping membuka lapangan kerja, juga menjadi daya dorong ekonomi nasional berjaya dalam forum global.

Untuk itu, sebuah grand design perlu dirumuskan secara cermat dan tajam. Jika tidak, UU FTZ Babinkar sulit diharapkan memberi manfaat optimal.***
Jakarta, 11 Oktober 2007

Ritual Mudik Lebaran

Menghadapi arus mudik Lebaran, semua pihak sungguh dituntut bersikap siaga. Tidak hanya jajaran pemerintahan -- terutama mereka yang bertanggung jawab atas masalah transportasi --, aparat kepolisian, operator angkutan umum, bahkan juga masyarakat pemudik sendiri mesti siaga.

Artinya, masing-masing harus siap sedia menjaga berbagai kemungkinan buruk berkaitan dengan kegiatan mudik ini. Intinya, kemungkinan-kemungkinan buruk dan pahit harus bisa dihindari. Selebihnya, kegiatan mudik harus bisa terselenggara secara tertib, aman, dan nyaman.

Tanpa kesiagaan, kegiatan mudik bisa menjadi petaka. Kegiatan mudik bisa kacau-balau, penuh keluh-kesah, sarat sumpah-serapah, atau bahkan kental dengan duka nestapa. Betapa tidak, karena mudik Lebaran menyangkut pergerakan manusia dalam skala masif pada rentang waktu yang relatif pendek.
Menurut perkiraan, mudik Lebaran kali ini melibatkan sekitar 32 juta orang. Itu adalah angka yang luar biasa besar. Jelas, berbagai kemungkinan buruk pun bisa mudah terjadi. Terlebih lagi kalau sikap abai dan lalai tak dianggap sebagai berisiko fatal.

Tak bisa tidak, karena itu, perhitungan atau perkiraan mengenai berbagai aspek terkait arus mudik ini pun mesti cermat. Tak boleh mengawang-awang. Perencanaan juga tak bisa dilakukan asal jadi. Sementara koordinasi dan kerja sama antarpihak jangan dianggap sekadar ajang main-main. Koordinasi dan kerja sama sungguh mutlak harus dilakukan.

Dengan demikian, kesiagaan bisa terbangun. Kesiagaan tidak menjadi sekadar proforma. Kesiagaan bukan cuma basa-basi sekadar untuk memenuhi kesantunan sosial ataupun tebar pesona.

Karena itu pula, kita amat menghargai upaya pemerintah -- khususnya Departemen Perhubungan -- menggerakkan kesiagaan berbagai pihak yang bersinggungan dengan masalah transportasi umum dalam menghadapi arus mudik Lebaran kali ini.

Dengan itu, pemudik boleh memiliki keyakinan bahwa pilihan-pilihan moda transportasi yang tersedia aman digunakan -- syukur-syukur juga nyaman. Artinya, risiko kecelakaan transportasi relatif kecil. Dengan itu, perjalanan mudik tak lantas dihantui rasa waswas dan cemas.

Selama ini, waswas dan cemas senantiasa membayangi publik pengguna jasa transportasi umum di negeri kita. Apa mau dikata, memang, karena kecelakaan transportasi umum terlampau kerap terjadi. Sekian banyak korban sudah jatuh dengan sia-sia dan konyol. Dikatakan konyol, karena kecelakaan transportasi umum tak seharusnya terjadi kalau saja semua pihak taat berpijak pada ketentuan.

Tapi ketentuan apa pun di negeri kita cenderung dianggap sebagai prasasti. Ketentuan ataupun aturan seolah boleh dikompromikan, diabaikan, atau bahkan sengaja dilanggar. Ketentuan tentang kelaikan operasi alat transportasi, misalnya, bisa ditawar-tawar. Tak heran alat transportasi yang nyata-nyata bobrok pun bisa leluasa melaju mengangkut penumpang.

Sudah sering terungkap, jumlah penumpang angkutan kapal, misalnya, jauh melampaui angka dalam daftar manifes. Begitu juga penumpang kereta api (kelas ekonomi): bukan saja berdesakan bak ikan sarden, melainkan juga meluber hingga ke atap gerbong.

Kenyataan itu tak harus terjadi kalau saja semua pihak tidak abai dan lalai. Aparat pelaksana regulasi, terutama, mestinya bersikap tegas dan lugas terhadap berbagai penyimpangan. Fakta objektif tentang itu tak boleh malah dijadikan pijakan untuk kompromi atau transaksi damai. Pemeriksaan dan pengawasan atas kondisi alat transportasi di lapangan juga jangan diperlakukan sebagai dasar untuk mencari-cari kesalahan.

Walhasil, kita berharap kesiagaan segenap pihak terkait penyelenggaraan jasa transportasi ini tak hanya berlaku sesaat. Cuma dalam rangka menghadapi arus mudik Lebaran. Kesiagaan itu mestinya menjadi kultur yang tak pernah luntur.***
Jakarta, 7 Oktober 2007

20 September 2007

Hari Besar dan Angkutan Umum

Penyelenggaraan jasa angkutan umum -- entah moda transportasi darat, laut, ataupun udara -- mestinya mengacu kepada kepentingan konsumen. Dalam konteks ini, keterjangkauan tarif, kenyamanan pelayanan, juga keamanan/keselamatan selama dalam perjalanan dituntut menjadi pijakan.

Tetapi pengalaman selama ini gamblang menunjukkan bahwa kepentingan konsumen cenderung diabaikan. Terutama menjelang dan selama hari-hari besar seperti Lebaran, Natal, atau Tahun baru: penyelengraraan jasa angkutan umum di negeri kita adalah sebuah drama yang sarat diwarnai kerakusan, keangkuhan, dan ketakpedulian yang membuat konsumen semata-mata sebagai objek.

Soal tarif, misalnya. Bagi konsumen, tarif angkutan umum pada suasana hari besar sama sekali tidak terjamin bisa terjangkau. Konsumen hampir selalu mendapati kenyataan bahwa tarif melonjak. Tarif naik sebagai respons penyesuaian terhadap hukum pasar ketika permintaan meningkat. Tapi kenaikan tarif hampir selalu menjadi sangat tidak wajar karena perilaku culas ikut bermain memanfaatkan suasana.

Pemerintah sendiri, dalam menghadapi hari-hari besar memang selalu berupaya mengatur tarif angkutan umum agar tetap terjangkau masyarakat kebanyakan. Namun di lapangan, pengaturan itu tak jarang mengalami distorsi -- dan karena itu tarif yang terjangkau cuma ada di atas kertas.

Contoh nyata menjelang Lebaran sekarang ini: tarif angkutan kereta api melonjak gila-gilaan. Akibat telanjur banyak dikuasai calo, sekarang ini tiket tak lagi bisa diperoleh di loket -- bahkan untuk pemberangkatan jauh di belakang hari, saat-saat menjelang hari H Lebaran.

Juga untuk tujuan balik, loket sudah tak menjual lagi tiket. Sebagian habis dibeli calon penumpang. Sebagian (besar) lagi telanjur dikuasai calo. Konsumen pun, karena itu, harus membayar tiket kereta api ini dua atau tiga kali lipat harga resmi di loket.

Tapi anehnya, pihak operator terkesan tidak tahu-menahu ihwal permainan calo tiket ini. Padahal kiprah percaloan tiket nyata-nyata berlangsung di depan hidung mereka. Jadi, sungguh menggelikan jika pihak operator kereta api sampai tidak tahu. Yang mungkin terjadi, mereka tidak berdaya. Atau oknum petugas mereka bekerja sama dengan calo. Atau mungkin juga oknum petugas merangkap menjadi calo!

Kondisi hampir serupa juga bisa ditemukan dalam penyelenggaraan jasa angkutan darat, laut, ataupun udara. Sama saja: menjelang hari-hari besar, konsumen praktis dibuat susah. Tiket sulit diperoleh. Harga tiket juga melambung. Terlebih bila calo ikut bermain.

Itu, sekali lagi, karena penyelenggara jasa angkutan umum tidak menempatkan kepentingan konsumen sebagai rujukan. Orientasi mereka adalah meraup keuntungan sebesar-besarnya. Karena itu, setiap peluang ke arah sana -- sekecil apa pun -- benar-benar mereka manfaatkan. Hukum permintaan dan penawaran pun lantas menjadi pembenaran.

Dengan semangat itu pula, kenyamanan pengguna jasa menjadi urusan ke sekian. Di tengah suasana menjelang hari besar, kenyamanan konsumen boleh dikatakan tak masuk hitungan. Nyaris tidak menjadi kepedulian penyelenggara jasa angkutan umum. Lihat saja angkutan kereta api atau bus antarkota: jumlah penumpang (kelas ekonomi) dipaksakan jauh melampaui kapasitas.

Sudah begitu, kelengkapan armada juga sungguh tak terpelihara. Fasilitas pendingin udara (AC), misalnya, acap hanya mengeluarkan angin sepoi-sepoi. Juga fasilitas kamar kecil yang selalu dalam kondisi mempertontonkan kebobrokan dan kejorokan demikian sempurna.

Soal keamanan/keselamatan konsumen selama dalam perjalanan? Itu juga tak kurang memprihatinkan. Sejumlah kasus sudah terang-benderang menunjukkan bahwa berbagai moda angkutan umum di negeri kita sedikit sekali menjamin aspek keamanan/keselamatan pengguna jasa.

Karena itu, semestinya suasana menjelang Lebaran sekarang ini dijadikan momentum untuk membenahi penyelenggaraan jasa angkutan umum kita secara komprehensif, mendasar, dan serius. Pemerintah, dalam kaitan ini, sungguh diharapkan berperan di garda depan.***
Jakarta, 20 September 2007

17 September 2007

Bom Waktu di Industri Pembiayaan

Industri usaha pembiayaan (multifinance) di dalam negeri makin serius digayuti persoalan pelik sekaligus klasik. Persoalan itu adalah kredit bermasalah. Ini gamblang tercermin pada kinerja perusahaan-perusahaan pembiayaan. Laba mereka cenderung turun signifikan. Tahun lalu saja, menurut Laporan Perekonomian Indonesia 2006 yang disusun Bank Indonesia, penurunan laba perusahaan-perusahaan pembiayaan ini rata-rata mencapai 24 persen.

Tahun ini, sangat boleh jadi, penurunan laba perusahaan-perusahaan pembiayaan di dalam negeri ini lebih besar lagi. Betapa tidak, karena kondisi yang mereka hadapi cenderung semakin memburuk. Daya beli masyarakat, terutama, kian melorot.

Lalu, bunga pinjaman -- meski sejak awal tahun ini sudah turun -- juga tetap masih relatif tinggi. Tak heran, karena itu, tingkat pertumbuhan industri pembiayaan ini menurun drastis. Data sementara di Bank Indonesia menunjukkan, volume pembiayaan industri tersebut hingga September ini turun 4,3 persen dibanding tahun lalu.

Mengkhawatirkan. Risiko kredit bermasalah kian pekat membayangi industri pembiayaan nasional. Risiko tersebut sungguh tidak bisa dipandang enteng. Melihat dampaknya terhadap penurunan perolehan laba, risiko kredit bermasalah yang menggelayuti industri pembiayaan ini mungkin sudah masuk stadium serius.

Karena serius, masalah tersebut jelas menuntut perhatian dan tindak penanganan segera. Jika tidak, bukan tidak mungkin risiko kredit bermasalah benar-benar merontokkan industri pembiayaan di dalam negeri secara keseluruhan.

Bahkan boleh jadi masalah tersebut menjadi bom waktu yang melahirkan risiko sistemik terhadap industri keuangan nasional. Industri perbankan, misalnya, bisa ikut-ikutan limbung. Maklum karena perbankan adalah sumber utama pendanaan industri pembiayaan di dalam negeri. Jadi, manakala industri pembiayaan limbung atau bahkan rontok, perbankan juga sulit tidak ikut-ikutan goyah.

Seriusnya kredit bermasalah yang menggelayuti industri pembiayaan ini jelas memprihatinkan. Betapa tidak, karena mestinya masalah tersebut bisa dikelola sedemikian rupa sehingga tidak menjadi "panyakit kanker".

Dalam konteks itu, boleh-boleh saja penurunan daya beli masyarakat ditunjuk sebagai biang masalah. Terlebih, memang, penurunan daya beli masyarakat demikian nyata dan signifikan. Siapa pun bisa merasakan, kehidupan ekonomi nasional semakin tidak bersahabat.

Harga aneka barang dan jasa terus merangkak naik. Bagi masyarakat kebanyakan, itu adalah faktor yang begitu niscaya menggerogoti kemampuan ekonomi mereka. Itu pula yang membuat banyak debitor perusahaan pembiayaan kesulitan atau bahkan tak mampu lagi membayar cicilan.

Dalam perspektif bisnis, faktor itu memang risiko.
Tetapi manakala faktor itu demikian telak mengganggu kinerja usaha atau bahkan mengancam kelangsungan entitas bisnis, jelas itu bukan lagi sekadar risiko bisnis. Pasti ada faktor lain yang tidak beres.

Nah, dalam konteks industri pembiayaan nasional sekarang ini, faktor lain itu adalah ketidakhati-hatian. Sulit diingkari, dalam beberapa tahun terakhir industri pembiayaan di dalam negeri terjebak pada iklim persaingan yang tidak sehat. Terutama di sektor otomotif, khususnya sepeda motor, masing-masing perusahaan begitu jor-joran menggaet nasabah.
Persyaratan pembiayaan bukan saja dipermudah, tetapi bahkan
seperti menafikan prinsip kehati-hatian. Penilaian atau survei kelayakan calon debitor, misalnya, cenderung diperlakukan sekadar sebagai proforma.

Adalah mengherankan bahwa kecenderungan yang tidak sehat itu seolah bukan anomali yang serta-merta mengundang kepedulian pihak berwenang untuk bertindak. Institusi yang menjadi otoritas sektor pembiayaan terkesan tutup mata. Bahkan sekarang ini pun, ketika kredit bermasalah di industri pembiayaan sudah menjadi bom waktu, mereka masih tenang-tenang saja.***
Jakarta, 17 September 2007

12 September 2007

Siapkan Contingency Plan

Perkembangan harga minyak di pasar internasional semakin mencemaskan. Tanpa bisa ditahan, harga minyak ini terus merangkak naik. Posisi terakhir, harga minyak di pasar global sudah menyentuh 78 dolar AS per barel. Boleh jadi, level psikologis 80 dolar AS per barel pun tak lama lagi tertembus.

Itu sangat mungkin terjadi karena permintaan tetap tinggi. Sejumlah faktor memang mengondisikan kecenderungan itu. Sebut saja, misalnya, pertumbuhan beberapa raksasa ekonomi seperti China dan India yang begitu tinggi. Roda perekonomian negara-negara tersebut membuat konsumsi minyak mereka terus-menerus naik.

Di sisi lain, cadangan minyak di kalangan negara maju juga kini disebut-sebut mulai menipis. Padahal, seiring musim dingin yang tak lama lagi menjelang, konsumsi minyak mereka juga segera berlipat.

Memang, di tengah kondisi seperti itu, Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) kini mulai menimbang langkah ke arah peningkatan produksi. Tapi, seperti biasa, soal itu kemungkinan tidak bisa mudah diputuskan. Perbedaan kepentingan antaranggota OPEC sendiri membuat langkah mengintervensi perkembangan pasar bukan perkara gampang untuk dirumuskan. Bahkan kalaupun sudah menjadi kesekapatan bersama, langkah OPEC mengintervensi pasar dengan menambah pasokan ini acap terbukti tidak solid. Ujung-ujungnya, harga minyak tetap tak terbendung naik terus.

Karena itu, sekali lagi, perkembangan harga minyak dunia sekarang ini sungguh mencemaskan. Tak sulit dibayangkan jika perkembangan lebih jauh menyeret harga minyak ke level 80 dolar AS atau bahkan lebih. Yang sudah pasti saja: kehidupan ekonomi global menjadi buram. Bukan tidak mungkin, jika harga minyak sampai melambung jauh di atas 80 dolar AS per barel, ekonomi dunia tergelincir ke dalam krisis.

Bagi kehidupan ekonomi nasional sendiri, perkembangan harga minyak global ini sudah terasa membuat miris. Bahkan dengan harga minyak dunia yang sudah menyentuh 78 dolar AS per barel sekarang ini saja, ekonomi nasional harus menanggung implikasi sangat serius. Subsidi bahan bakar minyak (BBM), misalnya, jelas jadi membengkak.

Dalam APBNP 2007, harga BBM ini diasumsikan rata-rata 62 dolar AS per barel. Nah, dengan realitas bahwa harga minyak dunia sekarang mencapai 78 dolar AS, berarti asumsi itu sudah jauh meleset. Selisihnya sudah mencapai 16 dolar AS. Padahal untuk setiap kenaikan 1 dolar AS saja, subsidi BBM membengkak sekitar Rp 600 miliar.

Di sisi lain, kondisi harga minyak dunia yang sudah menyentuh 78 dolar AS ini menjadi ancaman serius bagi kelangsungan industri nasional. Ancaman tersebut demikian nyata karena BBM untuk industri tak lagi memperoleh kucuran subsidi.

Persoalan menjadi kian merisaukan, karena nilai tukar rupiah belakangan ini justru cenderung tertekan. Dengan kisaran terakhir di rentang Rp 9.300-Rp 9.400 per dolar AS, posisi kurs rupiah ini membuat implikasi harga minyak dunia semakin berlipat. Dunia usaha nasional, terutama industri yang banyak menggunakan bahan baku impor, sungguh berisiko terpuruk.

Menimbang gambaran seperti itu, langkah-langkah antisipatif sungguh mutlak perlu. Bahkan tidak berlebihan jika pemerintah perlu segera menyiapkan rencana taktis penyelamatan (contingency plan). Pepatah "sedia payung sebelum hujan" jelas amat relevan di tengah perkembangan harga minyak dunia dan kurs rupiah yang mencemaskan sekarang ini.

Dalam konteks itu, sikap abai atau memandang remeh persoalan bukan saja tidak bijak, melainkan juga konyol -- karena berakibat persoalan berkembang jadi tak karu-karuan.
Percaya diri memang perlu. Tapi kita jangan lantas menjadi over confident.
Jakarta, 12 September 2007

10 September 2007

Makna Deklarasi APEC

Isu perdagangan global masuk Deklarasi Pertemuan Puncak ke-15 Forum Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di Sydney, Australia, yang berakhir Minggu kemarin. Para pemimpin APEC mendukung dan memberi komitmen politik untuk menyukseskan perundingan mengenai isu perdagangan global ini lewat Putaran Doha.

Komitmen itu sangat strategis dan punya makna istimewa. Pertama, karena komitmen itu mencerminkan kesadaran para pemimpin ekonomi, terutama kelompok ekonomi maju seperti AS, untuk mengembalikan forum APEC pada relnya: kerja sama ekonomi, terutama liberalisasi perdagangan.

Dengan adanya komitmen itu, isu-isu yang sekarang ini mengganjal perdagangan global -- termasuk antaranggota ekonomi APEC sendiri -- bisa diharapkan segera menemukan solusi yang menguntungkan kepentingan bersama.

Memang, forum APEC hanya mencakup 21 anggota ekonomi. Tetapi terutama karena mencakup ekonomi yang berpengaruh besar di tingkat global, seperti AS, Jepang, juga China, forum APEC bisa berperan menentukan dalam pembahasan masalah-masalah yang selama ini mengganjal perdagangan global.

Kedua, masuknya isu perdagangan global ke dalam Deklarasi Pertemuan Puncak APEC di Sydney ini strategis dan istimewa karena Putaran Doha sendiri, yang menjadi wahana perundingan perdahagangan global dalam kerangka Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), telanjur macet. Padahal isu perdagangan global tetap krusial karena belum juga menjamin situasi pasar yang berlangsung bebas, jujur, aman, dan adil (fair).

Karena itu, sekali lagi, Deklarasi Pertemuan Puncak APEC di Sydney yang mencakup pula isu perdagangan global ini sungguh melegakan. Juga menerbitkan harapan tentang kelanjutan Putaran Doha dengan hasil-hasil yang benar-benar konstruktif.

Sebenarnya, harapan itu senantiasa membayangi setiap Pertemuan Puncak APEC. Terlebih karena nasib Putaran Doha sendiri semakin tidak jelas. Putaran Doha terus macet akibat perbedaan kepentingan antara kelompok negara maju dan kelompok negara berkembang tak kunjung menemukan langkah pemecahan.

Tetapi dalam situasi seperti itu, hasil Pertemuan Puncak APEC dalam beberapa tahun terakhir selalu mengecewakan. Pertemuan APEC justru tidak fokus atau bahkan melupakan isu-isu ekonomi global. APEC seolah kehilangan roh atau elan vital. APEC telah melenceng jauh dari tujuan utama yang melatari kelahiran forum tersebut pada 1989 silam: kerja sama ekonomi sebagaimana tercermin pada nama APEC sendiri.
Dalam beberapa tahun terakhir, setiap Pertemuan Puncak APEC selalu berfokus pada isu-isu politik global, terutama terorisme. Dalam konteks ini, AS di bawah kepemimpinan Presiden George W Bush terlalu dominan dan sukses mendiktekan kepentingan mereka.

Tapi syukurlah. Kesadaran telah muncul. Dalam Pertemuan Puncak di Sydney, para pemimpin APEC seolah ingin mengoreksi kekeliruan mereka selama ini. Meski isu nonekonomi -- kali ini terutama isu perubahan iklim global -- tetap mewarnai, Pertemuan Puncak APEC di Sydney juga memberi fokus terhadap isu substantif APEC: kerja sama ekonomi dan liberalisasi perdagangan dengan memberikan komitmen politik ke arah kelanjutan Putaran Doha.

Itu semakin membesarkan hati karena para pemimpin APEC juga menjanjikan fleksibilitas sikap mereka yang memungkinkan kelanjutan perundingan Putaran Doha tidak berlarut-larut. Artinya, mereka memiliki kemauan untuk melunakkan sikap mereka dari posisi masing-masing selama ini dalam perundingan Putaran Doha mendatang. Dengan itu pula, mereka memberi isyarat bahwa mereka akan mendorong Putaran Doha memasuki fase akhir pada tahun ini.

Tentu, kita amat berharap itu semua bukan sekadar "angin surga". Jika itu yang terjadi, jelas, Pertemuan Puncak APEC di Sydney lebih merupakan dagelan. Di sisi lain, perdagangan global juga tetap kental diwarnai ketidakadilan dan lebih menguntungkan negara-negara maju.***
Jakarta, 10 September 2007

15 Januari 2007

BI Rate sebagai Katalisator

Tingkat suku bunga perbankan memang merupakan salah satu faktor penentu geliat kehidupan ekonomi. Jika suku bunga perbankan tinggi mengawang, kegiatan ekonomi megap-megap. Dunia usaha tertatih-tatih. Bahkan jika sudah mencapai titik ekstrem, tingkat suku bunga ini membuat pelaku usaha bertumbangan. Sekadar untuk bertahan hidup (survive) saja, mereka amat kesulitan.

Sebaliknya jika suku bunga relatif rendah, dunia usaha penuh gairah. Kegiatan produksi berjalan lancar. Ekspansi bisnis juga merebak. Bahkan tingkat suku bunga perbankan yang relatif rendah ini, sepanjang tidak tergelincir ke titik ekstrem sehingga menjadi tidak sehat, merupakan insentif tersendiri bagi investasi baru.

Barangkali kerangka pikir seperti itu pula yang mendorong Presiden Yudhoyono menyeru Bank Indonesia agar kembali menurunkan suku bunga rujukan (BI Rate). Bagi Presiden, penurunan BI Rate merupakan katalisator untuk menghela pertumbuhan ekonomi nasional, terutama sektor riil.

Dengan itu, masalah sosial-ekonomi yang kini tergolong sudah dalam kondisi krusial -- pengangguran dan kemiskinan -- bisa diharapkan tertangani secara meyakinkan. Selebihnya, tentu, secara keseluruhan kehidupan ekonomi yang bergairah memang menjanjikan peningkatan taraf kesejahteraan.

Sebenarnya, sekarang ini BI Rate sudah jauh menurun dibanding setahun lalu. Berkat langkah progresif BI, terutama selama paruh kedua tahun lalu, BI Rate sudah turun 300 basis poin. Penurunan yang sudah amat signifikan itu jelas membuka ruang bagi penurunan suku bunga perbankan.

Tetapi, faktanya, suku bunga perbankan nasional tak serta-merta melorot drastis. Paling tidak, perbankan terkesan masih enggan segera menurunkan suku bunga secara signifikan ke level yang teoritis kondusif bagi kegiatan usaha. Boleh jadi, secara teknis ekonomis, mereka masih membutuhkan waktu sebelum menurunkan suku bunga secara signifikan ini.

Apakah kenyataan itu pula yang membuat Presiden Yudhoyono merasa perlu menyeru BI agar kembali menurunkan BI Rate? Entahlah. Yang pasti, BI sendiri sebenarnya sudah memberi sinyal bahwa penurunan BI Rate sulit bisa dilakukan secara agresif lagi. Bagi BI, penurunan BI Rate sebesar 300 basis poin sepanjang tahun lalu sudah terbilang maksimal.

Memang, otoritas BI mengakui bahwa penurunan BI Rate ini masih dimungkinkan. Celah untuk itu masih tersedia. Terutama jika kondisi makro ekonomi di dalam negeri tergolong favorable, BI Rate bisa saja diturunkan lagi. Tapi, itu tadi, celah ke arah itu sudah amat sempit.

Dengan kata lain, penurunan BI Rate ke level lebih signifikan justru bisa berdampak kontra produktif. Kehidupan ekonomi nasional secara keseluruhan berisiko jadi tidak sehat. Sebut saja, antara lain, nilai tukar rupiah tidak stabil. Atau laju inflasi sulit bisa dikendalikan.

Walhasil, mengharapkan BI Rate menjadi katalisator untuk menghela ekonomi nasional adalah sah-sah saja. Tapi patut disadari, itu bukan satu-satunya faktor. Terlebih tingkat BI Rate sendiri sekarang ini relatif sudah memberi ruang cukup longgar bagi penurunan suku bunga perbankan. Barangkali, penurunan suku bunga perbankan ke level yang lebih kondusif bagi kegiatan ekonomi, khususnya di sektor riil, cuma soal waktu.

Justru itu, pemerintah sepatutnya lebih antisipatif. Jika tidak, tingkat suku bunga yang sudah kondusif itu tetap saja tidak serta-merta menjadi faktor yang menghela ekonomi nasional. Penurunan suku bunga perbankan tidak otomatis menggerakkan sektor ekonomi produktif, melainkan lebih mendorong pertumbuhan sektor konsumsi -- sesuatu yang justru berbahaya, sebenarnya.

Antisipasi yang patut dilakukan pemerintah adalah membenahi faktor-faktor yang selama ini membelenggu sektor ekonomi produktif. Seperti sudah sering dibahas, begitu banyak masalah yang menghambat sektor ekonomi produktif di dalam negeri ini. Misalnya birokrasi yang berbelit, pungli atau korupsi yang mengondisikan ekonomi biaya tinggi, atau juga sistem fiskal yang miskin insentif.

Jadi, "bola" kebangkitan ekonomi nasional ini sejatinya ada di tangan pemerintah. Tapi tampaknya itu belum benar-benar disadari.***
Jakarta, 15 Januari 2007