23 November 2012

Menanti UU Baru Migas


Satuan Kerja Sementara Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKSP Migas) tak boleh menjadi lembaga permanen. SKSP Migas tak boleh menjadi jelmaan baru BP Migas yang belum lama ini bubar demi hukum sebagai konsekuensi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan sebagian pasal dalam UU No 22 Tahun 2001 tentang Migas.

Itu lebih beralasan karena fungsi SKSP Migas ini, yang diwadahi Perpres Nomor 95 Tahun 2012 sebagai respons pemerintah atas putusan MK, secara substansial tidak beda dengan BP Migas. Artinya, SKSP Migas memang sekadar merupakan baju baru BP Migas dalam rangka memberikan kepastian kepada para pelaku usaha hulu migas. Justru itu, selama SKSP Migas berkibar, amanat konstitusi tentang penguasaan dan pengusahaan sumber daya migas pun tetap saja tergadai.

Karena itu, setiap keinginan, gelagat, atau bahkan upaya ke arah memermanenkan SKSP Migas harus ditentang. Untuk itu, keberadaan SKSP Migas harus diberi tenggat pasti sehingga benar-benar menjadi sekadar lembaga sementara dalam rangka mengisi kekosongan setelah BP Migas dibubarkan. Dengan tenggat pasti, SKSP Migas dibuat tak bisa lain kecuali menjadi lembaga transisi untuk memberi kepastian hukum bagi pelaku usaha hulu migas pascaputusan MK atas UU Migas.

Untuk itu, revisi UU Nomor 22 Tahun 2001 harus segera dilakukan. Pemerintah dan DPR tak boleh berlama-lama membiarkan usaha hulu migas dalam masa transisi setelah BP Migas tamat riwayat. Artinya, pemerintah dan DPR harus memberi prioritas tinggi terhadap perumusan dan pembahasan undang-undang baru migas. Jika tidak, kekeliruan selama ini menyangkut pengelolaan sumber daya migas terus berlanjut sehingga kepentingan nasional tetap saja tergadai. 

Badan pengganti BP Migas sendiri, apakah berupa BUMN atau bentuk lain, bisa dipikirkan. Yang penting, produk undang-undang yang mewadahi itu harus sejalan dengan amanat konstitusi. Persisnya, sesuai putusan MK atas UU Nomor 22 Tahun 2001, produk undang-undang itu harus membuat penguasaan dan pengusahaan sumber daya migas tetap dalam kendali negara serta berorientasi kepada sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Dengan kata lain, undang-undang baru migas tak boleh merupakan sekadar baju baru UU No 22 Tahun 2001. Undang-undang baru itu harus benar-benar mengusung semangat menjaga kedaulatan negara atas sumber daya migas tetap tegak sesuai amanat konstitusi negara.

Untuk itu pula, proses perumusan maupun pembahasan undang-undang baru migas ini harus dikawal semua komponen bangsa. Dengan demikian, kekeliruan di masa lalu -- membuat UU Nomor 22 Tahun 2001 kelewat bersemangat liberal, sehingga pengusahaan sumber daya migas didominasi asing dan kepentingan nasional dinafikan -- bisa dihindari.

Pengawalan itu juga urgen karena pihak-pihak tertentu, termasuk kalangan investor asing dan mafia migas, niscaya berkepentingan agar produk perundangan tentang pengusahaan sumber daya migas di sektor hulu ini tetap liberal. Mereka jelas tak rela hati UU Nomor 22 Tahun 2001 diamputasi MK sehingga kehilangan semangat liberal.

Jadi, patut diyakini bahwa pihak-pihak tertentu amat berkepentingan agar produk perundangan mengenai pengusahaan sumber daya migas di sektor hulu tetap liberalistis. Karena itu, seiring proses pembuatan undang-undang baru migas, berbagai komponen bangsa patut mewaspadai kemungkinan pihak-pihak tertentu melakukan gerilya.

Sejatinya, gerilya itu pula yang dulu membuat kalangan elite bangsa seolah alpa atau tutup mata terhadap skenario pihak tertentu membuat UU Nomor 22 Tahun 2001 begitu liberalistis. Karena itu, sekali lagi, proses pembuatan undang-undang baru migas benar-benar harus dikawal berbagai pihak.***

Jakarta, 23 November 2012

21 November 2012

Darurat Teler


Tindak penyalahgunaan narkoba kini sudah sampai tahap mencemaskan. Sudah masuk tahap gawat darurat. Betapa tidak, karena pengguna narkoba kini bukan lagi rakyat biasa ataupun sebatas selebritas. Kalangan aparat penegak hukum -- khususnya kepolisian -- tak terkecuali sudah banyak pula terlibat tindak penyalahgunaan narkoba ini. Meski masih bersifat kasuistis, fenomena tersebut sungguh tak bisa dipanjang remeh.
    
Secara kuantitatif, anggota kepolisian yang tertangkap tangan menjadi pengguna narkoba sudah tidak lagi dalam hitungan jari. Selama tiga bulan terakhir saja, polisi yang terjerat kasus narkoba ini sudah mencapai 45 orang. Sangat boleh jadi, angka itu lebih merupakan fenonema gunung es. Artinya, dalam kenyataan di lapangan, pengguna narkoba di kalangan kepolisian ini jauh lebih banyak ketimbang jumlah mereka yang tertangkap tangan.
    
Secara kualitatif, tindak penyalahgunaan narkoba di tubuh institusi Polri ini juga tak kurang mencemaskan. Mereka yang ketahuan menjadi pengguna bukan sekadar kelompok bintara, melainkan juga perwira. Belum lama ini, misalnya, Kapolsek Cibarusah, Bekasi, Ajun Komisaris Heru Budhi Sutrisno; serta Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak di Polres Metropolitan Jakarta Selatan Inspektur Satu Rita ditangkap aparat. Keduanya dinyatakan mengonsumsi narkoba.
    
Kenyataan itu jelas mencemaskan. Sebab, bagaimanapun jajaran kepolisian adalah andalan utama dalam penanggulangan tindak penyalahgunaan narkoba ini. Nah, jika institusi kepolisian sendiri semakin serius dirasuki tindak penyalahgunaan narkoba, tentu masyarakat tak bisa lagi berharap banyak bahwa fenomena itu benar-benar bisa efektif ditekan. Paling tidak, kepolisian kehilangan legitimasi dan kredibilitas selaku institusi andalan dalam program penanggulangan penyalahgunaan narkoba.
    
Konsekuensinya, fenomena penyalahgunaan narkoba di tengah masyarakat niscaya semakin luas. Semakin merajalela. Orang tak lagi takut-takut menjadi produsen, pengedar, ataupun sekadar pengguna narkoba.
    
Karena itu, institusi kepolisian dituntut melakukan
pembenahan ke dalam secara serius dan tanpa pandang bulu. Anggota kepolisian yang tertangkap tangan terlibat penyalahgunaan narkoba patut ditindak tegas dan lugas. Mereka tak cukup sekadar dikenai sanksi semacam pencopotan jabatan atau penurunan pangkat, melainkan pemecatan dari korps kepolisian.
    
Dengan itu, anggota kepolisian niscaya berpikir dua-tiga kali sebelum coba-coba terlibat tindak penyalahgunaan narkoba. Artinya, karena itu, institusi kepolisian pun bisa diharapkan relatif bersih dari fenomena penyalahgunaan itu -- entah yang bersifat langsung pelaku ataupun tidak langsung seperti melindungi praktis bisnis narkoba.
    
Karena itu pula, ke luar, kredibilitas dan legitimasi kepolisian selaku institusi pemberantas tindak penyalahgunaan narkoba bisa tetap ditegakkan. Masyarakat niscaya melihat institusi kepolisian tidak main-main dalam memberantas penyalahgunaan narkoba ini.
    
Tentu, itu menjadi nilai plus tersendiri terhadap gerakan pemberantasan penyalahgunaan narkoba secara keseluruhan. Terlebih lagi jika sanksi hukum terhadap mereka yang terbukti menjadi produsen, pengedar, atau sekadar pengguna narkoba juga tidak terkesan kurang serius seperti selama ini -- sampai-sampai sejumlah kasus yang divonis hukuman mati pun tak kunjung dieksekusi.***

November 2012

15 November 2012

Manuver Kongkalingkong


Tindakan Seskab Dipo Alam melapor ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) soal kongkalingkong anggaran antara oknum anggota DPR dan oknum pejabat di kementerian patut diapresiasi sekaligus didukung. Tindakan tersebut dapat dipandang sebagai keinginan baik untuk menyelamatkan bangsa dan negara dari cengkraman korupsi yang telanjur merajalela.

Dengan perpektif itu pula, Menneg BUMN Dahlan Iskan sepatutnya melakukan tindakan serupa. Dahlan tak cukup sekadar menyetorkan data kepada Badan Kehormatan DPR soal oknum anggota parlemen yang biasa melakukan pemerasan kepada BUMN. Laporan beralasan dan urgen disampaikan pula kepada KPK selaku institusi penegak hukum untuk tindak pidana korupsi.

Tindakan Seskab melapor ke KPK layak dipandang sebagai keinginan baik karena sebenarnya ihwal kongkalingkong anggaran antara oknum anggota DPR dan oknum pejabat kementerian -- juga praktik pemerasan BUMN oleh oknum anggota DPR -- bukan isu baru. Entah terang-benderang ataupun cuma bisik-bisik, isu tersebut selama ini acap menyeruak ke tengah publik.

Namun semua itu cenderung sekadar menjadi rumors karena miskin klarifikasi atau apalagi langkah proaktif seperti ditunjukkan Seskab. Kalaupun bukti atau indikasi-indikasi mencuat ke permukaan -- seperti dalam persidangan kasus anggota DPR Wa Ode Ida Nurhayati -- praktik kongkalingkong yang merugikan keuangan negara ini tak serta-merta bisa diberangus sampai ke akar-akarnya. Terutama karena keterbatasan alat bukti, proses hukum ke arah itu menjadi terlokalisasi sekadar kepada figur terdakwa.

Karena itu, sekali lagi, tindakan Seskab melaporkan kongkalingkong anggaran kepada KPK sungguh patut diapresiasi dan didukung. Namun, tentu, laporan seperti itu harus ditunjang bukti-bukti kuat. Jika tidak, laporan tersebut niscaya sulit ditindaklanjuti institusi penegak hukum. Terlebih lagi jika merupakan fitnah dan bermotif pembunuhan karakter, laporan itu tak lebih merupakan sampah.

Sebagai sampah, laporan itu hanya berdampak menebarkan penyakit sosial berupa saling benci atau bahkan saling bunuh karakter di kalangan elite politik. Sementara masyarakat luas tidak beroleh apa-apa kecuali dibuat jenuh, lelah, dan muak oleh perilaku tak elok para elite.

Walhasil, laporan soal kongkalingkong anggaran ataupun pemerasan BUMN ini harus dilandasi niat dan itikad baik. Laporan tersebut tak boleh punya pretensi lain kecuali menyehatkan kehidupan berbangsa dan bernegara dari rongrongan segala bentuk praktik korupsi. Laporan tidak boleh sekadar merupakan kuda tunggangan untuk kepentingan lain, seumpama pengalihan isu atau polesan citra diri.

Publik sendiri tak benar-benar yakin bahwa tindakan Seskab Dipo Alam maupun Menneg BUMN Dahlan Iskan terkait isu kongkalingkong anggaran dan pemerasan BUMN ini tanpa pretensi. Sebagian kalangan curiga bahwa tindakan kedua pejabat publik itu merupakan pengalihan isu.

Kecurigaan tersebut beralasan karena selama ini pihak Istana memang acap mempertunjukkan akrobat seperti itu. Terlebih lagi sekarang ini Istana dalam posisi terpojok berkaitan dengan "kekonyolan" pemberian grasi Presiden kepada terpidana tindak penyalahgunaan narkoba. Lalu, di sisi lain, Dahlan Iskan juga sedang dalam sorotan publik terkait kerugian PLN sebesar Rp 37 triliun lebih.

Karena itu, kecurigaan publik memang punya kadar pembenaran. Nah, kenyataan ini seyogyanya dijawab secara tegas dan lugas oleh Seskab maupun Menneg BUMN: bahwa manuver mereka sama sekali bukan wujud lain praktik kongkalingkong.***

Jakarta, 15 November 2012

13 November 2012

Setelah BP Migas Dibubarkan

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan sejumlah pasal dalam UU No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, yang berimplikasi pembubaran Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas), sepatutnya dijadikan momentum untuk menata kembali pengelolaan sumber daya alam migas kita.
Dalam konteks itu, berbagai peraturan perundangan di sektor migas harus dirumuskan ulang menjadi benar-benar menegakkan kedaulatan kita di bidang energi, serta berorientasi kepada sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dengan kata lain, kebijakan-kebijakan di sektor migas pascapembubaran BP Migas harus kental bersemangatkan nasionalisme.

Patut diakui, UU No 22 Tahun 2001 adalah produk reformasi yang kebablasan. Undang-undang tersebut kelewat liberal, sehingga boleh dibilang melupakan semangat nasionalisme. Dalam konteks ini, sektor migas nyaris dilepas dari penguasaan institusi negara. Padahal sektor migas menyentuh hajat hidup orang banyak, sehingga -- sesuai amanat the founding fathers sebagaimana tersurat dalam UUD 1945 -- seharusnya dalam penguasaan negara.

Karena itu, keberadaan BP Migas sebagai perwujudan amanat UU No 22 Tahun 2001 pun terasa ironis. BP Migas seolah tidak benar-benar menjadi representasi pemerintah/negara dalam penguasaan dan pengelolaan migas. BP Migas terkesan lebih
merupakan agen asing ketimbang sebagai institusi wakil pemerintah dalam urusan migas. Persisnya, BP Migas lebih menunjukkan keberpihakan kepada asing dalam eksplorasi dan eksploitasi sumber daya migas ini.

Dalam konteks itu, BP Migas seolah tak memiliki ruh nasionalisme sehingga BUMN sekelas Pertamina pun nyaris tidak mendapat kepercayaan mengusahakan ladang-ladang minyak yang amat menguntungkan secara ekonomi dan strategis bagi kepentingan nasional. Eksplorasi dan eksploitasi ladang-ladang minyak yang memiliki cadangan besar justru lebih banyak diberikan kepada perusahaan-perusahaan asing seperti Chevron (AS), Total (Prancis), CNOCC (China), atau British Petroleum (Inggris).

Alasan itu pula yang melatari sejumlah pihak -- antara lain Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Sjamsuddin, mantan Ketua PB Nahdlatul Ulama Hasyim Muzadi, mantan Mennakertrans Fahmi Idris, juga pengacara Eggi Sudjana -- mengajukan permohonan uji materi atas UU No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi ini ke MK. Mereka gusar oleh kenyataan bahwa undang-undang tersebut membuat bangsa Indonesia tidak benar-benar berdaulat dalam bidang energi.

MK mengabulkan sebagian permohonan uji materi itu. MK memutuskan, keberadaan BP Migas bertentangan dengan prinsip pengusaan negara atas sumber daya alam migas. Dengan kata lain, keberadaan BP Migas yang selama ini diwadahi UU No 22 Tahun 2001 harus dibubarkan karena bertentangan dengan konstitusi negara.

Kini, setelah BP Migas dibubarkan sejak putusan MK dibacakan, Selasa siang kemarin, menjadi tantangan besar: bagaimana pengelolaan sumber daya migas benar-benar mencerminkan kedaulatan negara dan bangsa Indonesia di bidang energi. Juga bagaimana pengelolaan sumber daya migas ini optimal berorientasi kepada sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Untuk itu, koreksi atas semangat kebablasan UU No 22 Tahun 2001 jangan sekadar ditandai oleh pembubaran institusi BP Migas tanpa diiringi spirit nasionalisme dalam pengelolaan sumber daya migas. Tetapi koreksi ini juga jangan sekadar membuka praktik keliru dan sesat seperti di masa silam: pengelolaan sumber daya migas lebih banyak menjadi bancakan kalangan elite penguasa.***

Jakarta, 13 November 2012

05 November 2012

Ancaman Investor


Ancaman kalangan investor untuk angkat kaki alias hengkang ke luar negeri tak beralasan dianggap sebagai momok. Ancaman itu barangkali sekadar gertak sambal. Sekadar meminta perhatian pemerintah menyangut masalah-masalah yang mereka rasakan mengganjal kelancaran investasi.

Kalaupun benar kalangan investor memutuskan hengkang, itu tak bakal membuat dunia usaha di dalam negeri serta-merta mengalami kiamat. Bagaimanapun, investor hengkang adalah fenomena biasa -- sama seperti investor datang menanam modal ataupun melakukan ekspansi usaha. Di negara mana pun, fenomena seperti itu lazim adanya.

Ihwal investor hengkang baru mungkin bisa membuat dunia usaha nasional mengalami kiamat kalau itu merupakan sebuah eksodus. Tapi apa mungkin investor bakal ramai-ramai hengkang ke luar negeri sehingga melahirkan fenomena eksodus?

Tampaknya hampir mustahil. Kecil sekali kemungkinan investor melakukan eksodus ke mancanegara karena sekarang ini sama sekali tak ada faktor luar biasa yang bisa menjadi pemicu, seumpama kehidupan sosial-politik dalam kondisi chaos.
Sejauh ini, kehidupan sosial-politik di dalam negeri relatif kondusif bagi kegiatan investasi. Bahwa kadang kehidupan sosial-politik ini bergejolak, itu sekadar riak yang sama sekali tidak serius mengancam kepentingan investor. Aksi demo buruh, misalnya, sesekali memang berlangsung anarkistis. Toh itu selalu bisa dikendalikan aparat keamanan menjadi sekadar peristiwa sesaat dan lokalistis. Artinya, aksi demo enarkistis itu tidak sampai berlangsung berkepanjangan dan tidak pula melebar hingga menjadi peristiwa berskala besar serta menimbulkan chaos di masyarakat.

Di sisi lain, potensi investasi di Indonesia ini sejak lama diminati kalangan pemilik modal. Ibarat gadis molek, potensi investasi ini begitu menggoda minat investor. Tidak mengherankan jika angka persetujuan investasi tiap tahun senantiasa mengesankan. Paling tidak, jumlah proyek maupun nilai investasi terus menunjukkan grafik menanjak. Artinya, minat dan gairah investor menanam modal di Indonesia sejauh ini tetap tinggi.

Karena itu, sekali lagi, ancaman kalangan investor untuk hengkang ke mancanegara tampaknya sekadar gertak sambal. Toh kondisi objektif di lapangan sama sekali tidak memberi pembenaran bahwa ancaman itu sebuah bahaya besar yang bisa membuat kegiatan investasi di dalam negeri mengalami gonjang-ganjing atau bahkan kiamat.

Meski begitu, bukan berarti ancaman kalangan investor ini boleh dianggap angin lalu. Bagaimanapun, ancaman mereka tetap punya urgensi untuk diindahkan. Toh ancaman itu sejatinya merupakan ekspresi kegundahan investor selama ini dalam melakoni kegiatan penanaman modal.

Kegundahan itu sendiri merujuk kepada iklim investasi di dalam negeri yang tak kunjung benar-benar oke. Sejumlah faktor masih saja menjadi parasit yang membuat kegiatan investasi dibebani ekonomi biaya tinggi. Masalah tersebut di satu sisi terutama terkait kekurangan daya dukung infrastruktur ekonomi, dan di sisi lain akibat praktik korupsi di banyak lini yang makin merajalela.

Jadi, meski tak perlu dihadapi dengan sikap paranoid, ancaman kalangan investor untuk hengkang ke mancanegara ini sepatutnya melecut pemerintah bertindak serius melakukan pembenahan. Pemerintah jangan lagi lebih banyak berwacana ataupun mengobral janji menyangkut perbaikan iklim investasi ini. Tindakan konkret dan tajam terfokus sudah saatnya dilakukan. Intinya, pemerintah harus membuat iklim investasi benar-benar menggairahkan dan kian berdaya saing.***

Jakarta, 5 November 2012