25 Oktober 2004

Release and Discharge

Adalah wajar pernyataan Menko Perekonomian Aburizal (Ical) Bakrie -- bahwa pemerintahan Presiden Yudhoyono tidak akan mencabut pemberian surat keterangan lunas oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) kepada sejumlah pengutang kakap alias konglomerat -- serta-merta memeroleh reaksi keras. Bagaimanapun, memang, pernyataan tersebut terasa seketika membuyarkan harapan besar publik terhadap pemerintahan baru menyangkut perlakuan bagi kalangan konglomerat yang telah banyak merugikan keuangan negara.

Memang benar, penerbitan surat keterangan lunas -- notabene menjadi pijakan bagi konglomerat bersangkutan memeroleh pembebasan dari segala tuntutan hukum (release and discharge) -- merupakan kebijakan pemerintahan terdahulu. Persisnya, kebijakan tersebut tertuang dalam Inpres No 8/2002 yang menggariskan bahwa para debitur kakap yang telah menyelesaikan kewajiban kepada negara harus memeroleh jaminan kepastian hukum dalam bentuk surat tanda bukti penyelesaian. Sementara bagi debitur yang tidak menyelesaikan utang akan diserahkan ke kejaksaan dan kepolisian untuk diproses secara hukum.

Tapi sungguh tidak bijak bila pemerintahan sekarang ini beranggapan bahwa -- seperti disiratkan Ical -- mereka sama sekali tak mewarisi masalah yang ditinggalkan pemerintahan lama, dan karena itu ihwal surat keterangan lunas pun dipandang sudah final hingga tak beralasan dicabut.

Padahal masalah surat keterangan lunas itu, sejak awal sudah kontroversial -- terutama karena amat menggugah rasa keadilan di kalangan khalayak luas. Bayangkan, dengan secarik surat keterangan lunas, dosa konglomerat -- merugikan keuangan negara dalam jumlah demikian besar -- sama sekali tak diungkit-ungkit. Seolah-olah mereka sama sekali tak bersalah.

Bagi kita, kebijakan release and discharge itu terlampau benderang menafikan kenyataan bahwa kalangan konglomerat harus bertanggung jawab secara hukum atas berbagai indikasi penyelewengan uang negara, yaitu kucuran bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang mereka terima di awal krisis ekonomi (1997-1998). Berbagai kalangan sejak jauh hari sudah menangkap indikasi kuat bahwa pengucuran BLBI kepada bank-bank milik konglomerat itu sebagian digunakan untuk membiayai bisnis kelompok usaha mereka sendiri hingga tertoreh bahwa bank mereka melanggar batas maksimal pemberian kredit (BMPK).

Karena itu pula, sejak awal kita tak pernah bisa mengerti oleh kebijakan pemerintah, khususnya Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), menyangkut penerbitan release and discharge yang semata berpijak pada surat keterangan lunas ini. Bahkan jujur saja bahwa kita menaruh syakwasangka mengenai soal itu. Jangan-jangan gagasan tentang release and discharge ini merupakan hasil tawar-menawar antara kalangan konglomerat pengutang kakap dan pihak pengambil kebijakan di BPPN dulu.

Jadi, amat beralasan jika penerbitan release and discharge ini -- notabene sudah diberikan kepada 21 konglomerat, antara lain Sudono Salim, Sjamsul Nursalim, juga Bob Hasan -- tetap dimasalahkan alias tak bisa dipandang sudah final. Lebih-lebih lagi nilai utang beberapa konglomerat, yang sudah dinyatakan lunas, masih perlu diklarifikasi. Itu karena nilai utang yang dilunasi terindikasi kuat sudah jauh berkurang dibanding nilai awal, yakni saat aset-aset diserahkan ke BPPN.

Tentang itu, Indonesia Corruption Watch (ICW) menghitung bahwa tingkat pengembalian (recovery rate) aset yang diserahkan para konglomerat hanya sekitar 20 persen nilai sebenarnya. Ini tak lain akibat mark-up nilai aset, Aset Salim Group yang dihimpun Holdiko Perkasa, misalnya, ternyata hanya bisa melego BPPN seharga Rp 16,2 triliun. Padahal utang Salim Group total bernilai Rp 52,7 triliun.

Begitu juga aset Sjamsul Nursalim: saat diserahkan ke BPPN dihitung bernilai Rp 27,4 triliun, sementara nilai riilnya ternyata hanya sekitar Rp 6 triliun. Itu pula yang membuat mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Satrio Boedihadjo Joedono pernah menyatakan bahwa pihaknya akan mengaudit proses pemberian surat keterangan lunas bagi 21 konglomerat ini.

Jadi, kenapa pemerintahan Yudhoyono secara dini menyatakan bahwa penerbitan surat keterangan lunas bagi sejumlah konglomerat ini tak akan dicabut dengan alasan bahwa kebijakan tersebut merupakan keputusan pemerintahan lama? Ataukah sikap tersebut memang menafikan ketidakadilan yang dirasakan khalayak luas?

Jika benar itu yang sesungguhnya terjadi, maka pendapat ekonom Faisal Basri benar sekali: pemerintahan sekarang pun memberikan perlindungan terhadap konglomerat hitam. Ini sungguh menyakitkan karena serta-merta membuyarkan harapan besar publik terhadap pemerintahan baru ini: bahwa konglomerat pengutang kakap tak otomatis dianggap tak berdosa semata karena mereka telah melunasi utang. Publik sangat berharap kesalahan mereka menyelewengkan uang negara tetap diproses di muka hukum -- karena jelas merupakan tindak kriminal.***
Jakarta, 25 Oktober 2004

22 Oktober 2004

Tim Ekonomi Kabinet

Jujur saja, tim ekonomi dalam Kabinet Indonesia Bersatu bukan the dream team. Maklum, memang, karena tim ini bukan sepenuhnya diisi oleh figur-figur profesional. Beberapa nama ditempatkan di tim ekonomi ini, tampaknya, bukan terutama karena kapabilitas mereka, melainkan lebih karena pertimbangkan politis. Persisnya dalam rangka mengakomodasi titipan partai politik terkait persoalan balas jasa.

Tapi tak apa. Itu soal lumrah -- dan nyatanya masih bisa ditoleransi. Lagi pula, kalau saja benar-benar murni diisi oleh figur-figur profesional, tim ekonomi ini belum tentu mampu tampil sebagai tim yang solid dan kompak. Bisa kita bayangkan andai Rizal Ramli, misalnya, masuk menjadi tim ekonomi (sebut saja sebagai Menteri Keuangan sebagaimana bisik-bisik yang sempat beredar), sementara di sisi lain di kabinet terdapat pula Sri Mulyani yang menempati pos Menneg Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas.

Jika itu terjadi, amat boleh jadi, sejak awal tim ekonomi Kabinet Indonesia Bersatu ini sulit bisa akur. Justru itu, secara keseluruhan kinerja kabinet pun mungkin tidak tajam terfokus dan tak optimal. Maklum karena pandangan atau prinsip ekonomi yang dianut Rizal Ramli dan Sri Mulyani saling bertentangan dan tampaknya sulit dikompromikan. Apalagi jika perbedaan prinsip itu juga berkait dengan masalah ego dan reputasi pribadi masing-masing.

Jadi, the dream team belum tentu menjadi jaminan. Sementara formasi tim ekonomi yang kini dikomandani Aburizal (Ical) Bakrie sendiri relatif bisa diandalkan mampu menggulirkan perbaikan kehidupan ekonomi nasional. Melihat figur-figurnya, anatomi tim ekonomi ini terbilang lumayan bagus.

Ical sendiri bukan figur asing. Dia adalah tokoh pengusaha nasional papan atas yang menggenggam kelompok usaha Bakrie. Lepas dari track record-nya dalam mengayuh bisnis yang tidak sepenuhnya cemerlang -- antara lain kita tahu bahwa sejumlah unit usaha Grup Bakrie pernah sempat harus dirawat di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) --, Ical niscaya mengetahui betul tantangan nyata yang dihadapi ekonomi nasional maupun aspirasi yang berkembang di dunia usaha kita.

Terlebih lagi Ical selama 10 tahun memimpin organisasi Kadin Indonesia yang memungkinkannya tidak saja bergaul intens dengan berbagai lapisan dunia usaha, melainkan juga terkondisi membuat dia memiliki perspektif ekonomi lebih luas dalam konteks ekonomi nasional maupun global. Justru itu, Ical amat bisa diharapkan mampu mengarahkan kebijakan-kebijakan ekonomi yang lebih market friendly alias produnia usaha.

Di lain pihak, kapabilitas Jusuf Anwar yang dipercaya menjabat pos Menteri Keuangan juga tak cukup beralasan diragukan. Dia adalah birokrat tulen yang terus meniti karier di lingkungan keuangan. Dia antara lain pernah menjadi Kepala Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam). Sementara selama beberapa tahun terakhir dia menjadi Direktur Eksekutif Bank Pembangunan Asia (ADB). Bekal pengalaman itu tentu menjadi modal berharga bagi Jusuf dalam mengomandani Lapangan Banteng. Selebihnya, karena jadi nakhoda di kapal sendiri, dia niscaya bisa langsung tancap gas.

Andung Nitimiharja juga bukan figur asing bagi lingkungan pos Menteri Perindustrian. Meski selama beberapa tahun terakhir berkiprah di Kantor Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), dia sejatinya adalah orang dalam Departemen Perindustrian. Dia memang meniti karier di departemen tersebut.

Walhasil, Andung juga sudah tahu persis apa yang harus diperbuat selaku orang nomor satu di Departemen Perindustrian ini. Bahkan pengalamannya selama beberapa tahun berkiprah di BKPM, niscaya menjadi nilai lebih bagi dia dalam menghadapi tantangan ke depan ini.

Akan halnya Marie Pengesti, yang dipasang Presiden Yudhoyono sebagai Menteri Perdagangan, memang figur baru dalam dunia birokrasi. Tapi dia adalah pakar masalah perdagangan internasional. Itu jelas merupakan bekal tak ternilai bagi dia dalam memimpin Departemen Perdagangan. Sebaliknya bagi Departemen Perdagangan sendiri, Marie adalah figur yang selama ini dicari.

Kapabilitas seorang Marie Pangestu memang amat dibutuhkan. Ini bukan cuma lantaran ada pos baru yang harus diisi, menyusul keputusan Presiden Yudhoyono memisahkan kembali Departemen Perdagangan dari Departemen Perindustrian. Lebih dari itu, kapabilitas Marie sendiri -- di tengah arus era perdagangan bebas sekarang ini -- memang cocok menempati pos itu. Lewat kiprah dia ke depan ini, kita bisa berharap kegiatan perdagangan kita dalam lingkup global tak lagi keteteran oleh aneka perjanjian dagang internasional yang tak jarang menjebak dan memenjara kita.

Beberapa figur lain dalam tim ekonomi ini juga tak layak kita anggap remeh. Paling tidak jika melihat latar belakang pendidikan, mereka juga bisa cukup mumpuni di bidang masing-masing. Anton Apriantono, misalnya. Sebagai sarjana pertanian, dia tentu bisa diharapkan berbuat nyata sebagai Menteri Pertanian.

Tetapi, bagaimanapun tim ekonomi ini takkan bisa berbuat seperti pesulap. Dalam menghadapi tantangan, terutama dalam masa 100 hari pertama berkuasa, mereka tak bisa cukup berucap "sim salabim". Artinya, kita jangan berharap terlalu muluk. Kita harus realistis bahwa dalam 100 hari pertama, mereka tak serta-merta bisa tuntas menyelesaikan semua masalah.***
Jakarta, 22/10/2004

15 Oktober 2004

Efisiensi PLN

Bahan bakar minyak (BBM) memang merupakan komponen produksi tenaga listrik. Tetapi relevankah tarif dasar listrik otomatis harus dinaikkan jika pemerintah memutuskan menaikkan harga BBM di dalam negeri?

Bahwa harga BBM di dalam negeri harus dinaikkan, tampaknya, memang sulit dihindari pemerintahan baru pimpinan Susilo Bambang Yudhoyono. Jika tidak, pemerintahan Yudhoyono niscaya harus menanggung risiko serius: APBN babak-belur terkait pemberian subsidi harga BBM. Kenaikan harga minyak mentah di pasar dunia yang melambung jauh di atas patokan APBN, memang niscaya membuat subsidi BBM yang dikucurkan pemerintah jadi ikut-ikutan melonjak.

Risiko itu sulit dihindari karena kita sekarang ini sudah termasuk net importer minyak. Artinya, produksi minyak yang kita hasilkan sudah tak seimbang lagi dengan tingkat konsumsi BBM di dalam negeri -- dan karena itu kita terpaksa mengimpor kekurangannya. Jadi, sekali lagi, pemerintahan Yudhoyono yang segera terbentuk tampaknya memang sungguh sulit tidak menaikkan harga BBM.

Tetapi apakah betul jika harga BBM naik, maka PLN pun sulit pula tidak ikut-ikutan menaikkan tarif dasar litrik? Sepintas, jika melihat kenyataan bahwa BBM termasuk salah satu komponen produksi tenaga listrik, kenaikan harga BBM memang membuat PLN sulit tidak menaikkan pula tarif dasar listrik. Itu juga yang membuat Dirut PLN Eddie Widiono begitu mantap menyatakan bahwa jika harga BBM naik, maka tarif dasar listrik pun otomatis naik pula.

Tetapi asumsi itu bisa menyesatkan. Kenaikan harga BBM seharusnya tidak selalu otomatis membuat tarif dasar listrik ikut dinaikkan pula. Bisa saja terjadi, tarif dasar listrik sama sekali tidak berubah, meski harga BBM naik. Jika kenaikan harga BBM relatif tak signifikan, penyesuaian tarif dasar listrik bisa dihindari.

Bahkan kalau kenaikan harga BBM terbilang signifikan pun, seharusnya penyesuaian tarif dasar listrik tidak menjadi langkah yang niscaya. Artinya, kenaikan tarif dasar listrik tetap bisa dihindari. Dalam konteks ini, beban yang tertoreh sebagai dampak kenaikan harga BBM bisa dikompensasi oleh efisiensi proses produksi tenaga listrik.

Justru itu, pernyataan Dirut PLN Eddie Widiono -- bahwa jika harga BBM naik, maka tarif dasar listrik pun otomatis ikut naik -- secara tidak langsung gamblang membukakan kenyataan bahwa kegiatan operasional PLN belum juga efisien. Jadi, rupanya selama ini PLN belum kunjung mampu berbenah diri sehingga berbagai inefisiensi tetap saja masih tertoreh.

Kita tidak tahu persis seberapa dalam atau seberapa parah inefisiensi dalam kegiatan operasional PLN ini. Yang pasti, secara ekonomi soal itu menorehkan kerugian tidak kecil. Maka tak heran jika kinerja PLN pun sejauh ini tergolong tidak sehat. Saban tahun PLN terus saja membukukan kerugian.

Itu pula yang membuat kenaikan harga BBM pun menjadi faktor yang begitu niscaya berdampak terhadap tarif dasar listrik. PLN sepertinya benar-benar tak bisa menghindari pilihan menyesuaikan tarif dasar listrik jika pemerintah berkuputusan menaikkan harga BBM.

Ihwal inefisiensi sendiri, sebagai salah satu faktor yang membuat PLN terus merugi, boleh dikatakan sudah menjadi rahasia umum. Sebut saja soal pencurian tenaga listrik. Masalah ini sudah menggejala atau dikeluhkan manajemen PLN sejak lama. Tapi PLN tak pernah bisa menangani masalah ini hingga tuntas. Bahkan, tampaknya, masalah pencurian tenaga listrik ini kian menggila -- dalam arti semakin menyebar dan masif. Gambaran tentang itu, seperti pernah diberitakan, tercermin dalam nilai kerugian yang terus menanjak dalam bilangan triliunan rupiah.

Dalam konteks itu, kita menangkap kesan bahwa PLN kurang berdaya. Tentu itu bukan tanpa sebab. Mungkin strategi penanganan masalah pencurian tenaga listrik ini kurang berdaya guna. Mungkin juga tenaga petugas yang dikonsentrasikan menangani masalah itu amat terbatas.

Tapi boleh jadi pula, sikap mental petugas sendiri turut mengondisikan tindak pencurian tenaga listrik tak pernah reda. Kita sering mendengar bahwa oknum petugas PLN gampang diajak kompromi manakala mereka menemukan kasus pencurian tenaga listrik. Bahkan, konon, tak jarang justru mereka pula yang secara teknis membuat instalasi listrik bisa diakali menjadi tidak berfungsi sebagaimana mestinya: bukan saja daya listrik jadi tak terbatas, bahkan kinerja meteran juga tidak prima.

Kenyataan seperti itu menunjukkan bahwa PLN tak kunjung mampu berbenah diri. Tak heran jika inefisiensi pun terus menggelayuti operasional PLN.

Namun justru itu, sungguh tidak fair jika ketidakmampuan PLN menangani inefisiensi lantas dibebankan kepada konsumen dalam bentuk penyesuaian tarif dasar listrik setiap kali faktor dependen seperti harga BBM berubah naik. Kita sulit menerima beban kerugian yang membengkak dijadikan alasan kenaikan tarif dasar listrik selama inefisiensi dalam operasional PLN terus menggejala dalam skala masif.***
Jakarta, 15 Oktober 2004