30 November 2004

Melawan Penebangan Liar

Perang dimulai. Menhut MS Kaban memastikan bahwa mulai pekan ini pemerintah menggelar operasi besar-besaran terhadap tindak penebangan liar (illegal logging). Dilakukan terkoordinasi dengan berbagai instansi penegak hukum, operasi tersebut merupakan salah satu program Kabinet Indonesia Bersatu dalam 100 hari pertama kerja.

Kita tidak meragukan keinginan baik pemerintah menangani masalah penebangan liar dengan menggelar operasi besar-besaran ini. Cuma, apakah operasi tersebut benar-benar efektif memberantas tindak penebangan liar, itu masih sebuah pertanyaan besar. Bahkan sekadar memberikan terapi kejut (shock therapy) sekalipun, jujur saja kita belum punya kepastian.

Dengan kata lain, efektivitas operasi besar-besaran dalam menangani tindak penebangan liar ini baru ketahuan nanti setelah 100 hari kerja pertama Kabinet Indonesia Bersatu berakhir. Ketika itu, kita bisa beroleh kesimpulan apakah operasi tersebut sukses ataukah tak memberi dampak signifikan terhadap masalah penebangan liar yang saban tahun menorehkan kerugian negara senilai Rp 30,4 triliun di luar kerugian ekologi itu.

Karena itu, operasi besar-besaran terhadap penebangan liar ini sungguh merupakan pertaruhan bagi pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kalau operasi tersebut sukses -- antara lain mereka yang selama ini bertindak sebagai cukong maupun beking kegiatan ilegal itu diseret ke muka pengadilan dan dijatuhi hukuman amat maksimal -- niscaya pemerintahan Yudhoyono beroleh poin bagus di mata publik.

Tapi jika operasi tersebut ternyata tak menorehkan "kejutan", publik hampir pasti serta-merta mencibir. Bagi mereka, dalam konteks penanganan masalah penebangan liar ini pemerintahan Yudhoyono sekadar menabur harapan.

Dalam kaitan itu pula, publik niscaya menyalahkan Menhut Kaban yang tidak bersedia meneruskan proses penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Penebangan Liar yang sudah dirintis pendahulunya Menhut M Prakosa. Itu beralasan karena publik telanjur meyakini bahwa perangkat perppu sungguh merupakan jurus pamungkas yang mampu mengakhiri riwayat tindak penebangan liar.

Memang, menurut rancangan perppu yang terakhir tersangkut di Kantor Setneg, hukum acara untuk menangani kasus penebangan liar amat singkat dan langsung di bawah koordinasi Menhut. Sementara jika menggunakan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), proses yang harus dilalui terbilang lama dan acap tidak dapat diandalkan menjaring otak pelaku tindak penebangan liar.

Dengan perppu, informasi intelijen dapat dijadikan dasar untuk menangkap tersangka pelaku penebangan liar tanpa perlu bukti-bukti kepolisian. Lalu asas yang diberlakukan adalah pembuktian terbalik. Sementara sanksi hukum bagi mereka yang terlibat tindak penebangan liar -- langsung ataupun tidak -- amat berat, yaitu penjara minimal 10 tahun dan maksimal hukuman mati.

Justru itu, bagi publik, strategi yang dipilih Kaban dalam menangani masalah penebangan liar ini -- menggalang langkah terkoordinasi dengan berbagai instansi penegak hukum -- tak cukup bisa diandalkan. Publik meragukan bahwa strategi pilihan Kaban bisa sukses dan ampuh seperti keyakinan mereka tentang efektivitas perppu.

Keraguan itu sungguh tidak mengada-ada. Maklum karena selama ini strategi serupa sudah ditunjukkan pemerintah -- dan terbukti tidak efektif. Bahkan sejak era kepemimpinan Menhut Djamaludin Suryohadikusumo, langkah koordinatif penanganan atas tidak penebangan liar ini sudah diayunkan.

Namun selalu terbukti bahwa strategi tersebut sekadar elok di atas kertas. Strategi itu lebih banyak sekadar merupakan komitmen petinggi instansi-instansi terkait di pusat. Sementara di lapangan, strategi itu sama sekali tak bergigi -- karena mengalami banyak deviasi akibat tarikan kepentingan oknum-oknum pelaksana.

Dalam kaitan itu, aturan hukum yang tersedia tidak mampu menjerat dan menghukum para pelaku -- dan karena itu tindak penebangan liar terus berlangsung, bahkan semakin marak. Maklum saja karena proses peradilan sering meloloskan hukuman atas kasus-kasus yang ditangani. Kalaupun pengadilan menjatuhkan putusan, hukuman yang dijatuhkan sangat ringan dan tidak sepadan.

Kenyataan itu pula, sebenarnya, yang mendorong Menhut M Prakosa menyiapkan perppu. Hanya, sayangnya, langkah tersebut kandas. Kekuasaan Prakosa keburu berakhir ketika proses penerbitan perppu baru sampai di Kantor Setneg. Sementara penerus Prakosa, yakni Menhut Kaban, sejak awal menepis melanjutkan proses penerbitan perppu tersebut. Dia meyakini bahwa konsolidasi dan koordinasi dengan instansi-instansi penegak hukum masih bisa diandalkan mampu menangani masalah penebangan liar.

Dengan keyakinan itu pula, Kaban mantap melangkah memulai perang melawan tindak penebangan liar ini. Tentu saja kita berharap langkah tersebut bisa menuai sukses. Tetapi, sekali lagi, bagaimanapun itu menjadi pertaruhan bagi citra pemerintahan Presiden Yudhoyono atau paling tidak bagi Menhut Kaban sendiri.***
Jakarta, 30 November 2004

26 November 2004

Program Penyehatan BUMN

Sebanyak 47 BUMN masih saja merugi. Paling tidak, seperti diungkapkan Menneg BUMN Sugiharto dalam forum rapat kerja dengan Komisi VI DPR-RI, beberapa hari lalu, itu tertoreh berdasar kinerja masing-masing selama tahun 2003. Ini berarti, sekitar sepertiga BUMN kita -- dari total 157 unit -- belum juga sehat alias masih harus dibenahi.

Namun kerugian itu sendiri tak seluruhnya merupakan nista -- karena memang tak semua BUMN, sejatinya, harus berorientasi menguber keuntungan (profit oriented). Bagi BUMN yang mengemban fungsi agen pembangunan (agent of development), atau BUMN yang dibebani berperan sebagai public service obligation, kerugian itu mungkin sulit sekali dihindari -- dan karena itu kita pun bisa maklumi. Terlebih jika situasi dan kondisi yang dihadapi berubah drastis.

Karena itu, kita bisa memaklumi bahwa PT Pelni pada tahun lalu mengalami kerugian senilai Rp 382,446 miliar. Kita memaklumi kerugian tersebut karena belakangan ini terjadi perubahan drastis menyangkut permintaan (demand) akan jasa angkutan laut. Kita tahu, berbagai maskapai penerbangan nasional menggelar perang tarif yang membuat tarif jasa angkutan udara menjadi relatif murah. Itu tak pelak lagi memukul kepentingan moda an gkutan laut: pemintaan menyusut drastis.

Tetapi bagi BUMN lain -- terlebih BUMN yang jelas-jelas tidak dibebani tugas mengemban fungsi agen pembangunan ataupun public service obligation -- masih tetap tertorehnya kerugian itu sungguh terasa mengundang sesal. Betapa tidak, karena kerugian itu jelas menunjukkan bahwa BUMN bersangkutan belum juga dikelola secara sehat sesuai prinsip good corporate governance. Bagaimanapun, kerugian itu menunjukkan bahwa BUMN bersangkutan masih digerogoti "ketidakberesan".

PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang membukukan kerugian senilai Rp 3,558 triliun, misalnya, jelas merupakan perusahaan yang belum masih digerogoti "ketidakberesan" ini. Persisnya, BUMN tersebut tidak efisien. Pihak manajemen boleh saja berdalih bahwa kerugian itu karena tarif dasar listrik (TDL) belum mencapai tingkat keekonomian.

Tapi jangan lupa bahwa TDL yang berlaku sekarang ini sudah jauh di atas rata-rata TDL di negara tetangga. Jadi, jika dengan TDL yang sudah mahal tapi PLN masih saja merugi, tak bisa lain kecuali bahwa perusahaan tersebut inefisien.

Boleh jadi juga, kerugian yang masih saja menggelayuti BUMN ini karena manajemen bersangkutan kurang becus. BUMN perkebunan yang mengelola komoditas ekspor, misalnya, seharusnya mampu membukukan keuntungan besar terutama manakala rupiah terdepresiasi -- karena mereka diuntungkan oleh keunggulan komparatif yang menjadi melambung tinggi.

Namun pengalaman selama krisis ekonomi justru menunjukkan kenyataan yang menyesakkan dada. Kalaupun ada BUMN yang mampu mencetak laba, itu relatif tak seberapa dibanding potensi yang seharusnya bisa dicapai. Tak heran jika dalam kondisi kurs yang sekarang ini sudah terbilang stabil dan normal, BUMN seperti PTPN I pada tahun lalu membukukan kerugian senilai Rp 8,27 triliun.

Tetapi kita tidak menutup kemungkinan bahwa inefisiensi yang menggerogoti potensi atau kemampuan BUMN meraup keuntungan itu tidak melulu terkait alasan teknis manajemen. Dalam sejumlah kasus, amat mungkin inefiensi itu lebih merupakan "ongkos politis" yang memang masih sulit dihindari. Persisnya, seperti di masa lalu, BUMN bersangkutan barangkali masih saja diperlakukan sebagai "sapi perahan" pihak-pihak yang memiliki power.

Jika benar begitu, berarti program penyehatan BUMN yang selama ini dilakukan pemerintah belum bisa dikatakan berhasil. Dalam sejumlah kasus, mungkin program tersebut belum benar-benar fokus dan konsisten mengondisikan BUMN menerapkan prinsip good corporate governance. Bahkan kalaupun manajemen BUMN sudah menunjukkan langkah ke arah itu, tarikan kepentingan tertentu dalam skala makro di luar atmosfir BUMN bersangkutan mungkin saja malah menarik surut langkah tersebut.

Karena itu, menjadi tantangan bagi Kementerian BUMN sekarang ini untuk menelaah sekaligus merumuskan ulang strategi maupun konsep penyehatan BUMN ini. Sejalan dengan itu, prinsip good corporate governance juga seyogyanya bisa diterapkan secara konsisten dan konsekuen oleh semua BUMN. Intervensi kekuasaan, yang memungkinkan BUMN terpaksa mengabaikan prinsip itu, sejauh mungkin dihindari atau bahkan sama sekali diharamkan sesuai semangat dan prinsip good corporate governance itu sendiri.

Mungkin langkah ke arah itu sudah mulai diayunkan oleh Menneg BUMN Sugiharto. Paling tidak, cetak biru (blue print) Kementerian BUMN untuk setahun ke depan, yang belum lama ini dia umumkan, tampaknya berada dalam kerangka dan semangat ke arah sana.

Namun seyogyanya program penyehatan BUMN ini tidak mengondisikan semua BUMN menjadi "binatang ekonomi". Bagaimanapun, jika itu yang terjadi, rakyat niscaya menjadi korban. Padahal sejak awal, BUMN dibangun bukan semata untuk mengeduk keuntungan an sich, melainkan terutama untuk kesejahteraan rakyat.***
Jakarta, 26 November 2004

23 November 2004

Prakarsa Santiago

Deklarasi Prakarsa Santiago menjadi penanda akhir Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) di Santiago, Chile, Minggu waktu setempat. Lewat Prakarsa Santiago ini, para pemimpin ekonomi di kawasan Asia-Pasifik komit memertinggi upaya peningkatan liberalisasi serta memfasilitasi perdagangan dan investasi.

Untuk itu, para pemimpin ekonomi di kawasan Asia-Pasifik ini antara lain menyepakati perlunya pembicaraan tentang program-program liberalisasi perdagangan di bawah Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Di samping itu, mereka juga mendukung penuh persetujuan tentang kerangka kerja pembicaraan liberalisasi perdagangan multilateral melalui WTO.

Walhasil, dengan Prakarsa Santiago ini, para pemimpin ekonomi di kawasan Asia-Pasifik seolah ingin menegaskan kembali komitmen mereka terhadap semangat awal APEC: mendorong peningkatan liberalisasi dan perdagangan di kawasan itu. Maklum, memang, karena selama beberapa tahun terakhir APEC amat terasa seperti kehilangan roh. Komitmen-komitmen mereka menyangkut berbagai langkah ke arah peningkatan liberalisasi perdagangan dan investasi terkondisi berhenti sekadar sebagai retorika atau basa-basi dalam setiap akhir KTT APEC. Karena itu pula, KTT APEC yang saban tahun digelar terkesan sekadar arena kongkow-kongkow para pemimpin ekonomi di Asia-Pasifik.

Tapi barangkali itu memang risiko. Maklum, karena berbagai komitmen yang tertoreh dalam forum APEC mengusung prinsip non-binding alias tidak mengikat. Berbeda dengan perundingan dalam forum multilateral seperti WTO, kesepakatan-kesepakatan yang tertoreh dalam setiap KTT APEC tidak otomatis mutlak harus dilaksanakan. Implementasi berbagai kesepakatan dalam forum APEC ini lebih banyak sebagai moral obligation.

Justru itu, kalaupun berbagai kesepakatan dalam forum APEC ini sama sekali tidak dilaksanakan, pihak-pihak bersangkutan tak harus menghadapi konsekuensi-konsekuensi tertentu -- kecuali sekadar menanggung beban moral. Mereka tak harus menanggung sanksi atau finalti semisal tak mematuhi ketentuan yang disepakati dalam kerangka WTO.

Lalu, apakah Prakarsa Santiago bisa kita harapkan efektif menggulirkan langkah-langkah pasti menuju liberalisasi perdagangan dan investasi sebagaimana misi dan cita-cita awal APEC? Jujur saja, soal itu tetap merupakan sebuah tanda tanya besar. Sepanjang masing-masing ekonomi di kawasan Asia-Pasifik ini benar-benar memiliki kesadaran moral dan ketulusan memenuhi komitmen mereka dalam forum APEC, jelas Prakarsa Santiago tidak akan menjadi sekadar monumen -- dan karena itu pula KTT APEC pun bukan lagi cuma jadi arena kongkow-kongkow tahunan.

Sebaliknya jika kesadaran moral dan ketulusan masing-masing ekonomi di kawasan Asia-Pasifik masih merupakan barang langka seperti selama ini, Prakarsa Santiago niscaya tak akan memberi banyak arti terhadap gerakan menuju liberalisasi perdagangan dan investasi di kawasan tersebut. Dalam konteks itu, forum APEC pun akan tetap saja mandul alias tidak menjadi elan vital bagi masing-masing ekonomi di kawasan Asia-Pasifik mengayun langkah-langkah nyata ke arah liberalisasi perdagangan dan investasi.

Kalau begitu, adakah masing-masing ekonomi di kawasan Asia-Pasifik ini memiliki kesadaran moral dan ketulusan mengimplementasikan berbagai kesepakatan dalam forum APEC? Terus-terang, kita meragukan soal itu. Selama ini faktor kesadaran moral dan ketulusan yang menjadi prasyarat bagi gerakan ke arah liberalisasi perdagangan dan investasi ini acap dicederai oleh praktik perdagangan tidak fair -- notabene lebih ditunjukkan oleh negara-negara maju.

Itu pula yang membuat berbagai putaran perundingan perdagangan multilateral dalam kerangka WTO tak kunjung membuahkan hasil final. Setiap kali perundingan WTO digelar, selalu saja kesepakatan begitu alot bisa dilahirkan. Berbagai pihak yang terlibat -- khususnya kelompok negara berkembang di satu pihak dan kelompok negara maju di lain pihak -- malah lebih menunjukkan sikap saling curiga. Kelompok negara maju, misalnya, menilai negara-negara berkembang tak memiliki kesungguhan. Sementara kelompok negara berkembang merasakan bahwa negara-negara maju berupaya memaksakan kehendak dan kepentingan mereka sendiri.

Kecenderungan itu pula yang membuat perjanjian tentang liberalisasi perdagangan dan investasi belakangan ini banyak tertoreh lewat kesepakatan bilateral, trilateral, atau regional. Kelompok negara ASEAN, misalnya, kian niscaya menggulirkan Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN (AFTA). Bahkan ASEAN juga secara prinsip sudah sepakat menggelar perdagangan bebas dengan Cina di satu pihak dan dengan Jepang di lain pihak. Contoh lain, Singapura merasa nyaman menjalin kesepakatan bilateral dengan AS menyangkut perdagangan bebas kedua negara.

Dalam konteks itu, forum APEC pun tak bisa lain kecuali hanya menjadi wahana basa-basi. Karena itu, bukan tidak mungkin APEC ini kelak kian dirasa tidak perlu lagi. Terlebih setelah di Santiago ini AS sukses memaksakan agenda nonekonomi yang membuat prospek APEC tidak fokus lagi.***
Jakarta, 23 November 2004

05 November 2004

Penyelamatan Industri Pupuk

Kita layak bernapas lega: pabrik pupuk PT Asean Aceh Fertilizer (AAF) di Nanggroe Aceh Darussalam tak jadi ditutup. Keputusan tentang itu, yang dibuat pemerintahan terdahulu, dibatalkan pemerintahan Presiden Yudhoyono. Dalam konteks ini, pemerintahan Yudhoyono berpandangan bahwa penutupan pabrik pupuk AAF merupakan langkah mundur. Ya, karena langkah tersebut niscaya menggusur dukungan riil terhadap pembangunan sektor pertanian. Padahal justru dukungan itu yang menjadi dasar pemikiran pemerintah dulu mendirikan pabrik pupuk di dalam negeri, termasuk pabrik AAF.

Sejak awal kita sendiri sudah tidak setuju terhadap keputusan pemerintah menutup pabrik pupuk AAF ini. Ketidaksetujuan kita bukan semata karena langkah penutupan pabrik AAF menggusur dukungan terhadap pembangunan sektor pertanian, melainkan terutama karena keputusan tentang itu tak cukup urgen. Soal mesin-mesin di pabrik AAF yang dikatakan sudah terbilang uzur, misalnya. Kita menilai bahwa alasan tersebut amat mengada-ada karena (mantan) Menperindag Rini Soewandi sendiri menyatakan bahwa pabrik AAF masih laik operasi. Artinya, kinerja mesin-mesin di pabrik AAF masih bisa diandalkan.

Juga alasan lain -- bahwa pasokan bahan baku gas sulit diperoleh -- sungguh tak cukup layak jadi pijakan bagi tindak penutupan pabrik pupuk AAF ini. Bagaimanapun, bagi kita, soal kesulitan pasokan bahan baku gas adalah wujud konkret kekeliruan kebijakan pemerintah di masa lalu. Yakni kurang memberi prioritas terhadap pasokan gas di dalam negeri. Karena itu, adalah tidak bijak jika kepentingan nasional -- terutama keberadaan industri pupuk kita -- lantas begitu saja dikorbankan.

Kenyataan itu juga menjadi ironis karena kita adalah produsen terbesar gas alam di dunia. Justru itu, adalah sungguh menggelikan bahwa industri di dalam negeri sendiri malah megap-megap kesulitan memeroleh pasokan gas. Itu seperti kata pepatah: ayam mati di lumbung padi!

Karena itu pula, solusi pemerintah dalam rangka menyelamatkan keberadaan pabrik pupuk AAF ini -- mengondisikan pasokan gas untuk kebutuhan di dalam negeri -- sungguh tepat dan langsung tertuju ke pokok masalah. Kita amat menghargai keputusan tersebut karena menunjukkan sikap dan pandangan pemerintah yang lebih mementingkan kepentingan nasional.

Memang, solusi itu mengandung risiko tidak kecil. Yang sudah pasti saja, kita kehilangan sekian banyak devisa karena ekspor gas alam cair (LNG) ke Jepang dan Korsel jadi berkurang. Lalu, masih terkait dengan itu, kita juga mungkin harus menanggung komplen pembeli gas di luar negeri -- karena volume pengiriman tak sesuai lagi dengan kontrak.

Tetapi kita yakin, kesulitan-kesulitan itu tetap bisa kita atasi. Sejauh kita pandai meyakinkan, pembeli gas di luar negeri boleh kita harapkan bisa memahami kesulitan-kesulitan kita. Untuk itu, kita sungguh dituntut berrsikap gigih. Kita tak boleh pesimistis atau sudah menyerah justru sebelum mengayun langkah.

Bagi kalangan produsen gas di dalam negeri, solusi yang ditempuh pemerintah dalam rangka menyelamatkan keberadaan pabrik AAF ini -- termasuk pula pabrik-pabrik pupuk lain -- juga tak membuat mereka harus bersungut-sungut. Maklum, konon, karena mereka tetap bisa menjual produk mereka sesuai harga di pasar internasional. Jadi, bagi mereka, menjual produk ke pasar ekspor ataupun di dalam negeri sama saja.

Memang, kalau saja tidak mengacu pada harga komersial sesuai perkembangan pasar gas alam dunia, solusi penyelamatan industri pupuk ini sulit diharapkan bisa efektif. Kalangan industri pupuk tetap saja tak beroleh jaminan soal pasokan bahan baku gas. Jika harga gas di pasar internasional lebih menguntungkan secara komersial, tentu kalangan produsen gas tak punya alasan untuk tidak mendahulukan ekspor.

Jadi, sekali lagi, kita menilai solusi yang ditempuh pemerintah dalam menyelamatkan industri pupuk di dalam negeri ini -- khususnya pabrik AAF di Nanggroe Aceh Darussalam -- sudah di jalur yang benar. Tinggal kini sikap-tindak kalangan industri pupuk sendiri. Kita menuntut mereka bisa bekerja lebih efisien lagi dan benar-benar komit terhadap pembangunan sektor pertanian nasional.

Soal itu layak kita garis bawahi karena selama ini kita beroleh kesan bahwa mereka -- industri pupuk di dalam negeri -- acap mengabaikan kepentingan nasional. Buktinya, pasokan pupuk hampir selalu hilang manakala musim panen tiba. Kuat dugaan bahwa itu terjadi karena mereka lebih mendahulukan pasar ekspor ketimbang pasar lokal, sehingga kepentingan petani di dalam negeri pun lantas menjadi korban.

Itu sungguh menyakitkan. Bagi kita, sikap-tindak industri pupuk yang mengabaikan kepentingan petani lokal itu sudah merupakan pengkhianatan. Betapa tidak, karena dalam memroduksi pupuk, mereka justru memeroleh subsidi harga gas!***
Jakarta, 05 November 2004