Heboh soal harga
gas untuk industri belakangan ini mempertegas kenyataan bahwa pengelolaan
sumber daya alam masih amburadul dan penuh ironi. Amburadul, karena tindak
pengelolaan itu miskin visi dan tidak berorientasi jauh ke depan. Juga penuh
ironi karena dalam pengelolaan sumber daya alam ini seperti mengabaikan
kepentingan nasional.
Karena itu,
sumber daya gas sungguh tidak menjadi berkah bagi kehidupan rakyat. Karena
telanjur diobral kepada pembeli di mancanegara, komoditas gas menjadi barang
yang sulit bisa dinikmati rakyat banyak secara mudah dan murah. Kepemilikan
kita atas sumber daya alam gas tidak menjadi faktor yang membawa kemakmuran
bagi rakyat.
Kenyataan bahwa
kita terikat kontrak penjualan gas dengan pembeli di mancanegara, sehingga
kebutuhan di dalam negeri sendiri tak tercukupi, itu memang sungguh menyesakkan
dan patut disesali. Ibarat pepatah, dalam soal komoditas gas ini, kita dewasa
ini adalah ayam yang kelaparan di lumbung padi.
Lebih menyesakkan
lagi, karena harga jual gas kita kepada pembeli di mancanegara itu -- sesuai
kontrak -- sungguh kelewat murah dibanding harga rata-rata di pasar global
sekarang ini. Sedemikian rendah harga jual itu, sampai-sampai komoditas gas ini
laiknya gombal yang diobral-obral saja.
Kontrak penjualan
gas kepada pembeli di mancanegara, yang dibuat pemerintahan kita di masa lalu,
memang harus dihormati. Tapi itu bukan berarti tak relevan dinegosiasi ulang
sekarang ini. Bukan cuma karena harga jual yang disepakati kelewat murah,
melainkan terutama karena kontrak itu melupakan riak-riak ekonomi-politik
global sebagai faktor yang berpengaruh -- bahkan menentukan perkembangan
harga-harga komoditas.
Jadi, negosiasi
ulang kontrak penjualan gas sungguh relevan dan urgen dilakukan pemerintah.
Negosiasi ulang memungkinkan ironi kita menyangkut komoditas gas bisa diakhiri.
Sebaliknya, tanpa negosiasi ulang, kita akan terus menjadi ayam yang kelaparan
di lumbung padi.
Negosiasi ulang
sendiri bukan soal yang mustahil. Langkah ke arah itu, juga keberhasilan
membuat kesepakatan baru soal harga gas yang lebih rasional dan bervisi jauh ke
depan, adalah soal kemauan baik dan kemampuan pemerintah. Kemauan mengoreksi
kekeliruan dan kemampuan berdimplomasi.
Sejalan dengan
itu, kelembagaan pihak yang mengurusi teknis penyediaan gas juga perlu
dibenahi. Dalam konteks ini, status PT Perusahaan Gas Negara (PGN) sebagai BUMN
yang menangani urusan itu memang rancu. Dengan mengemban dua fungsi sekaligus
-- trader dan transforter -- PGN mudah tergoda menguber untung dan gampang
melupakan fungsi pengamanan kebutuhan masyarakat.
Jadi, benar
pandangan yang menyebutkan bahwa kedua fungsi itu perlu dipisah. Dengan itu,
PGN hanya menjadi gas trader atau sekadar gas transforter.***
Jakarta, 25 Juni
2012