Satuan Kerja
Sementara Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKSP Migas) tak
boleh menjadi lembaga permanen. SKSP Migas tak boleh menjadi jelmaan baru BP
Migas yang belum lama ini bubar demi hukum sebagai konsekuensi putusan Mahkamah
Konstitusi (MK) membatalkan sebagian pasal dalam UU No 22 Tahun 2001 tentang
Migas.
Itu lebih
beralasan karena fungsi SKSP Migas ini, yang diwadahi Perpres Nomor 95 Tahun
2012 sebagai respons pemerintah atas putusan MK, secara substansial tidak beda
dengan BP Migas. Artinya, SKSP Migas memang sekadar merupakan baju baru BP
Migas dalam rangka memberikan kepastian kepada para pelaku usaha hulu migas.
Justru itu, selama SKSP Migas berkibar, amanat konstitusi tentang penguasaan
dan pengusahaan sumber daya migas pun tetap saja tergadai.
Karena itu,
setiap keinginan, gelagat, atau bahkan upaya ke arah memermanenkan SKSP Migas
harus ditentang. Untuk itu, keberadaan SKSP Migas harus diberi tenggat pasti
sehingga benar-benar menjadi sekadar lembaga sementara dalam rangka mengisi
kekosongan setelah BP Migas dibubarkan. Dengan tenggat pasti, SKSP Migas dibuat
tak bisa lain kecuali menjadi lembaga transisi untuk memberi kepastian hukum
bagi pelaku usaha hulu migas pascaputusan MK atas UU Migas.
Untuk itu, revisi
UU Nomor 22 Tahun 2001 harus segera dilakukan. Pemerintah dan DPR tak boleh
berlama-lama membiarkan usaha hulu migas dalam masa transisi setelah BP Migas
tamat riwayat. Artinya, pemerintah dan DPR harus memberi prioritas tinggi
terhadap perumusan dan pembahasan undang-undang baru migas. Jika tidak,
kekeliruan selama ini menyangkut pengelolaan sumber daya migas terus berlanjut
sehingga kepentingan nasional tetap saja tergadai.
Badan pengganti
BP Migas sendiri, apakah berupa BUMN atau bentuk lain, bisa dipikirkan. Yang
penting, produk undang-undang yang mewadahi itu harus sejalan dengan amanat
konstitusi. Persisnya, sesuai putusan MK atas UU Nomor 22 Tahun 2001, produk
undang-undang itu harus membuat penguasaan dan pengusahaan sumber daya migas
tetap dalam kendali negara serta berorientasi kepada sebesar-besar kemakmuran
rakyat.
Dengan kata lain,
undang-undang baru migas tak boleh merupakan sekadar baju baru UU No 22 Tahun
2001. Undang-undang baru itu harus benar-benar mengusung semangat menjaga
kedaulatan negara atas sumber daya migas tetap tegak sesuai amanat konstitusi
negara.
Untuk itu pula,
proses perumusan maupun pembahasan undang-undang baru migas ini harus dikawal
semua komponen bangsa. Dengan demikian, kekeliruan di masa lalu -- membuat UU
Nomor 22 Tahun 2001 kelewat bersemangat liberal, sehingga pengusahaan sumber
daya migas didominasi asing dan kepentingan nasional dinafikan -- bisa
dihindari.
Pengawalan itu
juga urgen karena pihak-pihak tertentu, termasuk kalangan investor asing dan
mafia migas, niscaya berkepentingan agar produk perundangan tentang pengusahaan
sumber daya migas di sektor hulu ini tetap liberal. Mereka jelas tak rela hati
UU Nomor 22 Tahun 2001 diamputasi MK sehingga kehilangan semangat liberal.
Jadi, patut
diyakini bahwa pihak-pihak tertentu amat berkepentingan agar produk perundangan
mengenai pengusahaan sumber daya migas di sektor hulu tetap liberalistis.
Karena itu, seiring proses pembuatan undang-undang baru migas, berbagai
komponen bangsa patut mewaspadai kemungkinan pihak-pihak tertentu melakukan
gerilya.
Sejatinya,
gerilya itu pula yang dulu membuat kalangan elite bangsa seolah alpa atau tutup
mata terhadap skenario pihak tertentu membuat UU Nomor 22 Tahun 2001 begitu
liberalistis. Karena itu, sekali lagi, proses pembuatan undang-undang baru
migas benar-benar harus dikawal berbagai pihak.***
Jakarta, 23
November 2012