12 Maret 2014

Usai Bencana Alam

Rangkaian bencana alam yang melanda negeri kita pada awal tahun niscaya menganggu produksi pangan nasional. Bencana banjir dan tanah longsor di sejumlah daerah -- termasuk di sentra-sentra produksi pangan -- selain memorakporandakan permukiman penduduk, juga merusak tanaman pangan. Begitu juga dampak yang tertorehkan bencana letusan Gunung Kelud di Jatim dan Gunung Sinabung di Sumut.

Di daerah pantai utara (pantura) Jawa, bencana banjir melumat ratusan ribu hektar areal persawahan yang baru memulai  masa tanam. Begitu pula di sejumlah daerah lain: bencana banjir tak terkecuali meluluhlantakkan tanaman pangan. Ribuan hektare areal tanaman padi, misalnya, rusak atau bahkan puso alias tak bisa dipanen.

Di sisi lain, letusan Gunung Sinabung dan Gunung Kelud juga menghancurkan puluhan ribu hektare lahan tanaman hortikultura dan padi di Tanah Karo (Sumut) serta di Malang dan Kediri (Jatim).

Karena itu, sekali lagi, produksi pangan nasional pun niscaya terganggu. Ini serta-merta membuka kemungkinan pemerintah terpaksa membuka keran impor aneka komoditas pangan.

Di tengah kebutuhan konsumsi yang mustahil diabaikan, dan di sisi lain produksi di dalam negeri nyata-nyata menyusut dan tak memadai untuk memenuhi kebutuhan konsumsi nasional, impor komoditas pangan memang menjadi pilihan tak terelakkan.

Tetapi justru itu, kebutuhan mengenai impor komoditas pangan ini perlu benar-benar diantisipasi. Jika tidak, kebutuhan itu bisa-bisa menimbulkan gejolak yang tidak perlu dan merugikan khalayak luas.

Kecemasan tentang kebutuhan itu di masyarakat harus bisa diredam pemerintah sejak dini dengan memastikan bahwa pasokan pangan tetap terjamin aman alias tak bakal mengalami kelangkaan. Lalu segala bentuk aksi spekulan yang sengaja mengail di air keruh harus bisa dicegah dan ditindak tegas.

Untuk itu, pemerintah harus bertindak gesit menghitung potensi kehilangan produksi pangan akibat bencana alam ini. Penghitungan tersebut lantas dijadikan dasar penetapan besaran voulme impor untuk masing-masing komoditas.

Penghitungan itu harus transparan dan akurat. Jika tidak, seperti yang sudah-sudah, isu dan spekulasi bisa merebak di masyarakat sehingga pasar menjadi bergejolak tidak karuan. Isu dan spekulasi ini sangat mudah terpicu terutama menyangkut komoditas strategis sekaligus sensitif seperti beras, kacang kedelai, atau jagung.

Untuk menepis isu dan spekulasi itu pula, realisasi impor harus segera dilaksanakan tanpa mengabaikan segela prosedur dan aturan main. Berbagai tahapan kegiatan impor ini juga harus dilakukan secara transparan. Demi stabilitas ekonomi nasional secara keseluruhan, kegiatan tersebut jangan sampai diwarnai praktik perburuan rente seperti acap terkesankan dalam impor komoditas pangan selama ini.

Selain cepat merealisasikan impor, pemerintah juga harus memastikan kesiapan jalur-jalur distribusi. Ini tak kurang krusial, karena terjangan bencana alam -- terutama banjir -- juga merontokkan banyak instruktur jalan yang menjadi urat nadi distribusi barang dan jasa, termasuk komoditas pangan.
Jadi, impor pangan bisa kurang bermakna dalam meredam gejolak sosial-ekonomi usai rentetan bencana alam pada awal tahun kalau saja berbagai jalur distribusi tidak dibenahi sejak awal.

Keseriusan dan kerja keras pemerintah untuk itu sungguh akan diuji karena sekarang ini menjelang pemilu. Tetapi, mestinya, faktor pemilu tidak membuat para penentu kebijakan di pemerintahan menjadi kendur atau apalagi abai dalam mengemban tanggung jawab mengayomi kepentingan rakyat banyak -- kecuali kenegarawanan mereka memang payah.***

12 Maret 2014