27 Juli 2004

Gula Ilegal Kok Dilelang?

Pemerintah memutuskan akan melelang gula impor ilegal sebanyak 73.000 ton yang kini ditahan pihak Bea dan Cukai di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Keputusan tersebut tertuang dalam Keppres Nomor 58/2004 yang ditandatangani Presiden Megawati Soekarnoputri di Jakarta, kemarin, dan langsung dinyatakan berlaku sejak ditandatangani.

Penerbitan Keppres Nomor 58/2004 ini jelas merupakan tindak-lanjut rapat kabinet terbatas yang dipimpin Presiden Megawati Soekarnoputri di Istana Negara Jakarta, pekan lalu. Forum tersebut menilai opsi lelang lebih baik ketimbang beberapa opsi lain atas gula impor ilegal ini. Bahkan forum itu juga disebut-sebut sudah menggugurkan opsi reekspor dan opsi pemusnahan.

Opsi lelang dianggap lebih baik karena, konon, niscaya membuat gula impor yang mengundang heboh itu bisa bermanfaat bagi masyarakat. Dalam konteks itu, gula hasil lelang disebut-sebut bisa dijadikan stok nasional atau bisa pula langsung didistribusikan ke daerah-daerah yang membutuhkan. Menperindag Rini Soewandi sendiri, dalam kesempatan terpisah, pernah melontarkan gagasan bahwa gula impor ilegal itu memang lebih baik dijadikan stok nasional untuk wilayah khusus luar Jawa.

Terus-terang kita tak habis mengerti bahwa opsi lelang menjadi pilihan atas nasib 73.000 ton gula impor ilegal ini. Di satu sisi, pilihan tersebut seolah melegitimasi tindak penyelundupan. Di sisi lain, sejauh yang kita tahu selama ini, status gula sebanyak 73.000 ton itu menjadi ilegal antara lain karena komoditas tersebut diimpor setelah masa izin impor berlalu.

Kebijakan impor itu sendiri digariskan dalam rangka menjaga kepentingan petani tebu di dalam negeri. Dengan menutup kran impor pada saat petani di dalam negeri mulai memasuki musim panen dan musim giling, pasokan gula di pasar dalam negeri terjaga tidak berlimpah. Dengan demikian, harga gula lokal tidak terpuruk dan merugikan petani tebu.

Karena itu, opsi lelang serta-merta meruntuhkan berbagai argumentasi yang melatari kebijakan tata niaga gula sebagaimana tertuang dalam SK Menperindag Nomor 9/2002. Opsi lelang praktis menjungkirbalikkan dasar pijakan pemerintah menggelar tata niaga gula. Soal kepentingan petani tebu yang harus dilindungi, dalam konteks ini, tak lebih menjadi hanya lip service.

Betapa tidak, karena tindakan lelang berarti membukakan pintu bagi gula impor ilegal mengalir masuk ke pasar dalam negeri. Terlebih lagi gula sebanyak 73.000 ton jelas bukan jumlah yang terbilang sedikit.

Justru itu, stok atau pasokan gula nasional pun niscaya jadi melimpah -- karena di dalam negeri sendiri, sebagaimana argumentasi pemerintah selama ini dalam memberikan izin impor gula -- sekarang ini mulai berlangsung panen dan musim giling tebu. Tak bisa tidak, hukum ekonomi pun pasti segera berlaku. Pasokan berlebih niscaya menekan harga gula di dalam negeri.

Karena itu, harga gula di pasar lokal bisa terkondisi terseret turun hingga ke level yang tidak menguntungkan petani. Kalau sudah begitu, bukankah nasib atau kepentingan petani tebu ataupun industri gula nasional menjadi korban? Lalu, jika demikian, tidakkah komitmen pemerintah membela petani tebu dan industri gula lokal memang tak lebih sekadar lips service?

Jadi, bagi kita, opsi lelang gula impor ilegal sama sekali tidak memiliki relevansi -- apalagi urgensi. Opsi tersebut bahkan malah meruntuhkan segala argumentasi dan militansi pemerintah selama ini dalam menggelar tata niaga gula yang antara lain ditandai oleh penunjukan beberapa importir terbatas -- notabene kegiatan impor itu sendiri dibatasi hingga waktu tertentu sesuai tibanya masa panen dan masa giling tebu di dalam negeri.

Kita tidak tahu persis perdebatan dalam forum rapat kebinet terbatas pekan lalu hingga sampai pada opsi lelang atas 73.000 ton gula impor ilegal ini. Yang pasti, keputusan tersebut terkesan konyol -- karena serta-merta menorehkan penilaian bahwa keberpihakan pemerintah terhadap petani tebu jadi kehilangan argumen.

Lebih konyol lagi, karena opsi lelang tak mengundang perlawanan dari pihak yang paling berkepentingan. Dewan Gula Indonesia (DGI), misalnya, tenang-tenang saja. Demikian pula Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI): kali ini mereka tak menunjukkan sikap reaktif dan militan seperti biasa. Mereka seolah tak merasakan bahwa lelang gula impor ilegal adalah tindakan yang aneh, janggal, dan kontra produktif terhadap peta pergulaan nasional.

Tetapi, jangan-jangan lelang gula impor ini memang benar relevan dan urgen. Yakni berfungsi mengamankan stok gula di dalam negeri karena produksi gula nasional pada musim giling sekarang kali ini pun tak bisa diandalkan. Jadi, dengan meloloskan gula impor ilegal masuk sebagai stok nasional, harga komoditas itu pun bisa terjaga tetap stabil.

Jika itu yang menjadi pijakan dalam mengambil opsi lelang ini, satu soal lain jadi terkuak: bahwa kebijakan pergulaan nasional salah arah dan tak efektif. Bahwa produktivitas dan efisiensi industri gula kita tidak makin membaik, melainkan justru kian jeblok hingga sekian banyak gula ilegal pun sampai harus ditambahkan sebagai stok nasional.***
Jakarta, 27 Juli 2004

23 Juli 2004

Larangan Impor Beras (2)

Pemerintah memutuskan larangan impor beras diperpanjang hingga akhir Agustus 2004. Ini perpanjangan kedua yang berlaku selama Juli 2004, setelah kebijakan menutup kran impor beras periode pertama selama Januari-Juni 2004 berakhir.

Langkah perpanjangan itu sendiri bijak -- karena stok beras di dalam negeri relatif memadai. Maklum karena produksi padi nasional tahun ini menunjukkan gambaran melegakan. Para pejabat Deptan menyatakan optimis bahwa tahun ini produksi padi di dalam negeri bisa mencapai sekitar 53 juta ton. Angka ramalan II Badan Pusat Statistik (BPS) sendiri mengenai produksi padi nasional pada tahun ini adalah 53,7 juta ton.

Dengan produksi padi sebanyak itu, kebutuhan akan beras di dalam negeri bisa tercukupi. Bahkan dengan menimbang tingkat konsumsi rata-rata beras penduduk kita sekarang, Mentan Bungaran Saragih menyebutkan bahwa produksi beras tahun ini bisa surplus sekitar 2 juta ton. Justru itu, impor beras sama sekali tidak relevan.

Karena itu pula, larangan impor beras mungkin seharusnya tidak cukup sampai akhir Agustus 2004, melainkan paling tidak hingga akhir tahun. Bahkan jika produksi padi pada musim panen ke depan ini ternyata terus-menerus bagus, kran impor beras boleh jadi ditutup terus.

Namun lepas dari pengandaian seperti itu, keputusan pemerintah memperpanjang larangan impor beras hingga akhir Agustus 2004 -- di tengah tren produksi padi nasional yang cenderung baik sekarang ini -- sungguh bijak. Kita katakan bijak, karena keputusan itu menunjukkan konsistensi keinginan baik pemerintah melindungi kepentingan petani di dalam negeri: menjaga harga gabah, terutama pada musim panen raya, tidak tertekan jeblok.

Tetapi, jujur saja, kebijakan menutup kran impor beras ini tak sepenuhnya efektif. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa harga gabah di tingkat petani tetap saja cenderung tertekan di level yang tidak menguntungkan. Bahkan di beberapa daerah yang menjadi lumbung pangan nasional, harga gabah terpuruk sampai jauh di bawah patokan harga pembelian pemerintah sebesar Rp 1.230 per kg.

Jelas, itu menunjukkan adanya sesuatu yang tidak beres. Kita menduga, itu antara lain merujuk pada masalah mutu gabah di tingkat petani yang tidak memenuhi syarat. Entah itu menyangkut kadar air ataupun tingkat pecahan beras (broken) yang terbilang tinggi.

Risiko seperti itu, memang, acap tak bisa dihindari petani. Maklum karena penanganan pascapanen yang mereka lakukan masih teramat sederhana dan tidak efisien. Kalangan petani kita tidak memiliki sarana penjemuran atau gudang yang memadai. Ditambah desakan kebutuhan ekonomi, mereka juga hampir selalu terburu-buru menjual gabah -- meski secara kualitatif hasil panen mereka masih menuntut penanganan.

Akibatnya, itu tadi, saat dijual, kadar air atau tingkat pecahan beras yang mereka hasilkan terbilang tinggi. Itu yang membuat mereka sulit menikmati harga gabah relatif memadai atau paling tidak mampu menjangkau patokan harga pembelian pemerintah.

Dalam kondisi seperti itu, di lain pihak beras impor ternyata tetap mengalir deras. Tentu itu bukan beras yang masuk melalui jalur resmi. Karena jalur resmi untuk sementara ditutup, jelas beras impor itu merupakan produk selundupan. Menurut sinyalemen Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Siswono Judohusudo, selama Januari-Mei 2004 saja penyelundupan beras ke Indonesia ini mencapai sekitar 1,25 juta ton.

Walhasil, tampaknya, larangan impor beras sebagaimana tertuang dalam SK Menperindag Nomor 9/2004 itu justru malah menyuburkan penyelundupan beras ke dalam negeri. Gilanya, tindak penyelundupan tersebut berlangsung "terang-terangan". Betapa tidak, seperti kata Siswono, karena aparat bea dan cukai ditengarai tahu masuknya beras selundupan ini. Misalnya beras ilegal itu masuk lewat pelabuhan di Sumatera Utara dengan menggunakan modus pemalsuan dokumen.

Justru itu, bagaimana mungkin harga gabah di tingkat petani tidak tetap cenderung tertekan hingga jauh di bawah harga patokan pembelian pemerintah. Dalam konteks ini, kebijakan pemerintah melarang impor beras pun jadi tak cukup ampuh.

Itu berarti, sikap bijak pemerintah memperpanjang larangan impor beras -- sebagai wujud konsistensi keinginan baik mengamankan kepentingan petani menyangkut harga gabah -- masih belum cukup. Efektivitas kebijakan tersebut, bagaimanapun, menuntut penanganan serius aspek-aspek lain yang tidak beres. Yang paling mendesak, itu tadi, penanganan penyelundupan. Ini makin urgen dan krusial karena komiditas impor yang diselunduplan ke pasar dalam negeri bukan hanya beras, melainkan juga gula, produk tekstil, dan banyak lagi.***
Jakarta, 23 Juli 2004

20 Juli 2004

Perppu Kehutanan

Wajar sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) penggiat masalah lingkungan seperti Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Greenomics Indonesia, juga Jaringan Advokasi Tambang kecewa dan marah terhadap keputusan DPR, pekan lalu. Maklum karena DPR menyetujui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1/2004 tentang Perubahan UU Nomor 41/1999 tentang Kehutanan untuk disahkan menjadi undang-undang.

Jajaran LSM kecewa dan marah karena keputusan DPR itu sama dengan membenarkan keputusan pemerintah memberikan izin operasi terbuka pertambangan bagi 13 perusahaan di kawasan hutan lindung sebagaimana tertuang dalam Keppres No 41/2004. Padahal UU Nomor 41/1999 tegas melarang aktivitas seperti operasi pertambangan dilakukan di kawasan hutan lindung.

Hutan lindung memang seharusnya mati-matian dipertahankan. Hutan lindung adalah kawasan paru-paru alam yang amat kita butuhkan demi kualitas hidup kita tetap terjaga baik dan sehat. Karena itu, hutan lindung jangan sampai terjamah kegiatan apa pun yang nyata-nyata potensial merusak keberadaannya.

Paket Perppu Nomor 1/2004 plus Keppres Nomor 41/2004 sendiri memang memiliki implikasi amat serius terhadap lingkungan. Secara ekonomi, sebagaimana perhitungan Greenomics, aktivitas pertambangan di kawasan hutan lindung ini akan menorehkan kerusakan lingkungan senilai Rp 70 triliun per tahun. Tapi yang lebih kita sesali adalah kerugian yang bersifat intangible berupa hilangnya keragaman hayati. Itu sungguh niscaya dan tak bisa dinilai secara ekonomi.

Justru itu, seharusnya DPR bukan merestui keputusan pemerintah memberikan izin operasi terhadap 13 perusahaan pertambangan. DPR seharusnya mengoreksi dan meluruskan sikap pemerintah tersebut.

Karena itu pula, tidak berlebihan bahwa kalangan LSM penggiat masalah lingkungan pun segera melayangkan gugatan class action, di samping mengadu ke Mahkamah Konstitusi, berkaitan dengan keputusan pemerintah menerbitkan Perppu Nomor 1/2004 yang memberikan izin pertambangan di kawasan hutang lindung ini. Langkah tersebut sama sekali bukan merupakan sikap ngeyel, melainkan lebih menegasikan tanggung jawab dan tekad menyelamatkan keberadaan hutan lindung yang nyata-nyata terancam rusak oleh aktivitas pertambangan.

Kita menghargai tekad pemerintah sebagaimana diutarakan Menhut M Prakosa yang mengaku akan melakukan pengawasan ekstra ketat terhadap kegiatan pertambangan di kawasan hutan lindung ini. Tapi kita tidak mendapat penjelasan tentang langkah konkret mengenai strategi dan mekanisme pengawasan tersebut.

Lagi pula, jujur saja, kita skeptis bahwa pemerintah mampu melakukan fungsi pengawasan di lapangan. Kita bercermin saja pada masalah penebangan liar (illegal logging). Melihat penebangan liar terus saja marak, tak bisa tidak kita beroleh kesan bahwa pemerintah jelas-jelas gagal melakukan fungsi pengawasan dan penindakan hukum.

Karena itu, kita amat tidak yakin bahwa kerusakan lingkungan yang ditimbulkan kegiatan pertambangan di kawasan hutan lindung bisa diminimalisasi. Malah kita berkeyakinan bahwa kerusakan itu sungguh niscaya. Kita tahu, kegiatan pertambangan sama sekali tak bisa ramah terhadap lingkungan. Kegiatan pertambangan sungguh bersifat destruktif.

Bahkan kalaupun kegiatan itu dilakukan sungguh-sungguh sesuai rambu-rambu atau prosedur sekalipun, sifat destruktif operasi terbuka pertambangan tetap saja kental dan pekat. Jadi, teramat sulit membayangkan bahwa dampak kegiatan pertambangan terhadap lingkungan ini bisa diminimalisasi.

Karena itu, kita tidak bisa memahami sikap pemerintah maupun DPR menyangkut penerbitan Perppu Nomor 1/2001 ini. Kita menangkap kesan bahwa substansi masalah yang selama ini menjadi bahan perdebatan -- yakni bahwa kegiatan pertambangan di kawasan hutan lindung dilarang undang-undang -- telah diabaikan demi kepentingan pragmatis: mengakomodasi kepentingan perusahaan pertambangan.

Mungkin pemerintah miris oleh ancaman kalangan perusahaan pertambangan yang merasa dirugikan oleh tumpang-tindihnya areal kerja mereka dengan kawasan hutan lindung. Yakni bahwa mereka akan mengajukan gugatan ke arbitrase internasional dengan nilai tuntutan kerugian yang sungguh naudzubillah -- sekitar Rp 188 triliun.

Angka itu jelas bukan main besar. Begitu juga ancaman kalangan perusahaan pertambangan menggulirkan gugatan ke arbitrase internasional ini tak bisa kita anggap main-main. Justru itu, bisa dibayangkan risiko yang harus kita tanggung jika gugatan itu benar-benar mereka lakukan -- dan ternyata kemudian kita kalah: bukan saja keuangan negara seketika dibuat babak-belur, melainkan kegiatan investasi kita pun semakin carut-marut. Dunia internasional niscaya kian beroleh kesan bahwa kegiatan investasi di negeri kita tak berkepastian.

Tetapi jika benar itu yang menjadi pertimbangan, kenapa izin operasi pertambangan di hutan lindung hanya diberikan kepada 13 perusahaan? Tidakkah sekian puluh perusahaan lain, yang juga sama-sama merasa dirugikan akibat areal kerja mereka tumpang-tindih dengan kawasan hutan, akan tetap mengajukan gugatan ke arbitrase internasional?***
Jakarta, 20 Juli 2004

17 Juli 2004

Federasi Koperasi

Dalam alam demokrasi, pembentukan organisasi tandingan sama sekali bukan sebuah nista. Bahkan, barangkali, itu justru merupakan kebutuhan agar kinerja masing-masing organisasi terus terasah. Bagaimanapun keberadaan dua organisasi atau lebih bisa diharapkan melahirkan semangat persaingan konstruktif. Masing-masing pihak terpacu mengukir kinerja terbaik.

Berdasar perspektif itu pula, kita bisa memahami langkah sejumlah eksponen gerakan koperasi mendirikan Federasi Koperasi Indonesia (FPI). Wadah tersebut dideklarasikan sebagai sempalan sekaligus menjadi penyeimbang kiprah Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin).

Memang, kehadiran FPI serta-merta melahirkan kesan bahwa gerakan koperasi mengalami perpecahan. Maklum karena selama ini keberadaan Dekopin telanjur kukuh sebagai wadah yang bersifat monolistik. Di lain pihak, gagasan yang mendorong kelahiran FPI juga tak lain adalah ketidakpuasan kalangan gerakan koperasi terhadap kinerja Dekopin selama ini.

Namun, sesungguhnya, gerakan koperasi kita selama ini tak benar-benar solid bersatu. Barangkali sebagai dampak intervensi pemerintah terhadap keberadaan Dekopin di masa silam, gerakan koperasi kita telanjur terfragmentasi dalam kubu atau kelompok-kelompok tertentu.

Karena itu, perpecahan di tubuh Dekopin yang telah melahirkan FPI ini tak terlampau mengejutkan. Ibarat magma gunung berapi, perpecahan dalam gerakan koperasi sungguh sudah tak bisa dibendung lagi. Keberadaan FPI atau apa pun namanya barangkali memang sudah menjadi kebutuhan yang tak bisa ditunda-tunda lagi. FPI adalah antitesis Dekopin.

Boleh jadi, mestinya keberadaan lembaga tandingan Dekopin ini sudah tertoreh sejak lama. Yakni sejak Dekopin dirasa tak juga mampu menjadi wadah yang kohesif bagi kesatuan dan kebersamaan gerakan koperasi justru pada momen paling memungkinkan. Semangat reformasi tampaknya selama ini tak cukup kuat menjadi faktor yang membuat Dekopin tampil sebagai wadah yang mengokohkan gerakan koperasi.

Kita menduga, FPI sendiri sarat mengemban semangat pembaruan. FPI mungkin memang sudah ditekadkan sebagai antitesis Dekopin. Justru itu, kita boleh berharap bahwa semangat bersaing akan serta-merta lahir. Masing-masing pihak -- FPI maupun Dekopin -- bisa diharapkan terpacu menunjukkan diri sebagai organisasi terbaik dan bermanfaat bagi gerakan koperasi.

Itu jelas relevan dan urgen dikaitkan dengan peta masalah perkoperasian kita sekarang ini yang masih saja mengundang prihatin. Hingga setengah abad lebih ini, dunia koperasi kita belum juga kunjung mampu tampil menjadi sokoguru ekonomi nasional sebagaimana cita-cita dan amanat founding fathers kita. Dunia koperasi kita masih terpenjara dalam kondisi serba kerdil dan kurang daya.

Dalam konteks itu pula, posisi tawar dunia koperasi kita dalam pentas ekonomi nasional malah terkesan kian terpuruk. Bahkan ketika semangat ekonomi nasional banyak berpaling pada usaha menengah dan kecil (UKM) sejak reformasi bergulir, dunia koperasi kita tetap saja jalan di tempat. Dunia koperasi kita seperti tak memiliki kemampuan memanfaatkan memontum. Tengok saja tingkat penyerapan kredit perbankan oleh dunia koperasi yang relatif tak seberapa dibanding potensi, alokasi, ataupun komitmen kalangan perbankan sendiri.

Itu pula yang membuat sosok koperasi kita secara keseluruhan tetap tampil gurem. Kita belum juga bisa membangun sosok lembaga koperasi yang kokoh kuat dan fungsional menggurita sebagai sebuah entitas bisnis yang menyangga kepentingan para anggota, sekaligus memberi arti tersendiri terhadap ekonomi nasional. Kita belum memiliki lembaga koperasi seperti Rabo Bank di Jerman, misalnya.

Dalam konteks seperti itu, mestinya Dekopin tampil berperan: membukakan jalan terobosan bagi gerakan koperasi membangun diri menjadi sokoguru ekonomi. Memang, Dekopin sendiri bukan institusi pengambil kebijakan. Tapi sebagai wadah kelompok kepentingan (interest group), Dekopin seharusnya bisa mengondisikan langkah ke arah itu. Bahkan fungsi dan peran itu pula yang sejatinya melekat pada lembaga Dekopin ini.

Namun, patut diakui, kiprah Dekopin selama ini nyaris tak terdengar memberi riak signifikan bagi pemberdayaan gerakan koperasi. Barangkali itu pula yang telah kian mengkristalkan perpecahan di gerakan koperasi -- sampai akhirnya lahir FPI.

Kita amat berharap kelahiran FPI sendiri memang murni diniatkan menjadi lembaga tandingan Dekopin dalam rangka lebih memacu pemberdayaan gerakan koperasi. Jika motif dasar yang melatari pembentukan FPI ini ternyata sekadar wujud sikap menolak figur orang nomor satu di Dekopin, gerakan koperasi niscaya tak kunjung segera berdaya. Dalam konteks ini, keberadaan FPI sendiri tak menjadi antitesis bagi Dekopin -- dan karena itu pembentukan FPI pun menjadi tidak relevan.***
Jakarta, 17 Juli 2004

07 Juli 2004

Integrasi Ekonomi ASEAN

Di tengah hiruk-pikuk putaran akhir kampanye capres, pekan lalu, sebuah berita penting nyaris luput dari perhatian kita. Berita tersebut adalah hasil konferensi menlu-menlu ASEAN yang memutuskan mendukung integrasi ekonomi ASEAN. Dalam konteks ini, para menlu negara-negara di Asia Tenggara sepakat bahwa penghapusan tarif menjadi prioritas utama ASEAN menjelang integrasi ekonomi dalam rangka realisasi Komunitas Ekonomi ASEAN (AEC) Tahun 2020.

Kesepakatan itu sendiri merupakan pembahasan lebih lanjut atas hasil Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-9 ASEAN di Bali, Oktober tahun lalu. Ketika itu, pemimpin sepuluh negara ASEAN menyepakati bahwa AEC harus sudah terbentuk paling lambat pada tahun 2020.

Walhasil, proses integrasi ekonomi ASEAN semakin niscaya. Bukan tidak mungkin, forum-forum perundingan ASEAN ke depan ini bisa memastikan bahwa Pasar Bersama ASEAN bisa segera dimulai pada 3 tahun mendatang sebagaimana impian pada pemimpin negara ASEAN.

Dalam arus besar seperti itu, kita tak bisa lagi bicara soal suka atau tidak suka. Kita juga tak lagi bisa menyatakan tidak siap. Integrasi ekonomi ASEAN sudah niscaya. Pasar Bersama ASEAN hanya soal waktu -- tinggal menunggu pembicaraan-pembicaraan lebih teknis.

Secara konseptual, integrasi ekonomi ASEAN ini tak harus ditakuti. Bahkan integrasi ekonomi ASEAN menjanjikan berkah ekonomi demikian menggiurkan: menciptakan pasar amat luas dan sangat menjanjikan. Dengan populasi penduduk yang sekarang ini saja sudah mencapai 500 juta jiwa dan nilai perdagangan 720 miliar dolar AS, ASEAN adalah sebuah pasar raksasa.

Karena itu, pasar bersama ASEAN niscaya membuat volume ataupun nilai perdagangan antarnegara ASEAN bisa meningkat berlipat-lipat. Selama ini, volume perdagangan intra-ASEAN hanya mencapai 21 persen dari total perdagangan ASEAN ke seluruh dunia. Dalam pasar bersama, volume perdagangan intra-ASEAN ini niscaya bisa meningkat menjadi 60 atau 70 persen sebagaimana dialami Uni Eropa yang telah lebih dulu mengintegrasikan ekonomi mereka.

Bagi sejumlah negara anggota ASEAN seperti Singapura, Thailand, atau Malaysia, semangat menggebu itu mungkin amat beralasan. Bahkan bagi mereka, integrasi ekonomi ASEAN tampaknya memang bukan lagi merupakan tantangan, melainkan sudah menjadi peluang yang niscaya harus bisa diraih -- karena infrastruktur ekonomi maupun pelaku bisnis mereka sudah siap bersaing.

Tapi tidak demikian bagi kita. Jujur saja, kesiapan kita menghadapi integrasi ekonomi ASEAN ini sungguh merisaukan. Infrastruktur ekonomi ataupun pelaku bisnis kita sulit bisa diandalkan mampu menghadapi persaingan. Kadin Indonesia, misalnya, pernah menyatakan bahwa sekitrar 33 persen produk yang kita hasilkan masih membutuhkan proteksi pemerintah.

Dengan kata lain, masih cukup banyak komoditas kita belum siap digiring masuk ke pasar bebas ASEAN. Dalam bahasa lugas, itu berarti bahwa kita bisa sekadar menjadi pasar. Berbeda dengan Singapura atau Hongkong, kita sepertinya terkondisi cuma menjadi tempat atau arena dagang bagi pihak lain. Kita tampaknya tidak banyak terlibat sebagai pelaku aktif dalam degup kehidupan perdagangan itu.

Tentang itu, simak indeks kapasitas produksi industri nasional memberi gambaran gamblang: terus merosot, sementara di lain pihak pertumbuhan konsumsi justru terbilang tinggi. Menurut catatan, indeks kapasitas terpakai industri kita melorot dari 51 persen pada tahun 2002 menjadi 41 persen pada tahun 2003. Di sisi lain, indeks produksi justru turun dari 109,2 pada tahun 2000 menjadi 100,3 pada tahun 2002. Padahal pertumbuhan konsumsi meningkat terus.

Itu adalah petunjuk nyata bahwa pasar domestik kita telah dikuasai barang impor. Gambaran itu kian gamblang tertoreh lewat data impor secara keseluruhan yang terus cenderung naik.

Memang, data di Badan Pusat Statistik (BPS) hampir selalu mencatat bahwa neraca perdagangan kita selama ini mampu mencatat surplus. Artinya, nilai ekspor kita relatif lebih tinggi ketimbang impor. Tapi kemungkinan besar itu bias: karena aneka produk impor yang masuk melalui jalur ilegal (selundupan) tak pernah bisa dicatat. Sementara praktik penyelundupan itu sendiri, meski terbatas mencakup produk-produk tertentu, sudah terbilang serius.

Justru itu, kita sulit mengingkari bahwa sebenarnya pasar domestik kita sudah didominasi aneka produk impor -- entah resmi ataupun ilegal. Terlebih data juga gamblang menunjukkan bahwa industri kita kini sudah tidak lagi mampu melakukan ekspansi.

Karena itu, kita merasa heran oleh sikap dan komitmen pemerintah kita selama ini dalam berbagai perundingan perdagangan bebas ini, khususnya dalam konteks integrasi ekonomi ASEAN. Kita menangkap kesan, sikap itu melupakan kenyataan riil di dalam negeri serta lebih karena keinginan menunjukkan solidaritas dan kebersamaan di lingkungan ASEAN. Menyedihkan!***
Jakarta, Juli 2004

02 Juli 2004

Revitalisasi Kehutanan

Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) pimpinan Adiwarsito Adinegoro kemarin menggelar hajatan lumayan penting. Hajatan berupa simposium sehari itu bertajuk "Mewujudkan Kembali Kebangkutan Sektor Kehutanan dalam Pembangunan Nasional Ke Depan". Sejumlah tokoh yang selama ini dikenal memahami betul seluk-beluk dunia kehutanan nasional -- antara lain beberapa mantan Menteri Kehutanan dan pengusaha -- tampil jadi pembicara.

Hajatan itu kita nilai lumayan penting karena, paling tidak, menunjukkan kesadaran dan keinginan besar kalangan pengusaha yang berhimpun di APHI pimpinan Adiwarsita untuk merevitalisasi sektor kehutanan. Dalam perspektif lain, hajatan itu juga tampaknya merupakan akumulasi keprihatinan mereka atas kondisi hutan dan kehutanan kita yang telanjur terpuruk.

Di masa lalu, memang, sektor kehutanan demikian gilang-gemilang. Dalam periode cukup panjang, sektor kehutanan bahkan tampil menjadi sektor kedua terbesar dalam menyumbang perolehan devisa. Dengan rata-rata nilai ekspor sekitar 7 miliar dolar per tahun, hingga 1997 silam, posisi sektor kehutanan dalam menyumbang perolehan devisa ini berada di urutan kedua terbesar setelah tekstil dan produk tekstil (TPT).

Kini, sektor kehutanan adalah potret kusam-buram. Sektor kehutanan bukan lagi primadona penyumbang devisa. Sektor kehutanan kini sekadar cerita tentang ketidakberdayaan yang telah melahirkan kebangkrutan sejumlah banyak pabrik pengolahan kayu, tindak pemutusan hubungan kerja, penebangan liar (illegal logging), penyelundupan kayu bulat ilegal ke luar negeri, kerusakan kawasan hutan, dan banyak lagi. Singkat kata, sektor kehutanan kini benar-benar terpuruk -- bahkan berada di titik nadir.

Amat boleh jadi, kesadaran, keinginan besar, ataupun keprihatinan tentang hutan dan kehutanan ini juga menggelayuti pihak-pihak lain yang sama-sama merasa menjadi stake holders kehutanan nasional. Hanya, mungkin karena alasan teknis ataupun politis, hajatan yang digelar APHI Adiwarsita ini tak melibatkan semua stake holders. Bahkan Menteri Kehutanan atau sekadar pejabat eselon I ataupun eselon II, kemarin tak terlihat ambil bagian dalam hajatan itu.

Tetapi, konon, pihak panitia hajatan itu sendiri bukan tidak berupaya melibatkan pihak-pihak lebih luas. Pihak Dephut, misalnya, sebenarnya turut mereka undang untuk berbagi pandangan tentang revitalisasi kehutanan nasional ini. Hanya, entah karena alasan gengsi atau sekadar kebentur alasan teknis waktu, undangan itu tak bersambut.
Justru itu, kita menangkap kesan bahwa pihak Dephut dan APHI Adiwarsita belum lagi akur. Perang dingin di antara mereka rupanya belum juga reda.

Bukan rahasia lagi, memang, bahwa antara Dephut dan APHI Adiwarsita sejak cukup lama berlangsung perang dingin. Kedua belah pihak cenderung tak saling mempedulikan. Konon akibat perbedaan visi dalam menghadapi masalah bersama -- kondisi hutan dan kehutanan nasional semakin memprihatinkan -- komunikasi di antara mereka sudah nyaris membeku.

Itu pula yang disebut-sebut menjadi faktor pemicu perpecahan di kalangan pengusaha kehutanan nasional sendiri: APHI terbelah -- satu dipimpin Adiwarsita, dan satu lagi dikomandani Sugiono. Masing-masing merasa lebih legitimate sebagai organisasi pengusaha hutan. Masing-masing juga merasa on the right track seraya menafikan pihak lain. Karena itu, masing-masing berjalan menurut konsep atau visi versi mereka sendiri.

Jujur saja, itu sungguh kita sesali. Bagaimanapun, revitalisasi sektor kehutanan mustahil bisa tercapai tanpa semua stake holders bahu-membahu dalam berbagai aspek dan langkah. Konsep pemikiran yang coba dirumuskan hajatan APHI Adiwarsita ini, misalnya, tak akan banyak bermakna kalau itu hanya menjadi milik kelompok mereka sendiri. Terlebih konsep tersebut jelas menuntut penjabaran di level kebijakan pemerintah.

Karena itu, kita amat menyayangkan bahwa hajatan penting yang digelar APHI Adiwarsita tak dihadiri pejabat Dephut. Padahal kehadiran mereka niscaya bisa diharapkan menjadi titik yang mencairkan kebekuan atau perang dingin di antara mereka.

Tetapi kenyataan itu justru mengindikasikan bahwa sebelum bicara soal revitalisasi sektor kehutanan, semua stake holders sejatinya perlu terlebih dulu melepaskan diri dari sekat masing-masing. Segala ego, gengsi, atau apa pun yang mengondisikan stake holders kehutanan ini terkotak-kotak dalam semangat sempit perlu disingkirkan.

Itu teramat mendesak -- karena kondisi hutan dan kehutanan nasional telanjur terpuruk di titik nadir. Kalau saja semangat rekonsiliasi di kalangan semua stake holders tak segera dilakukan, niscaya sektor kehutanan tak akan pernah bisa bangkit lagi. Bahkan apa yang terjadi justru sebaliknya: kehutanan kita semakin terpuruk hingga ke titik paling menggetirkan.
Haruskah?***
Jakarta, 2 Juli 2004