31 Januari 2003

Kebocoran Pinjaman

Ihwal kebocoran dana pinjaman luar negeri -- konon rata-rata mencapai 20 persen per tahun -- sebenarnya menegaskan kenyataan bahwa korupsi di negeri kita masih meraja-lela. Dengan itu, kita harus mengakui bahwa era reformasi -- yang lahir dengan semangat menggebu anti-KKN -- tak serta-merta menghapuskan praktik tilap-menilap uang negara ini.

Tapi, seperti bau busuk, kebocoran dana pinjaman luar negeri ini -- juga tindak korupsi yang lain -- sukar dibuktikan. Praktik itu hanya bisa dirasakan. Ketika sebuah jembatan yang baru saja diresmikan tiba-tiba saja ambruk, misalnya, feeling kita sudah bisa langsung menangkap ketidakberesan: proyek tersebut pasti mengalami penyimpangan teknis akibat praktik korupsi. Bahwa proyek tersebut ambruk karena kesalahan teknis, itu agak sulit diterima nalar.

Karena itu pula kita bisa memahami ketika Menneg Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Kwik Kian Gie -- pihak yang kali pertama melontarkan ihwal kebocoran dana pinjaman luar negeri ini -- mengaku sulit membuat laporan resmi tentang kebocoran tersebut. "Kebocoran (dana pinjaman luar negeri) tidak perlu dilaporkan karena memang tidak ada yang bisa dilaporkan," katanya, menanggapi permintaan Bank Dunia agar ihwal kebocoran dana pinjaman luar sebesar 20 persen ini resmi dilaporkan.

Kita yakin bahwa Bank Dunia maupun jajaran kreditur lain sebenarnya sudah sejak lama mengendus ihwal kebocoran itu. Paling tidak, mereka bisa melihat bahwa kerapuhan ekonomi nasional yang menjadi biang krisis di negeri kita merupakan dampak praktik korupsi atas berbagai proyek yang selama ini mereka danai. Juga status kita sebagai salah satu negara terkorup di dunia, mestinya, tak membuat mereka seolah tak tahu-menahu ihwal kebocoran dana pinjaman luar negeri ini.

Tetapi, tampaknya, kalangan kreditur ini memang seolah menutup mata. Mereka pura-pura tidak tahu bahwa pinjaman yang mereka kucurkan mengalami kebocoran dalam jumlah yang relatif singnifikan. Ataukah, seperti tuduhan kalangan tertentu, mereka -- langsung maupun tidak -- justru turut terlibat dalam penggerogotan dana pinjaman luar negeri ini? Entahlah. Yang pasti, nalar kita menyatakan bahwa mereka memang mustahil sampai tak mengetahui soal itu.

Forum Consultative Group on Indonesia (CGI) sendiri, yang belum lama ini komit memberikan pinjaman baru senilai 2,7 miliar dolar, sebenarnya sudah menunjukkan kepedulian terhadap masalah penggunaan dana pinjaman yang mereka kucurkan. Itu mereka tunjukkan setelah pemerintahan Presiden Soeharto tak lagi berkuasa, yaitu dengan selalu menekankan masalah aid effectiveness dalam setiap forum sidang dengan pemerintah kita.

Namun itu akhirnya seperti sekadar formalitas atau bahkan basa-basi seorang cukong. Betapa tidak, karena mereka sendiri tak menebarkan mekanisme khusus yang bisa menjamin bahwa pinjaman mereka benar-benar efektif digunakan sesuai peruntukan. Paling tidak, kita tak pernah melihat tindakan nyata dan tegas dalam konteks penggunaan dana yang mereka kucurkan ini.

Boleh jadi, kalangan kreditur sendiri memang tak pernah serius mengenai masalah aid effectiveness ini. Bagi mereka, agaknya, soal yang lebih penting justru penyaluran pinjaman itu sendiri bisa lancar terlaksana dan terjamin bisa kembali. Maklum karena di balik penyaluran pinjaman itu, di samping soal hitungan bunga pinjaman, kreditur juga mengemban kepentingan dunia usaha di negara masing-masing. Kita tahu, setiap kali kita menerima pinjaman, kita diwajibkan membelanjakan dana itu terhadap produk maupun jasa di negara kreditur.

Karena itu, ihwal kebocoran dana pinjaman luar negeri ini bagi kalangan kreditur lebih merupakan isu murahan ketimbang masalah krusial yang harus dibongkar. Justru itu pula, kita harus maklum bahwa lembaga donor seperti Bank Dunia bukannya tergerak melakukan investigasi khusus ketika disinggung soal kebocoran dana pinjaman yang mereka kucurkan ini. Mereka malah seperti menantang: meminta bukti-bukti otentik dan membuat laporan resmi tentang itu. Jelas ini menggelikan karena mereka sendiri menyadari betul bahwa bukti-bukti resmi itu amat sukar bisa dikumpulkan, sehingga laporan mengenai kebocoran ini pun mereka yakini nyaris musykil bisa kita buat.

Lebih menggelikan lagi, kalangan kreditur ini tetap begitu "murah hati" pada kita. Kendati kita menyandang status sebagai salah satu negara terkorup di dunia, mereka tak pernah ragu memberikan pinjaman baru kepada kita. Kalaupun gelagat tentang itu mereka perlihatkan -- seperti berkali-kali pernah diperagakan Dana Moneter Internasional (IMF) --, itu terkesan sekadar basa-basi. Atau itu sekadar sebagai gebrakan dalam rangka menekan dan memaksakan kepentingan politis maupun ekonomis mereka atas negeri kita.***
Jakarta, 31 Januari 2003

24 Januari 2003

Kemalasan Pemerintah

Hasil sidang Consultative Group on Indonesia (CGI) di Nusa Dua, Bali, kian gamblang menunjukkan sikap malas pemerintah. Forum itu seharusnya menjadi momentum untuk meminta pengurangan utang kepada para kreditur -- entah berupa pemotongan pokok utang (hair cut) ataupun pengalihan utang menjadi program-program tertentu (debt swap).

Tapi apa yang terjadi, sidang CGI di Bali ini pun justru tetap menjadi wahana yang membuat utang kita kian menggunung. Di forum tersebut, sesuai permintaan pemerintah, para donor memberikan komitmen baru pinjaman senilai 2,7 miliar dolar AS atau sekitar Rp 28 triliun.

Dana sebanyak itu dibutuhkan pemerintah untuk menambal defisit anggaran. Padahal, seperti jauh-jauh hari sudah diingatkan kalangan pengamat, alternatif sumber-sumber pembiayaan masih bisa dicari pemerintah. Misalnya dana non-budgeter bisa dicairkan menjadi dana budgeter. Sumber ini saja, konon, sungguh signifikan dan jauh di atas nilai pinjaman yang dimintakan pemerintah kepada para donor dalam forum sidang CGI di Bali ini. Dana non-budgeter yang bisa dicairkan menjadi dana budgeter ini bernilai sekitar Rp 107 triliun.

Sumber lain yang masih menjanjikan adalah pajak dan cukai. Kita tahu, kedua sektor ini masih belum benar-benar optimal tergali -- di samping tak sedikit pula mengalami kebocoran akibat inefisiensi, mismanajemen, ataupun digerogoti korupsi. Justru itu, kalau saja pemerintah memiliki tekad dan keseriusan membenahi kedua sumber penerimaan ini, masalah defisit anggaran bisa dihindari. Dengan kata lain, kita niscaya tak perlu menambah tumpukan utang.

Tetapi, itu tadi, pemerintah terkesan malas mencari dan menggali alternatif yang bisa membebaskan kita dari jeratan utang. Pemerintah lebih memilih jalan pintas: meminta utang baru kepada para donor. Padahal, sekali lagi, utang kita sudah demikian menggunung. Utang luar negeri saja sudah bernilai Rp 1.300 triliun lebih -- termasuk utang swasta sekitar Rp 630 triliun. Sementara utang dalam negeri mencapai sekitar Rp 650 triliun berupa obligasi rekap dan surat utang lain.

Karena itu pula, sebenarnya, kita sangat beralasan meminta pengurangan utang kepada para donor. Terlebih, dengan tumpukan utang yang sudah demikian menggunung, posisi debt service ratio (DSR) kita sudah di atas 50 persen. Artinya, sebagian besar hasil ekspor kita habis untuk membayar utang. Padahal belakangan ini kinerja ekspor kita justru cenderung turun.

Forum sidang CGI di Bali, semula sangat diharapkan bisa dimanfaatkan pemerintah sebagai momentum untuk meminta pengurangan utang kepada para donor. Namun dalam soal ini pun pemerintah lagi-lagi terkesan malas. Menko Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, misalnya, berkilah bahwa upaya ke arah itu sungguh tidak mudah. Bagi negara-negara donor, katanya, hair cut adalah isu sensitif: mereka harus memberi pertanggungjawaban langsung kepada kalangan pembayar pajak.

Begitu juga untuk meminta debt swap dalam hitungan signifikan, menurut Dorodjatun, pemerintah terkendala oleh kenyataan di negara-negara donor. Dalam konteks ini, ujarnya, kalangan anggota parlemen ataupun pembayar pajak belum rela bila negara mereka memberikan debt swap kepada negara lain.

Kita tidak memungkiri kesulitan-kesulitan seperti itu. Bahwa meminta hair cut ataupun debt swap memang tak semudah menumpahkan air di cangkir. Untuk memperoleh fasilitas tersebut, kita dituntut bersikap gigih dan pantang menyerah. Pokoknya, kita harus bisa meyakinkan para donor bahwa kondisi beban utang kita sekarang sungguh gawat hingga kita layak memperoleh hair cut dan debt swap.

Sikap seperti itu yang tak terlihat ditunjukkan pemerintah dalam forum sidang CGI di Bali kemarin. Pemerintah sangat terkesan tak mau berpayah-payah melobi para donor. Dalam forum itu, pemerintah sama sekali tak terdengar menyinggung soal hair cut. Bahkan pembahasan agenda soal debt swap pun hanya terdengar sayup-sayup. Singkat kata, pemerintah tak memperlihatkan militansi untuk memperoleh pengurangan utang ini.

Tak bisa lain, itu memang merupakan cermin kemalasan pemerintah saja. Mungkin karena pemerintah sok gengsi dan lebih ingin mempertahankan citra kita di mata para donor: bahwa kita adalah a good boy dalam soal pembayaran utang. Padahal kita yakin bahwa predikat itu sendiri cuma akal-akalan para donor agar kita terus patuh dan rajin mencicil utang -- meski untuk itu kita harus gali lobang tutup lobang.

Tapi, sebenarnya, kalangan negara donor sendiri memiliki program penyelamatan negara-negara miskin yang terjebak utang seperti kita sekarang. Program tersebut adalah highly indebted poor countries (HIPC) yang memiliki fasilitas hair cut sampai 60 persen. Jadi, memang, kita sendiri yang telanjur malas untuk meminta pengurangan utang.***

Jakarta, 24 Januari 2003

17 Januari 2003

Tantangan Perum Bulog

Bulog segera berubah status. Jika selama ini menyandang status lembaga pemerintah nondepartemen, tak lama lagi Bulog menjelma menjadi Perusahaan Umum (Perum). Rapat terbatas Kabinet Gotong Royong sudah menyetujui perubahan status Bulog ini. Forum tersebut juga menggariskan bahwa sosok baru Bulog mulai berlaku setelah pemerintah mengeluarkan peraturan pemerintah (PP) tentang perubahan status itu. Konon, PP tersebut tuntas disusun dan diluncurkan pada Mei mendatang.

Dengan status baru itu, Perum Bulog kelak bisa berbisnis murni sebagai perusahaan milik negara. Artinya, mereka boleh berorientasi komersial alias mencari keuntungan.

Namun demikian, bidang bisnis Perum Bulog ini tetap terbatas pada sektor pangan pokok. Cuma, mereka juga tetap menjalankan tiga peran pokok yang ditugaskan pemerintah: stabilisasi harga beras di dalam negeri sesuai patokan harga dasar, menyalurkan beras untuk masyarakat miskin, dan menjaga stok beras nasional agar tetap aman bagi kebutuhan pangan dalam negeri.

Tugas itu tetap dibebankan kepada Bulog karena pemerintah memandang beras sebagai komoditas strategis yang harus dikelola khusus. Dengan kata lain, pemerintah tak yakin bahwa masalah beras akan tertangani jika tak dibebankan kepada Perum Bulog sebagai tugas khusus. Padahal beras bisa melahirkan instabilitas sosial-politik. Pengalaman sudah gamblang menunjukkan, kejatuhan pemerintahan Orla maupun Orba sedikit banyak dilatari oleh masalah bahan pokok beras ini yang tak lagi terkelola baik.

Orientasi komersial sendiri akan direngkuh Perum Bulog melalui bisnis tiga komoditas vital dan strategis yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Ketiga komiditas itu adalah kedelai, jagung, dan gula pasir.

Kita tidak tahu kenapa aktivitas komersial Perum Bulog ini dibatasi hanya di bidang pangan pokok, khususnya kedelai, jagung, dan gula pasir. Kenapa minyak goreng, misalnya, tidak turut menjadi komoditas bisnis yang memungkinkan Perum Bulog meraup untung? Toh minyak goreng juga termasuk komoditas strategis karena merupakan kebutuhan pokok masyarakat. Lagi pula, bukankah dulu -- sebelum era reformasi -- minyak goreng ini termasuk komoditas yang ditangani Bulog justru karena kesadaran bahwa itu merupakan pangan pokok?

Mungkinkah itu karena Perum Bulog tak ingin mengusik kemapanan bisnis raja-raja minyak goreng di dalam negeri? Wallaualam. Yang pasti, memang, Perum Bulog memiliki daya penetrasi pasar yang luar biasa berkat kelengkapan infrastruktur berupa gudang-gudang yang mereka miliki.

Menurut catatan, Perum Bulog memiliki 1.604 unit gudang dengan total kapasitas sekitar 3,5 juta ton setara beras. Keseluruhan gudang ini menghampar seluas 1,4 juta m2 dan tersebar di berbagai provinsi. Itu relatif tak sebanding dengan fasilitas gudang milik PT Bhanda Ghara Reksa -- BUMN di lingkungan Depperindag yang bergerak di bidang perdagangan --, misalnya, yang berjumlah 417 unit dengan kapasitas sekitar 1,2 juta ton.

Justru itu, siapa pun dan bergerak dalam bisnis komoditas apa pun -- jelas dibuat ketar-ketir oleh sosok Perum Bulog ini. Terlebih jika kerjasama dengan gerakan koperasi terus terjalin seperti selama ini dalam rangka pengadaan beras, penetrasi pasar Perum Bulog ini praktis sampai daerah-daerah pedesaan di pelosok sekalipun. Itu sungguh sulit bisa ditandingi pelaku usaha mana pun yang bergerak dalam usaha perdagangan atau jasa logistik. Paling tidak, mereka harus mengeluarkan investasi besar-besaran untuk membangun kelengkapan infrastruktur sebelum bisa tampil menjadi pesaing Perum Bulog ini.

Posisi strategis itu pula, sebenarnya, yang sempat menerbitkan harapan bahwa Perum Bulog ini bisa menjadi mesin penggerak ekspor aneka produk pertanian. Dengan itu, bukan saja nasib kalangan petani terangkat, kinerja ekspor nonmigas pun bisa jadi lebih baik.

Selama ini, memang, upaya ke arah itu sedikit sekali terlihat. Langkah-langkah yang sudah terayun dalam konteks ekspor aneka produk pertanian ini sangat terbatas karena terbingkai dalam wadah-wadah tertentu yang kerap tidak fokus sebagai ujungtombak bisnis. Kalangan produsen teh, misalnya, sudah lama mengeluhkan peran wadah pemasaran bersama yang boleh dikatakan gagal mendongkrak kinerja ekspor komoditas bersangkutan. Wadah itu bukan saja sangat birokratis, melainkan juga melupakan fungsi yang justru seharusnya menjadi fokus mereka. Wadah itu lebih berfokus pada kegiatan penjualan, sementara fungsi pemasaran terabaikan.

Namun Perum Bulog rupanya tak hirau oleh kenyataan seperti itu. Sejak pagi mereka justru sudah memosisikan diri bergerak di bidang impor ketimbang berinisiatif mendongkrak ekspor komoditas pertanian kita. Pilihan bisnis komersial yang jatuh pada komoditas jagung, kedelai, dan gula pasir bagaimanapun adalah bukti tentang itu.***

Jakarta, 17 Januari 2003

10 Januari 2003

Kenapa BBM Naik?

Menhub Agum Gumelar benar. Saat menghadapi aksi demo mahasiswa di Gorontalo, Rabu lalu, Agum menyebutkan bahwa pemerintah memiliki alasan kuat dalam menggariskan kebijakan menaikkan bahan bakar minyak (BBM) serta tarif listrik dan tarif telepon yang mengundang reaksi keras itu.

Sekali lagi, Agum benar. Dia sama sekali tidak salah. Justru sungguh tidak bisa dibenarkan kalau kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM serta tarif listrik dan tarif telepon ini tak berpijak pada alasan-alasan yang bisa diterima akal sehat. Bagaimanapun jelas keterlaluan -- bahkan mungkin tergolong zalim -- kalau saja keputusan pemerintah menaikkan tiga komponen kebutuhan masyarakat ini tak memiliki alasan-alasan rasional.

Di tengah kondisi keuangan negara yang morat-marit sekarang ini, keputusan pemerintah mengurangi subsidi dalam jumlah besar (Rp 23,2 triliun) -- hingga harga BBM dan tarif listrik dinaikkan -- memang bisa dipahami. Begitu juga keputusan menaikkan tarif telepon -- agar pembangunan jaringan telekomunikasi bisa dilakukan -- tak sulit dimengerti.

Dengan kata lain, alasan-alasan pemerintah menaikkan harga BBM serta tarif listrik dan tarif telepon ini sulit dibantah. Semua masuk akal. Logis.

Lalu kenapa berbagai elemen masyarakat begitu keras menentang keputusan pemerintah menaikkan harga BBM serta tarif listrik dan tarif telepon ini? Adakah aksi-aksi penentangan itu mengada-ada? Benarkah itu ditunggangi kepentingan politik pihak-pihak tertentu? Ataukah itu lebih karena pemerintah gagal melakukan fungsi public relations mengenai kebijakan menaikkan harga tiga elemen kebutuhan masyarakat tadi?

Mungkin benar, seperti sudah ditunjukkan dalam sejumlah kasus, pemerintah tak mampu melakukan fungsi public relations. Kita juga tak menampik kemungkinan bahwa pihak-pihak tertentu memanfaatkan isu kenaikan harga BBM beserta tarif listrik dan tarif telepon ini untuk kepentingan politik mereka.

Tapi apakah benar aksi-aksi menentang kenaikan harga tiga komponen kebutuhan masyarakat ini mengada-ada? Tidak! Jujur saja, aksi-aksi penentangan itu bagaimanapun memiliki pijakan kuat: karena kenaikan harga BBM dan listrik, terutama, sangat memukul kepentingan rakyat. Lebih-lebih wong cilik. Berbagai pemberitaan menyebutkan, kalangan nelayan tak mampu lagi melaut karena harga solar tak terjangkau lagi. Di sisi lain, kalangan sopir angkutan di sejumlah kota juga mengeluh bahwa pendapatan mereka yang selama ini sudah amat pas-pasan jadi menciut drastis.

Kalangan pengusaha juga tak luput gusar: kenaikan harga BBM dan tarif listrik serta-merta membuat ongkos produksi membengkak minimal 30 persen. Itu, pada gilirannya, secara signifikan memelorotkan daya saing produk yang mereka hasilkan. Karena itu tak heran jika pihak Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) atau Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), misalnya, menyebutkan bahwa kenaikan harga BBM dan tarif listrik ini pasti mematikan industri-industri bersangkutan.

Karena itu, amat beralasan jika pengusaha dan kaum pekerja pun kali ini berdiri di posisi sama: menentang kenaikan harga BBM serta tarif listrik dan tarif telepon. Bahkan mereka bahu-membahu menggelar aksi demo.

Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa alasan kuat dan masuk akal saja tak cukup menjadi jaminan bahwa suatu keputusan otomatis bagus dan beres. Dalam konteks ini, memang, suatu kebijakan belum tentu bijak.

Itu pula yang terjadi dengan kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM serta tarif listrik dan tarif telepon. Kebijakan tersebut, terus-terang, mengabaikan kearifan. Betapa tidak, karena nasib rakyat -- terutama wong cilik -- nyaris dinafikkan. Pemerintah seolah tutup mata atau bahkan barangkali tak peduli terhadap penderitaan rakyat ini. Berbekal alasan-alasan rasional tadi, pemerintah tegas menempatkan kebijakan menaikkan harga BBM beserta tarif listrik dan telepon ini sebagai harga mati. Buktinya, meski aksi demo begitu deras, pemerintah menyatakan tak bakal membatalkan kebijakan itu. Pokoknya, bagi pemerintah, the show must go on.

Itu sungguh terasa sangat tak adil jika dikaitkan dengan sikap pemerintah terhadap kalangan konglomerat yang nyata-nyata telah menjadi biang krisis ekonomi kita. Sementara subsidi untuk rakyat kecil drastis dikurangi, subsidi untuk kalangan konglomerat ini -- berupa bunga obligasi rekap perbankan yang bernilai jauh lebih besar -- justru tak diutak-atik. Bahkan sejumlah konglomerat segera diberi release and discharge alias pengampunan atas tindakan hukum segala.

Jelas, itu tak harus terjadi kalau saja pemerintah mendengarkan nurani.***

Jakarta, 10 Januari 2003

03 Januari 2003

Buramnya Ekonomi Kita

Buram. Sangat buram! Sulit mengatakan bahwa ekonomi nasional pada 2003 ini tidak buram. Betapa tidak, karena memang nyaris tak ada tanda-tanda yang membuat kita layak berharap bahwa kehidupan ekonomi ini menjanjikan kenyataan melegakan: cerah-bergelora. Bahkan bermimpi atau berkhayal sekalipun -- bahwa kehidupan ekonomi kita tahun ini relatif baik -- kita sungguh kesulitan. Kita tak punya pijakan untuk itu.

Berbagai tanda atau kecenderungan yang tergelar memang benar-benar gamblang menunjukkan bahwa ekonomi nasional amat buram. Jumlah pengangguran, misalnya, semakin membengkak. Lapangan kerja baru juga nyaris musykil tercipta -- karena kegiatan investasi cenderung mandek. Pemilik modal, seperti sudah terlihat belakangan ini, cenderung enggan masuk ke negeri kita ini. Bahkan mereka yang selama ini sudah menggelar kegiatan investasi di sini pun mulai terlihat tak nyaman. Mereka menunjukkan kesan tak genah lagi menggerakkan roda bisnis di negeri kita. Mereka sangat mungkin kian serius berpikir untuk memindahkan investasi ke negeri lain. Justru itu, tindak pemutusan hubungan kerja pun tampaknya bakal kian merebak di mana-mana.

Memang, pemerintah sendiri mencanangkan tahun ini sebagai tahun revitalisasi investasi. Tapi kita harus jujur mengakui bahwa itu baru sebatas slogan. Baru sekadar niat atau keinginan. Bahkan, barangkali, itu cuma basa-basi politik: sekadar untuk memberikan sedikit kesegaran semu di tengah kegelisahan kita melihat perkembangan negatif kegiatan investasi di dalam negeri ini.

Apa boleh buat, memang, karena konsep strategi revitalisasi investasi ini sama sekali belum terlihat. Boleh jadi, pemerintah malah memang tak menyiapkan soal itu. Kita menangkap kesan, pemerintah belum mencapai satu kata mengenai langkah-langkah terobosan dalam rangka meneguhkan kembali iklim investasi yang kondusif ini. Antarinstansi terkait agaknya masih terlena dalam ego masing-masing -- akibat mereka kurang memiliki sense of crisis dan sense of urgency.

Di sisi lain, kinerja ekspor kita juga sulit diharapkan menjadi penyelamat keadaan. Jujur saja, ekspor kita tahun ini sangat musykil bisa melonjak signifikan. Lagi-lagi karena kita tak melihat pemerintah menyiapkan langkah terobosan, di samping dunia usaha kita sendiri -- seperti kritikan Presiden Megawati -- cenderung terpaku terhadap pasar yang selama ini mereka garap. Padahal ekonomi AS -- notabene negeri tersebut termasuk salah satu pasar tradisional produk-produk ekspor kita -- belum menunjukkan gelagat segera bangkit lagi. Ekonomi Jepang juga kurang lebih sama.

Walhasil, paling-paling kinerja ekspor nasional ini jalan di tempat: mundur tidak, melesat pun tidak. Itu, sekali lagi, sungguh tak menjadi penyelamat keadaan. Ekspor sulit diharap mampu menghela pertumbuhan ekonomi nasional. Sementara sektor konsumsi tahun ini mustahil bisa seperti tahun lalu: menjadi motor pertumbuhan, meski tak terlampau signifikan.

Sektor konsumsi di dalam negeri tahun ini memang pasti babak-belur. Apa mau dikata, daya beli masyarakat jelas melorot drastis akibat kenaikan harga berbagai barang dan jasa, menyusul kebijakan pemerintah mendongkrak harga bahan bakar minyak dan tarif dasar listrik dalam hitungan signifikan. Belum lagi hampir pasti tarif telepon, tol, serta angkutan segera menyusul naik pula.

Hanya keajaiban, barangkali, yang bisa mengubah kecenderungan ekonomi kita pada tahun ini menjadi baik dan menyejahterakan. Dengan kata lain, harapan bahwa kehidupan sosial-ekonomi kita pada tahun ini membaik dibanding tahun lalu praktis pupus. Apa yang terjadi, kehidupan kita justru semakin berat. Amat berat!

Pemerintah sendiri tampaknya tak peduli. Berbagai pembenaran meyakinkan bisa mereka paparkan tentang beban berat kehidupan sosial-ekonomi nasional yang harus dipikul rakyat ini. Menko Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, misalnya, melukiskan bahwa beban berat itu merupakan harga yang harus rela dipikul rakyat dalam rangka memberikan ruang gerak lebih baik terhadap APBN. Bahkan Taufik Kiemas, suami Megawati, menyebutkan bahwa subsidi untuk rakyat merupakan candu -- dan karena itu amat sah serta wajib dihapuskan.

Kita tak tahu apakah sikap atau asumsi seperti itu sudah merasuki segenap unsur eksekutif maupun legislatif di negeri ini sekarang. Yang pasti, kebijakan-kebijakan pemerintah -- atas restu legislatif -- makin menorehkan kegetiran bagi rakyat. Yang pasti pula, sekarang ini pun -- di era reformasi -- rakyat tetap saja sekadar menjadi obyek. Kebijakan-kebijakan yang bersipat partisipatif masih saja di awang-awang.

Mungkin mereka lupa bahwa negara ini berdiri antara lain dalam rangka mengupayakan kesejahteraan bagi rakyat?***

Jakarta, 3 Januari 2003