30 April 2012
Contra Flow Kontra Galau
Contra Flow Kontra Kalut
25 April 2012
Kebijakan Gamang Pembatasan BBM
24 April 2012
Gamang Pembatasan BBM
22 April 2012
Antiklimaks Kasus Wisma Atlet
Vonis tersebut dijatuhkan dalam persidangan yang dipimpin hakim Darmawati Ningsih, kemarin. Majelis memutuskan Nazaruddin bersalah menerima suap Rp4,6 miliar dari PT Duta Graha Indah terkait dengan proyek pembangunan Wisma Atlet. Selain hukuman bui, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat tersebut juga diganjar denda Rp200 juta subsider empat bulan kurungan.
Hukuman buat Nazaruddin lebih ringan ketimbang tuntutan jaksa, yakni tujuh tahun. Namun, vonis itu lebih berat daripada yang ditimpakan kepada M El Idris, Wafid Muharam, dan Mindo Rosalina Manullang, tiga nama yang juga terkait dengan kasus Wisma Atlet.
Vonis empat tahun 10 bulan penjara karena korupsi Rp4,6 miliar jelas jauh dari rasa keadilan. Apalagi, negara mesti menggelontorkan miliaran rupiah untuk membawa pulang Nazaruddin dari pelariannya di Kolombia.
Ketika kasus Wisma Atlet meledak pertengahan tahun lalu, rakyat geram bukan kepalang. Kegeraman kian menjadi setelah di persidangan, Nazaruddin mengumbar tudingan bahwa banyak elite negeri ini terlibat.
Ia, misalnya, berkali-kali menyebut bekas bosnya di Partai Demokrat, Anas Urbaningrum. Mantan koleganya di partai dan DPR, Angelina Sondakh dan Mirwan Amir, pun tak luput dari tuduhan. Begitu juga anggota dewan dari PDIP I Wayan Koster dan Menpora Andi Mallarangeng.
Begitu banyak nama tenar disebut, begitu besar pula harapan publik agar kasus Wisma Atlet diungkap tuntas. Namun, vonis untuk Nazaruddin telah merontokkan harapan yang membubung itu.
Dalam putusannya, hakim tak menyebut Nazaruddin melakukan korupsi secara bersama-sama. Dengan begitu, nama-nama yang pernah disebut-sebut di pengadilan kini dapat menepuk dada karena mendapat pembenaran bahwa tuduhan Nazaruddin selama ini halusinasi belaka.
Hakim memang punya hak penuh membuat putusan. Mereka boleh tidak peduli apakah putusan mereka memuaskan atau justru menistakan keadilan publik.
Suka tidak suka, rakyat mesti menerima Nazaruddin cuma divonis empat tahun 10 bulan. Rela tidak rela, rakyat harus menyaksikan para elite lain yang terseret skandal Wisma Atlet bebas melenggang.
Akan tetapi, vonis ringan buat Nazaruddin bukanlah akhir dari segalanya. Masih ada lebih dari 30 skandal, termasuk megakasus proyek pusat olahraga di Hambalang, Bogor, yang diduga melibatkan Nazaruddin dan kawan-kawan yang harus diusut dan dibongkar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Gerak cepat tanpa basa-basi mutlak dilakukan KPK. Menyangkut Angelina Sondakh, misalnya, sudah cukup dia tak disentuh dua bulan lebih sejak menjadi tersangka kasus Wisma Atlet. Begitu juga Wayan Koster yang telah dicekal, tetapi kasusnya jalan di tempat.
Rakyat menunggu pula janji Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas sebulan silam bahwa Anas Urbaningrum akan diperiksa dalam kasus Hambalang. Juga, janji Wakil Ketua KPK lainnya, Bambang Widjojanto, yang mengatakan bakal mengusut Angelina Sondakh setelah vonis Nazaruddin.
KPK jangan cuma omong besar***
Sumber: www.mediaindonesia.com/read/2012/04/21/314408/70/13/Antiklimaks-Kasus-Wisma-Atlet
19 April 2012
Stop Mancla-mencle
Awalnya, pemerintah mewacanakan larangan pembelian BBM jenis premium/solar yang memang disubsidi berdasarkan kapasitas mesin kendaraan. Jadi, kendaraan-kendaraan berkapasitas mesin besar dinyatakan terlarang menggunakan premium maupun solar.
Tapi, belakangan, wacana itu bergeser menjadi berdasarkan tahun pembuatan kendaraan. Nah, kendaraan yang tergolong muda tidak boleh mengonsumsi premium/solar. Eh, belum lagi gagasan itu matang, wacana pembatasan penggunaan BBM subsidi ini sudah bergeser lagi menjadi berdasarkan kewilayahan. Persisnya, wacana itu menyatakan wilayah Jawa jadi projek pertama yang tak akan lagi dilayani BBM jenis premium dan solar.
Namun belum lagi gagasan itu jelas benar, sudah berkembang lagi wacana mewajibkan kendaraan plat hitam alias milik pribadi menggunakan bahan bakar gas. Lalu, hampir bersamaan, pemerintah juga melontarkan gagasan "mengharamkan" premium/solar bagi kendaraan dinas.
Bagi masyarakat, berbagai wacana itu membingungkan. Pertama, karena berbagai versi kebijakan pembatasan penggunaan BBM subsidi ini tidak berasal dari satu sumber yang punya otoritas penuh di bidang energi. Masyarakat menjadi bingung, karena berbagai versi itu dilontarkan oleh pejabat pemerintah yang berlainan.
Kedua, lontaran berbagai wacana itu juga membuat masyarakat tidak punya pegangan mengenai bentuk kebijakan yang akan diberlakukan pemerintah menyangkut pembatasan penggunaan BBM ini. Padahal, bagi masyarakat, itu penting untuk ancang-ancang menuju langkah penyesuaian manakala kebijakan efektif mulai diberlakukan.
Kebingungan itu pula yang kemudian melahirkan tindakan spekulasi di masyarakat. Aksi penimbunan BBM subsidi tetap marak. Urungnya rencana kenaikan harga BBM subsidi, karena untuk sementara ini tidak memenuhi prasyarat perundangan, tak serta-merta berhenti. Bahkan sekadar mereda pun tidak.
Aksi spekulasi sendiri jelas tidak sehat. Aksi tersebut bisa memercikkan gesekan konflik sosial di masyarakat. Paling tidak, aksi penimbunan BBM subsidi mengganggu sekaligus merugikan kegiatan ekonomi masyarakat.
Pemerintah seharusnya menyadari -- dan niscaya tak menghendaki -- kegiatan ekonomi masyarakat dirusak spekulasi. Oleh sebab itu, sikap mencla-mencle pemerintah menyangkut pembatasan penggunaan BBM subsidi ini sulit dipahami. Sikap tersebut menumbuhkan kesan bahwa pemerintah gamang, tidak percaya diri, sekaligus tidak solid sebagai sebuah tim.
Kesan seperti itu jelas sebuah potret buram -- dan karena itu tidak patut terus dipertunjukkan kepada publik. Artinya, pemerintah harus segera membuang sikap mencla-mencle. Kebijakan pembatasan BBM subsidi harus segera dirumuskan secara matang dan tegas -- lengkap dengan daya dukung teknis pelaksanaan di lapangan -- serta bersifat satu pintu. Jangan sampai terjadi, kebijakan diputuskan sekadar sebagai pilihan politis, sementara kondisi di lapangan sama sekali tidak siap. Masyarakat tidak boleh menjadi korban kebijakan tidak matang yang lebih banyak melahirkan kericuhan atau bahkan kekacauan sosial.***
Jakarta, 20 April 2012
18 April 2012
Rapat atau Pesta?
Bayangkan, untuk sekali sidang kabinet paripurna saja, anggaran yang dialokasikan mencapai Rp 20 juta. Sementara untuk perhelatan rapat berskala akbar (retreat), anggaran yang disiapkan bernilai tak kurang dari Rp 1 miliar. Dengan angka-angka seperti itu, anggaran rapat di lingkungan Istana ini pun menjadi sulit dibedakan dengan biaya pesta kaum sosialita Jakarta.
Karena itu, bahkan dengan angka klarifikasi pihak Istana sendiri -- konon sebesar Rp 24,7 miliar untuk sepanjang tahun 2012 --, anggaran rapat di Istana Kepresidenan ini tetap saja tidak mencerminkan kesederhanaan sebagai sebuah prinsip. Artinya, anggaran yang diklaim sudah diturunkan menjadi Rp 24,7 miliar itu tetap saja jumbo.
Kenyataan itu sungguh ironis karena tidak mencerminkan langkah pengamanan APBN 2012 yang rapuh akibat tekanan dampak kenaikan harga minyak mentah di pasar global. Bahkan anggaran jumbo untuk penyelenggaraan rapat itu juga menjadi kontra produktif dengan gerakan penghematan yang dicanangkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam menyiasati kesulitan anggaran sekarang ini.
Di tengah gejolak harga minyak global dewasa ini, pemerintah memang kelimpungan. Pemerintah pusing tujuh keliling menghadapi beban subsidi energi yang membengkak signifikan akibat lonjakan harga minyak di pasar global. Itu pula yang mengilhami pemerintah mewacanakan aneka program penghematan yang notabene niscaya akan berdampak memaksa masyarakat luas menanggung beban ekonomi menjadi lebih berat lagi. Dalam konteks ini, penaikan tarif dasar listrik, pengurangan subsidi gas elpiji, revisi tarif jalan tol, bahkan juga penaikan harga BBM subsidi tinggal soal waktu saja.
Karena itu pula, anggaran jumbo untuk kebutuhan rapat di Istana Kepresidenan ini sama sekali tidak menunjukkan empati terhadap kehidupan rakyat kebanyakan yang telanjur serba sulit. Seakan-akan kehidupan rakyat berada di planet lain yang sama sekali tak berhubungan dengan pola hidup boros yang dianut kalangan pengelola negara.
Jelas, pihak Istana tidak patut menutup kuping ataupun mencari-cari pembenaran ihwal anggaran rapat yang tergolong over dosis ini. Revisi dengan bersendikan semangat berhemat wajib dilakukan. Bahkan, kalau perlu, pos anggaran khusus rapat dibatalkan saja. Toh, seperti kata mantan Mensesneg Yusril Ihza Mahendra, kebutuhan penyelenggaraan rapat di Istana Kepresidenan tak beralasan diwadahi lewat pos anggaran khusus.
Selaku orang yang pernah menjadi figur penting di jantung Istana, Yusril tahu persis bahwa kalau tidak kelewat
penting dan sangat urgen, kebutuhan dana untuk penyelenggaran rapat itu masih mungkin ditanggulangi oleh anggaran rutin Setneg.
Karena itu, menjadi aneh jika penyelenggaraan rapat menjadi pos tersendiri dalam bangunan anggaran pemerintah. Kecuali kalau rapat juga sekaligus menjadi arena pesta ala kaum sosialita.***
Jakarta, 18 April 2012
17 April 2012
Urgensi Uji Materi UU Pemilu
Rencana sejumlah kalangan, terutama partai-partai nonparlemen, mengajukan permohonan uji materi (judicial review) UU Pemilu ke Mahkamah Konstitusi bukan soal yang patut dirisaukan. Dalam koridor demokrasi, rencana tersebut sah-sah saja. Bahkan, barangkali uji materi memang perlu guna memastikan UU Pemilu bersifat fair, objektif, dan menjamin hasil pemilu benar-benar berkualitas – dalam arti legitimate sehingga kelak bisa diterima semua pihak.
Karena itu pula, sepanjang jujur dan tulus diniatkan untuk menempatkan produk legislasi DPR dan pemerintah tidak keluar dari kerangka konstitusi, rencana sejumlah kalangan mengajukan uji materi UU Pemilu ke Mahkamah Konstitusi ini bahkan patut diapresiasi. Dengan kata lain, motif-motif yang lebih bersifat subjektif -- semata karena UU Pemilu dirasa tak mengakomodasi kepentingan politis mereka -- harus disingkirkan. Motif-motif seperti itu membuat langkah uji materi tidak relevan, apalagi urgen. Langkah tersebut sekadar melahirkan kegaduhan politik, sehingga sama sekali tidak sehat dan tidak produktif bagi proses demokrasi – khususnya untuk memastikan hasil pemilu bersifat legitimate.
UU Pemilu sendiri, yang baru pekan lalu disahkan DPR, memang bukan produk yang taken for granted sempurna. Artinya, undang-undang tersebut mungkin saja mengandung kelemahan atau bahkan cacat yang mencederai konstitusi. Mungkin saja, seperti dikeluhkan dan dituduhkan pihak-pihak yang berniat memohonkan uji materi, UU Pemilu memang tidak fair karena mengabaikan asas kesetaraan dan kesamaan bagi semua pihak.
Kelemahan-kelemahan seperti itu bukan mustahil dan tidak bisa dinafikan begitu saja. Maklum, karena UU Pemilu lebih merupakan produk kompromi politik pihak-pihak di DPR. UU Pemilu tidak dilahirkan sebagai produk perdebatan hukum dalam kerangka konstitusi. UU Pemilu, seperti juga berbagai undang-undang lain, lebih merupakan produk tarik-menarik kepentingan subjektif partai-partai politik yang duduk di parlemen.
Karena itu, uji materi UU Pemilu bukan hanya relevan, tapi juga punya urgensi tinggi. Lewat uji materi di Mahkamah Konstitusi, segala keraguan dan kecurigaan pihak-pihak tertentu -- bahwa UU Pemilu memiliki muatan yang melanggar konstitusi -- akan terjawab. Proses judicial review juga membuat segala kelemahan dan kekurangan UU Pemilu -- yang diklaim pihak-pihak yang berencana mengajukan permohonan uji materi sebagai masalah yang secara substansial mencederai konstitusi – akan terkuakkan. Dengan demikian, UU Pemilu dikembalikan ke dalam koridor konstitusi.
Untuk itu, permohonan uji materi sendiri harus proporsional. Uji materi hanya dimohonkan sebatas meliputi pasal-pasal yang dinilai melanggar konstitusi. Permohonan uji materi tidak boleh dilatari semangat untuk membatalkan UU Pemilu secara keseluruhan. Langkah seperti itu sangat tidak produktif karena membuat proses uji materi di Mahkamah Konstitusi hampir pasti berlangsung lama. Bagaimanapun, proses uji materi tidak bisa dilakukan ala pesulap dengan mantra abrakadabra. Proses persidangan niscaya berlarut, karena materi yang harus diuji meliputi keseluruhan muatan undang-undang.
Konsekuensinya, jika proses uji materi berlarut, penyelenggaraan pemilu pun bisa terganggu. Bukan tidak mungkin jadwal tahap-tahapan pelaksanaan pemilu menjadi amburadul. Itu, pada gilirannya, niscaya melahirkan kekacauan politik yang berimbas ke mana-mana.
Jelas, itu bukan esensi demokrasi yang sehat dan produktif. Karena itu, sekali lagi, permohonan uji materi UU Pemilu mutlak harus proporsional. Dalam bahasa gaul anak muda, permohonan itu tidak boleh lebai – terlebih semata karena dorongan syahwat politik, bukan untuk menegakkan konstitusi.***
Menumpas Geng Motor?
Geng motor sudah menjadi penyakit masyarakat. Bukan cuma meresahkan, geng motor juga menumbuhkan rasa takut. Di mana-mana geng motor menampakkan keberadaan, di situ rasa ngeri masyarakat terbangkitkan.
- Rasa resah, rasa ngeri, rasa takut masyarakat nyaris sudah menjadi bagian keberadaan geng motor. Ya, karena geng motor identik dengan aksi kekerasan, kebrutalan, teror, bahkan maut.
- Di Jakarta, geng motor tak terkecuali eksis pula. Dan Jumat pekan lalu, mereka berulah: memperagakan kekerasan dan kebrutalan. Aksi mereka benar-benar merupakan teror -- karena dilakukan terencana, terorganisasi rapi, serta melibatkan pelaku sekitar 200-an orang. Di tujuh titik dalam radius relatif luas, mereka melakukan perusakan fasilitas umum. Juga menghajar sejumlah orang secara sembarangan sampai babak belur. Bahkan seorang korban kemudian tewas di rumah sakit.
- Di kota-kota lain, geng motor juga makin berani menunjukkan diri sebagai kelompok pelaku keonaran -- dan teror ala preman. Bahkan seperti di Garut, seorang petugas kepolisian pun nyaris menjadi korban. Kalau saja tidak sigap melawan, petugas itu boleh jadi terkapar menjadi korban pembacokan atau penusukan anggota geng motor.
- Karena itu, wajar jika di mana-mana orang kini mendesak aparat kepolisian agar menindak geng motor. Bahkan masyarakat juga berharap kepolisian bukan sekadar bertindak secara kasuistis, melainkan menumpas keberadaan geng motor hingga ke akar-akarnya. Singkatnya, masyarakat tak menghendaki geng motor punya ruang hidup. Masyarakat ingin geng motor dienyahkan dari muka bumi.
- Namun geng motor tampaknya tak bisa begitu saja diberangus hingga benar-benar tamat riwayat. Bahkan, sebagai penyakit sosial, geng motor tampaknya sulit bisa ditumpas habis. Ibarat rumput liar, geng motor punya kemampuan untuk survive di tengah keadaan sangat sulit sekalipun -- dan pada saatnya kemudian tumbuh lagi. Maklum, karena geng motor bukan organisasi resmi. Geng motor sekadar wadah paguyuban yang tak mementingkan struktur resmi. Lagi pula keresahan masyarakat bukan terutama tertuju kepada organisasi geng motor, melainkan merujuk kepada perilaku yang kental dengan keberingasan dan kekerasan.
- Karena itu, meski dilumat habis-habisan, geng motor mungkin tidak akan benar-benar mati. Geng motor akan tetap survive. Geng motor akan tetap eksis dengan segala bentuk aksi kekerasan atau teror yang meresahkan masyarakat.
- Walhasil, di tengah harapan dan ekspektasi tinggi masyarakat agar geng motor ditumpas habis, kepolisian tidak punya banyak pilihan. Tindakan represif tidak bakal menyelesaikan masalah. Bahkan, boleh jadi, tindakan represif hanya mengundang aksi-aksi perlawanan -- dan itu berarti aksi-aksi kekerasan atau teror geng motor terhadap masyarakat kian menjadi-jadi.
- Meski begitu, polisi tetap perlu dan urgen melakukan tindakan tegas terhadap setiap ulah geng motor ini. Tapi itu bukan terutama sebagai tindakan represi, melainkan lebih merupakan wujud penegakan hukum.
- Nah, selain penegakan hukum, kepolisian bersama segenap elemen masyarakat perlu melakukan pendekatan dan strategi lain. Pendekatan dan strategi itu merujuk kepada semacam gerakan moral dan kultural yang membuat geng motor tidak terus menyerupai kelompok sesat -- menabrak pranata-pranata sosial seperti selama ini. Lewat pendekatan itu, geng motor harus bisa dibuat insaf dan berubah menjadi sekadar perkumpulan komunitas penggemar motor.
- Memang, strategi itu tidak bisa segera menunjukkan hasil. Untuk mengubah geng motor menanggalkan perilaku yang menumbuhkan keresahan dan ketakutan masyarakat, dibutuhkan kesabaran dan ketelatenan ekstra berbagai pihak.***
Jakarta, 19 April 2012