28 Desember 2002

Undang-Undang BUMN


Kontroversi soal divestasi Indosat kian menegaskan betapa UU BUMN sudah sangat urgen dibuat. UU BUMN sudah merupakan kebutuhan mendesak. Dengan undang-undang tersebut, perseteruan sengit antara Ketua MPR Amien Rais dan Menneg BUMN Laksamana Sukardi berkaitan dengan divestasi Indosat mungkin tak harus terjadi. Begitu juga kalangan karyawan Indosat sendiri. Mereka barangkali tak harus merasa perlu menggelar aksi mogok sebagai wujud penolakan mereka terhadap langkah pemerintah menjual Indosat ini.

Dengan adanya UU BUMN, kita bisa berharap bahwa BUMN bukan lagi sapi perahan pihak-pihak yang memiliki akses terhadap kekuasaan. Kita juga bisa berharap bahwa pengelolaan BUMN benar-benar profesional, transparan, dan mengindahkan asas akuntabilitas terhadap publik sesuai tuntutan prinsip good corporate governance.

Dengan adanya UU BUMN pula, divestasi BUMN tak bisa dilakukan serampangan. Aset strategis dan sehat seperti Indosat atau Telkom, umpamanya, jelas tak bakalan lolos dilego pemerintah. Selebihnya, langkah divestasi BUMN ini juga sangat mungkin bisa menepis tudingan tidak transparan sebagaimana dilontarkan pihak Serikat Pekerja Indosat terhadap proses dan keputusan pemerintah melego Indosat kepada Singapore Technologies Telemedia (STT).

Kita bisa memahami mengapa Amien Rais sampai melontarkan pernyataan bahwa langkah Menneg Laksamana Sukardi mendivestasi BUMN ini -- termasuk Indosat -- merugikan bangsa dan negara. Bukan saja BUMN terkesan diobral, melainkan juga karena divestasi seolah menyerahkan aset strategis kepada pihak asing. Indosat, misalnya, bagaimanapun merupakan BUMN yang amat strategis karena bergerak di bidang telekomunikasi.

Konstitusi sendiri sudah menggariskan bahwa aset-aset yang menguasai hajat hidup khalayak luas harus dikuasai negara. Justru itu, penjualan aset strategis seperti Indosat -- terlebih kepada pihak asing -- serta-merta terasa menggelitik. Bisa dipahami jika kalangan tertentu menilai langkah divestasi aset strategis ini sebagai tindakan yang nyata-nyata melanggar konstitusi.

Tetapi, di lain pihak, kita juga mengetahui bahwa privatisasi aset negara sudah menjadi keputusan pemerintah. Bahkan menjadi komitmen kepada Dana Moneter Internasional (IMF) sebagaimana tertuang dalam letter of intent (LoI). Keputusan tersebut menyatakan bahwa privatisasi aset negata merupakan strategi untuk menambal defisit APBN yang telanjur menganga lebar. Jadi, bagi Menneg BUMN, privatisasi aset dan divestasi BUMN memang merupakan langkah yang harus ditempuh.

Bahwa langkah yang ditempuh Menneg BUMN ternyata merujuk pada aset-aset strategis, sehat, dan menguntungkan seperti Indosat, kita juga dipaksa memahami persoalan. Yaitu karena aset-aset seperti itu sangat mungkin bisa dijual. Logika ekonomi menyebutkan, bagaimana mungkin investor tertarik memberi aset yang ditawarkan pemerintah jika aset tersebut tidak sehat, disaput mismanagement, dan tidak strategis secara ekonomis maupun politis?

Walhasil, sekali lagi, bagi Menneg BUMN pilihan yang paling mungkin ditempuh dalam rangka privatisasi aset negara guna menghasilkan dana besar untuk menutup defisit APBN ini memang merujuk pada aset-aset yang sehat, likuid, dan strategis. Tapi justru itu pula, dia harus siap menghadapi berbagai serangan atau gugatan pihak-pihak yang tidak setuju.

Karena itu, selama belum ada UU BUMN, kontroversi akan senantiasa mewarnai setiap privatisasi aset negara. Terlebih jika proses yang berlangsung terkesan tidak transparan, sehingga sangat mudah mengundang curiga atau bahkan apriori pihak-pihak tertentu.

Kita tidak tahu, kenapa gagasan tentang pembuatan BUMN sendiri belakangan terkesan melempem. Padahal, beberapa waktu lalu, keinginan ke arah itu sempat terlihat kental menggumpal. Itu tak hanya ditunjukkan pihak eksekutif. Pihak legislatif pun tak terkecuali.

Jadi kenapa kini melempem?

Kita khawatir bahwa itu karena pihak eksekutif maupun legislatif belakangan tiba-tiba dihadapkan pada kesadaran betapa sekarang ini bukan saat yang tepat untuk membuat UU BUMN. Jangan-jangan benar bahwa aroma politik membuat eksekutif dan legislatif seperti mendadak terjaga dari mimpi: bahwa Pemilu 2004 merupakan agenda yang jauh lebih penting dan lebih urgen. Justru itu, bagi mereka, sungguh tidak bijak jika UU BUMN cepat-cepat dirumuskan.

Dengan kata lain, sampai perhelatan akbar Pemilu 2004 berlalu, boleh jadi BUMN dipandang lebih beralasan tidak berada di bawah payung undang-undang khusus. Dengan demikian, demi kepentingan bersama menyukseskan perhelatan akbar itu, BUMN tetap bisa mudah diobok-obok dan dijadikan sapi perah!***

Jakarta, 28 Desember 2002

26 Desember 2002

Sikap Manja Pengusaha


Penilaian Presiden Megawati, bahwa kalangan pengusaha nasional bermental manja, sungguh tidak berlebihan. Paling tidak, memang, kita sulit menemukan militansi bisnis di kalangan pengusaha nasional ini. Berbeda dengan kalangan pengusaha Jepang atau Korsel, misalnya, dunia usaha kita lebih banyak diisi oleh pelaku-pelaku yang acap menunjukkan sikap-tindak cepat puas diri, kurang inovatif, juga kurang reponsif terhadap tantangan krusial sekalipun. Selebihnya, mereka gampang mengeluh, menghindari tantangan, serta senantiasa menuntut pengayoman pemerintah.

Sedikit anomali memang terlihat. Sejumlah pengusaha menunjukkan kenyataan yang seolah menafikan sikap-tindak tadi. Kegiatan bisnis mereka melesat seperti meteor dan menggurita. Tapi jangan salah, itu tak lain berkat kedekatan mereka dengan pusat kekuasaan. Justru itu, seperti sudah terbukti, kerajaan-kerajaan bisnis milik mereka yang tergolong konglomerat ini keropos bak istana pasir.

Walhasil, pengusaha kecil ataupun pengusaha kakap kita sama saja: tidak militan dan manja. Karena itu, seperti dikeluhkan Presiden Megawati, kegiatan ekspor kita tak kunjung memperlihatkan lompatan signifikan. Betapa tidak begitu, karena langkah-langkah terobosan memang tak kunjung dilakukan oleh pengusaha kita. Mereka telanjur puas mengisi pasar yang selama ini mereka geluti. Mereka hampir tak tergerak melakukan diversifikasi pasar.

Karena itu tak heran jika kegiatan ekspor kita jadi rapuh. Kita selalu tidak siap dan tak mampu menghadapi perubahan mendadak di pasar ekspor. Kinerja ekspor kayu lapis, misalnya, serta-merta sempoyongan ketika ekonomi Jepang mengalami krisis. Padahal itu tak harus terjadi kalau saja pasar ekspor produk kayu lapis kita tak banyak bergantung pada Jepang.

Di dalam negeri sendiri, daya tahan pengusaha kita sangat rapuh. Buktinya, ekspansi pengusaha asing ke tengah masyarakat kita begitu gilang-gemilang. Mereka sukses menjulangkan bisnis. Kalangan pengusaha kita sendiri, dalam kaitan ini, nyaris tak mampu memberikan "perlawanan".

Dalam situasi dan kondisi seperti itu, pengusaha kita lantas menjerit. Kalau tak menyalahkan pemerintah, mereka menuntut perlindungan atau meminta insentif-insentif agar tak tersisih dari gelanggang persaingan. Kita masih ingat, beberapa waktu lalu bahkan Kadin Indonesia meminta agar era perdagangan bebas di kawasan Asia Tenggara (AFTA) diundur. Mereka terus-terang mengaku tidak siap. Deraan krisis ekonomi yang menerpa sejak medio 1997 silam mereka ajukan sebagai alasan pembenaran. Lalu mereka juga menilai persetujuan pemerintah terhadap perjanjian AFTA sebagai tindakan tergesa-gesa.

Sikap kolokan seperti itu memang salah. Tapi itu juga bukan sepenuhnya kesalahan pengusaha kita. Betapa tidak, karena di masa lalu pemerintah sendiri ikut andil menumbuhsuburkan sikap manja ini. Sejak di zaman Orde Lama, pemerintah cenderung mengondisikan kalangan pengusaha nasional terproteksi. Mereka sedikit sekali didorong masuk ke gelanggang persaingan yang sesungguhnya. Melalui berbagai kebijakan, pemerintah sangat memanjakan mereka.

Di era Orde Baru, kenyataan serupa juga tergelar. Bahkan dalam kerangka pemerataan kue pembangunan, pemerintah Orde Baru banyak melahirkan pengusaha karbitan. Dalam konteks ini, orang terjun ke dunia usaha bukan karena melihat peluang menjanjikan, melainkan lebih karena tertarik menikmati insentif-insentif yang diberikan pemerintah.

Di lain pihak, dalam perjalanan belakangan, kebijakan-kebijakan pemerintah juga tak menjadi lahan subur bagi lahirnya pengusaha-pengusaha tangguh. Dalam semangat nepotisme, kondisi yang digelarkan pemerintah kala itu jelas tak memberi ruang bagi entrepreneurship sejati. Apa yang direntangkan pemerintah justru kondisi-kondisi bisnis serba palsu dan semu. Justru itu, pengusaha tak terbiasa menghadapi tantangan di lapangan. Bisnis mereka berkibar lebih karena insentif, proteksi, ataupun suapan pemerintah berupa proyek-proyek pembangunan.

Kini sikap manja pengusaha nasional ini digugat. Kita percaya, gugatan tersebut bukan semata menjadi milik Presiden Megawati. Secara keseluruhan, pemerintahan sekarang ini pasti menggugat pula: bahwa pengusaha nasional sudah saatnya membuang sikap manja dan segera membangun jiwa entrepreneurship sejati.

Tapi kita juga berharap bahwa gugatan pemerintah ini bukan lebih karena ketidaksanggupan mereka meneruskan "tradisi" memanjakan pengusaha. Mudah-mudahan gugatan itu lahir murni karena keprihatinan dan kesadaran bahwa pengusaha yang tangguh, trengginas, dan inovatif adalah kebutuhan mutlak guna membangun kebangkitan dan kejayaan ekonomi nasional. Semoga!***

Jakarta, 26 Desember 2002

29 November 2002

Eksodus Investasi



Sama sekali tak mengagetkan ketika terungkap bahwa Sony Corp berniat menutup dan memindahkan pabrik produk audio mereka di Indonesia ke Malaysia. Toh akar masalah tersebut sejak lama sudah gamblang. Itulah: iklim investasi di negeri kita sudah tak kondusif lagi. Kalangan investor -- entah asing ataupun lokal -- sejak jauh-jauh hari sudah mengeluh. Iklim usaha di Indonesia sudah kalah menggairahkan dibanding di negara-negara lain.

Banyak faktor mengondisikan kenyataan itu. Sebut saja ketidakpastian di bidang hukum, sikap-tindak kalangan pekerja yang amat mudah menggelar aksi demo, inkonsistensi kebijakan, aneka pungutan -- resmi maupun liar -- yang meraja-lela, dan banyak lagi. Belum lagi soal insentif-insentif investasi -- sebut saja di bidang perpajakan atau hak guna usaha -- yang sudah tak gemerlap lagi dibanding negara-negara lain.

Tetapi kita memang cenderung abai. Pemerintah, khususnya, cenderung menganggap sepi persoalan. Keluhan kalangan pemilik modal mengenai iklim investasi yang terasa tak kondusif ini malah ditanggapi sebagai sikap kolokan. Soal kemungkinan mereka hengkang ke negara lain juga dianggap sekadar gertak sambal.

Kalaupun terlihat sedikit kepedulian ke arah itu, sikap-tindak yang ditunjukkan pemerintah bukan memecahkan masalah. Apa yang terjadi justru sekadar perang pernyataan antarpejabat. Masing-masing pihak larut dalam wacana yang berlangsung seru dan melelahkan. Tapi itu pun akhirnya menguap begitu saja. Tak ada solusi atau terobosan masalah yang justru dinanti-nanti investor.

Memang, dalam satu-dua kasus, kepedulian itu sampai juga ke tahap realisasi alias tak sekadar menapak di tataran wacana. Sekadar menyebut contoh, kita tunjuk saja soal pembentukan Crisis Center atau Pusat Krisis yang digagas Menperindag Rini Suwandi. Namun lembaga tersebut kini entah di mana atau bagaimana. Jangankan melihat action, bahkan sayup-sayup ihwal eksistensi Crisis Center ini sama sekali tak terdengar. Itu kontras dengan saat gagasan tentang lembaga tersebut bergulir sebagai wacana. Berbagai pihak -- kalangan pemerintahan dan dunia usaha, terutama -- begitu seru saling mengasah gagasan.

Kini, setelah Sony Corp mengungkapkan rencana memindahkan pabrik audio mereka di Indonesia ke Malaysia, kita pun geger lagi. Heboh. Seolah-olah itu kenyataan yang sulit dipahami dan tanpa sebab. Masing-masing pihak di pemerintahan langsung cuci-tangan: bahwa rencana Sony itu tak terkait dengan kebijakan di instansi mereka.

Bahwa rencana Sony ini serta-merta mengundang heboh, itu mudah dipahami. Bukan semata karena rencana itu mengancam nasib sekitar 1.000 karyawan mendadak kehilangan pekerjaan. Lebih dari itu, rencana tersebut ibarat borok bernanah yang tiba-tiba terkuak. Kalangan pemilik modal, dalam kaitan ini, dikhawatirkan jadi kian enggan menanam investasi di Indonesia. Bahkan investor yang selama ini bertahan menggerakkan kegiatan usaha di sini pun boleh jadi ikut-ikutan berbuat serupa.

Setelah Sony Corp, memang tak ada jaminan bahwa investor lain tak bakal segera menyusul bersiap-siap angkat kaki dari negeri ini. Padahal sebelum Sony, Matsushita Corp juga sudah lebih dulu mengambil ancang-ancang pula mengalihkan investasi ke Vietnam. Itu tadi, karena borok bernanah jadi terkuak: iklim investasi di Indonesia sudah benar-benar tak kondusif lagi.

Jadi, eksodus investasi ke luar negeri sangat mungkin segera terjadi. Implikasinya jelas dan sangat serius: masalah pengangguran serta-merta bakal kian menjadi-jadi. Padahal sekarang ini saja jumlah pengangguran kita sudah mencapai sekitar 40 juta jiwa.

Dalam konteks lebih luas, eksodus investasi ke luar negeri ini bisa membuat proses pemulihan ekonomi terganggu -- atau bahkan mungkin mandek. Betapa tidak, karena kegiatan ekonomi jelas jadi keropos, loyo, atau entah apa lagi istilahnya.

Walhasil, sekali lagi, memang wajar jika rencana Sony Corp memindahkan industri audio mereka ke Malaysia ini serta-merta mengundang heboh. Tapi setelah itu apa? Akankah kita hanya larut dalam kehebohan seperti selama ini?

Jelas tidak. Kehebohan harus segera diakhiri. Wacana-wacana seru dan melelahkan seputar keputusan Sony Corp ini sama sekali tak kita perlukan. Itu tadi, karena persoalan sudah amat gamblang: iklim investasi di negeri kita sudah tak kondusif. Yang harus kita lakukan segera adalah tindakan nyata dan berdaya guna. Paling tidak, eksodus investasi ke luar negeri harus segera bisa dicegah.

Untuk itu, kita sangat berharap agar pemerintah benar-benar satu sikap dan solid bahu-membahu. Jangan lagi seperti selama ini: masing-masing pihak justru cenderung saling menafikan hanya karena soal ego atau gengsi.***

Jakarta, 29 November 2002

22 November 2002

Release and Discharge

Siapa yang akan meneken surat pengampunan atas tindakan hukum (release and discharge) terhadap obligor yang dinilai kooperatif oleh pemerintah? Apakah itu Badan Penyehatan Perbankan Nasional, Kejaksaan Agung, Komite Kebijakan Sektor Keuangan, atau institusi lain? Entahlah. Kepastian tentang soal itu kemungkinan baru bisa tertoreh dua pekan lagi. Itu setelah pemerintah melakukan kajian khusus mengenai siapa atau institusi mana yang paling tepat menekan relrease and discharge ini.

Memang aneh bahwa pemerintah tak bisa segera menentukan institusi yang meneken surat pemberian amnesti tindakan hukum bagi obligor yang dianggap kooperatif itu. Sampai-sampai, untuk itu, harus terlebih dulu dilakukan kajian khusus. Apa yang sebenarnya terjadi?

Boleh jadi, kenyataan itu merupakan cerminan bahwa keputusan yang harus diteken mengandung masalah pelik. Entah secara moral ataupun mungkin juga secara legal. Karena itu, barangkali, tak ada institusi pemerintah yang sejak awal bersedia meneken surat release and discharge. Masing-masing terkesan buang badan. Masing-masing enggan tampil sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas pemberian amnesti hukum bagi
obligor yang dinilai kooperatif ini.

Keputusan pemerintah memberi release and discharge kepada obligor yang dinilai kooperatif itu sendiri, notabene tertoreh sebagai hasil sidang kabinet yang digelar pada 18 November 2002, memang kontroversial. Ini terutama karena nilai aset yang diserahkan obligor dengan nilai kewajiban mereka kepada negara jauh tak sebanding. Terlebih setelah sekian tahun nilai aset-aset itu ternyata terus mencuit.

Justru itu, muncul pertanyaan: layakkah obligor memperoleh release and discharge? Tidakkah itu menggugah rasa keadilan -- karena rakyat harus menanggung beban demikian menggunung berupa obligasi rekap berkaitan dengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang dikucurkan kepada bank-bank milik para obligor itu?

Lalu, apa dan bagaimana kriteria kooperatif sehingga obligor dinilai layak memperoleh release and discharge? Bukankah mereka selama ini justru terkesan kurang beritikad baik menyelesaikan semua kewajiban kepada negara? Dari total kewajiban senilai Rp 600 triliun di pundak para penanda tangan perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) ini, aset yang mereka serahkan sebagai jaminan kepada BPPN ternyata hanya bernilai sekitar Rp 140 triliun -- karena mengalami penciutan. Sudah begitu, jumlah kewajiban mereka banyak juga tak sampai Rp 20 triliun.

Padahal, sekali lagi, rakyat telah berkorban banyak sebagaimana tercermin dalam APBN yang terus mengucurkan pembayaran bunga obligasi rekap bernilai triliun rupiah.

Tapi, barangkali, kalangan obligor sendiri tak benar-benar bersalah. Dalam konteks ini, BPPN sedikit banyak turut mengondisikan penyelesaian kewajiban para obligor terus berlarut dan memakan ongkos sangat mahal.

Dalam konteks perjanjian penyelesaian BLBI dengan jaminan aset alias Master of Settlement Acquisition Agreement (MSAA), misalnya, BPPN nyaris tak kunjung melakukan verifikasi melalui mekanisme financial due diligence oleh pihak independen. Padahal MSAA jelas dan tegas menggariskan soal itu: untuk mengetahui bahwa nilai aset yang diserahkan obligor sesuai nilai yang disepakati. Kalau tidak, nilai selisihnya bisa diketahui sekaligus menjadi kewajiban obligor untuk menyerahkan aset cadangan.

Hasil identifikasi Tim Bantuan Hukum yang ditunjuk Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) terhadap obligor MSAA ini, juga menyatakan bahwa sebagian besar obligor tidak menyerahkan aset ke perusahaan induk seperti dijanjikan. Tetapi, sejauh ini, BPPN tak terlihat pernah menindak tegas obligor bersangkutan. Upaya ke arah itu lebih banyak sebatas pernyataan di media massa berupa ancaman-ancaman yang tak pernah kunjung menjadi kenyataan.

Penyelesaian masalah BLBI, bagaimanapun, merupakan salah satu barometer pemerintahan kinerja pemerintah. Terlebih karena selama ini masalah tersebut terus terombang-ambing tanpa langkah penyelesaian yang benar-benar meyakinkan.

Apakah karena pertimbangan itu pula pemerintah kemudian memutuskan memberikan release and discharge terhadap obligor yang dinilai kooperatif? Entahlah. Yang pasti, apa pun langkah penyelesaian masalah BLBI ini sungguh menelan ongkos amat mahal dan menggugah rasa keadilan. Bisa dipahami jika untuk sekadar menentukan institusi yang harus meneken surat release and discharge ini pun pemerintah terkesan amat pelik dan gamang.***

Jakarta, 22 November 2002

15 November 2002

Penyelesaian Beban BLBI

Keputusan DPR menunda pembahasan masalah beban Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) antara pemerintah dan Bank Indonesia bukan tanpa risiko serius terhadap geliat ekonomi nasional. Tapi putusan itu tampaknya memang sulit dihindari -- karena substansi masalah sangat prinsip dan menjadi taruhan bagi generasi mendatang.

Dalam konteks itu, DPR menggulirkan bola tentang mekanisme penyelesaian masalah beban BLBI ini kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Instansi tersebut diharapkan segera memberikan opini terhadap opsi penyelesaian BLBI yang sudah disepakati pemerintah dan Bank Indonesia. Jika opini sudah keluar, DPR pun bisa lebih mudah bersikap. Mereka memiliki pijakan pasti mengenai alasan teknis-ekonomis untuk secara politis menolak atau menyetujui opsi penyelesaian BLBI yang disodorkan pemerintah bersama Bank Indonesia.

Jumlah beban BLBI sendiri, yang harus dibagi antara pemerintah dan Bank Indonesia, ternyata jauh lebih besar ketimbang angka yang terungkap selama ini. Bukan Rp 144,5 triliun, melainkan Rp 159 triliun. Menkeu Boediono mengungkapkan bahwa selisih Rp 14,5 triliun tertoreh dari surat utang pemerintah (SUP) senilai Rp 53,8 triliun.

Beban tambahan BLBI sebesar Rp 14,5 triliun itu, menurut Boediono, memang terlepas dari beban BLBI yang telah diaudit BPK. Itu karena beban tambahan tersebut dikeluarkan setelah Januari 1999, dan pemerintah sendiri menilai beban tersebut merupakan bagian BLBI.

Pemerintah dan Bank Indonesia sendiri telah sepakat mengubah SUP dalam rangka BLBI senilai Rp 134,5 triliun menjadi perpetual promissory notes (PPN) alias obligasi tanpa jatuh waktu dan tanpa beban bunga. Namun kesepakatan tersebut dibatalkan. Konon karena DPR dan BPK menilai kesepakatan lebih banyak merugikan Bank Indonesia. Pemerintah dan Bank Indonesia kemudian bersepakat lagi mengubah surat utang dalam rangka BLBI ini menjadi redeemable promissory note (RPN), yakni surat utang yang dapat ditebus atau dikurangi sehingga jumlahnya bisa berubah dan bisa dilunasi -- tergantung kondisi kemampuan pemerintah dan Bank Indonesia.

Tetapi kesepakatan itu ternyata menggantung tak menentu. Bahkan DPR selaku otoritas yang sangat diharapkan memberikan persetujuan atau penolakan malah melempar bola kepada BPK. Itu memang prosedur yang harus ditempuh DPR agar sikap mereka terhadap opsi penyelesaian masalah beban BLBI tidak ngawur.

Hanya, implikasinya, kemelut mengenai pertanggungjawaban pengucuran BLBI ini pun lagi-lagi molor entah sampai berapa lama. Padahal penuntasan masalah beban BLBI antara pemerintah dan Bank Indonesia ini sangat mempengaruhi struktur pengeluaran APBN, di samping memberikan kepastian fiskal terhadap dunia usaha.

Sebenarnya, BPK sendiri sudah memberi isyarat positif terhadap kesepakatan pemerintah dan Bank Indonesia mengenai penerbitan RPN sebagai solusi penyelesaian masalah beban BLBI ini. Dalam konteks itu, Ketua BPK Satrio Boedihardjo Joedono menilai penerbitan RPN merupakan langkah maju dibanding rencana semula berupa penerbitan PPN.

Kendati demikian, tak serta-merta berarti bahwa BPK bersikap oke terhadap rencana penerbitan RPN ini. Bagaimanapun, BPK jelas akan bersikap ekstra hati-hati sebelum memberikan opini tentang itu. Maklum karena BLBI adalah dana negara berjumlah demikian besar -- notabene milik rakyat -- yang harus bisa diselamatkan alias tak boleh hangus ataupun menguap akibat tak jelas pertanggungjawaban.

Justru itu, apa pun sikap BPK -- setuju atau menolak -- bisa berimplikasi serius. Jika setuju, berarti BPK secara tidak langsung memberi garansi kepada DPR bahwa penerbitan RPN memang merupakan solusi yang akan menyelamatkan pengembalian BLBI. Sebaliknya jika menolak -- sehingga DPR pun kemungkinan besar tak akan berani memberikan persetujuan terhadap rencana penerbitan RPN -- berarti BPK mementahkan kembali proses alot yang sudah dilalui pemerintah dan DPR dalam rangka mencari solusi penyelesaian beban BLBI ini.

Itu juga berarti, kemelut penyelesaian BLBI tetap tak kunjung terselesaikan. Segala risiko politis atau ekonomis yang harus ditanggung negara pun tak bisa dihindari. Risiko tersebut terutama berupa beban bunga surat utang dalam rangka BLBI yang jelas-jelas terus bergulir tanpa bisa distop.

Kenyataan itu pula yang potensial meningkatkan derajat risiko fiskal bagi kalangan pengusaha. Maklum, karena kebijakan fiskal merupakan alternatif yang paling gampang dilirik pemerintah dalam mengatasi beban APBN ini -- notabene sudah dibebani defisit yang menganga lebar.***
Jakarta, 15 November 2002

08 November 2002

Mengatasi Defisit

Defisit RAPBN 2003 membengkak Rp 10 triliun lebih. Jika semula Rp 26,263 triliun atau 1,3 persen produk domestik bruto (PDB), angka defisit RAPBN 2003 ini -- sesuai usulan perubahan yang diajukan pemerintah kepada Panitia Anggaran DPR -- berubah menjadi Rp 36,567 triliun (1,9 persen PDB).

Perubahan angka defisit itu sendiri merupakan penyesusuaian atas perubahan asumsi-asumsi makro dalam RAPBN 2003. Ini sebagai antisipasi terhadap dampak ekonomis tragedi bom di Bali, 12 Oktober 2002, yang membuat ruang gerak pemerintah dalam menimba penerimaan menjadi sempit.

Lepas dari persoalan bahwa usulan itu disetujui atau tidak oleh DPR, masalah defisit dalam RAPBN 2003 ini tetap gawat. Angkanya pasti tetap membengkak. Lalu bagaimana cara pemerintah mengatasi masalah tersebut?

Itu sungguh pertanyaan krusial. Terlebih karena pemerintah juga masih membutuhkan dana lain sebesar Rp 5,9 triliun yang sudah diputuskan sebagai alokasi bagi stimulus ekonomi tahun depan. Padahal ruang gerak dan pilihan-pilihan yang bisa ditempuh pemerintah untuk itu sudah sangat sempit.

Program privatisasi BUMN dan divestasi aset-aset di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), misalnya, hanya solusi tak meyakinkan. Selain sudah terbukti selalu tak bisa berjalan mulus, privatisasi BUMN dan divestasi aset-aset di BPPN juga kian resisten. Ujung-ujungnya, alternatif tersebut gagal mencapai target kontribusi penerimaan bagi pemerintah.

Alternatif lain -- kebijakan fiskal -- memang sangat mungkin digarap pemerintah. Tapi ini justru melahirkan disinsentif dan trade off bagi dunia bisnis. Terlebih situasi makro saat ini tak kondusif. Justru itu, kebijakan fiskal ini pun tak banyak menjanjikan. Karena itu pula bisa dipahami jika Ditjen Pajak pun justru memberi sinyal bahwa penerimaan pajak pada tahun depan kemungkinan diturunkan.

Jadi, bagaimana masalah defisit RAPBN 2003 ini bisa diatasi pemerintah? Boleh jadi, utang luar negeri akan menjadi pilihan strategis yang dilirik pemerintah. Apalagi forum Consultative Group on Indonesia (CGI) sudah memberikan isyarat bahwa mereka siap memberikan komitmen pinjaman relatif besar -- jauh di atas angka yang sudah siap diajukan pemerintah (3 miliar dolar atau ekivalen sekitar Rp 26 triliun) pada sidang CGI di Yogyakarta, akhir Oktober 2002, yang ternyata urung digelar. Komitmen itu, konon, sebagai wujud kepedulian mereka membantu mengatasi kesulitan pemerintah berkaitan dengan dampak tragedi bom di Bali.

Melihat gelagat positif yang ditunjukkan CGI ini, sangat mungkin pemerintah pun tergerak. Berapa angka yang akan diajukan pemerintah kepada forum sidang CGI pada awal tahun 2003, itu belum jelas. Tapi hampir pasti di atas ancar-ancar semula sebesar 3 miliar dolar.

Kita berharap, bantuan CGI tak serta-merta menambah beban tumpukan utang kita yang sudah menggunung demikian tinggi. Justru itu, kita perlu mengingatkan pemerintah agar dalam forum pertemuan CGI awal tahun 2003 berjuang ekstra keras hingga bisa memperoleh banyak bantuan berupa hibah.

Sepanjang pemerintah bisa benar-benar meyakinkan -- bahwa kesulitan keuangan yang kita hadapi sudah mencapai taraf emergency -- kita percaya bahwa kalangan donor tak akan pelit memberikan banyak hibah. Kalaupun tidak, barangkali mereka rela memberikan konversi utang (debt swap) -- entah itu berupa konversi dengan program-program pelestarian lingkungan (debt to nature swap), pendidikan (debt to education swap), atau pengentasan kemiskinan (debt to poverty swap).

Di samping itu, pemerintah juga selayaknya kian serius mengelola utang dalam negeri maupun utang luar negeri. Untuk sementara, program penataan ulang profil (reprofiling) obligasi jatuh tempo mungkin layak diteruskan sehingga bisa mencakup seluruh bank peserta program rekap. Namun langkah ke arah itu harus konsisten berpijak pada semangat kesukarelaan (volunteer) pihak bank. Sebab, jika main paksa, program reprofiling obligasi ini malah mengguncangkan likuiditas bank. Konsekuensinya bisa serius: bukan tidak mungkin bank terjerembab lagi ke dalam krisis yang telah membuat mereka harus memperoleh injeksi rekap.

Di sisi lain, berkaitan dengan utang luar negeri, pemerintah juga sudah sangat perlu membulatkan keberanian dan tekad meminta pengurangan utang kepada kalangan kreditor. Toh meski sebagian utang luar negeri sudah direstrukturisasi melalui forum Paris Club, secara keseluruhan beban utang kita sudah kelewat besar dan di ambang kondisi menjebak (debt trap).***
Jakarta, 8 November 2002

31 Oktober 2002

Penyelundupan Kok Marak?

Jelas sudah bahwa usulan tentang penerapan sistem pemeriksaan barang sebelum pengapalan (pre-shipment inspection) tak bakal terwujud. Kandas. Paling tidak untuk sementara ini. Dirjen Bea dan Cukai Edi Abdurrahman menyebutkan, bahwa sistem itu tak akan diterapkan. Menurut dia, penerapan pre-shipment inspection tidak bakal mampu menekan tindak penyelundupan sebagaimana asumsi Menperindag selaku pihak yang mengajukan usulan.

Usulan tentang penerapan pre-shipment inspection sendiri berangkat dari keprihatinan. Bahwa tindak penyelundupan impor sejumlah komoditas, terutama elektronika dan tekstil, dewasa ini amat marak. Dalam konteks ini, sistem post cleareance audit yang sekarang diterapkan pemerintah ditunjuk sebagai biang kerok. Dengan itu pula, secara tidak langsung instansi Bea Cukai divonis dinilai gagal melaksanakan fungsi menjaga lalu-lintas barang maupun berperan sebagai benteng terdepan dalam pengawasan dan pengamanan kepabeanan.

Kita sepakat bahwa tindak penyelundupan komoditas impor sangat merugikan. Tidak saja mengakibatkan negara kehilangan potensi pemasukan bea masuk, melainkan juga memukul industri bersangkutan di dalam negeri. Jadi, memang, penyelundupan harus bisa diberantas. Minimal bisa ditekan.

Tetapi apakah benar bahwa fenomena penyelundupan impor sejumlah komoditas dewasa ini merupakan pertanda kegagalan instansi Bea dan Cukai mengemban peran dan fungsi pengawasan atas lalu-lintas barang? Entahlah. Yang pasti, seperti juga di jajaran birokrasi lain, instansi tersebut tak benar-benar bersih. Pungutan liar masih bisa ditemukan di sana-sini. Tindak penyimpangan ketentuan oleh oknum pun masih menggejala. Praktik under invoicing oleh kalangan importir, misalnya, sulit bisa dilakukan tanpa mereka main mata dengan aparat Bea Cukai.

Meski begitu, sistem pre-shipment inspection sendiri -- notabene berarti mempreteli kewenangan Bea Cukai menyangkut fungsi pengawasan dan pemeriksaan atas lalu-lintas barang ekspor maupun impor -- belum tentu menjadi solusi yang benar-benar efektif. Sejarah mencatat bahwa selama periode 1985-1997, saat sistem pre-shipment inspection diterapkan, manipulasi sertifikat ekspor justru sangat marak sehingga banyak merugikan negara.

Di sisi lain, penerapan pre-shipment inspection juga amat membebani anggaran negara. Ketika itu, fee yang dikeluarkan pemerintah terhadap Societte Generale de Surveillance (SGS) selaku pihak yang melaksanakan pre-shipment inspection demikian mahal: 400 juta dolar per tahun. Padahal anggaran Bea Cukai sendiri ketika itu hanya ekivalen 25 juta dolar setahun.

Fee sebesar 400 juta dolar bagi SGS sendiri, menurut penelitian Econit Advisory Group, bernilai sekitar 15 persen penerimaan negara selama setahun. Jadi, ongkos yang harus dibayar bagi penerapan sistem pre-shipment inspection memang amat mahal. Padahal sistem itu tak efektif mengamankan potensi penerimaan negara.

Itu pula yang kemudian mendorong pemerintah mengembalikan fungsi pengawasan barang ekspor dan impor kepada pihak Bea Cukai dengan memberlakukan lagi sistem post cleareance audit sejak 1997.

Kini, setelah gamblang bahwa sistem pre-shipment inspection tak akan diterapkan lagi, lalu bagaimana dengan tindak penyelundupan sejumlah komoditas impor? Jelas fenomena tersebut tak bisa dibiarkan karena menghilangkan potensi penerimaan negara, sekaligus memukul kehidupan industri di dalam negeri.

Itu berarti tantangan bagi pihak Bea Cukai selaku instansi yang tetap dipercaya pemerintah melaksanakan fungsi pemeriksaan atas arus keluar-masuk barang. Bea Cukai minimal harus bisa menekan tindak penyelundupan ini.

Sebenarnya, Bea Cukai sudah menunjukkan komitmen ke arah itu. Paling tidak, itu tercermin pada serangkaian langkah perbaikan dan modernisasi kepabeanan yang mereka lakukan sejak tahun anggaran 2001. Antara lain meliputi penyempurnaan tata laksana di bidang impor, penyempurnaan sistem dan prosedur pelayanan, penyelenggaraan audit kepabeanan, juga percepatan proses pemeriksaan barang dengan mengoptimalkan penggunaan peralatan sinar X dan penggunaan jaringan electronic data interchange.

Berbagai kebijakan itu juga diikuti dengan peningkatan pengawasan di bidang kepabeanan. Antara lain meliputi
optimalisasi pemeriksaan barang tertentu dan patroli laut, optimalisasi pendayagunaan sinar X dan hi-co scan cintainer, juga peningkatan operasi intelijen.

Toh tindak penyelundupan tetap menggejala dalam takaran yang mengundang prihatin, sehingga muncul usulan tentang penerapan kembali sistem pre-shipment inspection. Itu berarti ada yang tidak beres. Apa, di mana, dan bagaimana ketidakberesan itu?

Kita tak mau menduga-duga. Tapi, barangkali, itu patut menjadi bahan introspeksi bagi pihak Bea Cukai sekaligus jadi pijakan untuk lebih melakukan pembenahan ke dalam.***


Jakarta, 31 Oktober 2002

08 Oktober 2002

Kontrak IMF Berakhir

Akhirnya pemerintah memastikan bahwa kontrak Dana Moneter Internasional (IMF) sebagai dokter yang menangani krisis ekonomi nasional tak akan diperpanjang. Itu berarti, kontrak IMF ini berakhir pada tahun 2003. Setelah itu, good bye IMF!

Keputusan tentang itu bukan sekadar konsisten melaksanakan Tap MPR 2002. Tapi juga merupakan jawaban yang melegakan atas kenyataan pahit selama ini: IMF gagal berperan membantu memulihkan ekonomi nasional. Resep-resep yang mereka sodorkan -- liberalisasi, deregulasi, dan privatisasi -- terbukti tidak manjur. Krisis ekonomi nasional pun tak kunjung sembuh. Ekonomi kita tetap kembang-kempis.

Kalangan pengamat ekonomi sudah sejak lama mengingatkan bahwa resep-resep IMF bukan saja tidak cespleng, melainkan juga sering ngawur dan mengada-ada. Sudah begitu, mereka juga sangat memaksakan agar pemerintah menerapkan resep-resep yang mereka ajukan. Tentang ini, Menneg Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Kwik Kian Gie menyebutkan bahwa IMF selalu menyodorkan jurus "pokoknya nurut atau perundingan bubar".

Akibatnya seringkali konyol. Divestasi saham pemerintah di Bank BCA atau Bank Niaga, misalnya, tetap dilaksanakan meski jelas-jelas merugikan negara -- karena tumpukan obligasi rekap di kedua bank tak ditarik lebih dulu. Contoh lain adalah pembukaan kran ekspor kayu gelondongan (log). Langkah tersebut terbukti sangat konyol karena serta-merta memicu tindak penebangan liar dan penyelundupan log ke mancanegara. Itu bukan saja membuat potensi penerimaan negara banyak lolos, melainkan juga mengakibatkan proses deforestasi berlangsung gila-gilaan tanpa bisa dibendung.

Pemerintah sendiri terkesan tidak memiliki pilihan lain kecuali tunduk-patuh terhadap kemauan IMF. Pemerintah selalu mengaku khawatir bahwa IMF kemudian ngambek jika keinginan atau resep mereka dalam menanggulangi krisis ekonomi tak diindahkan. Jika IMF sampai ngadat, pemerintah cemas bahwa dunia internasional kemudian ikut-ikutan meradang pula. Kalangan investor, misalnya, bisa-bisa enggan datang dan ogah menabur modal di sini.

Kekhawatiran itu sendiri terasa berlebihan. Barangkali kekhawatiran itu lebih merupakan rekaan atau fantasi pemerintah sendiri. Buktinya, meski sudah tunduk-patuh terhadap kemauan IMF, investor asing ternyata tak kunjung berbondong-bondong masuk ke negeri kita. Bahkan sebaliknya, investor yang selama ini sudah ajek menggeluti usaha di sini pun belakangan angkat kaki. Dengan berdalih bahwa keamanan tak cukup terjamin, serta di sisi lain iklim investasi tak kondusif lagi, sejumlah pemodal asing merelokasi usaha mereka ke negara lain.

Di tengah kondisi seperti itu pula, sekali lagi atas tekanan IMF melalui formula letter of intent (LoI), aset-aset negara terus menyusut drastis melalui privatisasi dan divestasi. Ekonomi nasional kian compang-camping sebagaimana tercermin pada defisit dalam APBN. Sementara prospek pemulihan masih saja samar-samar dan entah kapan bisa tercapai. Padahal, terutama akibat liberalisasi dan deregulasi, rakyat kebanyakan sudah membayar mahal ongkos proses pemulihan ekonomi yang dijejalkan IMF ini. Mereka harus menanggung beban amat berat dan parah: kehidupan kian sulit dan serba mahal.

Toh, semula, pemerintah memberi isyarat bahwa kontrak IMF ini tak bakal segera diputus. Itu tandas diutarakan Presiden Megawati Soekarnoputri saat berpidato di hadapan sidang tahunan MPR, Agustus 2002. Ketika itu, Mega menyatakan bahwa Indonesia masih membutuhkan kehadiran IMF untuk menumbuhkan kepercayaan dunia internasional terhadap ekonomi makro dan moneter di dalam negeri.

Tapi, barangkali karena MPR tegas mengamanatkan, pemerintah ternyata kemudian berpendirian lain. Kontrak IMF tak diperpanjang setelah habis pada tahun 2003. Itu, sekali lagi, sungguh terasa melegakan. Kita berharap, setelah tak lagi terikat kontrak dengan IMF, pemerintah bisa menggulirkan kebijakan-kebijakan yang lebih tepat sasaran dan benar-benar prorakyat kebanyakan. Kita percaya bahwa pemerintah bersama segenap komponen bangsa memiliki kemampuan untuk itu.

Dalam tataran legal-formal, perencanaan mantap dan matang harus segera disiapkan pemerintah bersama DPR: apa dan bagaimana langkah-langkah yang akan dilakukan untuk menanggulangi krisis yang telanjur berkepanjangan ini. Jika tidak, keadaan tetap tak bakal kunjung membaik. Bahkan bukan tidak mungkin malah semakin amburadul.

Justru itu, pemerintah dan pihak-pihak yang memiliki kekuasaan harus memiliki ketulusan dan kejujuran untuk tidak memanfaatkan situasi pasca-IMF ini sebagai arena bancakan. Kita sangat khawatir mengenai kemungkinan tersebut.***

Jakarta, Oktober 2002

06 Oktober 2002

Aturan Main Privatisasi

Sikap antiprivatisasi BUMN kian mengkristal. Rabu, 9 September 2002, sejumlah organisasi kemasyarakatan mendeklarasikan pembentukan Barisan Penyelamat Aset Bangsa (BPAB). Mereka yang menyokong keberadaan lembaga tersebut adalah beberapa serikat pekerja BUMN, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan komponen mahasiswa.

Melalui BPAB, mereka meneguhkan penilaian bahwa program privatisasi BUMN sudah sangat melenceng dan merugikan negara. Karena itu, jika pemerintah tak segera menghentikan privatisasi BUMN, mereka mengaku siap melakukan gugatan class action.

Berlebihankah mereka? Jika berpijak pada alasan-alasan idealistis, sikap mereka sungguh bisa kita terima. Bagaimanapun, jika privatisasi BUMN membuat kontrol pemerintah menjadi terlepas -- karena penguasaan beralih dari negara kepada swasta -- kepentingan rakyat jelas dipertaruhkan. Kepentingan rakyat tergadai.

Terlebih jika menyangkut BUMN sangat strategis, yakni memangku hajat hidup rakyat banyak, privatisasi bisa tergolong merupakan tindak pelanggaran terhadap amanat konstitusi. Bukankah pasal 33 UUD 1945 tegas menyatakan bahwa cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak mutlak harus dikuasai negara?

Kenyataannya, program privatisasi ini tak terkecuali mencakup BUMN-BUMN yang memangku hajat hidup rakyat banyak. Siapa pun pasti sepakat bahwa Telkom, misalnya, adalah BUMN yang mestinya kukuh dipertahankan. Tetap dikuasai negara. Tapi pemerintah justru menetapkan Telkom sebagai BUMN yang diprioritaskan masuk program privatisasi.

Di sisi lain, program privatisasi juga terkesan dipaksakan. Belum lama ini, misalnya, pemerintah menyatakan bahwa program privatisasi BUMN tetap jalan terus. Padahal kondisi pasar kini sangat tidak kondusif. Kondisi pasar potensial menorehkan kerugian jika privatisasi tetap dilaksanakan.

Memang, program privatisasi BUMN sudah masuk letter of intent (LoI) Dana Moneter Internasional (IMF). Tapi apakah benar itu merupakan harga mati, sehingga privatisasi harus tetap dilaksanakan meski situasi dan kondisi jelas-jelas tak menguntungkan?

Kalaupun benar bahwa LoI merupakan harga mati, mestinya pemerintah tak terlampau galau oleh ancaman klasik IMF: kucuran pinjaman mereka tahan. Toh kucuran pinjaman mereka belakangan ini tak bisa langsung kita manfaatkan -- karena cadangan devisa di Bank Indonesia masih relatif mencukupi. Jadi, mengapa kita khawatir bahwa IMF ngambek dan menahan pencairan pinjaman? Justru itu, mengapa privatisasi BUMN terkesan dipaksakan?

Kita setuju bahwa defisit dalam APBN menganga lebar. Tapi itu mestinya tidak menjadi alasan utama privatisasi BUMN. Itu berbahaya, karena bisa melahirkan kepanikan pemerintah. Kepanikan itu sendiri, pada gilirannya, bisa melahirkan tindakan grasa-grusu: privatisasi BUMN lebih menyerupai aksi "cuci gudang".

Dengan kata lain, langkah menangani masalah defisit APBN ini jangan diletakkan pada program privatisasi. Toh masih ada alternatif lain yang tak kalah strategis: penjualan aset-aset di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Yang penting, program penjualan aset di BPPN ini juga benar-benar terencana sehingga bisa diperoleh hasil optimal.

Program privatisasi sendiri, di lain pihak, mestinya ditempatkan sebagai strategi penyehatan BUMN. Kasus di berbagai negara jelas menunjukkan bahwa privatisasi mengondisikan BUMN tumbuh sehat dan optimal dalam meraih keuntungan. Studi International Finance Corporation, misalnya, menyimpulkan bahwa 67 persen kasus privatisasi BUMN mampu meningkatkan profitabilitas unit-unit usaha bersangkutan.

Kenyataan selama ini menunjukkan bahwa BUMN kita cenderung menjadi sapi perahan pihak-pihak yang memiliki akses kekuasaan. Hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sendiri tegas menyimpulkan bahwa BUMN selama ini menjadi sarang praktik KKN.

Tapi melihat kasus-kasus di berbagai negara, kita berkeyakinan bahwa privatisasi bisa diandalkan mampu memupus praktik tak sehat itu. Bahkan privatisasi juga bisa mendorong BUMN tumbuh menguntungkan tanpa membebani khalayak luas.

Karena itu pula, kita bisa menerima gagasan tentang privatisasi BUMN ini. Hanya, itu tadi, langkah tersebut jangan lantas menanggalkan penguasaan pemerintah atas unit usaha bersangkutan. Terlebih jika menyangkut BUMN strategis yang menguasai hajat hidup rakyat banyak.

Di sisi lain, langkah privatisasi juga harus berpijak pada hasil perencanaan yang benar-benar matang dan terarah. Dengan demikian, kita bisa berharap bahwa privatisasi efektif berhasil -- secara ideal maupun ekonomis.

Untuk itu, barangkali, UU BUMN bisa membuat filosofi, kriteria, maupun rambu-rambu yang menjadi aturan main privatisasi ini. Yang jadi soal sekarang: kapan undang-undang tersebut lahir? Kesan yang mencuat selama ini, semangat pemerintah maupun DPR dalam menggulirkan kelahiran UU BUMN terkesan melempem. Kenapa?***

Jakarta, Oktober 2002

Tax Holiday, Kenapa Tidak?

Tragedi bom di Legian, Kuta, Bali, bukan sekadar mengundang kepiluan dan kutukan dunia. Tragedi itu juga serta-merta menorehkan kenyataan lain yang tak kalah mengiris hati. Prospek ekonomi nasional babak-belur. Hasil jerih-payah kita selama ini memulihkan kehidupan ekonomi, setelah terpuruk dahsyat diterjang krisis moneter sejak 1997 silam, nyaris sirna seketika. Porak-poranda. Kita tiba-tiba harus kembali melangkah tertatih-tatih dari titik nol.

Apa boleh buat, tragedi Bali memang membuat kepercayaan dunia atas keamanan di negeri kita benar-benar jadi jeblok. Tengok saja, sesaat setelah tragedi bom itu tersiar ke berbagai belahan dunia, sejumlah negara serta-merta mengeluarkan larangan bagi warga mereka bertandang ke Indonesia. Itu berarti kiamat bagi industri kepariwisataan kita.

Di sisi lain, kalangan pemilik modal pun jadi kian enggan masuk ke negeri kita. Malah sejumlah kalangan memperkirakan, investor yang selama ini sudah mantap mengelola usaha di sini pun sangat mungkin kini bersiap-siap angkat kaki ke negeri lain. Tindakan itu bukan hanya bisa ditunjukkan oleh investor asing. Jajaran pemilik modal lokal pun, atas pertimbangan bisnis, boleh jadi ikut-ikutan hengkang memindahkan modal dan usaha ke mancanegara. Mereka merasa tak memiliki alasan lagi terus mengepakkan kegiatan usaha di sini, karena faktor keamanan kian niscaya tak terjamin.

Walhasil, kegiatan investasi di dalam negeri -- notabene selama ini pun sudah tak mengesankan -- sangat mungkin segera menyusut ke tingkat yang tak pernah kita bayangkan. Itu berarti, kehidupan ekonomi nasional ke depan ini sungguh buram. Carut-marut. Padahal tanpa dihantam dampak tragedi Bali pun, ekonomi kita sudah demikian berat menyandang masalah: penganguran demikian menggunung. Laju pertumbuhan ekonomi, dalam kaitan ini, tak sebanding dengan tingkat pengangguran.

Menurut perkiraan, angka pengangguran sudah mencapai 35 juta hingga 40 juta orang. Itu sungguh bukan main. Padahal angka itu sangat mungkin kian membengkak lagi dalam waktu dekat jika investor benar-benar hengkang memboyong proyek atau modal mereka ke luar negeri. Justru itu, tumpukan masalah pengangguran ini niscaya merupakan bom waktu yang setiap saat bisa meledak dengan akibat yang jauh lebih dahsyat ketimbang ledakan di Legian.

Menimbang kemungkinan itu, penerapan fasilitas tax holiday seperti dilontarkan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Theo F Toemion terasa beralasan. Fasilitas tersebut, barangkali, bisa diandalkan menahan arus eksodus sekaligus menarik penanaman modal. Paling tidak, tax holiday bisa diharapkan membuat kalangan pemilik modal yang sudah mapan berkiprah tak lantas berpikir untuk hengkang dari negeri kita.

Urgensi tentang penerapan tax holiday ini sudah berkali-kali dilontarkan Toemion. Tapi sejauh ini selalu saja gagasan itu mental. Pihak Depkeu, dalam kaitan ini, berkeberatan. Bagi mereka, penerapan tax holiday sungguh tak produktif. Bahkan sekadar diterapkan terhadap proyek baru penanaman modal sekalipun, dalam pertimbangan mereka, tax holiday tetap tak relevan. Tax holiday hanya membuat ciut potensi penerimaan pajak.

Meski masih bisa diperdebatkan, asumsi itu mungkin benar. Tapi apakah karena itu gagasan tentang penerapan tax holiday di tengah kondisi ekonomi yang memburuk sekarang ini tetap dinafikan? Akankah kita tetap berkukuh pada pendirian bahwa tax holiday tak sehat bagi kepentingan fiskal, sementara di lain pihak kondisi ekonomi kita menuntut terobosan segera?

Agaknya, dihadapkan pada kondisi ekonomi yang gawat-darurat sekarang ini, kita dituntut bersikap sangat pragmatis. Kita mesti menanggalkan pertimbangan-pertimbangan idealistis. Kita juga dituntut membuang jauh-jauh sikap egoistis. Kita harus segera menentukan pilihan-pilihan paling mungkin mendatangkan manfaat. Meski manfaat itu relatif tak seberapa menurut takaran kondisi normal.

Dalam konteks itu pula, gagasan tentang penerapan tax holiday yang dilontarkan kembali oleh Kepala BPKM di tengah kondisi ekonomi nasional yang mencemaskan sekarang ini kita coba letakkan. Tax holiday sangat beralasan kita tebarkan sebagai katup pengaman atau bahkan terobosan sosial dalam rangka mengatasi bom waktu berupa problem pengangguran yang sungguh terasa mengundang riskan.

Jadi, kenapa tidak tax holiday kita terapkan sekarang ini? Terlebih, seperti diakui Dirjen Pajak Hadi Poernomo, target penerimaan pajak tahun 2002 ini sangat mungkin tak tercapai -- akibat terhembus dampak tragedi bom Bali. Dengan kata lain, sesungguhnya, tanpa menerapkan tax holiday pun potensi penerimaan pajak kita sudah ciut.***


Jakarta, Oktober 2002

26 September 2002

Alih Fungsi Lahan

Pemerintah kembali melontarkan niat menghentikan konversi lahan pertanian untuk kepentingan industri dan perumahan. Ini bagus dan sangat beralasan. Agar lahan pertanian tak makin menyusut, hingga ketahanan pangan kita demikian rapuh.

Tapi kita agak skeptis bahwa niat atau keinginan pemerintah itu bakal efektif. Harus diakui, upaya ke arah itu tak semudah membalikkan tangan. Selama niat itu hanya menjadi milik pucuk pimpinan pemerintah, selama itu pula konversi lahan pertanian akan terus berlangsung. Terlebih bila keinginan itu sekadar lips service atau basa-basi, penghentian konversi lahan niscaya hanya menjadi mimpi.

Itu pula yang terjadi selama ini. Entah sudah berapa kali pemerintah melontarkan keinginan menghentikan konversi lahan pertanian untuk kepentingan industri dan perumahan ini. Paling tidak ketika swasembaga pangan mulai sulit dipertahankan, pemerintahan Orde Baru sudah mencanangkan keinginan dan niat ke arah itu -- lengkap dengan keprihatinan menyangkut pesatnya perubahan fungsi lahan pertanian menjadi areal industri atau kawasan pemukiman, khususnya di Jawa yang notabene sudah terbukti berperan strategis sebagai lumbung pangan nasional.

Tapi toh keinginan itu tak pernah menjadi kenyataan. Bahkan di tengah pesatnya laju pembangunan, konversi lahan pertanian malah kian menjadi-jadi. Setiap tahun puluhan ribu hektar lahan pertanian yang terbilang subur atau berpengairan teknis terus tergusur. Terus berubah menjadi hamparan industri atau pemukiman.

Itu tak harus terjadi kalau saja niat atau keinginan pemerintah menghentikan alih fungsi lahan pertanian bukan sekadar lips service. Bukan cuma basa-basi.

Dengan kata lain, selama ini pemerintah tak pernah serius menghentikan alih fungsi lahan pertanian untuk kepentingan industri dan pemukiman. Malah pemerintah terkesan bangga oleh setiap laju pertambahan tegakan industri yang jelas-jelas menggusur lahan pertanian sekalipun. Di sisi lain, pemerintah juga seolah menutup mata terhadap bertumbuhannya kawasan pemukiman di areal lahan pertanian.

Dalam konteks itu, agaknya, pemerintah sendiri tak terlampau yakin bahwa sektor pertanian layak dipertahankan sebagai basis sosial-ekonomi -- khususnya dalam rangka menegakkan ketahanan pangan. Bagi pemerintah, sangat boleh jadi, industri lebih meyakinkan dalam meneteskan nisbah ekonomi berupa nilai produksi maupun penyerapan tenaga kerja.

Dalam konteks itu pula kita bisa memahami kenapa selama ini niat menghentikan alih fungsi lahan pertanian tak pernah dijabarkan menjadi kebijakan yang operasional dan mengikat -- lengkap dengan sanksi-sanksi bagi siapa pun yang melakukan pelanggaran. Niat ke arah itu pun, jadinya, hanya bergaung sesaat. Niat ke arah itu selalu segera luruh tergerus oleh degup semangat menyokong kehidupan industri dan perumahan.

Kini, di era reformasi ini, keinginan pemerintah menghentikan alih fungsi lahan pertanian bergema kembali. Presiden Megawati Soekarnoputri mengaku galau oleh kenyataan bahwa ketahanan pangan kita terancam rapuh oleh tindak penyusutan lahan pertanian.

Namun kita khawatir bahwa itu hanya merupakan kesadaran pucuk pimpinan pemerintahan seperti selama ini. Betapa tidak, karena tak ada jaminan bahwa segenap jajaran birokrasi pun serta-merta memiliki kesadaran dan keinginan serupa. Bahkan, sesungguhnya, perilaku birokrasi pula yang selama ini mengondisikan niat pemerintah ke arah itu menjadi sekadar basa-basi. Bukan saja law enforcement tak pernah dirumuskan, melainkan juga izin alih fungsi lahan pertanian untuk kepentingan industri dan perumahan juga terus mereka keluarkan. Tanpa rasa bersalah ataupun risau oleh rawannya ketahanan pangan nasional.

Di sisi lain, kita juga melihat kebijakan-kebijakan pemerintah tak bisa diandalkan mampu mengangkat nilai tukar hasil pertanian. Entah di sektor pertanian sendiri ataupun di sektor-sektor lain, berbagai kebijakan yang digariskan pemerintahan sekarang ini tetap lebih banyak merugikan kepentingan petani. Bahkan tercuatkan kesan bahwa nasib petani hanya menempati urutan kesekian di antara deretan kepentingan lain yang menjadi perhatian pemerintah. Banjir beras impor atau gula pasir, misalnya, merupakan secuil bukti tentang amat rendahnya kepedulian dan komitmen pemerintah terhadap kaum tani ini.

Tak heran, karena itu, petani di Indonesia adalah kelompok yang nyaris tak memiliki masa depan cerah. Nasib mereka selalu menjadi bulan-bulanan permainan kepentingan pihak-pihak lain. Justru itu, jangan salahkan kalangan petani jika mereka begitu gampang melepas lahan pertanian kepada pengembang yang mengiming-imingi mimpi sesaat berupa harga tanah yang relatif miring.

Karena itu pula, sekali lagi, kita skeptis bahwa niat pemerintah menghentikan alih fungsi lahan pertanian ini akan benar-benar efektif.***

Jakarta, 26 September 2002

14 September 2002

Reprofiling Obligasi

Apa makna kesepakatan pemerintah dan empat bank BUMN -- Bank BRI, Bank BTN, Bank BNI, dan Bank Mandiri -- mengenai penataan ulang profil (reprofiling) obligasi rekap di keempat bank? Jawabnya, melegakan! Kesepakatan itu bukan sekadar merupakan terobosan bagi pemerintah dalam menghadapi beban obligasi jatuh tempo. Lebih dari itu, kesepakatan tersebut juga bisa mendorong fungsi intermediasi keempat bank bergerak kembali. Di sisi lain, sektor riil pun bisa diharapkan berdegup dan bergairah kembali.

Bagi pemerintah, kesepakatan itu serta-merta membuat risiko default alias gagal bayar atas beban obligasi di keempat bank jadi pudar. Karena ditata jadi relatif merata,
beban obligasi jatuh tempo itu tidak kian lama kian menggunung hingga kelak sangat menyulitkan pemerintah.

Tanpa reprofiling, memang, beban obligasi jatuh tempo kian lama kian mengondisikan pemerintah terjebak risiko default. Maklum karena kemampuan keuangan pemerintah sangat cekak, sementara beban obligasi jatuh tempo kian lama kian membengkak. Di keempat bank itu saja, beban obligasi jatuh tempo ini sungguh bukan main. Pada 2004 saja, beban tersebut total bernilai Rp 24,71 triliun. Sementara pada 2006 senilai Rp 35,94 triliun. Puncaknya, pada 2009, nilai obligasi jatuh tempo di keempat bank plat merah ini bernilai Rp 35,94 triliun,

Ditambah obligasi jatuh tempo di bank-bank lain sesama peserta program rekap, beban yang harus ditanggung pemerintah sungguh menyesakkan -- bahkan mengerikan. Pada 2004, total nilai obligasi jatuh tempo adalah Rp 48,68 triliun dan pada 2009 senilai Rp 111,30 triliun.

Beban itu sungguh menyesakkan. Bahkan makin lama pemerintah kian terkondisi menghadapi risiko default. Ini yang bisa semakin merontokkan kredibilitas kita di dunia internasional.

Alasan itu pula yang melatari sikap pemerintah melontarkan gagasan tentang reprofiling obligasi di bank-bank peserta program rekap ini. Dengan itu, beban yang harus ditanggung pemerintah dibuat relatif tersebar merata -- tak cenderung makin lama menumpuk dan menyesakkan. Pada 2004, misalnya, reprofiling membuat beban obligasi jatuh tempo berkurang sekitar Rp 22 triliun menjadi Rp 25,9 triliun.

Memang, untuk itu, pemerintah harus mengeluarkan tambahan bunga obligasi. Dalam kasus reprofiling obligasi jatuh tempo di empat bank BUMN, misalnya, tambahan beban bunga obligasi yang harus ditanggung pemerintah ini bernilai sekitar Rp 824 miliar per tahun. Tapi beban tambahan tersebut relatif lebih ringan ketimbang pemerintah harus menebus kupon obligasi yang jatuh tempo. Karena itu, kesepakatan dengan empat bank BUMN tentang reprofiling obligasi jatuh tempo membuat pemerintah bisa bernapas lega.

Namun, tentu, bersamaan dengan itu pemerintah juga dituntut segera memupuk kemampuan keuangan. Bagaimanapun, kesepakatan reprofiling dengan empat bank BUMN bukan gratisan. Itu tadi: kesepakatan tersebut membuat beban bunga obligasi yang harus dibayar pemerintah bertambah sekitar Rp 824 miliar per tahun. Jika tak sungguh-sungguh memupuk kemampuan keuangan -- sebut saja melalui program privatisasi dan penjualan aset di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) -- beban tambahan itu malah hanya menambah beban APBN. Meski beban tambahan itu hanya Rp 824 miliar, jika kemampuan keuangan pemerintah tak membaik, defisit anggaran pun bisa-bisa malah semakin parah.

Bagi pihak bank sendiri, kesepakatan reprofiling ini serta-merta bisa mengangkat prospek kinerja keuangan mereka jadi lebih bagus. Itu karena neraca keuangan mereka terbebas dari risiko kupon obligasi rekap yang jatuh tempo gagal bisa dibayar pemerintah. Karena itu, rencana penawaran saham perdana alias initial public offering (IPO) Bank Mandiri, misalnya, bisa diharapkan lebih mulus.

Sejauh ini, rencana IPO Bank Mandiri ini -- setelah beberapa kali tertunda karena alasan teknis -- memang agak merisaukan. Ada kekhawatiran bahwa langkah itu kelak ternyata tak membuahkan hasil optimal sebagaimana harapan. Pasar bisa kurang memberi respon positif gara-gara tumpukan obligasi rekap.

Di luar kepentingan privasisasi, reprofiling obligasi rekap ini juga memungkinkan bank-bank bersangkutan terpacu memperoleh pendapatan dari bunga pinjaman. Mereka bisa kita harapkan tak lagi terbuai oleh pendapatan bunga obligasi pemerintah. Mereka bisa terdorong melakukan ekspansi kredit dalam bilangan signifikan.

Dengan kata lain, reprofiling obligasi rekap bisa membuat fungsi intermediasi perbankan bergerak lagi. Itu berarti, sektor riil yang selama ini kehausan oleh guyuran pinjaman bank pun bisa berdenyut dan bergairah kembali. Efek ikutannya jelas: lapangan kerja tercipta dan daya beli masyarakat pun membaik.***

Jakarta, September 2002

Kebijakan Setengah Hati

Juklak Keppres Nomor 56/2002 adalah angin segar bagi usaha kecil menengah (UKM) yang selama ini telanjur dililit kredit bermasalah. Ini karena juklak tersebut tegas mengatur fasilitas potongan utang pokok (hair cut) sebesar 25 persen plus pembebasan beban utang bunga serta denda sebesar 100 persen. Fasilitas ini diberikan kepada UKM yang membayar tunai sekaligus atau mencicil tunggakan utang maksimal sebanyak enam kali hingga Januari 2003.

Selama ini, bahkan setelah pemerintah pada akhir Juli 2002 mengeluarkan Keppres Nomor 56/2002 sekalipun, insentif restrukturisasi utang UKM ini sungguh samar-samar. Pemerintah tidak pernah tegas menyebut angka hair cut maupun fasilitas pembebasan beban utang bunga dan denda. Soal angka ini selalu saja sekadar berputar-putar sebagai wacana publik. Dalam kaitan itu, pemerintah terkesan larut dalam tarik-menarik kepentingan. Tak heran perumusan Keppres Nomor 56/2002 pun baru kelar dan kemudian diteken Presiden Megawati setelah bolak-balik direvisi sebanyak 26 kali. Toh, sekali lagi, Keppres Nomor 56/2002 ini sama sekali tak menyebut angka diskon utang.

Karena itu, terbitnya Juklak Keppres Nomor 56/2002 -- yang menjanjikan diskon utang sebesar 25 persen plus pembebasan beban utang bunga dan denda -- serta-merta menjadi angin segar bagi UKM yang sudah megap-megap dililit kredit macet. Dengan itu, UKM bisa lumayan bernapas lega.

Meski demikian, kebijakan pemerintah yang tertuang dalam Juklak Keppres Nomor 56/2002 ini tak serta-merta optimal mengusung rasa keadilan bagi kalangan pelaku usaha nasional secara keseluruhan. Betapa tidak, karena fasilitas restrukturisasi utang UKM relatif tak berarti dibanding perlakuan pemerintah terhadap kalangan debitor kakap. Coba saja simak, sejak jauh hari pemerintah menggariskan bahwa tingkat pengembalian (recovery rate) kredit debitor kakap hingga 30 persen. Itu berarti, pemerintah menanggung utang debitor kakap minimal sampai 70 persen. Bukankah itu berbanding terbaik dengan diskon utang yang diberikan terhadap UKM? Padahal UU Propenas justru mengamanatkan bahwa recovery rate kredit UKM ini adalah 30 persen.

Entah pertimbangan apa yang melatari kebijakan pemerintah menggariskan diskon utang UKM sebesar 25 persen dan recovery rate kredit debitor kakap sebesar 30 persen ini. Hitungan matematis macam apa yang digunakan hingga keluar angka-angka itu, agaknya, hanya pemerintah sendiri yang paham.

Kita sendiri hanya tahu bahwa selama ini UKM lebih cenderung diperlakukan sebagai komoditas politik ketimbang pilar kekuatan ekonomi nasional. Ingat saja paradigma ekonomi kerakyatan. Sejauh ini, paradigma tersebut tak pernah jelas. Jangankan dalam implementasi, bahkan sekadar sebagai konsepsi saja entah seperti apa. Sebab memang tak tegas dan tak tandas dirumuskan.

Justru itu, diakui ataupun tidak, sejauh ini sikap pro-UKM yang ditunjukkan pemerintah seolah hanya sekadar kosmetik untuk mengaburkan kenyataan yang lebih condong prokonglomerat. Tentang itu, tengok saja soal restrukturisasi utang. Terhadap debitor kakap, pemerintah sejak jauh hari sudah menunjukkan keseriusan -- lengkap dengan pendekatan dan opsi-opsi yang banyak meringankan pengutang. Sementara terhadap debitor UKM, perhatian pemerintah baru tampak belakangan. Yakni setelah krisis ekonomi mendera selama empat tahun lebih.

Toh langkah kongkret ke arah restrukturisasi utang UKM ini begitu alot dan seperti setengah hati. Dalam kerangka itu pula, agaknya, kita bisa memahami kenapa angka diskon utang bagi UKM ini hanya 25 persen -- bukan 50 persen, 60 persen, atau 70 persen seperti angka recovery rate kredit bagi debitor kakap.

Memang, dengan memperoleh diskon utang 25 persen, UKM bisa lumayan bernapas lega. Himpinan beban yang selama ini membuat mereka begitu sesak dalam mengayun langkah bisnis jelas berkurang. Tapi setelah itu lalu bagaimana? Akankah mereka serta-merta segera bangkit kembali dari keterpurukan?

Tampaknya tidak. UKM yang telah menikmati restrukturisasi kredit ini sulit bisa serta-merta melejit bangkit. Bagaimanapun, setelah menumpahkan sekian banyak dana hingga bisa lolos menikmati restrukturisasi kredit, mereka masih limbung. Mereka membutuhkan konsolidasi. Entah berapa lama. Sementara lingkungan dunia usaha nasional secara keseluruhan belum juga kondusif. Aneka pungutan masih meraja-lela, keamanan tetap mengundang waswas, aturan main bisnis juga belum junjung jelas.

Itu makin menegaskan kenyataan bahwa kebijakan pemerintah dalam memberdayakan UKM ini masih setengah hati dan tidak komprehensif. Bagaimanapun, Keppres Nomor 56/2002 plus juklaknya sulit diharap menjadi instrumen ampuh yang mengondisikan UKM mampu bangkit dan berdaya dalam tempo relatif singkat setelah utang mereka direstrukturisasi. Lain soal kalau kebijakan itu disertai ketentuan yang membuat kemampuan modal UKM bisa segera terkonsolidasi -- katakan saja melalui skema pendanaan kembali.***


Jakarta, September 2002

10 September 2002

Reformasi Kepabeanan

Sangat boleh jadi, usulan Dana Moneter Internasional (IMF) tentang penerapan sistem pemeriksaan prapengapalan (pre-shipment inspection) mengandung pamrih. Pamrih yang bisa menambah berat beban keuangan kita.

Pamrih itu adalah kepentingan bisnis lembaga surveyor asing (Prancis), Societte Generale de Surveillance (SGS). Boleh jadi, usulan pre-shipment inspection atas barang impor merupakan upaya IMF membukakan jalan bagi SGS agar menangguk kontrak sebagai surveyor.

Indikasi tentang itu cukup gamblang. Simak saja proposal IMF yang tertuang dalam dokumen Review of Tax Policy, Tax Administration and Customs Administration Reforms -- notabene lebih dikenal sebagai Aide Memoire III -- tertanggal 12 Agustus 2002. Dalam dokumen tersebut, anggota misi IMF menyebutkan bahwa penerapan pre-shipment inspection harus diaplikasikan dengan bantuan surveyor independen.

Berkaitan dengan itu, santer disebut-sebut bahwa pimpinan SGS sempat melobi pejabat pemerintahan kita. Itu tak lama setelah IMF menyodorkan Aide Memoire III. Mereka, konon, mengajukan proposal yang sama dengan konsep IMF. Apakah itu kebetulan? Rasa-rasanya tidak.

Kita memang tidak tahu persis sejauhmana hubungan IMF dan SGS berkaitan dengan usulan tentang penerapan pre-shipment inspection atas barang impor ini. Kita juga tak paham bahwa IMF sebagai dokter kita dalam menghadapi krisis ekonomi bisa didomplengi kepentingan pihak tertentu seperti SGS. Yang pasti, itu kian menguak kenyataan bahwa kiprah IMF bukan tanpa pamrih.

Sejumlah kasus tentang itu bisa kita deretkan. Sebut saja, antara lain, pembukaan kran ekspor kayu gelondongan (log). Itu terbukti memicu sekaligus memacu tindak penebangan liar dan penyelundupan log ke luar negeri. Akibatnya sungguh gawat. Deforestasi melaju kencang dan sulit dibendung, industri pengolahan kayu di dalam negeri nyaris bangkrut, juga penerimaan negara atas sumberdaya hutan banyak lolos.

Usulan IMF tentang pre-shipment inspection barang impor itu sendiri -- notabene mereka tekankan sebagai sesuatu yang perlu diterapkan dengan memanfaatkan jasa surveyor independen -- sungguh bukan perkara enteng. Bagaimanapun, jika diterapkan, usulan tersebut jelas harus menguras dana. Sekadar gambaran, untuk membayar jasa pemeriksaan barang ekspor oleh PT Sucofindo, tempo hari, pemerintah harus merogoh kocek senilai Rp 500 miliar per tahun. Beban itu pula yang mendorong pemerintah kemudian memutus kontrak dengan Sucofindo pada akhir Juli 2001. Dengan itu pula, fungsi pemeriksaan barang ekspor dikembalikan kepada Ditjen Bea dan Cukai setelah sekian tahun dipercayakan kepada Sucofindo.

Jasa SGS sendiri pernah kita manfaatkan sejak 1984 hingga pertengahan 1990-an. Itu dalam rangka penerapan sistem pre-shipment inspection sesuai Inpres Nomor 5/1984. Fee yang dikeluarkan pemerintah untuk itu tak tanggung-tanggung: 400 juta dolar setahun! Padahal anggaran Kantor Bea dan Cukai sendiri ketika itu hanya ekivalen 25 juta dolar per tahun.

Jadi, haruskah kekonyolan seperti itu terulang kembali? Siapa pun yang mengaku warga negeri ini -- sepanjang memiliki sense of crisis -- pasti tak akan setuju.

Memang, kita tak menutup mata bahwa Bea Cukai sebagai instansi terpenting dalam menjaga kelancaran arus barang dan sekaligus sebagai benteng terdepan dalam pengawasan dan pengamanan pabean belum berfungsi optimal. Juga, ini sudah menjadi rahasia umum sejak lama, instansi tersebut tak benar-benar bersih. Pungutan liar atau bahkan penyimpangan ketentuan oleh oknum -- seperti juga di lembaga birokrasi lain -- sedikit banyak masih melekat di tubuh Bea Cukai ini. Misalnya, penyelundupan beberapa komoditas impor jelas merupakan gambaran tentang masih buramnya peran dan fungsi Bea Cukai ini.

Tetapi apakah karena itu kita lantas perlu menerapkan kembali sistem pre-shipment inspection seperti pada periode 1980-1990 lalu? Benarkah sistem tersebut merupakan solusi mujarab terhadap fenomena penyelundupan beberapa komoditas impor?

Tampaknya tidak. Bukan saja penerapan sistem pre-shipment inspection hanya akan menghambur-hamburkan dana, sementara keuangan negara kini sungguh memrihatinkan. Lebih dari itu, sistem itu sendiri hanya efektif berfungsi jika diterapkan menyeluruh terhadap setiap barang yang kita impor. Padahal UU Nomor 10/1995 tentang Kepabeanan menyebutkan bahwa pemeriksaan impor dilakukan selektif, dan itu dilakukan oleh Bea Cukai.

Kalau begitu, apa yang harus kita lakukan agar Bea Cukai lebih berfungsi efektif sebagai benteng terdepan dalam pengawasan dan pengamanan pabean ini? Barangkali kita sepakat: reformasi kepabeanan sungguh mutlak dan sangat mendesak perlu dituntaskan. Sejatinya, soal itu pula yang selama ini membuat peran dan fungsi Bea Cukai ini tak pernah optimal dan diwarnai cela.***


Jakarta, September 2002

09 Agustus 2002

Penjamin Polis

Mestinya sudah sejak jauh-jauh hari kita memiliki lembaga penjamin polis asuransi. Paling tidak, kasus likuidasi atau pembekuan kegiatan usaha sejumlah bank, beberapa tahun lalu, seharusnya menggugah kesadaran pemerintah maupun pelaku industri asuransi nasional bahwa nasib nasabah (pemegang polis) sungguh mutlak perlu memperoleh perlindungan -- dan karena itu perlu dibentuk lembaga penjamin polis asuransi.

Dengan itu, nasabah tidak harus menjadi korban atas risiko yang dialami perusahaan asuransi -- entah terkena tindak likuidasi oleh pemerintah, divonis pailit oleh pengadilan, ataupun risiko lain. Dengan adanya lembaga penjamin polis, dana nasabah bisa selamat alias tak turut hangus bersama risiko yang melindas perusahaan asuransi bersangkutan.

Tapi, apa mau dikata, kita tampaknya memang cenderung abai. Kita acap lalai atas berbagai kemungkinan yang sudah jelas sewaktu-waktu bisa melanda sekalipun. Kita baru tergerak berbuat sesuatu manakala sudah dihadapkan pada kondisi sangat mendesak. Kita grasa-grusu bertindak ketika risiko buruk sudah di depan hidung.

Itu pula yang kini terjadi. Pemerintah dan industri asuransi sibuk berupaya membentuk lembaga penjamin polis asuransi. Gagasan tentang itu tertoreh setelah sembilan perusahaan asuransi segera terkena vonis mematikan: dilikuidasi karena tak mampu memenuhi ketentuan menyangkut permodalan (risk base capital).

Ironinya, lembaga penjamin polis asuransi sulit diharapkan bisa terwujud dalam satu-dua bulan ini. Pemerintah dan kalangan pelaku industri asuransi nasional sendiri mengakui, langkah ke arah itu membutuhkan waktu lumayan lama. Paling tidak, lembaga penjamin polis asuransi nyaris mustahil sudah bisa berdiri pada tahun 2002 ini juga. Padahal, kebutuhan menyangkut perlunya keberadaan lembaga tersebut sudah sangat mendesak -- karena vonis likuidasi terhadap sejumlah perusahaan asuransi itu dijatuhkan pemerintah dalam dua-tiga bulan mendatang, sebelum Otoritas Jasa Keuangan resmi berdiri.

Dalam kaitan itu, enam perusahaan asuransi sejak beberapa waktu lalu sudah terkena pembatasan kegiatan usaha. lalu tiga perusahaan lagi telah mengembalikan izin usaha kepada pemerintah. Itu tadi, karena masing-masing perusahaan tak mampu memenuhi ketentuan tentang permodalan minimal alias tidak sehat. Mereka gagal memperoleh suntikan modal baru ataupun investor. Sementara alternatif merger pun tetap tak menyelamatkan mereka karena tak ada pihak yang tertarik.

Itu pula yang membuat likuidasi atas sejumlah perusahaan asuransi nasional ini sungguh niscaya. Tinggal menunggu waktu. Konon, itu terkait dengan persiapan teknis menyangkut penyelesaian kewajiban masing-masing perusahaan.

Hanya, ini juga ironis, penyelesaian atas hak pemegang polis tak tercakup dalam persiapan teknis itu -- karena lembaga penjamin polis belum terbentuk. Dengan kata lain, dana nasabah kesembilan perusahaan asuransi hampir pasti hangus alias tak bisa ditarik kembali. Pihak Depkeu sendiri menyebutkan bahwa itu merupakan risiko investasi yang harus rela ditanggung pemegang polis.

Kenyataan itu pula, sejatinya, yang mendorong pemerintah dan industri asuransi nasional belakangan ini tergerak berupaya membentuk lembaga penjamin polis asuransi. Namun karena waktu sudah sangat mepet, upaya tersebut nyaris mustahil bisa menyelamatkan dana nasabah kesembilan perusahaan asuransi yang segera dilikuidasi pemerintah.

Itu jelas tidak fair. Terlebih pemegang polis tak
bisa melakukan tindak pengamanan atas dana mereka. Maklum karena mereka tak bisa memastikan perusahaan mana saja yang akan dilikuidasi pemerintah. Informasi tentang itu nyaris tak pernah ditebar secara transparan. Bahkan sekadar informasi tentang perusahaan yang terkena sanksi peringatan pun, publik hapir tak pernah tahu-menahu. Soal itu lebih banyak sebatas menjadi urusan pemerintah dan perusahaan bersangkutan.

Justru itu, tindak likuidasi atas sejumlah perusahaan asuransi ini jelas akan menelan banyak korban. Entah berapa banyak pemegang polis yang akan dibuat melongo oleh tindakan itu. Bukan saja pertanggungan risiko tiba-tiba pupus, melainkan nilai simpanan ataupun nilai klaim di sembilan perusahaan asuransi itu mendadak hangus.

Kenyataan itu, pada gilirannya, bisa berdampak negatif terhadap industri asuransi nasional secara keseluruhan. Kepercayaan masyarakat rontok. Paling tidak, itu akan menghambat laju pertumbuhan industri asuransi kita -- entah hingga berapa lama.

Padahal pangkal persoalan itu sungguh sederhana: karena pemerintah dan industri asuransi nasional abai dan lalai terhadap pentingnya keberadaan lembaga penjamin polis. Kepedulian tentang itu baru merekah sekarang. Tapi, itu tadi, pemegang polis sejumlah perusahaan asuransi yang segera dilikuidasi pemerintah tetap tak terselamatkan. Mereka harus rela menjadi tumbal sebuah sikap abai dan lalai.***

Jakarta, Agustus 2002

Pusat Krisis

Tidak ada alasan bagi kita untuk tak mendukung gagasan pemerintah mendirikan Pusat Krisis. Lembaga tersebut memang sungguh terasa menjadi kebutuhan mendesak. Karena kehidupan sosial-ekonomi kita -- notabene belum pulih dari krisis yang mendera sejak medio 1997 silam -- terancam bahaya besar. Bahaya tersebut -- dipicu oleh kegiatan sejumlah industri manufaktur yang menunjukkan gejala menuju titik balik -- terutama merujuk pada masalah ketenagakerjaan.

Dunia ketenagakerjaan kita memang sebuah masalah besar dan mencemaskan. Selama ini saja, di bawah bayang-bayang pertumbuhan angkatan kerja baru yang praktis tak bisa dibendung, sekitar 5,3 juta penduduk usia produktif tidak memiliki pekerjaan alias menganggur. Angka pengangguran absolut itu kini serta-merta membengkak menjadi hampir 5,8 juta. Itu terkait dengan kepulangan 400.000 lebih tenaga kerja ilegal dari Malaysia.

Kenyataan itu kian mencemaskan lagi karena sejumlah industri manufaktur memperlihatkan gejala menuju titik balik sehingga mengurangi kemampuan mereka menyerap tenaga kerja. Industri sepatu, misalnya, belakangan ini kehilangan order ekspor dalam jumlah signifikan karena pembeli di luar negeri berpaling ke produk negara lain. Tak bisa tidak, kapasitas industri pun terpaksa diciutkan. Konsekuensinya, apa boleh buat, tenaga kerja juga dikurangi.

Begitu juga industri tekstil dan produk tekstil (TPT). Bahkan sejumlah industri TPT sudah hengkang ke luar negeri.
Walhasil, karena kapasitas melorot serta sejumlah pelaku memutuskan hengkang ke luar negeri, industri manufaktur ini bukan berperan mengurangi tekanan masalah ketenagakerjaan, melainkan malah menambah berat beban yang selama ini sudah menggunung. Dengan kata lain, industri manufaktur kini justru memberi kontribusi terhadap penambahan jumlah penganggur.

Tak bisa tidak, karena itu, dunia ketenagakerjaan kita pun kian buram dan amat mencemaskan. Bagaimanapun, jumlah penganggur yang semakin membengkak signifikan amat potensial meningkatkan tindak kriminalitas maupun masalah sosial lain.

Karena itu, kehadiran Pusat Krisis atau apa pun namanya sungguh sangat dibutuhkan. Ini bukan saja karena masalah ketenagakerjaan kian mencemaskan, melainkan juga karena pertumbuhan ekonomi nasional sulit diharapkan mampu menjadi penyelamat. Dengan tingkat pertumbuhan seperti ditargetkan pemerintah sebesar 3-4 persen per tahun, daya serap kegiatan ekonomi ini sungguh terlampau kecil. Bahkan sekadar menyerap angkatan kerja baru saja, pertumbuhan ekonomi kita selama ini relatif tak berarti.

Di lain pihak, kegiatan investasi juga tak memperlihatkan gambaran melegakan. Gambaran tersebut tercermin dalam angka impor barang modal dan bahan baku industri. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, selama semester I/2002 impor barang modal anjlok 29,91 persen dibanding periode sama tahun lalu. Sementara impor bahan baku, dalam periode bersamaan, melorot 21,35 persen.

Itu menegaskan bahwa kegiatan investasi di dalam negeri memang melemah. Data di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) sendiri menunjukkan, selama semester I/2002 ini investasi domestik anjlok 40 persen lebih. Sementara investasi asing turun hingga di atas 70 persen.

Jelas, itu petunjuk gamblang bahwa iklim investasi di negeri kita sudah tak kondusif lagi. Apa yang menjadi penyebab, dunia usaha nasional sudah sejak lama menunjuk faktor keamanan yang tak cukup terjamin, penegakan hukum lemah, pungutan merajalela, birokrasi berbelit, juga upah pekerja dan ongkos produksi lain terus merekot.

Karena itu, sekali lagi, kehadiran Pusat Krisis sungguh sangat dibutuhkan. Lembaga tersebut sangat diharapkan mampu membesut iklim investasi di dalam negeri menjadi berkilau lagi. Dengan demikian, gejala hengkangnya kalangan investor ke luar negeri bisa dicegah. Bahkan, selebihnya, investor baru diharapkan kembali berbondong-bondong menabur proyek penanaman modal di Indonesia. Dengan itu pula, bahaya mencemaskan di balik masalah ketenagakerjaan yang kini membayang niscaya bisa banyak dikurangi.

Tapi kita perlu mengingatkan: Pusat Krisis harus benar-benar mampu menumbuhkan kesadaran sekaligus menerjemahkan sense of crisis menjadi langkah-langkah jitu menanggulangi masalah. Ini mutlak karena sejatinya soal itu pula yang menjadi penyebab lembaga serupa yang pernah ada hanya elok di atas kertas. Komite Pemulihan Ekonomi Nasional (KPEN) yang diluncurkan Kadin Indonesia ataupun Sekretariat Bersama yang dibentuk Menperindag, misalnya, praktis mandul karena gagal menumbuhkan sense of crisis ini. Kehebatan lembaga-lembaga tersebut hanya sebatas wacana. Itu pun hangat-hangat tahi ayam. Selebihnya, masing-masing pihak tetap saja asyik menjalani business as usual.***


Jakarta, 9 Agustus 2002

04 Agustus 2002

PMA Tak Bayar Pajak

Tindakan sekian banyak perusahaam penanaman modal asing (PMA) tidak membayar pajak, jelas serius. Dengan jumlah wajib pajak yang mengemplang sekitar 3.500 dari 4.850-an perusahaan PMA saat ini, nilai pajak yang luput mengalir ke kas negara ini sungguh tak bisa dibilang kecil. Seperti kata Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), potensi kerugian negara akibat pajak yang luput disetorkan sekian perusahaan PMA itu bernilai triliunan rupiah.

Karena itu, adanya sekian banyak perusahaan PMA tak membayar pajak ini -- lepas dari berbagai alasan atau dalih mereka -- sungguh tak bisa dipandang remeh. Dari segi ekonomi, kenyataan itu terasa sangat ironis di tengah upaya pemerintah menutupi defisit anggaran. Sementara pemerintah pontang-panting berupaya menambal defisit APBN, sekian triliun rupiah yang mestinya bisa ditarik sebagai setoran pajak sejumlah perusahaan PMA menguap begitu saja.

Penerimaan pajak memang kian menjadi tumpuan pemerintah. Dalam RAPBN 2003, misalnya, pemerintah menargetkan penerimaan pajak senilai Rp 260,8 triliun. Itu naik 18,8 persen dibanding tahun anggaran berjalan. Dengan penerimaan sebesar Rp 260,8 triliun itu, pada tahun anggaran mendatang penerimaan pajak ditargetkan memberi kontribusi sebanyak 73,7 persen terhadap belanja negara.

Beban itu pula yang membuat pemerintah begitu membabi-buta melakukan pemungutan pajak ini. Sampai-sampai berkembang sinisme di masyarakat: bahwa dalam melakukan pengumpulan pajak, pemerintah sudah seperti berburu di kebun binatang.

Justru itu, ujung-ujungnya, pemungutan pajak ini membuat rakyat semakin terbebani. Bukan saja kian banyak jenis barang dan jasa dikenai pajak, melainkan juga tarif sejumlah jenis pajak pun didongkrak.

Sejalan dengan itu, juga sebagai upaya menekan defisit anggaran, subsidi-subsidi terus dipangkas atau bahkan dihapuskan. Tak bisa tidak, karena itu, beban yang harus dipikul rakyat sungguh kian berat.

Karena itu, rasa keadilan di masyarakat pun langsung terkoyak ketika tiba-tiba terungkap bahwa sekitar 70 persen investor asing ternyata tak membayar pajak. Alasan yang disebut-sebut melatari kenyataan itu -- jajaran perusahaan PMA bersangkutan tak menuai untung alias merugi -- sungguh sulit diterima. Lebih-lebih karena mereka terindikasi melakukan menipulasi harga barang (transfer pricing). Seperti kata Kakanwil Pajak VII Muhammad Said, transfer pricing mereka lakukan sebagai trik untuk merekayasa laporan keuangan hingga jadi seolah-olah merugi. Dengan demikian, memang, mereka terbebas dari kewajiban menyetor pajak.

Walhasil, sebenarnya, sekian banyak perusahaan PMA ini memang sengaja menghindari kewajiban membayar pajak yang tegas-tegas digariskan undang-undang. Dengan kata lain, mereka tak memiliki itikad baik selaku wajib pajak. Mereka sama sekali tak hirau oleh kesulitan keuangan yang dihadapi pemerintah.

Memang, kalangan perusahaan PMA sulit diharapkan menunjukkan komitmen atau kepedulian besar terhadap kesulitan keuangan yang kita hadapi dewasa ini. Nasionalisme Indonesia nyaris musykil tumbuh dalam diri mereka. Bagi mereka, yang penting investasi bisa terus bergulir lancar dan menghasilkan keuntungan optimal tanpa digerogoti banyak pengeluaran -- termasuk pajak. Sementara soal kesulitan keuangan negara yang dihadapi pemerintah, itu bukan sesuatu yang harus turut mereka pikirkan. Masalah itu semata urusan pemerintah dan rakyat Indonesia.

Menghadapi sikap-tindak seperti itu, kita dipaksa harus mafhum. Kita dipaksa menyadari bahwa kalangan perusahaan PMA, bagaimanapun, adalah warga asing di negeri ini.

Tetapi ketika sikap-tindak mereka sudah bersentuhan dengan soal kewajiban, kita tak bis mafhum. Terlebih, seperti soal pajak, jika kewajiban itu merupakan amanat undang-undang. Kita tak boleh menoleransi siapa pun -- termasuk warga asing seperti perusahaan PMA -- mengabaikan kewajiban yang digariskan undang-undang.

Itu berarti, adanya sekian banyak perusahaan PMA tak membayar pajak ini tak boleh kita biarkan -- apalagi karena keuangan negara sangat menuntut setoran pajak benar-benar optimal. Kita tak boleh menyerah begitu saja oleh kenyataan bahwa untuk mengungkap praktik transfer pricing yang dilakukan kalangan perusahaan PMA ini -- sebagai siasat mereka menghindari kewajiban membayar pajak -- sungguh bukan perkara mudah. Bagaimanapun, upaya ke arah pembuktian praktik transfer pricing ini harus kita lakukan -- meski untuk itu dibutuhkan banyak waktu dan energi.

Kita sangat berharap, Ditjen Pajak sependapat dengan kita: bahwa adanya sekian banyak perusahaan PMA tak membayar pajak ini harus ditelusuri dan diteliti. Kita juga berharap, semangat Ditjen Pajak mengayun langkah ke arah itu benar-benar menggebu dan tak cepat loyo.

Dengan berbagai reka-upaya, potensi lolosnya penerimaan pajak dari tangan perusahaan-perusahaan PMA ini harus kita selamatkan. Dengan demikian, masalah defisit APBN sedikit banyak akan terbantu teratasi.

Jakarta, Agustus 2002

02 Agustus 2002

Keppres Angin Surga

Keppres Nomor 56/2002 tentang Restrukturisasi Kredit Usaha Kecil dan Menengah (UKM) ternyata tak istimewa. Jauh dari harapan. Isi Keppres itu terkesan setengah hati. Bahkan seperti sekadar basa-basi. Bahwa pemerintah tak hanya mengurusi tumpukan utang konglomerat, melainkan juga memiliki kepedulian terhadap nasib UKM yang dililit kredit bermasalah. Titik. Sementara untuk keperluan operasional mengangkat nasib kalangan UKM, Keppres Nomor 56/2002 adalah macan ompong.
Juga tak punya taji.

Betapa tidak, karena sekadar tentang besaran
diskon atas utang pokok saja Keppres
Nomor 56/2002 ini tak berani menyebut
angka. Pemerintah, seperti kata Mennegkop/UKM Alimarwan Hanan, berkilah bahwa soal itu sudah diatur dalam ketentuan lain: UU Nomor 25/2000 tentang Progam Pembangunan Nasional (Propenas).

Tapi soal itu pun masih mengambang atau samar. Keppres Nomor 56/2002 hanya menyebut UU Propenas sekadar sebagai bab "mengingat". UU Propenas tak tegas ditunjuk sebagai sumber rujukan utama mengenai angka diskon atas utang pokok yang berhak dinikmati kalangan UKM.

Justru itu, pemerintah terkesan ingin berlepas tangan mengenai soal insentif berupa diskon utang ini. Kesan itu kian kental karena soal tersebut -- juga soal insentif bebas bunga dan bebas denda ataupun opsi lain restrukturisasi kredit -- sejatinya diserahkan kepada kebijakan pihak bank dan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) selaku kreditor.

Tak bisa tidak, karena itu, Keppres Nomor 56/2002 pun seperti cuma angin surga -- karena sekadar menjanjikan insentif bagi UKM yang membayar tunai utang mereka dalam tampo enam bulan sejak Keppres itu terbit. Sementara insentif itu sendiri -- entah berupa potongan utang pokok, bebas bunga dan bebas denda, atau perpanjangan waktu pelunasan, diskon beban bunga dan denda, atau juga penambahan fasilitas kredit -- tak lebih merupakan "kucing dalam karung". Karena semua bergantung hasil negosiasi UKM debitor dengan pihak bank atau BPPN selaku kreditor.

Celakanya, seperti kita tahu, posisi tawar UKM dalam berhadapan dengan pihak kreditor ini sulit diharapkan kokoh kuat. Terlebih sebagai debitor bermasalah, posisi tawar UKM jelas lembek. Justru itu, hasil restrukturisasi utang mereka pun lebih banyak bergantung pada kemurahan hati pihak debitor.

Celakanya pula, kita tak bisa berharap banyak bahwa pihak debitor benar-benar memiliki mental murah hati bak sinterklas. Menilik sikap-tindak mereka selama ini terhadap UKM, barangkali musykil mengharapkan mereka rela memberikan diskon terhadap utang pokok UKM dalam hitungan sangat signifikan -- jauh di atas 50 persen seperti terhadap utang para konglomerat. Begitu juga mengenai insentif bebas bunga dan bebas denda, boleh jadi mereka bersikap sangat pelit.

Dengan kata lain, dalam konteks restrukturisasi utang ini, pihak UKM cenderung lebih banyak dirugikan. Bahkan pihak debitor -- terutama kalangan perbankan -- barangkali justru lebih mengondisikan utang UKM tak direstrukturisasi hingga menjadi benar-benar macet. Bagi mereka, itu bisa menjadi pembenaran untuk melakukan tindakan eksekusi sebagaimana selama ini mereka perlihatkan tanpa beban sedikit pun.

Keppres Restrukturisasi Utang UKM sendiri semula sangat diharapkan benar-benar menjadi wahana yang membebaskan kalangan UKM dari jeratan kredit bermasalah akibat krisis ekonomi. Dengan itu, mereka boleh kita harapkan kembali bangkit dan berdaya sebagai salah satu pilar kekuatan ekonomi nasional.

Karena itu, terutama jajaran UKM, sungguh sangat menantikan kelahiran kebijakan tentang restrukturisasi utang mereka ini. Tak heran jika dalam penantian itu, mereka yang semula lancar mencicil kredit pun belakangan ikut-ikutan jadi debitor bermasalah. Itu tak lain karena mereka berharap bisa turut menikmati insentif-insentif pemerintah dalam rangka restrukturisasi utang.

Tapi sejak awal, langkah ke arah itu terkesan tidak mulus. Paling tidak, itu gamblang terlihat dari revisi naskah Keppres yang harus dilakukan hingga 26 kali. Dalam konteks itu, kita tidak menangkap kesan soal niat atau keinginan baik (good will) merumuskan kebijakan yang benar-benar tepat arah dan efektif. Kesan yang kita tangkap justru tarik-ulur berbagai kepentingan.

Kesan itu kian benderang setelah Keppres Nomor 56/2002 resmi diteken Presiden dan dinyatakan efektif berlaku. Keppres tersebut ternyata tak istimewa: hanya menjanjikan "angin surga" alias tak bisa diandalkan efektif membebaskan sekaligus memberdayakan UKM dari lilitan kredit akibat deraan krisis ekonomi.

Kenyataan itu serta-merta menguakkan kesan bahwa pemerintah memang tak sepenuh hati dalam membantu menyelamatkan nasib UKM ini. Tak bisa lain, karena itu, kita bisa mengatakan bahwa pemerintahan sekarang pun tak lebih baik dibanding yang lalu-lalu: sekadar menjadikan UKM sebagai komoditas politik. Pemberdayaan UKM sekadar basa-basi.***

Jakarta, 2 Agustus 2002

12 Juli 2002

Kenaikan Tarif PPh

Apa jadinya jika pemerintah mengikuti saran Dana Moneter Internasional (IMF) -- menaikkan tarif pajak penghasilan (PPh) badan? Boleh jadi, penerimaan negara serta-merta terdongkrak. Dengan itu, defisit anggaran bisa diharapkan tak terlampau menganga lebar. Dalam APBN 2002, misalnya, defisit ini bernilai sekitar Rp 42 triliun.

Jadi, sepintas, kebijakan menaikkan tarif PPh badan -- yang disarankan IMF sebagaimana tertuang dalam program Aide Memoire II IMF untuk Ditjen Pajak -- memang terkesan strategis. Tapi, soalnya, kebijakan itu dalam skala makro tidak produktif. Juga lagi-lagi menempatkan dunia usaha sebagai sapi perah.

Adalah sudah gamblang adanya bahwa Indonesia kini bukan lagi surga yang menarik bagi penanaman modal. Jangankan asing, bahkan investor lokal sendiri mengeluhkan soal itu. Dalam konteks ini, praktik KKN yang tetap marak. Di sisi lain, aspek keamanan berusaha juga tak senantiasa terjamin. Itu merupakan faktor yang telah melunturkan daya tarik investasi di dalam negeri ini.

Sangat mudah dipahami jika kalangan investor asing pun lantas enggan masuk menanam modal di Indonesia ini. Malah mereka yang selama ini sudah menabur proyek di sini pun mulai banyak yang menimbang kemungkinan angkat kaki dan pindah ke negara lain. Data yang belum lama ini dibeberkan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Theo F Toemion di DPR jelas gamblang menunjukkan kenyataan tersebut.

Itu pula yang memompa semangat Toemion tetap berupaya memperjuangkan agar fasilitas libur pajak (tax holiday) dan pembebasan pengenaan bea masuk atas barang modal (investasi) bagi investor baru bisa diberlakukan. Fasilitas tersebut memang bisa diharapkan membuat investor (asing) tergerak menabur investasi langsung di dalam negeri -- sekalipun itu masih mengundang perdebatan karena sejumlah negara tetangga sudah telanjur lebih dulu menggelar fasilitas serupa, notabene iklim investasi di negeri mereka relatif jauh lebih baik ketimbang di Indonesia.

Belum lagi perjuangan Kepala BKPM menggolkan kebijakan tax holiday dan fasilitas bebas bea masuk atas barang modal bagi investor baru ini berhasil -- karena banyak pihak keberatan atas keyakinan bahwa kebijakan itu tak produktif bagi penerimaan pajak --, kini tiba-tiba muncul usulan IMF yang serta-merta membuat iklim investasi di dalam negeri kian tak menarik.

Bagi dunia usaha, kenaikan PPh badan yang diusulkan IMF ini -- meski soal angkanya belum disebut -- sungguh langsung terasa menohok: bakal mengurangi margin keuntungan usaha mereka. Padahal margin tersebut, di tengah iklim usaha yang masih belum sehat benar akibat praktik KKN yang memorehkan ekonomi biaya tinggi, sekarang ini sudah relatif kecil.

Karena itu, bagi dunia usaha, mungkin hanya ada dua pilihan yang bisa ditempuh jika usulan IMF tadi diterima pemerintah: menutup dan memindahkan proyek investasi ke negara lain yang lebih kondusif, atau membebankan kenaikan PPh badan ini terhadap harga produk yang mereka hasilkan. Tapi alternatif terakhir pun jelas akan serta-merta menurunkan daya saing produk mereka. Justru itu, sebenarnya, alternatif paling mungkin bagi mereka sebenarnya hanya satu: menutup dan memindahkan proyek investasi ke negara lain.

Pemerintah sendiri belum memberikan sikap terhadap
usulan IMF ini. Konon, usulan tersebut masih dikaji sebuah tim khusus di Depkeu. Di lain pihak, IMF sudah memastikan mengirim tim teknis ke Jakarta pada 23 Juli 2002 yang antara lain akan membahas program Aide Memoire II IMF untuk Ditjen Pajak ini.

Secara teknis, usulan tentang kenaikan tarif PPh badan ini bukan perkara mudah untuk dipenuhi. Bagaimanapun pemerintah harus merevisi UU Perpajakan -- termasuk UU PPh. Padahal undang-undang tersebut baru saja direvisi. Jadi, mungkinkan pemerintah -- bersama DPR -- rela merevisi lagi undang-undang yang belum genap berumur dua tahun itu semata dalam rangka mengakomodasi usulan IMF?

Di sisi lain, patut disadari bahwa usulan itu sendiri boleh jadi bukan tanpa agenda yang tak menguntungkan bagi kepentingan kita. Bercermin pada pengalaman selama ini, cukup banyak kasus menunjukkan bahwa usulan, rekomendasi, ataupun resep pemulihan ekonomi nasional yang diajukan IMF -- notabene diterima dan diterapkan pemerintah kita -- di belakang hari ternyata malah merepotkan kita sendiri.

Sebut saja kasus penundaan proyek panasbumi Karaha Bodas atas rekomendasi IMF pada 1997 di tengah gelombang dahsyat krisis ekonomi dan moneter. Keputusan tersebut ternyata membuat Pertamina digugat Karaha Bodas Company (KBC) selaku pelaksana proyek itu. Tak kepalang tanggung, dalam konteks itu, Pertamina dituntut KBC membayar kerugian senilai 261 juta dolar. Sementara IMF sendiri seolah lepas tangan.

Jadi, kita berharap agar pemerintah bersikap kritis dan waspada terhadap usulan terakhir IMF ini. Syukur bila kemudian pemerintah bisa bersikap tegas menolak -- karena kenaikan tarif PPh badan ini sungguh berdampak serius terhadap kegiatan investasi di dalam negeri maupun proses pemulihan ekonomi secara keseluruhan.***
Jakarta, 12 Juli 2002

10 April 2002

A Good Boy Syndrome

Dalam forum Paris Club III yang digelar 11-12 April 2002, mestinya kita tidak sekadar meminta penjadwalan ulang (rescheduling) utang sebagaimana menjadi tekad pemerintah. Kita sebenarnya sangat beralasan meminta pengurangan utang. Betapa tidak, karena kondisi kita sudah sangat parah. Kita telah mulai terseret ke kondisi terjebak utang (debt trap).

Data menunjukkan, utang luar negeri kita sudah mencapai Rp 1.376 triliun. Itu terdiri atas utang pemerintah senilai Rp 741,64 triliun dan utang swasta Rp 634,38 triliun. Itu masih ditambah utang dalam negeri sekitar Rp 647,9 triliun berupa obligasi dan surat utang. Jadi, utang kita sudah mencapai Rp 2.023 triliun.

Angka itu sungguh jauh di atas produk domestik bruto kita senilai Rp 1.688,3 triliun tahun ini. Justru itu pula, angka debt service ratio (DSR) kita pun membengkak menjadi 50 persen lebih. Padahal posisi aman DSR adalah 20-25 persen. Dengan DSR di atas 50 persen, berarti sebagian besar hasil ekspor kita habis untuk membayar utang.

Jadi bila sekadar memperoleh rescheduling, kita sebenarnya hanya menunda masalah. Sementara masalah itu sendiri jelas akan terus membesar -- sampai akhirnya kita kelak benar-benar tak mampu mengatasinya.

Dengan kata lain, solusi konvesional atas masalah utang melalui skema rescheduling ini sama sekali bukan obat cespleng. Mengapa kita tak tegas-tegas meminta pengurangan utang pada negara-negara kreditur? Padahal itu niscaya membuat kita bisa bernapas lega sekaligus memungkinkan kita bisa menikmati stimulus ekonomi. Dengan itu, kontiunitas pemulihan ekonomi akan terjaga baik yang pada gilirannya bisa mengantarkan kita bisa memupuk kemampuan melunasi utang.

Sekarang ini, dengan tumpukan utang yang demikian membebani, kita sungguh megap-megap. Ditambah defisit sekitar Rp 40 triliun, beban itu membuat APBN 2002 mengalami kontraksi hebat. Sementara langkah penjualan aset di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) maupun privatisasi BUMN sulit diandalkan sebagai langkah strategis mengurangi defisit. Paling tidak, sebagaimana tercermin dalam proses divestasi saham pemerintah di BCA, misalnya, langkah itu sungguh berliku dan sarat kontroversi. Begitu juga penjualan BUMN nyata-nyata mengundang resistensi kalangan karyawan bersangkutan yang membuat privatisasi jadi tak berjalan mulus.

Memang, negara-negara donor selalu menyebutkan bahwa Indonesia bukan tergolong negara miskin yang patut menikmati pengurangan utang. Tapi, sangat boleh jadi, itu sekadar dalih yang mencerminkan keengganan negara-negara kreditur membantu kita bisa bernapas lega karena beban utang berkurang. Dengan kata lain, mereka tidak rela kita terbebas dari risiko jeratan utang. Mereka lebih senang melihat kita megap-megap menanggung beban pinjaman yang demikian menggunung.

Boleh jadi juga, kita sendiri memang enggan meminta fasilitas pengurangan utang pada negara-negara kreditur. Dalam konteks ini, kita terkesan takut oleh bayang-bayang yang kita reka-reka sendiri: bahwa pengurangan utang serta-merta akan menurunkan tingkat kepercayaan dunia internasional terhadap kita. Padahal itu belum tentu menjadi kenyataan.

Mungkin kita perlu bercermin pada kasus Jerman pasca Perang Dunia II dulu. Menghadapi ekonomi yang carut-marut akibat perang, ketika itu Jerman tak segan-segan meminta pengurangan utang pada kalangan kreditur mereka. Tim perunding Jerman ketika itu mungkin sama sekali tak mengkhawatirkan soal jatuhnya kredibilitas negara mereka di mata dunia sebagaimana kini menjadi momok yang menghantui kita. Bagi mereka, pengurangan utang jauh lebih penting dan sangat mendesak untuk menyelamatkan ekonomi negeri mereka dari ambang kebangkrutan.

Karena berhasil meyakinkan kalangan kreditur, akhirnya Jerman memang kemudian memperoleh fasilitas pemotongan pokok utang (hair cut) sebesar 50 persen. Apa yang terjadi kemudian, kepercayaan dunia terhadap Jerman terbukti tidak jeblok. Selebihnya, ekonomi Jerman bisa segera bangkit hingga menjadi salah satu raksasa ekonomi dunia seperti sekarang.

Jadi, mengapa kita mesti mencemaskan risiko yang sebetulnya kita reka-reka sendiri? Yang lebih beralasan justru kita memiliki kemauan dan kemampuan meyakinkan kalangan kreditur bahwa kita memang sungguh layak memperoleh fasilitas pengurangan utang.

Dalam konteks itu, kita jelas harus menanggalkan gengsi. Kita patut jujur bahwa kita nyaris sudah tidak memiliki kemampuan membayar utang. Kita tak sepatutnya lagi terus terbuai oleh pujian kalangan kreditur yang selalu menyebutkan bahwa kita adalah a good boy dalam membayar utang. Kita harus bisa meyakinkan para kreditur bahwa kita sudah dalam kondisi debt trap alias terancam bangkrut akibat tumpukan utang. Lagi pula dengan tingkat pendapatan per kapita hanya 450 dolar sekarang ini, kita sebenarnya sudah tergolong negara miskin. Justru itu, sejatinya, kita layak memperoleh fasilitas pengurangan utang ini.

Kalangan negara donor sendiri memiliki program penyelamatan negara-negara miskin yang terjebak utang ini. Program itu adalah High Indebted Poor Countries (HIPC) yang memiliki fasilitas hair cut sampai 60 persen. Sejumlah negara sudah menikmati fasilitas tersebut, termasuk 8 negara yang terjebak utang. Jadi, sebenarnya, peluang bagi kita untuk memperoleh fasilitas pengurangan utang ini terbuka lebar. Terlebih, untuk memanfaatkan peluang tersebut, kita memiliki posisi tawar (bargaining position) yang bisa lumayan diandalkan -- tergantung kemampuan kita meyakinkan kalangan kreditur.

Posisi tawar kita itu antara lain merujuk pada kenyataan bahwa tak seluruh utang merupakan beban yang harus dipikul rakyat. Betapa atidak, karena sebagian pinjaman luar negeri yang kita terima memang nyata-nyata dikorup oleh kalangan pejabat -- notabene dengan sepengetahuan kreditur. Ihwal pinjaman luar negeri yang dikorup ini, Bank Dunia sendiri pernah menyebut angka yang terbilang signifikan: sekitar 30 persen.

Di sisi lain, sudah menjadi rahasia umum bahwa pemanfaatan pinjaman luar negeri itu sendiri terkait dengan prasyarat yang menorehkan keuntungan bagi negara kreditur bersangkutan. Dalam konteks ini, kita sebagai penerima pinjaman diwajibkan menggunakan produk-produk yang mereka hasilkan dalam proyek-proyek yang mereka danai.

Dengan kata lain, sebenarnya, pihak kreditur bukan sekadar menikmati bunga pinjaman. Sejak pinjaman terkucur, mereka bahkan sudah menikmati keuntungan lain yang bernilai tidak kecil terkait dengan keharusan kita sebagai debitur menggunakan produk-produk yang mereka mereka tadi.

Jadi, kenyataan tersebut bisa kita angkat sebagai bahan bargaining kita dalam upaya memperoleh pengurangan utang. Katakan saja itu dalam rangka berbagi beban risiko (burden sharing).


Dalam mengupayakan pengurangan utang ini, mungkin kita tak perlu telak-telak meminta hair cut. Bagi negara-negara kreditur tertentu, barangkali permintaan tersebut memang sulit dipenuhi karena berimplikasi terhadap kehidupan politik di dalan negeri mereka sendiri. Pemerintah Jepang, misalnya, disebut-sebut menepiskan kemungkinan memberikan hair cut pada kita.

Itu karena mereka harus berhadapan dengan rakyat mereka yang pasti meminta pertanggungjawaban khusus tentang itu. Maklum, konon, karena rakyat Jepang kini berpendirian bahwa bagaimanapun pinjaman yang diberikan pemerintah mereka harus bisa kembali. Rakyat Jepang mungkin tak rela sebagian piutang pemerintah mereka pada negara lain -- tak terkecuali Indonesia -- jadi "menguap" begitu saja akibat kebijakan hair cut.

Karena itu kita perlu melirik alternatif pengurangan utang ini. Alternatif tersebut adalah swap utang dengan program-program pelestarian lingkungan (debt to nature swap), pendidikan (debt to education swap), serta pengentasan kemiskinan (debt to poverty swap).

Untuk itu, jelas kita dituntut mampu meyakinkan kalangan kreditur betapa masalah kelestarian lingkungan, pendidikan, dan kemiskinan di negeri kita sudah sangat krusial dan menuntut kepedulian bersama. Sekian juta hektar hutan kita, misalnya, kini rusak parah hingga mengundang keprihatinan dunia internasional. Maklum, memang, karena hutan kita merupakan paru-paru dunia.

Begitu juga soal kemiskinan. Akibat krisis ekonomi yang menerpa sejak medio 1997, sekian banyak penduduk kita terjerembab ke kubang kemiskinan. Sementara pemulihan ekonomi, notabene menerapkan resep-resep Dana Moneter Internasional (IMF), tak kunjung segera mengangkat nasib mereka.

Jadi, kita bisa mengajukan masalah-masalah itu kepada para kreditur sebagai pijakan dalam memperoleh pengurangan utang melalui skema debt to nature swap, debt to education swap, dan debt to poverty swap. Hanya, sekali lagi, adakah kita memiliki kemauan, keberanian, dan kemampuan?

Jawaban mengenai soal itu berpulang pada kejujuran kita dalam menghadapi pertanyaan-pertanyaan menggelitik berikut ini: haruskah kita tetap mempertahankan gengsi alias tak mau mengakui kenyataan bahwa kita sudah menjadi negara miskin? Patutkah kita terus terbuai oleh pujian kalangan kreditur bahwa kita adalah a good boy dalam membayar utang, sementara kemampuan untuk itu sudah sangat tipis? Tidakkah kalangan kreditur juga mestinya turut bertanggung jawab terhadap tumpukan utang kita sekarang ini?***

Jakarta, 10 April 2002