28 Juli 2008

Putaran Doha Lagi-lagi Macet

Putaran Doha lagi-lagi macet. Lagi-lagi gagal membuahkan kesepakatan. Meski berlangsung selama enam hari penuh, sejak awal pekan lalu, pertemuan menteri-menteri perdagangan negara anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang berlangsung di Jenewa, Swis, itu kembali gagal menorehkan langkah maju.

Tak bisa tidak, Putaran Doha yang rutin digelar tiap tahun sejak tahun 2001 itu pun silam semakin tidak jelas. Semakin meredupkan harapan masyarakat dunia, khususnya negara-negara berkembang, menyangkut sistem perdagangan global yang menjamin situasi pasar berlangsung bebas, jujur, aman, dan fair.

Tapi sebenarnya itu tak terlampau mengejutkan. Sejak awal orang sudah bisa meraba bahwa Putaran Doha di Jenewa sekadar menjadi pengulangan pertemuan-pertemuan serupa di waktu lalu yang selalu berakhir tanpa kemajuan (deadlock). Orang juga telanjur skeptis atau bahkan pesimistis bahwa Putaran Doha di Jenewa mampu gilang-gemilang melebur perbedaan kepentingan antara dua kubu -- kelompok negara maju dan kelompok negara berkembang -- menjadi kesepakatan yang melegakan bagi perdagangan global.

Skeptisisme dan pesimisme itu tumbuh terutama akibat sikap kelompok negara maju yang amat terkesan berupaya memaksakan kepentingan mereka di satu sisi, dan di sisi lain amat pelit memberi konsesi terhadap kelompok negara berkembang. Mereka, kelompok negara maju, terus berkukuh menuntut negara-negara berkembang membuka akses pasar seluas-luasnya atas produk manufaktur, jasa, dan pertanian mereka. Tapi, pada saat bersamaan, mereka tetap tak beringsut atas tuntutan negara-negara berkembang untuk mengurangi subsidi di sektor pertanian.

Karena itu, komitmen politik pemimpin negara-negara maju mencairkan kebekuan perundingan tata perdagangan dunia ini, yang kerap mereka lontarkan, terbukti omong kosong. Fleksibilitas yang mereka janjikan di banyak kesempatan lagi-lagi terbukti cuma gombalan.

Ironisnya, Putaran Doha sendiri makin kritis. Pertama, karena batas waktu untuk mencapai kesepakatan sudah jauh terlewati, yaitu tahun 2004. Kedua, karena Kongres maupun pemerintahan di AS segera berubah. Bukan tidak mungkin perubahan itu mengubah pula komitmen yang sudah dicanangkan AS selama ini. Artinya, perundingan dalam Putaran Doha ke depan ini berisiko mengalami langkah mundur dengan segala konsekuensinya.

Ketiga, sekarang ini banyak negara sudah lelah berharap. Ini karena selama bertahun-tahun perundingan bergulir, toh Putaran Doha tetap saja tak kunjung mampu melahirkan kesepakatan. Terlebih lagi, sebelum itu Putaran Uruguay pun selama bertahun-tahun praktis gagal total melahirkan perjanjian sistem tarif dan perdagangan dunia.

Karena itu pula, boleh jadi, peserta Putaran Doha di Jenewa pun relatif sedikit. Dari 153 negara anggota WTO, hanya 35 negara yang mengambil bagian dalam pertemuan di Jenewa ini.

Kenyataan itu mencemaskan. Skeptisisme dan pesimisme banyak negara mengenai perundingan perdagangan global ini sungguh tidak sehat. Bagaimanapun, kesepakatan tentang sistem perdagangan dunia sungguh amat diperlukan. Tanpa kesepakatan, notabene di bawah payung WTO, sistem perdagangan dunia akan tetap saja diwarnai ketimpangan dan ketidakadilan. Tetap saja lebih menguntungkan negara-negara maju.

Jadi, harapan tentang manfaat Putaran Doha mestinya tak boleh redup. Masyarakat dunia harus bisa dicegah jangan sampai lelah berharap. Jangan sampai bosan bersikap optimistis.

Untuk itu, kelompok negara maju harus mau beringsut dari posisi mereka. Jika tidak, Putaran Doha tetap tak bisa diharapkan mencairkan kebekuan. Putaran Doha tetap sekadar menjadi ajang kongko-kongko tanpa arti.***
Jakarta, 27 Juli 2008

27 Juli 2008

Hemat Energi di Dunia Bisnis

Setelah industri, sektor bisnis segera menyusul menjadi sasaran program penghematan energi listrik. Soal itu akan diatur lewat surat keputusan bersama (SKB) Mendag dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. SKB tersebut kini sedang disiapkan dan tak lama lagi diluncurkan.

Dengan itu, pusat-pusat perbelanjaan, perhotelan, perkantoran swasta, juga papan reklame yang menghiasi berbagai pusat kegiatan sosial-ekonomi akan dikondisikan hemat menggunakan energi listrik. Intinya, mereka tak bisa lagi bersikap sesuka hati. Tak lagi bisa mentang-mentang sanggup bayar lantas jor-joran dalam mengonsumsi energi listrik.

Tapi belum jelas, bagaimana mekanisme pengawasan atas program hemat energi listrik di dunia bisnis ini. Yang pasti, program itu sendiri memberi kesan bahwa pemerintah memang serius ingin menghemat energi listrik. Pemerintah tak menghendaki defisit listrik sekarang ini mengakibatkan pemadaman bergilir. Bagaimanapun, pemadaman bergilir -- meski terkesan adil -- sungguh tidak elok sekaligus tidak nyaman.

Pemadaman bergilir sungguh tidak elok karena hanya menampakkan kelemahan atau bahkan kegagalan pemerintah dalam memilih strategi pembangunan energi listrik nasional selama ini. Pemadaman bergilir juga tidak nyaman karena jelas berakibat menganggu kelancaran aktivitas keseharian masyarakat. Juga tidak nyaman, karena pemadaman bergilir mengudang sinisme: bahwa pemerintah tidak becus mengatasi defisit listrik.

Namun dilihat dari perspektif lain, penerapan program hemat energi listrik di dunia bisnis ini juga menunjukkan kecenderungan tidak sehat di tengah masyarakat kita. Dunia bisnis nasional, khususnya, sejauh ini seolah tidak peduli terhadap masalah defisit listrik yang nyata-nyata sedang kita hadapi. Mereka seperti tak mau tahu dan terkesan menganggap bahwa masalah itu semata urusan pemerintah.

Dunia bisnis kita tidak terlihat tergerak melakukan langkah-langkah proaktif yang bermuara pada penghematan pemakaian energi listrik. Yang mereka pertontonkan secara gilang-gemilang justru sikap mental business as usual, lengkap dengan segala perilaku yang cenderung berlebihan -- termasuk dalam mengonsumsi energi listrik. Bagi mereka, segalanya sama sekali tanpa masalah alias oke-oke saja.

Karena itu, meski selama beberapa pekan terakhir wacana penghematan energi riuh-rendah mengisi ruang publik, dunia bisnis kita tenang-tenang saja. Mereka tampaknya tak menganggap masalah defisit energi sebagai masalah mereka juga.
Tengok saja pusat-pusat perbelanjaan: sama sekali tak terlihat berhemat dalam penggunaan energi listrik. Fasilitas pendingin udara, tangga berjalan, ataupun lampu penerang ruangan tetap saja difungsikan optimal seperti biasa.

Contoh lain: berbagai stasiun televisi kita, terutama yang berlingkup nasional, hampir tak terlihat mengurangi jam siaran. Masing-masing tetap saja mengudara dalam rentang panjang -- bahkan sebagian stasiun televisi terus tampil nonstop 24 jam. Padahal, dengan produk tayangan yang nyaris seragam serta dengan standar mutu sekadarnya, jam siaran televisi kita ini tak seluruhnya efektif dan produktif menunjang kehidupan sosial-ekonomi masyarakat.

Bahkan pada jam-jam tertentu, seperti selepas tengah malam hingga menjelang subuh, tayangan televisi kita nyaris mubazir. Tingkat terpaan (coverage) tayangan amat rendah.
Boleh diyakini, pada rentang waktu itu penonton relatif sangat sedikit.

Tapi lucunya, masing-masing stasiun televisi kita justru ikut gencar dan intens membahas krisis pasokan listrik sekarang ini yang notabene sudah sampai tahap menuntut berbagai pihak proaktif melakukan penghematan.

Jadi, SKB Mendag-Menteri ESDM tentang program hemat energi bagi dunia bisnis memang perlu. Mereka amat sulit diharapkan sadar sendiri melakukan langkah-langkah penghematan. Dunia bisnis kita sedikit sekali memiliki keprihatinan terhadap masalah defisit energi listrik. Dunia bisnis kita telanjur setia menerapkan prinsip business as usual.
Jakarta, 24 Juli 2008







23 Juli 2008

Hukuman Mati untuk Koruptor

Relevan dan urgenkah hukuman mati dikenakan terhadap terpidana kasus-kasus korupsi? Mengingat fenomena korupsi di negeri kita sudah demikian memprihatinkan, hukuman mati tampaknya memang merupakan pilihan. Sanksi hukuman mati terasa menjadi kebutuhan. Sanksi tersebut bisa diharapkan menjadi obat mujarab untuk memberantas korupsi secara tuntas.

Di beberapa negara, sanksi hukuman mati terbukti ampuh menurunkan praktik korupsi. Di China, misalnya, korupsi bisa ditekan secara signifikan sejak pemerintah negeri tirai bambu itu menerapkan sanksi hukuman mati secara konsisten dan konsekuen. Mereka yang terbukti di pengadilan melakukan korupsi, tanpa ampun digiring ke tiang gantungan. Bahkan shock theraphy juga digelar sejak proses pengadilan masih berlangsung. Selama persidangan, konon, peti mati sudah disiapkan untuk terpidana korupsi.

Di negeri kita sendiri, tindak korupsi sekarang ini sudah sampai tahap kronis. Praktik korupsi sudah menyebar ke mana-mana. Di pusat maupun di daerah sama saja. Sama-sama digerayangi korupsi.

Praktik korupsi juga sudah melibatkan siapa saja. Swasta ataupun pemerintah, pegawai rendahan maupun pejabat tinggi, sami mawon. Sama-sama banyak terlibat praktik korupsi.

Ibarat penyakit, korupsi di negeri kita bukan lagi sekadar menimbulkan borok bernanah, melainkan juga sudah mulai melumpuhkan sistem syaraf. Orang terkesan tak ragu dan tak malu lagi berbuat korupsi. Tindakan tersebut seolah sudah dianggap jamak atau lumrah. Bahkan korupsi seolah telah menjadi gaya hidup.

Jadi, hukuman mati amat relevan diterapkan terhadap kasus-kasus korupsi. Juga urgen, karena perbuatan korupsi amat destruktif. Negara maupun rakyat telak-telak dirugikan
oleh praktik korupsi ini. Korupsi bukan saja memanipulasi hitung-hitungan ekonomi, melainkan juga menjungkirbalikkan asas transparansi dan fairness.

Hukuman mati juga urgen diterapkan karena sanksi kurungan badan tak lagi menimbulkan efek jera. Orang sudah tidak miris lagi terhadap risiko masuk bui karena perkara korupsi. Ancaman kurungan badan sudah dianggap sepi. Dianggap angin lalu.

Ancaman penjara kini tak efektif berfungsi membendung orang berbuat korupsi. Orang terkesan beranggapan bahwa dipenjara karena perkara korupsi sekadar risiko sedang sial. Sial karena perbuatan korupsi yang mereka lakukan terbongkar. Juga sial karena majelis hakim gagal diyakinkan agar membebaskan mereka dari segala tuduhan korupsi.

Secara hukum, sanksi pidana mati terhadap pelaku kasus-kasus korupsi ini juga punya pijakan. Seperti kata Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Marwan Effendy, pijakan itu adalah pasal 2 ayat 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diganti menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pasal itu menyebutkan, hukuman mati dijatuhkan terhadap koruptor yang melakukan korupsi dalam keadaan tertentu. Yaitu mengorupsi dana untuk penanggulangan bencana nasional, penanganan akibat kerusuhan sosial, dan penanggulangan dampak krisis moneter.

Jadi, dari sisi pranata hukum, sanksi pidana mati bagi pelaku kasus-kasus korupsi sama sekali bukan masalah. Artinya, ihwal penerapan sanksi hukuman mati terhadap koruptor ini bukan lagi sekadar tema wacana. Sanksi tersebut jelas-jelas hanya tinggal diterapkan.

Bahwa lingkup hukuman mati tersebut amat terbatas -- tidak meliputi segala bentuk tindakan korupsi -- barangkali itu belum terlalu urgen. Jika sekadar berharap menumbuhkan efek jera, pasal tentang hukuman mati yang diatur UU Tindak Pidana Korupsi sudah cukup bisa diharapkan.

Tapi pasal itu niscaya hanya akan menjadi macan ompong jika sikap institusi pengadilan tidak berubah, yaitu cenderung lembek dalam menghukum koruptor sebagaimana hasil telaahan Indonesia Corruption Watch (ICW). Bahkan, menurut ICW, selama ini putusan-putusan pengadilan justru lebih mengutungkan koruptor!

Jadi, soal hukuman mati ini amat bergantung pada kemauan jaksa dan hakim. Adakah?
Jakarta, 23 Juli 2008

16 Juli 2008

Pansus Angket BBM Tak Boleh Macet

Kerja Pansus Angket BBM di DPR tak boleh sampai macet. Bahkan sekadar lelet juga harus dihindari. Kamacetan ataupun keleletan kerja Pansus bisa meruapkan kesan buruk. Mengundang syak wasangka. Bahwa DPR tidak serius atau setengah hati dalam membongkar praktik mafia perminyakan di dalam negeri. Atau lebih buruk lagi: DPR sesungguhnya memang tidak berniat memberantas praktik mafia itu.

Kesan atau syak wasangka seperti itu kini bahkan mulai tumbuh. Ini setelah Selasa lalu Pansus Angket BBM membatalkan pemanggilan sejumlah pejabat tinggi yang punya peran vital dalam urusan minyak di dalam negeri.

Mungkin benar, Pansus Angket BBM tak bisa langsung main panggil pejabat-pejabat pemerintah sebelum keberadaan Pansus sendiri tercatat resmi dalam Berita Negara sebagaimana diamanatkan UU Nomor 6/1954 tentang Penetapan Hak Angket DPR. Juga boleh jadi benar pula bahwa pemanggilan pejabat-pejabat itu bisa menjadi tindakan konyol jika Pansus sendiri belum benar-benar menguasai masalah.

Jadi, tertib administrasi harus dipenuhi dulu supaya kerja Pansus tidak cacat secara hukum. Juga Pansus harus siap dulu dengan segala "amunisi" yang diperlukan agar langkah membongkar mafia minyak ini tidak menjadi dagelan yang tidak lucu.

Tapi alasan apa pun yang dikemukakan, keputusan Pansus Angket BBM membatalkan pemanggilan sejumlah pejabat pemerintah itu serta-merta mengundang aneka spekulasi tidak sedap. Intinya, publik menganggap pembatalan itu sebagai bukti sikap main-main ataupun adanya intervensi kekuatan di luar Pansus.

Spekulasi-spekulasi itu tidak berlebihan. Maklum, karena pejabat-pejabat yang batal dipanggil itu merupakan figur kunci dalam urusan minyak di dalam negeri. Kalau saja bukan menyangkut figur-figur kunci, pembatalan pemanggilan itu mungkin tidak menjadi heboh. Tidak dicurigai sebagai sebuah tindakan by design.

Di sisi lain, pembatalan itu juga menyulut spekulasi negatif karena publik sejak awal mencurigai bahwa keputusan DPR menyetujui usul penggunaan hak angket tentang penaikan harga BBM sendiri dilakukan secara terpaksa. Bahwa penggunaan hak angket disetujui lebih karena tekanan massa mahasiswa lewat aksi aksi demo yang begitu heboh.

Tapi memang terasa janggal bahwa masalah tertib hukum bisa-bisanya terabaikan oleh Pansus Angket BBM ini. Mestinya Pansus tahu betul berbagai syarat maupun prasyarat legal yang harus lebih dulu dipenuhi sebelum mereka resmi bekerja.
Dengan demikian, kekonyolan -- pembatalan agenda kerja pertama, yaitu memanggil sejumlah pejabat pemerintahan -- tak harus terjadi.

Juga menjadi aneh jika semangat menggebu memanggil pejabat-pejabat penting dalam urusan minyak di dalam negeri ternyata tidak berlandaskan kesiapan yang memadai. Mestinya, semangat itu justru menjadi cerminan sekaligus jaminan bahwa Pansus sudah siap dengan segala data maupun fakta untuk membongkar praktik mafia perminyakan.

Keanehan dan kejanggalan seperti itu, jika terus berlanjut, jelas mencemaskan. Publik khawatir kerja Pansus Angket BBM jadi berlarut-larut atau bahkan akhirnya macet. Terlebih lagi waktu yang tersedia bagi Pansus untuk bekerja sekarang ini sudah sangat terbatas. Semua tahu, agenda Pemilu 2009 amat menuntut perhatian jajaran politisi, termasuk mereka yang kini duduk di Pansus BBM maupun anggota DPR secara keseluruhan. Sekarang ini saja kampanye pemilu sudah dimulai.

Jadi, hari-hari ke depan ini jelas bakal kian menyita waktu dan konsentrasi Pansus. Artinya, dari sisi waktu, kerja Pansus amat krusial. Kalau kerja Pansus sampai berlarut, pembongkaran mafia minyak di dalam negeri jelas cuma tinggal mimpi.

Karena itu, sekali lagi kerja Pansus Angket BBM tak boleh sampai macet. Untuk itu, prioritas dan skedul kerja harus benar-benar terpetakan.
Jakarta, 16/07/2008

15 Juli 2008

Penggeseran Hari Kerja Industri Bukan Solusi

Surat keputusan bersama (SKB) lima menteri tentang pengalihan hari kerja industri ke Sabtu-Minggu, yang diteken kelima menteri terkait, kemarin, sama sekali bukan solusi atas masalah defisit pasokan listrik. SKB tak serta-merta mengubah pasokan listrik menjadi tidak defisit lagi. Toh pasokan tetap saja jauh di bawah kebutuhan. SKB sendiri hanya mengurangi risiko defisit pada hari kerja Senin-Jumat yang selama ini terjadi, karena sebagian beban jadi digeser ke Sabtu Minggu.

Jadi, krisis listrik tetap saja tak terpecahkan. SKB lima menteri lebih merupakan pengakuan bahwa pemerintah sebagai instrumen negara untuk saat ini tidak mampu mengatasi krisis listrik yang notabene merupakan infrastruktur vital. SKB juga bisa dipandang sebagai bukti tak terbantahkan bahwa negara gagal memenuhi kebutuhan akan energi listrik.

Itu sungguh tidak elok. Krisis listrik amat tak patut masih terjadi di sebuah negara yang sudah menjalani kemerdekaan lebih dari setengah abad. Kalau saja negeri kita ini baru menghirup kemerdekaan selama satu-dua tahun, krisis listrik masih bisa dimaklumi.

Walhasil, krisis listrik yang masih terjadi ketika negara menginjak usia ke 63 tahun sekarang ini merupakan cerminan bahwa kita memang tidak becus mengelola masalah energi. Pertama, kita gagal mengantisipasi peningkatan kebutuhan akan energi listrik. Kedua, kita juga telah keliru merumuskan strategi pembangunan sumber energi.

Peningkatan kebutuhan akan energi listrik -- berapa pun besarnya -- seharusnya bisa diantisipasi. Toh peningkatan kebutuhan itu tidak terjadi dalam sekejap.

Artinya, peningkatan kebutuhan akan energi listrik seharusnya bisa dihitung dan diperhitungkan dalam skala-skala waktu tertentu. Tapi kita selama ini abai mengenai soal itu. Pembangunan pusat-pusat pembangkit listrik selama ini tidak benar-benar dilakukan dengan berpijak pada kebutuhan nyata di lapangan serta tidak pula berjangkauan ke depan. Proyek-proyek pembangkit listrik dibangun lebih dalam rangka memenuhi kepentingan sempit.

Akibatnya, kita keleleran dalam menghadapi peningkatan kebutuhan akan tenaga listrik ini. Kita terkaget-kaget, panik, dan tak berdaya. Langkah solusi yang ditempuh pun, seperti SKB lima menteri yang kemarin diteken, bersifat semu karena sama sekali tidak menyelesaikan substansi masalah.

Di sisi lain, kita juga telah gagal merumuskan strategi pembangunan energi sesuai potensi sumber daya alam yang kita miliki. Potensi energi angin, energi air, atau energi panas matahari telah kita sia-siakan. Padahal potensi-potensi tersebut demikian melimpah-ruah.

Selama ini kita cenderung terpaku membangun berbagai pembangkit tenaga listrik dengan berbasiskan bahan bakar minyak (BBM) ataupun batubara. Sekarang terbukti, strategi tersebut keliru karena BBM maupun batubara bukan saja amat mahal, melainkan juga tidak menjamin kesinambungan. BBM dan batubara bukan sumber energi terbarukan.

Kekeliruan itu, belakangan, memang mulai disadari. Tapi kesadaran tersebut sudah terlambat. Ibaratnya nasi sudah telanjur jadi bubur. Sekian banyak pembangkit yang berbasiskan BBM ataupun batubara tidak mungkin seketika disingkirkan dan diganti dengan pembangkit yang punya dukungan potensi sumber daya melimpah dan relatif murah.

Jadi, solusi yang mestinya dilakukan pemerintah untuk mengatasi krisis listrik bukan langkah instan dan gampangan. Langkah itu seharusnya adalah koreksi mendasar menyangkut strategi pembangunan energi maupun manajemen kelistrikan nasional. Tanpa itu, langkah apa pun yang ditempuh sulit bisa diharapkan mampu menjawab substansi masalah secara tuntas. Jelas itu memalukan sekaligus menjadi faktor yang terus-menerus menggerogoti daya saing ekonomi nasional.***
Jakarta, 14 Juli 2008

07 Juli 2008

Ngawur, Operasional Industri Dibatasi

Penghematan energi memang perlu, bahkan urgen digalakkan. Pertama, karena energi sekarang ini sedang krisis berat. Dari sisi harga, energi kini amat mahal sebagai dampak lonjakan harga minyak maupun bahan mineral di tingkat global.

Dari sisi produksi, energi juga bermasalah. Produksi listrik di dalam negeri, misalnya, terganggu akibat kendala pasokan bahan baku pembangkit. Faktor alam juga mengganggu. Musim kemarau sekarang ini mengakibatkan kekeringan hebat yang membuat pembangkit tenaga air tak bisa beroperasi.

Kedua, penghematan urgen digalakkan karena selama ini banyak pemakaian energi yang nyata-nyata boros, tidak perlu, atau tidak produktif.

Karena itu, kita setuju seratus persen terhadap program penghematan energi yang kini kembali digalakkan pemerintah. Langkah tersebut menunjukkan kesadaran sekaligus keinginan pemerintah untuk lebih sungguh-sungguh mengoreksi perilaku buruk kita dalam mengonsumsi energi. Tanda pemerintah ingin membuang sikap setengah hati dalam menggulirkan program penghematan.

Karena itu pula, program penghematan energi patut dan wajib kita dukung. Penghematan energi jelas berdampak positif. Paling tidak, energi menjadi benar-benar digunakan sesuai kebutuhan. Energi tidak lagi cenderung dihambur-hamburkan sesuka hati.

Tetapi program penghematan energi ini menjadi terasa aneh jika diterapkan pula terhadap sektor industri. Aneh, karena rencana pembatasan operasional industri yang dicanangkan pemerintah sungguh tidak proporsional. Rencana tersebut bukan saja sama sekali tidak relevan, melainkan juga tidak nalar alias ngawur.

Betapa tidak, karena bagaimanapun industri adalah sektor produktif. Adalah sangat aneh kegiatan yang nyata-nyata produktif malah dibatas-batasi. Di negeri mana pun, industri justru didorong agar tumbuh bergairah. Jika perlu, roda industri diberi insentif supaya tak pernah berhenti berputar.

Jadi, aneh sekali jika operasional industri malah dibatasi. Bahwa pasokan energi, khususnya listrik, tidak lagi sepenuhnya menunjang, itu sama sekali tak bisa dijadikan alasan. Dalam kondisi krisis pasokan listrik sekali pun, industri tak boleh sampai dikorbankan.

Artinya, industri harus diberi prioritas utama memperoleh pasokan energi. Industri tak boleh terganggu atau apalagi telantar. Roda industri harus bisa terus berputar.

Perputaran roda industri tak boleh terganggu karena amat strategis mengusung fungsi-fungsi produksi. Jika fungsi-fungsi tersebut terganggu, kerugian menjadi begitu niscaya.

Justru itu, pembatasan operasional industri bisa berdampak sangat luas. Dunia industri harus menanggung risiko rugi. Kontrak ekspor, misalnya, bisa sulit dipenuhi karena produksi jadi menurun. Pada gilirannya, kasus-kasus seperti itu bisa berdampak melunturkan kepercayaan dunia bisnis internasional terhadap industri di dalam negeri.

Dalam konteks itu pula, kita amat memahami sikap kalangan investor Jepang terhadap rencana pemerintah membatasi operasional industri ini. Mereka tegas-tegas mengancam membatalkan rencana investasi di negeri kita. Itu sungguh merupakan disinsentif terhadap upaya pemerintah sendiri menggairahkan kembali minat investor (asing) menabur modal di dalam negeri.

Walhasil, rencana pembatasan operasional industri sama sekali tidak produktif. Rencana tersebut merupakan langkah mundur karena membuat industri nasional tidak sehat dan tidak menarik.

Karena itu, lebih baik rencana pembatasan operasional industri dibatalkan saja. Masih banyak aspek lagi yang lebih relevan dan urgen disentuh dalam rangka melaksanakan program penghematan energi ini.***
Jakarta, 6 Juli 2008

03 Juli 2008

Awas Manuver Mafia Minyak!

Mafia minyak di negeri kita ibarat angin busuk. Amat terasa menyengat, tapi tak kelihatan wujud. Karena itu pula, antara lain, mafia minyak tak pernah bisa disentuh. Tak pernah bisa diberantas.

Upaya-upaya membasmi mafia minyak memang bukan tak pernah terbersit di kalangan penentu kebijakan. Sejumlah gagasan, kebijakan, atau bahkan tindakan tercatat pernah dicanangkan pemerintah. Toh setiap langkah itu selalu saja kandas. Selalu saja berakhir sekadar sebagai keinginan.

Praktik mafia dalam dunia perminyakan kita bukan gejala kemarin sore. Boleh jadi, mafia minyak sudah sama tuanya dengan sejarah perminyakan di negeri kita. Paling tidak, mafia minyak di negeri kita sontak tumbuh subur seiring booming perminyakan nasional pada dasawarsa 1970-an.

Booming itu, yang dipicu krisis harga minyak di pasar dunia, disadari ataupun tidak telah melahirkan moral hazard. Bukan saja oknum-oknum petugas lapangan, bahkan petinggi industri perminyakan kita ikut terjerembab dalam moral hazard beraroma praktik mafia ini. Sampai-sampai perusahaan negara yang mengurusi minyak pun secara teknis sempat mengalami bangkrut.

Jadi, mafia minyak ini sudah berurat dan berakar. Tak mengherankan kalau mereka sulit sekali bisa dibasmi. Rezim penguasa boleh berganti-ganti. Kebijakan juga boleh diubah-ubah untuk disempurnakan. Tetapi tetap saja mafia minyak sakti mandraguna: tak pernah bisa disentuh, apalagi diberantas. Praktik mafia terus saja menjadi hantu yang menyedot industri perminyakan kita menjadi amat tidak ekonomis.

Kerugian akibat sedotan hantu mafia minyak ini naudzubillah besar. Dalam setahun, nilai kerugian itu bukan lagi miliaran, tapi diyakini hingga triliunan rupiah. Ya, karena praktik mafia menggerogoti hampir setiap sendi industri perminyakan kita.

Justru itu pula, praktik mafia mengakibatkan negara menanggung kerugian. Rakyat juga dibuat sengsara karena harga BBM di dalam negeri menjadi jauh di atas semestinya. Bahkan, konon, di tengah lonjakan harga minyak di pasar internasional sekarang ini, harga BBM di dalam negeri tak mesti naik kalau saja industri perminyakan kita benar-benar bebas praktik mafia.

Tetapi, itu tadi, kiprah mafia minyak ini sekadar terasa sebagai angin busuk. Karena nyaris tak pernah berwujud, praktik mafia dengan segala kerugian yang diderita negara hanya bisa direka-reka. Sekadar dikira-kira.

Karena itu, kita amat berharap penggunaan hak angket DPR tidak ditujukan untuk soal lain kecuali untuk membongkar sekaligus membasmi praktik mafia ini. Justru lewat peran DPR melalui penggunaan hak konstitusional berupa angket maka praktik mafia bisa dibuktikan benar adanya -- bukan lagi sekadar ibarat hantu ataupun angin busuk.

Namun, tentu, itu bukan pekerjaan mudah. Paling tidak, mafia minyak sendiri jelas tak akan tinggal diam. Mereka tak bakal rela hati dibongkar dan kemudian dilumat bak kecoa. Seperti yang sudah-sudah, boleh diyakini bahwa mereka akan berupaya dengan berbagai cara menjegal setiap langkah ke arah tindakan yang menghancurkan kepentingan mereka sendiri.

Dengan kata lain, seiring proses angket di DPR, mafia minyak amat mungkin melakukan manuver. Itu bisa berupa akrobat politis, bisa pula tindakan ekonomis. Manuver ini, boleh jadi, pertama-tama dan terutama ditujukan terhadap Panitia Khusus (Pansus) Angket DPR sebagai institusi yang sengaja dibentuk untuk membongkar dan membasmi mafia minyak.

Jadi, seiring proses angket di tangan Pansus DPR, manuver mafia minyak ini sungguh perlu diwaspadai. Intinya, jangan sesekali lengah. Mafia bisa melakukan manuver dari delapan penjuru angin. Manuver juga bisa dilakukan dalam berbagai bentuk, termasuk yang tak pernah terpikirkan sekalipun.

Tentu, sungguh konyol dan kelewatan jika Pansus Angket DPR sendiri sampai tergoda bermain mata dengan mafia minyak ini. Bukan saja itu menjadi bukti bahwa penggunaan hak angket hanya main-main, melainkan juga berimplikasi kian merusak citra kelembagaan DPR. Publik akan beroleh kesan bahwa DPR sudah menjadi sarang korupsi.
Jakarta, 2 Juli 2008