28 Mei 2008

Berantas Pungli di Sektor Transportasi!

Seperti di bidang-bidang lain, jasa angkutan umum jalan raya sudah lama digayuti benalu. Benalu itu adalah pungli alias pungutan liar. Mulai pengurusan izin trayek sampai uji kelaikan jalan kendaraan, pungli selalu hadir. Selalu menerkam dan tak pernah bosan menghisap korban.

Belum lagi dalam operasional sehari-hari, pungli juga hadir di banyak sudut. Mulai pungli preman di terminal sampai pungli oknum petugas berseragam di jalan raya. Semua hadir begitu kasatmata, tanpa malu-malu, meski tak pernah diakui.

Namun diakui ataupun tidak, pungli sudah menjadi benalu dalam kegiatan jasa angkutan darat. Pungli boleh dikata telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam setiap geliat pengelolaan transportasi umum jalan raya. Orang boleh mengeluh dan mencaci-maki, tapi pungli tak pernah mati. Pungli terus saja menghisap korban. Di perkotaan maupun daerah pinggiran, sama saja. Pungli merajalela. Korban sungguh-sungguh tak berdaya. Korban telanjur tak punya pilihan kecuali terus menyetor dana pungli.

Jelas, pungli mengakibatkan penyelenggaraan jasa angkutan umum jalan raya tak pernah bisa efisien. Tak pernah bisa sehat. Sebab, setoran pungli sudah bukan lagi pengeluaran secuil dan tidak pula bersifat insidental. Setoran pungli praktis telah menjadi komponen pengeluaran tersendiri. Meski secara akuntansi tak pernah resmi menjadi pos tersendiri, pungli sudah merupakan sumber pengeluaran rutin dalam penyelenggaraan jasa angkutan umum kita. Artinya, jumlah dana yang digelontorkan sebagai setoran pungli tak tergolong kecil.

Justru itu, pungli sungguh merupakan salah satu sumber ekonomi biaya tinggi dalam penyelenggaraan jasa angkutan darat. Namun ini seolah tak pernah dianggap sebagai masalah serius. Paling tidak, karena sejauh ini pungli tak pernah sungguh-sungguh dibasmi. Tak pernah konsisten dan konsekuen diberantas.

Memang komitmen tentang pemberantasan pungli ini amat sering terlontar ke tengah publik. Tapi langkah pemerintah atau aparat berwenang ke arah itu cenderung sekadar gebrakan sesaat. Terkesan setengah hati. Hanya hangat-hangat tahi ayam. Sekadar mencari simpati publik. Sekadar ajang tebar pesona.

Akibatnya, itu tadi, penyelenggaraan jasa angkutan umum tak pernah efisien. Amat digayuti ekonomi biaya tinggi. Tak mengherankan, karena itu, sedikit saja keseimbangan terganggu, jasa angkutan umum serta-merta limbung. Langsung kelimpungan. Seperti dalam menghadapi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, yang pekan lalu diberlakukan pemerintah, pengelola jasa angkutan umum seketika menjerit. Mereka menjerit, karena beban pengeluaran bertambah berat. Terlebih lagi, amat mungkin kenaian harga BBM justru meningkatkan "tarif" pungli.

Kenyataan seperti itu mestinya tak terjadi kalau saja fenomena pungli bisa diberantas tuntas. Kenaikan harga BBM bersubsidi tak mesti membuat pengelola jasa angkutan umum seolah dilanda kiamat andai praktik pungli benar-benar dibasmi. Mereka tak harus sampai menggelar aksi menolak kenaikan harga BBM dengan menggelar mogok operasi. Juga mereka tak harus menuntut penyesuaian tarif yang nyata-nyata hanya berdampak menambah berat beban pengguna jasa.

Penghapusan praktik pungli memang bisa menjadi kompensasi kenaikan harga BBM. Tetapi bola tentang itu tidak berada di tangan pengelola jasa angkutan umum. Pemberantasan praktik pungli amat bergantung pada kemauan dan keseriusan pemerintah. Sebab, posisi tawar pengelola jasa angkutan umum sendiri terlalu lemah untuk memaksakan gerakan ke arah sana. Kekuatan memaksa itu lebih berada di tangan pemerintah selalu institusi pemegang kekuasaan.

Jadi, adakah kemauan pemerintah untuk sungguh-sungguh memberantas segala bentuk praktik pungli? Ini sebuah pernyataan klasik yang menuntut jawaban tidak klasik: bukan hanya gebrakan sesaat atau apalagi cuma jadi janji kosong.***
Jakarta, 28 Mei 2008

taman


Teteh Rara, 2008

26 Mei 2008

Harga-harga Wajib Disiasati

Pasar tidak pernah punya nurani. Juga tak pernah mengindahkan etika. Pasar hanya mengenal peluang dan kesempatan. Pasar hanya peduli terhadap keuntungan.

Karena itu, setelah harga bahan bakar minyak (BBM) naik terhitung sejak Sabtu dinihari pekan lalu, pasar langsung bereaksi. Harga-harga serentak naik. Tanpa dikomando, tanpa bisa dicegah. Tengok saja harga kebutuhan pokok pangan masyarakat. Menurut pemberitaan, harga kebutuhan pokok di berbagai daerah kembali meroket.

Padahal sebelum harga BBM resmi dinaikkan, harga kebutuhan pokok pangan ini sudah membuat masyarakat kebanyakan menjerit. Dipicu oleh pengumunan pemerintah, beberapa pekan lalu, harga kebutuhan pokok sontak melejit mendahului rencana pemerintah menaikkan harga BBM.

Padahal pula, tanpa lonjakan itu pun, harga kebutuhan pokok ketika itu sudah membuat masyarakat kelimpungan. Harga kebutuhan pokok saat itu sudah menjilat langit. Konon kondisi tersebut merupakan dampak atau pengaruh gejolak harga pangan di tingkat global.

Walhasil, kenaikan harga kebutuhan pokok kali ini sungguh sudah kelewatan. Dirunut setahun ke belakang, kenaikan itu paling tidak merupakan kali ketiga. Dengan tiga kali kenaikan itu, interval lompatan harga begitu signifikan. Karena itu, harga kebutuhan pokok kini sudah sungguh menyesakkan.

Jadi, amat beralasan masyarakat menjerit. Ibarat petinju, masyarakat sekarang ini benar-benar dilanda mabuk pukulan. Ditambah beban harga-harga barang lain maupun jasa yang juga tanpa kecuali tersulut melejit setelah harga BBM resmi dinaikkan, kondisi itu sungguh berdampak tidak menyehatkan kehidupan sosial. Daya beli yang semakin terkikis potensial melahirkan aneka bentuk penyakit kemasyarakatan, terutama tindak kriminalitas.

Tapi, itu tadi, pasar tidak pernah hirau. Pasar tidak punya nurani. Tidak pernah peduli terhadap sistem nilai sosial. Terhadap etika. Pasar hanya mengenal satu doktrin: peluang menguntungkan, betapa pun kecilnya, tak boleh dilewatkan.

Namun tak berarti pasar tak bisa diintervensi. Arah perkembangan pasar masih mungkin bisa dibelokkan atau bahkan direm. Pasar masih mungkin bisa ditaklukkan melalui campur tangan kekuasaan. Lewat kebijakan atau regulasi.

Ini berarti, pemerintah harus maju berperan. Pemerintah dituntut turun tangan. Pemerintah tak bisa membiarkan pasar bergerak menurut hukum, mekanisme, ataupun nilai-nilainya sendiri. Manakala pasar sudah nyata-nyata bergerak menyengsarakan rakyat, pemerintah wajib melakukan intervensi. Terlebih di negara yang mengagungkan keadilan sosial seperti Indonesia ini.

Mengintervensi pasar yang bergerak liar serta menyengsarakan rakyat merupakan salah satu tugas moral pemerintah selaku pemegang kewenangan yang dipercayakan rakyat. Adalah aneh jika pemerintah menghindari atau bahkan mengingkari tugas itu. Pemerintah tak cukup sekadar mengaku memiliki kesadaran, komitmen, atau apa pun namanya. Bagaimanapun, pemerintah juga harus bertindak. Harus melakukan action.

Pemerintah tak bisa berdalih bahwa pergerakan pasar sulit bisa dikendalikan karena faktor-faktor di luar jangkauan. Dalih demikian terkesan naif sekaligus menafikan kenyataan bahwa pemerintah dibentuk justru untuk menghadapi kondisi-kondisi seperti itu.

Untuk itu pula, maka pemerintah diberi kekuasaan. Jadi, dengan kekuasaan di tangan, mestinya tak ada hal-hal yang tak bisa dijangkau pemerintah. Apa pun, mestinya, bisa disentuh. Bisa ditangani.

Jadi, lonjakan harga barang dan jasa pascakenaikan harga BBM sekarang ini tak beralasan tak bisa ditangani. Masalah tersebut juga wajib disiasati. Adalah amat tidak patut jika pemerintah cenderung sekadar berharap pasar bergerak ramah alias tak membuat rakyat menjerit sengsara. Toh, mestinya, sudah disadari bahwa pasar tak pernah punya nurani.***
Jakarta, 25 Mei 2008

21 Mei 2008

jerapah



Ini karya anakku yang bungsu, Khalda Sami Hisanah. Umurnya kini 8,5 tahun. Kelas dua SD.

Tantangan buat Boediono

Memimpin Bank Indonesia (BI) sekarang ini pasti tidak mudah. Pasti berat. Tantangan yang terbentang begitu kompleks. Situasi dan kondisi yang harus dihadapi jelas-jelas tidak bersahabat. Jurus-jurus yang harus dipraktikkan pun tidak saja secara akademis mesti betul dan tepat, tapi secara psikologis juga harus smooth. Jurus-jurus itu tidak boleh menumbuhkan persepsi buruk khalayak luas -- seakan-akan BI grogi, panik, atau bahkan tidak becus mengendalikan keadaan.

Boediono, yang Kamis ini resmi dilantik menggantikan Burhanuddin Abdullah sebagai Gubernur BI, tentu mengerti betul tuntutan kondisional itu. Boediono pasti sadar bahwa menduduki kursi Gubernur BI saat sekarang ini tidak bakal nyaman. Tidak melenakan. Kursi Gubernur BI bukan sebuah singgasana, melainkan lebih menyerupai tungku dengan bara yang merah menyala.

Bara itu sendiri, antara lain, inflasi yang potensial membubung. Perkembangan selama beberapa bulan terakhir menunjukkan, inflasi cenderung menapak di level tinggi. Kini kecenderungan ke arah itu makin kuat. Inflasi potensial kian melangit berkaitan dengan dampak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang tinggal menunggu waktu resmi diumumkan pemerintah.

Ditambah situasi dan kondisi global yang cenderung bergejolak nyaris tak terkendali, kenyataan itu membuat pengelolaan moneter makin mahal. Menguras banyak anggaran. Selama tahun lalu saja, pengelolaan moneter ini membuat anggaran BI mengalami defisit.

Sekarang ini, perkembangan moneter kian krusial. Gejolak ekonomi global telah menggerus kepercayaan kalangan pemilik modal. Di mana-mana, orang cenderung enggan menabur modal di sektor ekonomi ataupun perdagangan riil. Mereka lebih memilih produk-produk perdagangan derivatif.

Kecenderungan itu membuat arus masuk modal global ke dalam negeri bukan hanya menjadi seret. Lebih dari itu, bukan tidak mungkin modal yang selama ini bersemayam di dalam negeri pun justru terdorong mengalir deras ke luar.

Itu sungguh amat riskan karena sektor finansial kita telanjur menggelembung (bubble). Justru itu, untuk mencegah bubble di sektor finansial kita meletus, pengelolaan moneter yang menjadi tanggung jawab BI semakin mahal lagi. Artinya, langkah-langkah operasional BI pun dituntut lebih efektif.

Untuk itu, ke dalam, BI dituntut tampil sebagai tim kerja yang solid. Tapi ini bisa tidak mudah. Sebagai sebuah tim, BI telanjur mengalami luka-luka akibat politisasi dalam rangka proses pemilihan Gubernur BI kemarin. Jadi, Boediono dituntut segera menyembuhkan luka-luka itu. Boediono harus mampu menumbuhkan kembali soliditas BI.

Ke luar, terutama ke jajaran pemerintahan, tantangan yang dihadapi Boediono sebagai pimpinan BI mungkin tak terlalu sulit. Pengalaman dan hubungan baik dengan eksekutif selama ini amat bisa diharapkan membuat Boediono mampu membawa BI malangkah harmonis dengan pemerintah.

Namun penyamaan persepsi BI dan pemerintah mengenai target maupun strategi kerja sama perlu dirumuskan kembali. Ini terutama terkait dengan persoalan banyaknya dana perbankan yang diparkir dalam instrumen Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Persoalan tersebut tidak sehat karena mengakibatkan sektor riil tak kunjung bergerak.

Walhasil, Boediono juga dituntut mampu merangkul pemerintah untuk merumuskan langkah bersama yang mampu menstimulasi dana perbankan mengalir ke sektor riil. Kita percaya, sebagai sosok yang selama ini mengkoordinasi tim ekonomi pemerintah, Boediono tak bakal kesulitan membawa BI menjadi mitra kerja pemerintah dalam rangka menumbuhkembangkan ekonomi nasional.

Jadi, tungku ataupun singgasana, kursi Gubernur BI sejatinya bukan untuk berleha-leha. Kursi itu adalah kepercayaan dan kesempatan untuk bekerja keras. Kita yakin, Boedional tak bakal menyia-nyiakan kepercayaan dan kesempatan itu.***
Jakarta, 21 Mei 2008

18 Mei 2008

Seabad Kebangkitan Nasional

Seabad Kebangkitan Nasional, yang genap jatuh pada Selasa besok, 20 Mei 2008, mestinya menjadi sebuah titik yang tegas menunjukkan bahwa kita sudah mencatat kemajuan dalam kehidupan berbangsa. Artinya, dibanding seabad silam, kehidupan kita dalam berbangsa sekarang ini mestinya jauh lebih baik. Jauh lebih berkualitas. Perjalanan panjang selama seratus tahun mestinya membuat kebangsaan kita benar-benar kokoh dan matang.

Tetapi apa yang kita lihat, kita dengar, kita rasakan, dan kita praktikkan sekarang ini justru lebih merupakan kemunduran. Semangat kebangsaan kita seolah luntur. Dalam hari-hari ini, setelah seratus tahun Kebangkitan Nasional, kehidupan keseharian kita cenderung terfragmentasi dalam kotak-kotak primordialisme. Kita seolah lupa atau tak hirau lagi terhadap spirit kebangkitan nasional kita.

Spirit itu adalah nasionalisme. Spirit kebangsaan ini, yang mula pertama dihembuskan pergerakan Budi Utomo sejak awal berdiri pada 209 Mei 1908, yang kemudian menginspirasi sekaligus menjadi roh perjuangan kita dalam mencapai kemerdekaan. Dengan spirit itu, kaum muda bisa mendeklarasikan Sumpah Pemuda 1928. Sebuah deklarasi yang sangat bermakna dalam perumusan sekaligus penyatuan visi kebangsaan nasional kita. Sebuah deklarasi yang kemudian menjadi fondasi dalam setiap tahapan perjuangan kemerdekaan kita.

Dengan semangat nasionalisme pula, kemerdekaan Indonesia bisa diproklamasikan dwi tunggal Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945 dengan dukungan penuh segenap komponen bangsa kala itu. Demikian juga dalam tahapan-tahapan upaya mempertahankan maupun mengisi kemerdekaan Indonesia: nasionalisme menjadi roh kehidupan kebangsaan kita. Menjadi spirit yang senantiasa berkobar-kobar.

Semangat nasionalisme kebangsaan kita juga menjadi inspirasi banyak bangsa lain dalam membebaskan diri dari belenggu penjajahan. Dari kungkungan keterbelakangan.

Namun sekarang ini justru kita yang harus banyak belajar kepada bangsa-bangsa lain mengenai kesadaran tentang nasionalisme kebangsaan ini. Kita perlu meneguhkan kembali kesadaran bahwa nasionalisme adalah fundamen berbangsa. Kita perlu menggelorakan kembali semangat nasionalisme sebagai roh kehidupan bersama kita sebagai sebuah bangsa.

Itu semua sungguh perlu karena kini kita cenderung memaknai nasionalisme dalam perspektif sempit. Dalam bingkai primordialisme. Dalam kepentingan-kepentingan dangkal dan sesaat. Kita seolah sudah kehilangan moralitas dalam melakoni berbagai aspek kehidupan berbangsa. Nilai-nilai luhur berbangsa, yang menjadi sumbu semangat nasionalisme, telah terdegradasi menjadi pragmatisme. Kegiatan pendidikan, misalnya, cenderung diperlakukan sebagai ajang bisnis. Pendidikan bukan lagi proses budaya yang menjadi hak bersama, melainkan seolah hanya proses pengasahan intelektual yang cuma bisa dinikmati kelompok berkemampuan secara ekonomi.

Begitu juga kegiatan politik. Kegiatan politik telah terdistorsi menjadi sekadar proses meraih dan mempertahankan kekuasaan. Politik bukan lagi proses mencapai tujuan bersama dalam bingkai nasionalisme kebangsaan.

Tapi kita tak selayaknya larut dalam sesal. Peringatan seabad Kebangkitan Nasional patut kita jadikan momentum untuk melakukan koreksi mendasar mengenai visi dan tujuan kebangsaan itu. Kita perlu meneguhkan kembali konsep nasionalisme sebagai spirit kebangsaan kita dalam menapaki hari-hari ke depan ini. Artinya, momentum seabad Kebangkitan Nasional patut kita jadikan sebagai tonggak Kebangkitan Nasional Kedua.

Tak perlu berkecil hati. Kita masih mungkin bisa bangkit kembali. Kita belum benar-benar bangkrut. Keprihatinan kita mengenai kondisi nasionalisme kebangsaan kita sekarang adalah modal berharga untuk itu. Yang penting, kesadaran ini harus kita wujudkan menjadi spirit dan komitmen bersama untuk bangkit meninggalkan segala kebobrokan.***
Jakarta, 18 Mei 2008

15 Mei 2008

Harga Pangan Stabil?

Pernyataan Menteri Perdagangan Mari Elka Pengestu bahwa harga pangan kini stabil mestinya melegakan. Melegakan, karena harga stabil merupakan pertanda bahwa gejolak pasar sudah mampu dikendalikan. Pertanda harga tidak melonjak-lonjak lagi.

Tapi pemerintah jangan menepuk dada dulu. Pertama, karena realitas di lapangan terkesan menunjukkan gambaran lain. Harga pangan masih saja cenderung bergejolak. Pasar, dalam kaitan ini, tampaknya terpengaruh rencana pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM).

Kalaupun benar harga pangan kini stabil, itu tak lantas berarti melegakan. Bagi masyarakat kebanyakan, harga pangan sekarang ini tetap saja sulit dijangkau. Harga pangan telanjur melejit dan tidak turun lagi. Jadi, bagaimana mungkin kenyataan tersebut bisa melegakan!

Kedua, kondisi stabil itu sendiri -- sekali lagi jika benar demikian -- boleh jadi hanya gejala sementara. Sekadar jeda sejenak sebelum akhirnya memperoleh momentum untuk bergejolak lagi. Momentum itu sendiri kini sudah di depan mata, yaitu pengumunan kenaikan harga BBM. Jadi, begitu pemerintah resmi mengumumkan kenaikan harga BBM, harga aneka barang dan jasa -- termasuk komoditas pangan -- niscaya terpicu melonjak lagi. Semakin membuat rakyat kebanyakan sulit menjangkau.

Kenyataan tersebut jelas memprihatinkan. Sangat mengiris hati. Bagaimanapun, bagi masyarakat kebanyakan -- terutama lapisan bawah -- akses terhadap pangan kini sudah menjadi pertaruhan hidup. Harga pangan yang semakin tak bisa dijangkau lagi serta-merta menghadapkan mereka pada kondisi menyesakkan. Kelaparan mendera. Bahkan, seperti sejumlah kasus yang terungkap ke permukaan, deraan perut lapar sampai membuat orang dijemput maut!

Secara keseluruhan, mereka yang rentan didera kelaparan ini sekarang sungguh berjibun. Sekitar 19,1 juta jiwa, sesuai program penyaluran beras untuk rakyat miskin (raskin) yang menjadi tanggung jawab Perum Bulog. Sangat boleh jadi, mereka yang patut tersentuh program raskin ini sekarang sudah jauh lebih banyak. Sebab angka 19,1 juta jiwa itu sendiri teridentifikasi sebelum harga pangan bergejolak hebat sejak beberapa bulan terakhir. Lalu, setelah harga BBM nanti resmi dinaikkan, angka tentang itu boleh diyakini semakin memprihatinkan lagi.

Karena itu, alokasi program rakin ke depan ini perlu ditingkatkan secara signifikan. Jika tidak, kasus-kasus kelaparan bisa bermunculan. Paling tidak, kian banyak saja orang terpaksa makan nasi aking.

Tapi kebutuhan pangan tak hanya meliputi beras. Justru itu, tantangan terpenting bagi pemerintah sekarang ini bukan sekadar memperbesar alokasi beras untuk program raskin. Juga bukan mampu meredakan gejolak harga pangan. Masalah yang jauh lebih penting dan mendasar adalah bagaimana pangan bisa mudah diperoleh rakyat. Artinya, dari sisi harga, pangan bisa tetap dijangkau. Dari sisi ketersediaan, pangan juga selalu terjamin alias tidak pernah kurang.

Itu berarti, ketahanan pangan di tingkat keluarga harus bisa dibangun. Tampaknya, masalah ini sudah sedikit terlupakan. Selama ini, pemerintah terkesan cenderung terpaku pada ketahanan di tingkat nasional ataupun regional. Itu juga tidak selalu dalam kondisi meyakinkan. Ketahanan pangan nasional bahkan acap terkesan rapuh. Gejolak harga maupun kelangkaan pasokan amat gampang terpicu dengan dampak yang sering menghebohkan. Krisis minyak goreng, gula pasir, beras, juga tepung terigu adalah beberapa contoh yang begitu gamblang memberi gambaran bahwa ketahanan pangan nasional kita tak hanya rapuh, melainkan juga semu. Itu, agaknya, karena ketahanan pangan di tingkat keluarga sudah tinggal sejarah.

Mungkin, karena itu, paradigma pembangunan ekonomi secara umum perlu diubah. Paradigma yang menempatkan mekaniske pasar sebagai panglima terbukti amat berisiko. Seperti gejala belakangan ini: harga pangan bergejolak hebat dan tak bisa reda di tingkat semula. Stabilitas harga yang terbentuk tak serta-merta melegakan alias tetap mencekik!***
Jakarta, 15 Mei 2008

12 Mei 2008

BLT Saja Tak Cukup

Bagi kaum miskin, kenaikan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi -- yang tak lama lagi dilakukan pemerintah -- adalah malapetaka. Pengalaman menunjukkan, kenaikan harga BBM selalu membuat harga aneka barang dan jasa ikut-ikutan terbang tinggi. Kenyataan tersebut sekarang ini bisa menjadi malapetaka karena jauh sebelum harga BBM naik, harga aneka barang dan jasa -- terutama komoditas pangan -- sudah lebih dulu menggapai langit.

Jadi, kenaikan harga BBM kali ini sungguh amat memukul
sekaligus menekan kaum miskin. Kehidupan mereka kian dalam tenggelam di kubang kemiskinan. Mereka semakin tak berdaya secara ekonomi.

Dari segi jumlah, mereka yang berkubang dalam kemiskinan itu juga semakin banyak. Sebuah perkiraan menyebutkan, kenaikan harga BBM kali ini berdampak menambah jumlah penduduk miskin sekitar 15 juta jiwa.

Menurut data Badan Pusat Statistik, tahun lalu jumlah penduduk miskin di negeri kita berjumlah sekitar 37,17 juta jiwa atau 16,58 persen dibanding total penduduk Indonesia. Jika perkiraan di atas dijadikan pegangan, berarti pascakenaikan harga BBM nanti total penduduk miskin di Indonesia ini melonjak menjadi 52 juta jiwa lebih.

Itu sungguh angka yang memprihatinkan. Dengan angka 52 juta, berarti hampir seperempat penduduk kita tergolong miskin. Itu amat tidak elok karena mendistorsi makna pembangunan ekonomi selama ini. Seolah-olah kegiatan pembangunan ekonomi tak berdampak mengangkat derajat kehidupan rakyat.

Karena itu, menyiapkan program kompensasi kenaikan harga BBM bagi warga miskin sungguh merupakan keharusan. Jika tidak, langkah pemerintah menaikkan harga BBM kali ini bisa menjadi tragedi kemanusiaan. Tragedi itu -- notabene sudah mulai menggejala -- bisa berupa bencana busung lapar, gizi buruk, stres atau gangguan jiwa, bahkan juga tindak bunuh diri. Belum lagi, secara sosial, tindak kriminalitas juga bisa semakin kental menggejala.

Namun justru mengingat kemungkinan itu pula, program kompensasi kenaikan harga BBM bagi kaum miskin tak cukup sekadar berupa pemberian bantuan langsung tunai (BLT) sebagaimana disiapkan pemerintah. Bahkan meski diembel-embeli plus pembagian catu bahan pangan, BLT sama sekali tak menyentuh akar masalah. BLT jelas bersifat sekadar wujud belas kasih. Cuma charity. BLT tak memberdayakan kaum miskin secara ekonomi. Apalagi BLT diberikan secara temporer, yaitu hanya selama setahun.

Jelas, karena itu, BLT sekadar pelipur lara bagi kaum miskin. BLT sekadar penghiburan agar mereka melupakan sejenak beban kehidupan yang semakin mencekik sebagai dampak kenaikan harga BBM.

Tapi itu tak berarti BLT sama sekali tak bermakna. Bagi kaum miskin, BLT tetap punya arti. Tetap bermanfaat. Namun jangan jadikan BLT sebagai satu-satunya bentuk kompensasi kenaikan harga BBM. Bentuk lain kompensasi itu, yang lebih bersifat mendasar dan strategis -- memberdayakan kaum miskin -- juga perlu disiapkan. Perlu segera dirumuskan.

Program pemberdayaan ekonomi bagi kaum miskin ini diperkukan bukan sebagai charity ataupun penghiburan. melainkan hak. Kaum miskin berhak diberdayakan secara ekonomi. Sebab kenaikan harga BBM begitu niscaya berdampak menghempaskan mereka ke lembah kesengsaraan yang makin dalam.

Itu perlu kita ingatkan karena kita khawatir pemerintah lupa. Atau tak menganggap urgen hanya karena merasa bahwa selama ini sudah menggulirkan sejumlah program pemberdayaan ekonomi, termasuk untuk kaum miskin.

Itu memang betul. Namun acap kali program-program pemberdayaan ekonomi itu tidak berkesinambungan. Juga tak terintegrasi sebagai satu kesatuan program yang saling melengkapi. Program-program itu lebih cenderung berjalan sendiri-sendiri dalam semangat ego sektoral.

Justru itu, efektivitas program-program pemberdayaan ekonomi ini sering-sering tidak jelas. Tidak terukur. Ditambah aspek akuntabilitas yang memprihatinkan, program-program itu hanya indah di atas kertas. Hanya sukses sebagai laporan normatif.

Jelas, yang kini dibutuhkan bukan program-program seperti itu. Yang dibutuhkan adalah program yang utuh terintegrasi serta terukur mampu segera memberi sumber penghidupan kepada kaum miskin secara berkelayakan.***
Jakarta, 12 Mei 2008

11 Mei 2008

Darurat, Masih Saja Berwacana!

Penimbunan bahan bakar minyak (BBM) dalam sepekan terakhir berlangsung marak. Di berbagai daerah, orang seolah berlomba melakukan tindakan tersebut. Salahkah?

Secara etis maupun ekonomis, tindakan itu jelas tak bisa dibenarkan. Secara etis, tindak penimbunan termasuk perilaku culas. Egoistis. Tindak penimbunan adalah wujud nyata perilaku aji mumpung. Memanfaatkan kesempatan dan kesempitan.

Karena itu, secara ekonomi, tindak penimbunan berimplikasi merugikan kepentingan orang banyak. Keseimbangan pasokan dan penyerapan barang terganggu. Bahkan kelangkaan jadi terpicu.

Alasan itu pula yang membuat aparat kepolisian tak bisa tinggal diam. Dengan atau tanpa pengaduan, mereka tergerak turun tangan melakukan penindakan. Seperti dalam kasus penimbunan BBM sekarang ini, sejumlah orang di sejumlah daerah, yang diduga kuat melakukan penimbunan, diamankan aparat.

Tapi apakah dengan demikian gejala penimbunan BBM ini segera berakhir? Tampaknya tidak. Malah, boleh jadi, fenomena tersebut bakal kian menjadi-jadi. Bakal semakin marak. Banyak orang tampaknya tetap tak takut melakukan tindak penimbunan, meski berisiko harus berurusan dengan polisi. Bagi mereka -- atau bahkan kita semua, sebenarnya -- menimbun BBM sekarang ini adalah tindakan taktis-ekonomis. Sebab, info sudah jelas dan gamblang. Bahwa tak lama lagi harga BBM naik. Kenaikan itu, sejauh keterangan kalangan pejabat, signifikan pula.

Jadi, menimbun BBM sekarang ini bukan lagi tindakan spekulasi. Bukan dalam rangka menyongsong keadaan tertentu yang bisa terjadi ataupun bisa pula tidak. Bukan pula sebagai tindakan rekayasa agar kondisi pasar terpengaruh dan berubah. Menimbun BBM sekarang ini sepenuhnya merupakan tindakan rasional, meski tak otomatis etis. Tindakan itu adalah dalam rangka menyongsong sesuatu yang sudah pasti segera terjadi, yaitu harga BBM menjadi lebih mahal setelah pemerintah resmi mengetuk palu kenaikan.

Walhasil, dalam perspektif itu, tindak penimbunan BBM pada hari-hari sekarang ini tidak bisa dikatakan salah. Yang salah bin keliru adalah pemerintah. Kenapa rencana menaikkan harga BBM diumbar-umbar -- notabene dengan tenggang waktu relatif panjang, sehingga membuka kesempatan bagi masyarakat untuk melakukan pengamanan?

Mungkin pemerintah tidak ingin membuat masyarakat dilanda kaget atau bahkan terguncang (shock) jika kenaikan harga BBM dilakukan tiba-tiba, tanpa pemberitahuan jauh sebelumnya. Mungkin pemerintah ingin tampil santun. Pemerintah tak mau terkesan bertindak semena-mena. Jadi, rencana kenaikan harga BBM diumumkan sejak jauh hari dianggap sebagai tindakan sosialisasi.

Namun mestinya disadari bahwa BBM adalah komoditas strategis, dan karena itu amat sensitif terhadap segala bentuk info, wacana, ataupun rumor. Jangankan info resmi, bahkan sekadar desas-desus saja amat gampang membuat masyarakat panik. Jadi, tindak penimbunan BBM sekarang ini pun adalah wujud kepanikan masyarakat yang justru disulut oleh info yang dilontarkan pemerintah sendiri.

Mestinya pemerintah sadar bahwa situasi dan kondisi yang berkaitan dengan masalah BBM sekarang ini sudah terbilang kritis. Artinya, yang dibutuhkan adalah tindakan darurat, bukan wacana yang justru menumbuhkan kepanikan masyarakat.

Berwacana memang baik dan sehat, karena berbagai pemikiran bisa dibenturkan secara sehat. Tapi wacana juga menjadi tidak sehat jika melahirkan kepanikan. Kepanikan sendiri berbahaya karena bisa mendorong orang melakukan tindakan apa pun.

Karena itu, mestinya rencana kenaikan BBM tidak diungkapkan kepada publik. Rencana tersebut seharusnya dipendam rapat-rapat. Sementara kenaikan itu sendiri begitu saja dilakukan sesuai perhitungan yang paling mungkin. Masyarakat sendiri tak akan terlalu shock. Toh mereka sudah tahu dan mengerti bahwa kenaikan BBM merupakan pilihan tak terhindarkan lagi.***
Jakarta, 11 Mei 2008

07 Mei 2008

Momok Inflasi

Inflasi niscaya menjadi momok pada hari-hari mendatang ini. Sebagai momok, inflasi kian menjadi sesuatu yang menggusarkan. Juga membangkitkan perasaan miris. Sumbernya adalah kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yang tak lama lagi dilakukan pemerintah.

Karena sudah menjadi keputusan pemerintah melalui sidang kabinet, Senin lalu, ihwal kenaikan harga BBM ini bukan lagi spekulasi ataupun rumors. Kenaikan tersebut berlaku efektif tinggal menunggu ketok palu. Bagi pemerintah, kenaikan harga BBM bersubsidi adalah pilihan tak terelakkan. Demi mengamankan APBN agar sehat dan produktif di tengah tekanan harga minyak dunia yang terus meroket.

Tapi justru itu yang membuat risiko inflasi di hari-hari mendatang ini begitu jelas membayang. Terlebih, meski kenaikan harga BBM ini belum berlaku efektif -- bahkan soal besaran kenaikan itu sendiri masih dalam bahasan -- harga sejumlah barang, khususnya komoditas kebutuhan pokok masyarakat, sudah langsung terkerek naik.

BBM sendiri, sebagai komoditas vital dan strategis, merupakan faktor yang berpengaruh besar terhadap laju inflasi. Tak terkecuali kali ini. Kenaikan harga BBM pasti melambungkan inflasi.

Cuma, kali ini dampak inflatoar kenaikan harga BBM ini menjadi momok karena laju inflasi sudah cenderung terus membubung. Sejak Januari, bahkan juga sepanjang tahun lalu, inflasi terus menggapai langit. April kemarin, misalnya, inflasi tahunan (year on year) mencapai 8,96 persen. Ini naik dibanding posisi Maret sebesar 8,17 persen, Februari 7,40 persen, dan Januari 7,36 persen. Sementara sepanjang tahun lalu, tingkat inflasi tahunan ini rata-rata di kisaran lima persen.

Dengan kecenderungan seperti itu, jelas inflasi pascakenaikan harga BBM nanti semakin melangit. Jika benar-benar tak terkendali, bukan tidak mungkin tingkat inflasi di hari-hari mendatang ini mencapai dua digit alias menembus 10 persen. Terlebih, harga komoditas pangan masih serius menjadi faktor pendorong lain.

Itu yang membuat gusar dan miris. Betapa tidak, karena inflasi berimplikasi menurunkan daya beli. Artinya, terutama bagi kelompok sosial di lapisan bawah, inflasi yang makin menggila adalah malapetaka. Derajat kesejahteraan kian terkikis. Semakin melorot.

Dengan perspektif itu, jelas tingkat kemiskinan potensial bertambah parah. Kemiskinan bukan saja bertambah dalam, melainkan juga semakin meluas. Mereka yang selama ini sudah berkubang dalam kemiskinan semakin megap-megap didera ketidakberdayaan faktor ekonomi. Sementara mereka yang semula dalam posisi masih relatif sejahtera jadi terperosok masuk kategori kelompok miskin.

Jadi, kenaikan harga BBM kali ini bukan lagi seolah pil pahit. Kalau saja tak benar-benar mampu dikendalikan, bisa-bisa dampak inflatoar kenaikan komoditas tersebut bak racun yang mematikan.

Itu berarti, pemerintah amat dituntut bekerja ekstra keras menjaga laju inflasi terkait kenaikan harga BBM nanti. Pemerintah harus benar-benar mampu mengendalikan laju inflasi tetap dalam batas-batas normal dan wajar. Artinya, dampak inflatoar kenaikan harga BBM ini mesti bisa dikendalikan secara cermat dan akurat. Dengan demikian, inflasi di hari-hari mendatang ini tidak lantas menjadi malapetaka yang membuat masyarakat kian sengsara dan melarat.

Untuk itu pula, jaring pengaman sosial memang mutlak perlu ditebarkan ke tengah masyarakat miskin. Cuma, bentuk dan metodenya mesti benar-benar dirumuskan sebagai katup penyelamat masyarakat miskin agar tidak jatuh ke lembah kemelaratan. Jaring pengaman sosial jangan sampai membuat kelompok sasaran terkondisi keenakan dan sama sekali tak terberdayakan.***
Jakarta, 07 Mei 2008

06 Mei 2008

Figur Baru Menko Perekonomian

Di tengah hingar-bingar persoalan ekonomi sekarang ini, figur calon pengganti Beodiono di pos Menko Perekonomian seolah terlupakan. Siapa calon pengganti itu belum juga jelas. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono seperti sengaja menunda mengambil keputusan soal itu. Bahkan sekadar memberi isyarat seputar isu tersebut saja tidak.

Padahal keberadaan Boediono di kabinet praktis tinggal menghitung hari. Dia harus segera menanggalkan posisi sebagai Menko Perekonomian. Sesuai persetujuan DPR, Boediono harus segera duduk di pos baru sebagai Gubernur Bank Indonesia, menggantikan Burhanuddin Abdullah yang habis masa jabatan pada Mei ini setelah berkiprah sejak tahun 2003 silam. Bahkan, menurut kabar yang santer beredar, pelantikan Boediono sebagai orang nomor satu di Bank Indonesia ini dilakukan akhir Mei ini.

Memang, beberapa nama sempat disebut-sebut sebagai calon pengganti Boediono di kabinet. Antara lain Fahmi Idris yang kini duduk sebagai Menteri Perindustrian, Rizal Ramli yang pernah menjabat sebagai Menko Perekonomian di era pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, juga Irsan Tanjung yang kini mengisi pos Dubes RI di Filipina. Toh peredaran nama-nama itu tak lebih sekadar menjadi rumors sepintas lalu. Pihak Istana sendiri tak pernah memberi klarifikasi.

Kenyataan itu sungguh tidak elok. Mengambangkan atau menunda-nunda keputusan penting jelas tidak patut -- apa pun alasannya. Terlebih lagi menyangkut pos strategis seperti Menko Perekonomian.

Pos tersebut sekarang ini makin strategis lagi karena masalah yang terbentang begitu kompleks dan krusial. Kompleks, karena masalah itu -- kondisi ekonomi nasional yang tertekan hebat oleh gejolak harga minyak mentah dan harga komoditas pangan di tingkat global -- tak bisa lagi sekadar ditangani satuan-satuan institusi teknis. Masalah itu amat menuntut keterpaduan langkah penanganan kelembagaan pemerintahan. Ibarat tim sepakbola, pemerintah amat dituntut menerapkan strategi total football.

Dalam konteks itu, peran dan fungsi lembaga Menko Perekonomian menjadi demikian niscaya. Tanpa peran dan fungsi lembaga Menko Perekonomian, masalah yang kini terbentang dalam lapangan ekonomi nasional sulit diharapkan bisa terjawab sesuai tuntutan dan kebutuhan.

Masalah itu juga krusial, karena telah dan masih terus berkembang. Kita tahu, harga komoditas pangan maupun minyak bumi telah melonjak berkali lipat dibanding tahun lalu. Padahal arah perkembangan masih cenderung terus menanjak.
Kenyataan tersebut melahirkan implikasi serius. Ketahanan ekonomi masyarakat semakin tipis karena daya beli telanjur melorot drastis. Di sisi lain, APBN juga menjadi berdarah-darah karena anggaran subsidi pangan maupun energi membengkak hebat.

Di tengah kondisi demikian, pemerintah sendiri sudah memberi isyarat segera menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Ini memang merupakan langkah penyelamatan yang sulit dihindari, karena APBN tak mungkin terus dibiarkan kian berdarah-darah. Tapi langkah tersebut bukan tanpa ongkos mahal. Ekonomi nasional niscaya memburuk, terutama karena kegiatan dunia usaha jadi tertatih-tatih didera peningkatan ongkos produksi dan penurunan daya beli masyarakat. Sementara bagi masyarakat secara keseluruhan, kenaikan harga BBM bersubsidi berdampak kian mengikis kesejahteraan. Artinya, kemiskinan pun semakin meluas dan lebih mendalam.

Dalam kondisi seperti itu, sekali lagi, peran seorang Menko Perekonomian sungguh mutlak perlu. Itu berarti, figur pengganti Boediono di pos tersebut harus segera diputuskan. Terus menunda-nunda langkah ke arah itu sungguh berisiko. Kondisi ekonomi nasional, termasuk kesejahteraan masyarakat, berisiko kian sulit ditangani dan mungkin telanjur memakan banyak korban.

Mencari dan memilih figur pengganti Boediono sebagai Menko Perekonomian ini tak terlalu sulit. Toh banyak sosok yang memiliki kapabilitas memadai dan bisa diandalkan untuk itu. Jadi, kenapa ditunda-tunda?***
Jakarta, 06 Mei 2008