29 Agustus 2005

Solusi Masalah Energi, Seriuskah?

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memaparkan sejumlah solusi mendasar untuk mengatasi masalah energi, khususnya terkait dengan bahan bakar minyak (BBM), yang sangat berpengaruh terhadap ekonomi nasional. Baiklah kita beberkan di sini solusi-solusi itu.

Pertama, produksi minyak di dalam negeri harus bisa ditingkatkan. Kenyataan selama ini, produksi minyak nasional justru cenderung turun. Padahal, seiring laju pertumbuhan penduduk, konsumsi minyak di dalam negeri, naik terus.

Kedua, jumlah kilang pengolah minyak mentah menjadi BBM harus ditingkatkan. Dengan demikian, impor BBM bisa diturunkan. Paling tidak, itu bermakna menghemat devisa.

Ketiga, kuota konsumsi dan patokan harga minyak harus dihitung lebih akurat. Belakangan ini, kuota konsumsi maupun patokan harga minyak tidak lagi mencerminkan kenyataan di lapangan. Ini, di samping menyulitkan anggaran, juga mengacaukan ekonomi nasional.

Keempat, diversifikasi energi harus digalakkan. Dengan itu, tingkat pemakaian BBM bisa turun atau minimal ditekan.
Kelima, menggalakkan gerakan hemat energi -- karena selama ini konsumsi kita cenderung boros.

Keenam, penindakan hukum (law enforcement) harus ditegakkan terhadap tindak penyendupan BBM ke luar negeri. Terakhir, ketujuh, harga BBM di dalam negeri harus dihitung ulang agar subsidi yang harus dialokasikan tak terlampau membebani APBN.

Kita setuju seratus persen terhadap poin-poin yang harus dilakukan dalam rangka mengatasi masalah BBM ini. Kita setuju, karena memang itulah faktor-faktor yang telah membuat masalah BBM di dalam negeri sekarang ini menjadi begitu krusial.

Masalah BBM bukan lagi hanya berupa kelangkaan pasokan di lapangan, melainkan sudah mampu memberi imbas signifikan terhadap kurs mata uang kita -- dan karena itu berdampak mengguncang stabilitas moneter maupun ekonomi nasional secara keseluruhan.

Sebenarnya, poin-poin yang dibeberkan Presiden itu bukan perkara baru. Artinya, tanpa dipaparkan Presiden pun kita memang sudah tahu masalah yang menghinggapi perminyakan di dalam negeri ini. Bahkan langkah operasional yang perlu dilakukan guna mengatasi masalah itu sudah pula kita ketahui. Toh kalangan pengamat dan pakar sudah sering berbicara tentang itu -- entah di forum diskusi, seminar, talk show di televisi, kolom di surat-surat kabar, ataupun sekadar pemberitaan di media massa.

Soal produksi minyak yang cenderung menurun, misalnya, konon itu antara lain karena UU Migas tak cukup memberi insentif terhadap kegiatan di hulu. Ditambah iklim investasi secara keseluruhan yang dikeluhkan belum benar-benar kondusif, kalangan investor pun cenderung enggan terjun melakukan kegiatan eksplorasi. Padahal kegiatan tersebut membutuhkan biaya sangat mahal dan sarat risiko. Karena itu, revisi UU Migas pun disebut-sebut layak dipertimbangkan.

Begitu juga mengenai soal konsumsi minyak yang terus meningkat signifikan, kalangan pengamat dan pakar sudah sejak lama mengingatkan pemerintah agar mengembangkan mekanisme insentif dan disinsentif. Soal itu, secara makro, antara lain merujuk pada pembenahan sistem transportasi nasional.

Tetapi pilihan-pilihan langkah yang bertautan dengan penanganan masalah energi nasional ini sering tidak jalan. Jangankan itu sekadar berupa masukan atau saran masyarakat, bahkan langkah pilihan yang sudah dirumuskan pemerintah sebagai program nasional pun acapkali mandul. Ya, karena di lapangan program itu tidak dilaksanakan sungguh-sungguh.
Program diversifikasi energi, misalnya, akhirnya hanya elok sebagai konsep. Kita masih ingat, pemasyarakatan penggunaan briket batubara sama sekali tak berbekas karena pemerintah sendiri tak konsisten: antara lain pasokan briket tak pernah terjamin lancar.

Karena itu, solusi untuk mengatasi masalah energi ini sebenarnya sederhana: keseriusan pemerintah. Selama pemerintah tidak bersungguh-sungguh, konsep atau strategi apa pun niscaya percuma saja. Justru itu, solusi yang dipaparkan Presiden pun bisa-bisa berlalu begitu saja bersama angin.***
Jakarta, 29 Agustus 2005

26 Agustus 2005

Kenapa Ditunda-tunda?

Pemerintah dan Bank Indonesia kelihatan makin keteteran dalam mengendalikan kurs rupiah sekarang ini. Berbagai cara sudah dilakukan kedua institusi tersebut. Toh tekanan terhadap rupiah tak kunjung reda. Rupiah bahkan semakin serius tertekan.

Kemarin, nilai tukar rupiah kembali melorot 65 poin dibanding Rabu lalu menjadi Rp 10.350 per dolar AS. Itu semakin mengukuhkan kenyataan bahwa dalam sepekan ini praktis tiada hari tanpa rupiah terdepresiasi. Itu juga sekaligus menjadi posisi terburuk dalam tiga tahun terakhir.

Krisis ekonomi seperti 1997-1998 pun kini membayang. Pesimistis, memang. Tapi tampaknya itu memang realita yang kita hadapi saat ini. Apa boleh buat, karena faktor penyebab depresiasi rupiah sekarang ini bukan lagi sekadar bersifat teknis ekonomi. Penyebab itu lebih merujuk pada masalah kepercayaan terhadap pemerintah yang telanjur meluntur.

Itu pula yang membuat berbagai langkah yang dilakukan pemerintah maupun Bank Indonesia menjadi nyaris sia-sia. Intervensi yang belakangan ini hampir tiap dilakukan Bank Indonesia ke pasar uang, misalnya, praktis gagal total. Jutaan dolar yang diguyurkan Bank Indonesia ke pasar sama sekali tak mampu membendung depresiasi rupiah ini.

Padahal di samping intervensi ke pasar uang, Bank Indonesia selaku otoritas moneter juga sudah lebih dulu meluncurkan sejumlah jurus. Tapi jurus-jurus itu terbukti mandul.

Demikian pula langkah-langkah pemerintah. Mungkin upaya pemerintah juga mandul karena beberapa menteri cenderung menganggap sepi masalah. Mereka tidak menganggap luar biasa gejolak rupiah sekarang ini.

Karena itu, seperti dikeluhkan Ketua DPR Agung Laksono, pemerintah pun terkesan tidak serius dalam melakukan upaya-upaya meredam gejolak rupiah ini. Bisa dipahami jika pada gilirannya itu membuat kepercayaan terhadap ekonomi nasional semakin menipis.

Karena itu pula tak mengherankan jika langkah Presiden Yudhoyono melakukan pertemuan koordinasi dengan pimpinan Bank Indonesia pun, Rabu malam lalu, sama sekali tak digubris pasar. Pertemuan tersebut sungguh tak berdampak positif terhadap nilai tukar rupiah. Pasar terkesan memandang pertemuan tersebut -- juga kedatangan beberapa menteri ke bursa saham Jakarta, kemarin siang -- sekadar seremoni biasa.

Ketika kepercayaan masyarakat terhadap ekonomi nasional -- juga terhadap pemerintah -- sudah pudar, apa pun yang dilakukan pemerintah tak punya makna apa-apa. Semua mandul dan sia-sia.

Justru itu, langkah yang harus diayunkan pemerintah sekarang ini tidak lain adalah memulihkan kepercayaan masyarakat -- khususnya pemilik modal. Mereka harus dibuat merasa yakin bahwa ekonomi nasional tidak bermasalah -- dan karena itu tak beralasan merasa tidak nyaman menggenggam uang dalam denominasi rupiah.

Membuat masyarakat yakin bahwa ekonomi nasional tidak bermasalah tak cukup dilakukan sekadar lewat pernyataan. Itu harus ditunjukkan melalui tindakan nyata dan berani. Tindakan itu sendiri jelas harus merupakan jawaban atas penyebab yang telah membuat luntur kepercayaan masyarakat sekarang ini.

Pemerintah sendiri sudah menyadari bahwa penyebab lunturnya kepercayaan masyarakat ini adalah defisit anggaran yang semakin membengkak. Itu terkait dengan lonjakan subsidi bahan bakar minyak (BBM) sebagai konsekuensi melambungnya harga minyak mentah di pasar dunia yang saat ini sudah di atas 65 dolar AS per barel -- jauh melampaui patokan APBN sebesar 45 dolar AS.

Walhasil, tindakan nyata yang harus dilakukan pemerintah pun jelas: membuat subsidi BBM menciut. Itu berarti, harga BBM harus dinaikkan lagi. Tindakan ini harus segera dilakukan. Kenaikan harga BBM tak bisa lagi ditunda-tunda hingga awal tahun depan seperti rencana pemerintah.

Tindakan itu memang tidak populer. Tapi kapan pun dilakukan, kenaikan harga BBM tetap tidak populer. Karena itu, kenapa langkah ke arah itu mesti ditunda-tunda? Terlebih lagi pimpinan DPR toh sudah memberi lampu hijau.***
Jakarta, 26 Agustus 2005

10 Agustus 2005

Mimpi Buruk

Setelah April lalu, bank sentral AS (Federal Reserve) Rabu WIB ini hampir pasti menaikkan lagi tingkat suku bunga sebesar 0,25 basis poin menjadi 3,50 persen. Ini disebut-sebut sebagai langkah penyesuaian terhadap harga minyak mentah di pasar dunia yang terus meroket. Senin lalu saja, harga minyak ini sudah menembus level 63 dolar AS per barel.

Tapi apa pun yang menjadi latar belakang, langkah bank sentral AS ini -- seperti biasa -- sedikit banyak jelas berdampak terhadap ekonomi global. Tak terkecuali ekonomi nasional. Bahkan, bagi kita, kenaikan suku bunga bank sentral AS ini bisa menjadi mimpi buruk.

Betapa tidak, karena fundamental ekonomi kita sekarang tak bisa dibilang kokoh-kuat. Ekonomi kita sedang kelimpungan. Tengok saja kurs rupiah yang begitu sulit bisa beranjak ke level lebih baik. Atau tingkat inflasi yang cenderung menjulang.

Karena itu, kenaikan suku bunga bank sentral AS akan sangat terasa menohok kita. Ibarat pukulan mematikan, kenaikan itu boleh jadi membuat kita semakin sempoyongan dan berkunang-kunang: kurs rupiah semakin lunglai.

Implikasinya, jelas serius dan meluber ke mana-mana. Dunia usaha, misalnya, harus siap-siap menanggung risiko rugi kurs lebih besar lagi. Bahkan bagi mereka yang punya utang dalam denominasi dolar, kurs rupiah yang semakin lemah ini tentu semakin membuat puyeng.

Bagi pemerintah sendiri, dampak kenaikan suku bunga bank sentral AS ini tak kurang membuat pusing tujuh keliling. Yang sudah pasti saja, anggaran niscaya telak terpukul -- terutama karena beban utang jadi meleset jauh dibanding alokasi pembayaran.

Belum lagi impor juga semakin membengkak. Padahal dalam sejumlah kasus, impor amat sulit dihindari atau ditunda. Impor minyak mentah, misalnya, tak mungkin mendadak dihentikan. Bahkan, seperti sudah terbukti bulan lalu, sedikit telat saja impor minyak ini terbukti membuat heboh dan melahirkan gunjang-ganjing kehidupan masyarakat di dalam negeri.

Karena itu, seiring apresiasi dolar AS terhadap rupiah, impor minyak praktis menjadi beban yang kian menghimpit. Terlebih karena harga minyak sendiri kian membumbung.

Dalam kondisi seperti itu, ekspor kita justru tak banyak membantu. Kinerja ekspor nasional belum juga membaik, sehingga depresiasi rupiah pun nyaris tak membawa berkah.

Tapi kita tak selayaknya hanya meratap ataupun mengutuk-ngutuk. Mimpi buruk yang ditorehkan kenaikan bunga bank sentral AS harus kita sirnakan. Ekonomi nasional harus segera diberdayakan.

Tentu, itu hanya mungkin terwujud melalui langkah-langkah penyesuaian. Bahkan, barangkali, yang dibutuhkan bukan cuma penyesuaian, melainkan sebuah terobosan yang terbilang fundamental -- dan karena itu menuntut keberanian pengambil kebijakan. Suku bunga sertifikat Bank Indonesia (SBI), misalnya, amat beralasan segera dinaikkan. Dengan itu, paling tidak kenaikan suku bunga bank sentral AS tidak membuat iklim investasi nasional -- portofolio ataupun investasi langsung -- jadi kehilangan daya tarik.

Contoh lain, subsidi harga bahan bakar minyak (BBM) juga beralasan semakin diciutkan. Ini bukan sekadar supaya APBN lebih sehat, melainkan terutama karena subsidi BBM -- di tengah harga minyak yang telanjur melangit -- semakin tidak masuk akal dan kehilangan relevansi. Terlebih jika mengingat bahwa subsidi BBM ini lebih banyak dinikmati kelompok sosial yang justru berkemampuan secara ekonomi.

Subsidi BBM hanya relevan dipertahankan jika benar-benar bisa jatuh ke kelompok sasaran, yakni masyarakat miskin. Tapi, soalnya, kita sulit menemukan mekanisme yang bisa menjamin subsidi efektif mencapai sasaran. Karena itu, gagasan tentang penyaluran subsidi langsung harus kian dimatangkan dan segera diimplementasikan. Jika tidak, subsidi BBM akan terus menjadi sumber yang membuat APBN tidak sehat.***
Jakarta, 10 Agustus 2005

08 Agustus 2005

Kenaikan Ditepiskan, Kenapa?

Panitia Anggaran DPR mengisyaratkan kemungkinan membendung rencana pemerintah menaikkan lagi harga bahan bakar minyak (BBM) dalam waktu dekat ini. Isyarat tersebut dilontarkan pimpinan Panitia Anggaran dengan menyatakan bahwa pihaknya akan menyetujui berapa pun tambahan subsidi BBM yang dibutuhkan dalam APBN 2005.

Walhasil, jelas bahwa Panitia Anggaran DPR tak merestui harga BBM dinaikkan lagi. Dengan memberi komitmen menyetujui tambahan anggaran yang dibutuhkan, DPR praktis membuat pemerintah tak lagi memiliki alasan untuk menaikkan harga BBM.

Bagi pemerintah, memang, alternatif paling mungkin ditempuh -- sebagai jawaban atas melambungnya harga minyak mentah di pasar internasional sekarang ini -- hanya dua: harga BBM dinaikkan atau subsidi BBM ditambah. Maklum karena kenaikan harga minyak dunia ini sudah terbilang abnormal.

Untuk saat sekarang saja, harga minyak sudah menyentuh level 62 dolar AS per barel. Itu jauh di atas asumsi APBNP 2005 sebesar 45 dolar per barel. Padahal kalangan analis memperkirakan bahwa harga minyak dunia masih mungkin terus membumbung hingga menembus level 70 dolar AS per barel pada akhir tahun ini.

Pemerintah sendiri, menghadapi kenyataan itu, tampaknya condong memilih alternatif pertama: menaikkan harga BBM. Itu berarti, alokasi subsidi BBM dalam APBN tidak berubah: tetap
Rp 76,5 triliun.

Jika benar itu yang menjadi pilihan, jelas pemerintah berani menanggung risiko tidak populer. Itu karena kenaikan harga BBM belum terlalu lama dilakukan. Baru enam bulan lalu kebijakan tentang itu digariskan. Karena itu, jika dalam waktu dekat ini harga BBM kembali dinaikkan, tindakan tersebut niscaya membuat pemerintah bisa dianggap sebagai "kelewatan".

Keputusan menaikkan harga BBM memang selalu mengundang reaksi negatif berbagai kalangan. Maklum, memang, karena kenaikan harga BBM serta-merta berdampak menurunkan daya beli masyarakat. Karena itu, kalau hanya selang enam bulan harga BBM ini kembali dinaikkan, dampak itu bisa sangat terasa menohok masyarakat. Maklum, karena dampak kenaikan harga BBM pada Maret lalu pun belum lagi pulih. Karena itu, reaksi masyarakat pun bisa dahsyat.

Boleh jadi, itu pula yang menjadi pertimbangan Panitia Anggaran DPR menutup peluang bagi pemerintah menaikkan lagi harga BBM ini. Mereka tak menghendaki rakyat yang sudah hidup susah harus lebih susah lagi gara-gara harga BBM kembali dinaikkan.

Karena itu, sikap Panitia Anggaran memberi komitmen menyetujui berapa pun tambahan subsidi BBM yang dibutuhkan sangat simpatik. Sikap seperti itu sungguh menunjukkan kepedulian besar terhadap nasib rakyat.

Tapi soalnya, tambahan subsidi yang dibutuhkan agar harga BBM bisa dipertahankan tidak naik bukan main besar. Menurut hitung-hitungan pemerintah, kebutuhan tersebut berjumlah sekitar Rp 36,5 triliun. Itu berdasar asumsi bahwa harga minyak dunia rata-rata 60 dolar AS per barel.

Dengan tambahan Rp 36,5 triliun, berarti subsidi BBM membengkak menjadi Rp 110 triliun hingga Rp 112 triliun. Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa kebijakan populis lagi-lagi terbukti amat mahal. Bayangkan, dengan total subsidi sebesar Rp 110 triliun hingga Rp 112 triliun, berarti hampir sepertiga anggaran habis tersedot untuk subsidi BBM.

Padahal berbagai studi gamblang menunjukkan bahwa subsidi BBM ini masih saja banyak turut dinikmati kelompok masyarakat menengah ke atas. Karena itu, sikap dan tekad Panitia Anggaran DPR menutup kemungkinan bagi pemerintah menaikkan harga BBM ini sungguh terasa janggal. Sikap tersebut seolah mengabaikan ketidakadilan dan kesia-siaan di balik subsidi BBM.

Mestinya alternatif menaikkan harga BBM tidak begitu saja ditepiskan. Yang penting, alternatif tersebut terjamin membuat APBN sehat tanpa membuat rakyat kecil semakin menderita.***
Jakarta, 8 Agustus 2005

02 Agustus 2005

Kasus 15 Rekening Polisi

Ketika Kepala Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) melaporkan ihwal rekening mencurigakan milik 15 anggota kepolisian kepada Kapolri, pekan lalu, kita tak terhenyak. Kita tak merasa kaget ataupun heran. Ya, karena selama ini kita memang acap menyaksikan keganjilan menyangkut gaya hidup kalangan anggota kepolisian ini.

Kita melihat, banyak anggota polisi punya gaya hidup di atas standar gaji yang mampu mereka peroleh. Seseorang yang hanya berpangkat ajun komisaris besar polisi (AKBP) -- setingkat letnan kolonel --, misalnya, mampu memiliki rumah berharga ratusan juta, atau bahkan miliaran rupiah. Itu masih ditambah pula dengan segala perlengkapan yang serba luks -- termasuk mobil mewah keluaran terbaru di garasi mereka.

Kita melihat gaya hidup seperti itu sebagai sesuatu yang ganjil: karena tak sebanding dengan gaji yang mereka peroleh. Kita yakin, jika melulu bertumpu pada gaji, seorang polisi berpangkat AKBP -- atau bahkan di atasnya -- tak mungkin bisa menikmati gaya hidup kelas atas. Apalagi jika gaya hidup mewah ini ditunjukkan oleh polisi berpangkat lebih rendah lagi.

Memang, bisa saja anggota polisi mampu bergaya hidup mewah. Tapi itu pasti bukan karena gaji mereka. Gaya hidup kelas atas itu kemungkinan karena mereka memiliki bisnis lumayan besar dan maju, atau boleh jadi berkat warisan. Di luar itu, gaya hidup mewah mereka sungguh terasa ganjil. Juga jika gaya hidup itu adalah hasil bantuan atau sumbangan seseorang atau kelompok sosial tertentu -- karena kita yakin bahwa itu tidak bersifat gratis alias bukan tanpa pamrih.

Karena itu, ketika Kepala PPATK melaporkan ihwal rekening mencurigakan milik 15 anggota polisi kepada Kapolri, kita seolah beroleh pembenaran tentang sikap kita yang menilai ganjil gaya hidup mewah kalangan anggota polisi ini.

Tapi pada saat bersamaan kita juga merasa heran: kenapa rekening mencurigakan yang dilaporkan Kepala PPATK kepada Kapolri ini hanya menyangkut 15 anggota polisi? Seperti keyakinan organ di bawah Blora Center yang dekat dengan Presiden Yudhoyono, Lumbung Informasi Rakyat (Lira), mestinya laporan Kepala PPATK ini jauh lebih banyak lagi. Tapi boleh jadi, hanya rekening 15 anggota polisi itu yang mengundang kecurigaan karena yang lain-lain "pintar" menyembunyikan keganjilan yang bisa terbaca PPATK.

PPATK sendiri jelas tidak sembarangan menaruh kecurigaan. Selaku lembaga yang bertugas mengawasi transaksi keuangan yang mencurigakan, PPATK memiliki mekanisme dan parameter tertentu. Karena itu, kecurigaan PPATK niscaya memiliki pijakan kuat: rekening mencatat transaksi keuangan tidak wajar -- terutama karena nominal uang maupun konteks transaksi tidak menunjukkan kondisi yang normal dan lazim. Soal itu tak terbantahkan karena -- sesuai Undang-undang Antipencucian Uang -- merupakan rekap pihak bank yang wajib melaporkannya kepada PPATK.

Kini, tak kurang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri yang meminta agar ihwal rekening mencurigakan milik 15 anggota polisi ini ditangani serius hingga tuntas. Ini jelas menunjukkan tekad pemerintah memberantas korupsi. Keseriusan kita menangani kasus 15 rekening mencurigakan ini niscaya menjadi poin tersendiri bagi kita dalam konteks pembangunan rezim antipencucian uang.

Jika dunia internasional, khususnya Financial Action Task Force (FATF), menilai kita tidak serius, bisa-bisa kita dimasukkan lagi sebagai negara yang tidak kooperatif dalam konteks pemberantasan tindak pencucian uang. Padahal, seperti pernah kita rasakan sendiri, status tak kooperatif sungguh tak nyaman sekaligus menyulitkan kepentingan kita di dunia internasional.

Jadi, sekali lagi, kasus 15 rekening mencurigakan ini mutlak harus ditangani serius. Antara lain kasus tersebut harus ditangani lembaga yang tidak memiliki bias dan tidak punya konflik kepentingan dengan institusi Polri maupun individu-individu pemilik rekening bersangkutan. Dengan kata lain, lembaga tersebut harus terjamin independen -- dan karena itu harus berada di luar institusi Polri.***
Jakarta, 2 Agustus 2005

01 Agustus 2005

Paket Kebijakan Mengecewakan

Pengumuman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kemarin, mengenai paket kebijakan ekonomi -- terutama dalam rangka mengatasi gejolak kurs rupiah dan penurunan kepercayaan publik terhadap pemerintah -- sama sekali jauh dari harapan.
Apa yang diutarakan Presiden nyaris tidak menjadi jawaban yang justru amat dinanti-nantikan masyarakat, khususnya pelaku ekonomi. Paket kebijakan ekonomi yang diumumkan Presiden itu jauh di bawah ekspektasi yang telanjur kita bangun.

Karena itu, kita menilai bahwa kemarin Presiden Yudhoyono tidak mengumumkan apa-apa kecuali sekadar membeberkan wacana mengenai keinginan baik pemerintah dalam mengatasi masalah serius sekarang ini di bidang ekonomi. Padahal yang kita harapkan adalah keputusan mengenai tindakan aksi yang nyata dan bersifat segera.

Soal kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), misalnya, Presiden Yudhoyono sama sekali tidak menyebutkan kapan itu dilakukan -- juga mengenai besaran kenaikan itu. Padahal publik sangat berharap bahwa rencana kenaikan harga BBM -- notabene sudah cukup sering dilontarkan pemerintah sendiri sebagai tindakan yang sulit dihindari lagi sekarang ini -- beroleh kejelasan dan kepastian.

Begitu pula mengenai perombakan kabinet: keterangan Presiden Yudhoyono sungguh menafikan realitas yang berkembang di masyarakat. Dengan menyatakan bahwa perombakan kabinet bukan merupakan prioritas, Presiden praktis mengabaikan keinginan dan harapan publik.

Presiden tidak hirau bahwa pelaku usaha, terutama, sekarang ini menginginkan muka baru di kabinet -- terutama di tim ekonomi. Apa boleh buat, karena beberapa figur pembantu Presiden telanjur gagal memelihara kepercayaan dunia usaha menyangkut ekonomi nasional.

Harapan publik terhadap paket kebijakan pemerintah memang telanjur melambung. Sepanjang hari kemarin, kesadaran kita dipenuhi ekspektasi-ekspektasi mengenai perbaikan segera ekonomi nasional sekarang ini, menyusul keterangan juru bicara kepresidenan Andi Malarangeng, Selasa malam, bahwa pada Rabu siang pemerintah mengumumkan paket kebijakan ekonomi. Paket kebijakan itu sendiri digodok ndalam forum rapat paripurna kabinet yang berlangsung sejak Selasa sore lalu.

Sejak awal kita percaya bahwa paket kebijakan itu akan benar-benar menjadi obat mujarab yang segera memulihkan kepercayaan publik terhadap pemerintah. Karena itu, ketika pengumunan ternyata molor sampai Rabu sore, kita bisa
maklum dan makin berbesar harapan. Kita meyakini, rapat kabinet berlarut pertanda pemerintah memang segera menempuh langkah berani.

Tapi harapan dan keyakinan ke arah itu kini menguap begitu saja. Paket kebijakan yang diumumkan Presiden tidak memberikan solusi nyata dan bisa segera dilakukan. Kita -- publik yang sejak dua pekan terakhir sangat berharap pemerintah menelurkan solusi mendasar yang membuat ekonomi nasional tenang dan nyaman kembali -- jelas sungguh kecewa. Pemerintah sekali lagi memperlihatkan sikap tidak lugas dalam menghadapi masalah-masalah mendesak atau darurat. Pemerintah lagi-lagi terkesan sengaja mengulur-ulur waktu dan membiarkan publik makin diliput ketidakpastian.

Justru itu, kita juga merasa prihatin. Kita prihatin karena sikap pemerintah yang seperti mengambangkan masalah ini jelas punya implikasi serius: kepercayaan masyarakat semakin terkikis. Itu, pada gilirannya, bisa membuat nilai tukar rupiah semakin dalam terdepresiasi dengan segala dampaknya yang menyesakkan tapi sungguh sulit dihindari.

Karena itu, barangkali benar bahwa kini kita hanya bisa berdoa: semoga keajaiban melanda ekonomi kita -- tidak makin terpuruk atau bahkan membaik, sampai saatnya nanti pemerintah berani menempuh kebijakan mendasar dan berani.***
Jakarta, 1 Agustus 2005