30 Agustus 2013

Setelah BI Rate Naik

Penaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) alias BI Rate sebesar 50 basis poin menjadi 7 persen membawa konsekuensi plus dan minus. Laju inflasi, misalnya, sangat mungkin tertahan. Inflasi, yang sekarang ini begitu nyata menunjukkan gelagat mengkhawatirkan, amat bisa diharapkan tak keterusan bablas menyentuh langit tinggi.

Di sisi lain, tekanan terhadap nilai tukar rupiah juga boleh jadi mereda. Bahkan mungkin saja kurs rupiah, yang dalam beberapa pekan terakhir babak-belur, perlahan-lahan berbalik menjadi menguat.

Kecenderungan itu bukan mustahil, karena pemilik modal sangat mungkin tergerak mengonversi dana valas -- termasuk dolar AS -- ke rupiah. Kemungkinan tersebut masuk akal, karena kenaikan BI Rate membuat bunga simpanan dalam rupiah jelas menjadi lebih atraktif.

Itu pula yang bisa diharapkan membuat cadangan devisa di BI tak terus terkuras untuk keperluan operasi stabilisasi rupiah. Dengan kurs rupiah yang menjadi stabil, BI menjadi tak perlu lagi melakukan intervensi ke pasar uang.

Pada gilirannya pula, kenyataan tersebut mewujudkan sentimen positif bagi pemilik dana. Sentimen tersebut bahkan sudah langsung direspons positif pelaku di pasar modal dalam negeri, sehingga indeks harga saham gabungan (IHSG) kemarin ditutup menguat signifikan, yaitu 91,49 poin atau 2,23 persen dibanding saat penutupan perdagangan Kamis lalu.

Kurs rupiah juga memperlihatkan gambaran serupa. Berdasarkan kurs tengah BI, kemarin, transaksi rupiah-dolar AS ditutup menguat 12 poin dibanding posisi penutupan transaksi Kamis. Itu merupakan pertanda awal bahwa kepercayaan pemilik dana terhadap rupiah, yang belakangan ini cenderung meluntur, pulih kembali.

Memang, beberapa faktor lain turut menentukan arah penguatan kurs rupiah dalam hari-hari mendatang ini. Misalnya isu kebijakan bank sentral AS yang bisa saja menjadi sentimen yang menahan pergerakan positif rupiah. Tetapi, isu seperti itu tidak lantas menahan pemulihan kepercayaan pemilik dana terhadap rupiah.

Meski begitu, penaikan BI Rate ini bukan tanpa risiko. Bahkan risiko tersebut bisa mencemaskan. Itulah: perbankan nasional tergiring memasuki zona bahaya terkait beban cost of fund dan risiko kredit bermasalah. Risiko tersebut hampir pasti meningkat seiring kenaikan bunga pinjaman.

BI Rate memang bukan kewajiban yang harus diikuti perbankan dengan menaikkan bunga pinjaman. BI Rate sekadar acuan. Artinya, setelah BI Rate naik, bank boleh melakukan penyesuaian bunga pinjaman ataupun tidak.

Tetapi, dalam hitung-hitungan ekonomis, perbankan nyaris tak punya pilihan lain kecuali merespons penaikan BI Rate dengan mengerek bunga pinjaman. Jadi, meski disadari meningkatkan risiko kredit bermasalah, bunga pinjaman di bank-bank dalam negeri hampir pasti meningkat.

Bagi khalayak luas, khususnya investor, kenaikan bunga pinjaman jelas menyulitkan. Biaya investasi menjadi mahal. Karena itu, kegiatan investasi pun mungkin jadi tersendat. Konsekuensinya, pertumbuhan ekonomi nasional sulit dipacu. Target pertumbuhan yang dicanangkan pemerintah semakin berat untuk bisa diraih.

Namun mudah-mudahan kecenderungan itu hanya berlangsung sementara. Toh BI sendiri berkomitmen bahwa penaikan BI Rate ke level 7 persen sekadar tindakan temporer dalam rangka meredam sentimen negatif yang melucuhkan kurs rupiah.

Jadi, setelah nanti kurs rupiah kokoh-stabil, BI Rate bisa diharapkan diturunkan lagi. Dengan demikian, kehidupan ekonomi bisa kembali bergairah lagi.***

Jakarta, 30 Agustus 2013

Tantangan Fiskal


RAPBN 2013, yang pekan lalu diajukan pemerintah ke DPR untuk dibahas, sarat optimisme. Pertumbuhan ekonomi, misalnya, diasumsikan 6,8 hingga 7,2 persen. Angka tersebut meningkat dibanding asumsi pertumbuhan ekonomi dalam APBN Perubahan 2012 sebesar 6,5 persen.

Di tengah optimisme seperti itu, perekonomian global justru belum juga menunjukkan gambaran melegakan. Krisis ekonomi masih membelit negara-negara maju, terutama di belahan Eropa dan AS. Meski para pemimpin Eropa intensif menggalang  langkah-langkah penanganan, ekonomi mereka tetap saja mengundang gusar. Begitu pula AS sebagai raksasa ekonomi dunia belum benar-benar bisa melepaskan diri dari deraan krisis.

Kenyataan seperti itu menggusarkan karena sedikit banyak niscaya berimbas ke lingkup global, termasuk Indonesia. Bahkan dampak krisis ekonomi di belahan Eropa dan AS ini sebenarnya sudah mulai berimbas negatif terhadap kehidupan ekonomi nasional. Imbas itu gamblang tecermin dalam kinerja ekspor Indonesia belakangan ini yang menunjukkan kecenderungan memburuk. Terutama ekspor komoditas primer, yang notabene selama ini merupakan andalan ekspor nasional, jeblok.

Jadi, kinerja ekspor memburuk karena harga komoditas primer primer seperti batubara dan minyak sawit mentah (CPO) rontok. Karena itu pula, defisit dalam neraca perdagangan pun belakangan ini terkuak dan cenderung terus melebar.

Kenyataan itu merupakan risiko tak terhindarkan karena Indonesia telanjur menjadikan negara-negara yang kini dilanda krisis ekonomi sebagai pasar utama. Jadi, di tengah krisis ekonomi yang masih membelit negara-negara tujuan ekspor ini, kinerja ekspor nasional pun tak bisa banyak diharapkan segera membaik.

Jadi, dalam perspektif itu, secara keseluruhan prospek ekonomi nasional juga sebenarnya tak kinclong-kinclong amat. Bahkan mengingat tekanan-tekanan beban fiskal yang dihadapi pemerintah sebagaimana terpapar dalam RAPBN 2013 -- juga di samping tekanan eksternal sebagai imbas krisis ekonomi global -- bisa dikatakan kehidupan ekonomi nasional ke depan ini tergolong rawan terhempas.

Meski begitu, optimisme pemerintah mengenai prospek ekonomi tahun depan ini patut diapresiasi. Paling tidak, karena optimisme itu menunjukkan sikap percaya diri serta tekad meraih kemajuan. Dengan membuat asumsi-asumsi ekonomi serba optimistis, pemerintah tak punya untuk berleha-leha.

Dengan kata lain, optimisme pemerintah merupakan pijakan untuk bekerja keras -- terutama merealisasikan pendapatan negara sebagai amunisi dalam meraih target-target ekonomi. Dalam konteks ini, penerimaan pajak jelas semakin menjadi
andalan.

Pemerintah sendiri, dalam RAPBN 2013, menargetkan pendapatan negara sebesar Rp 1.507,7 triliun. Nah, untuk itu penerimaan pajak ditargetkan memberi kontribusi 80 persen atau senilai Rp 1.78,9 triliun. Angka tersebut naik 16 persen dibanding penerimaan pajak dalam APBNP 2012. Dengan itu, rasio pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) mencapai 12,7 persen.

Memang, angka itu sudah meningkat 11,9 persen dibanding
rasio pajak dalam APBN 2012. Namun, mengingat situasi dan kondisi ekonomi global yang tidak cukup kondusif, kenaikan tersebut masih terasa kurang memadai untuk menghadapi tantangan-tantangan fiskal yang dihadapi pemerintah.

Dengan kata lain, penerimaan pajak mestinya jauh lebih besar dari ekspektasi atau target pemerintah sebagaimana tertuang dalam RAPBN 2013. Untuk itu, kinerja perpajakan mutlak mesti kinclong. Dalam konteks ini pula, kebocoran akibat praktik kongkalingkong antara oknum pegawai pajak dan wajib pajak harus bisa ditekan habis-habisan.***

Jakarta, 30 Agustus 2013

29 Agustus 2013

Hemat Energi

Gerakan hemat energi, khususnya migas, semakin urgen dilaksanakan. Urgen, karena migas -- notabene harus diimpor -- merupakan sumber utama defisit dalam neraca perdagangan. Migas memberi kontribusi besar dalam defisit neraca perdagangan ini akibat konsumsi terus membengkak. 

Data menunjukkan, tahun lalu impor migas ini mencapai 43 miliar dolar AS. Angka ini berlipat dibanding posisi tahun 2010 sebesar 22 miliar dolar AS.

Kenyataan seperti itu tak harus terjadi kalau saja neraca perdagangan migas kita tidak defisit. Tetapi begitulah: akibat konsumsi yang tak terkendali, impor migas kita jauh lebih tinggi dibanding produksi migas di dalam negeri. Selama semester I/2013 saja, impor migas mencapai 22,105 juta dolar AS, sementara ekspor hanya 16,284 juta dolar AS.

Dengan kondisi kurs rupiah yang terdepresiasi begitu dalam, beban impor migas ini menjadi sungguh kian menyesakkan. Itu pula yang serta-merta menorehkan kondisi defisit dalam neraca perdagangan semakin kritis. Kondisi tersebut, tak bisa tidak, menjadi sentimen negatif yang amat menekan rupiah belakangan ini.

Kita menghargai kesadaran dan tekad pemerintah untuk mengendalikan masalah defisit dalam neraca perdagangan ini. Tekad tersebut ditunjukkan dengan meluncurkan paket kebijakan yang memberi insentif terhadap kegiatan ekspor.

Tetapi itu tidak cukup. Bagaimanapun, penggalakan ekspor harus dilakukan paralel dengan upaya nyata menekan impor, termasuk impor migas sebagai faktor yang memberi kontribusi besar terhadap defisit dalam neraca perdagangan. Impor migas sendiri hanya mungkin bisa ditekan secara signifikan dengan menurunkan konsumsi migas.

Karena itu, gerakan hemat energi menjadi sangat urgen. Gerakan ini harus benar-benar dilakukan dalam berbagai wujud dan berbagai lini. Jika tidak, pemerintah niscaya dihadapkan pada kondisi sulit menyangkut keuangan negara. Beban impor migas pasti sangat menggerogoti APBN, sehingga pemerintah sangat mungkin harus mempertimbangkan lagi opsi penaikan harga BBM.

Tetapi realitas di lapangan menunjukkan, masyarakat masih belum lagi sembuh akibat "luka" penaikan harga BBM beberapa waktu lalu. Bahkan bagi pemerintah sendiri, penaikan harga BBM juga sangat menyulitkan karena menjadi biang kerok inflasi.

Jadi, secara psikologis, penaikan kembali harga BBM bukan opsi yang layak dipertimbangkan untuk mengatasi defisit dalam neraca pembayaran saat ini. Secara sosial dan politis, penaikan kembali harga BBM untuk sementara ini juga bukan opsi strategis -- karena berdampak menambah dalam "luka" yang diderita khalayak luas.

Walhasil, gerakan hemat energi adalah pilihan paling mungkin dan berdampak strategis dalam menekan impor migas. Karena itu, sekali lagi, gerakan tersebut sangat urgen digelorakan.

Pemerintah sendiri sudah menyadari manfaat gerakan hemat energi ini. Namun pemerintah selama ini justru tidak konsisten, sehingga gerakan hemat energi hanya menjadi program hangat-hangat tahi ayam. Gerakan hemat energi sekadar dicanangkan sebagai wujud kekalutan pemerintah menghadapi gejolak harga migas di pasar global. Ketika tekanan gejolak itu sudah lewat, pemerintah seperti alpa terhadap gerakan hemat energi ini. Bahkan, seperti tecermin dalam program mobil murah, pemerintah seolah memberi insentif terhadap faktor yang justru meningkatkan konsumsi BBM.***


Jakarta, 29 Agustus 2013

28 Agustus 2013

Paket Kebijakan Ekonomi


Nilai tukar rupiah maupun harga saham-saham masih saja cenderung melorot. Apakah ini berarti empat paket kebijakan ekonomi, yang diluncurkan pemerintah akhir pekan lalu, sama sekali tak direken pasar?

Secara konseptual, paket kebijakan itu sebenarnya oke: memberi sinyal positif tentang arah perbaikan ekonomi nasional di tengah gonjang-ganjing krisis ekonomi global sekarang ini. Tetapi, boleh jadi, pelaku pasar uang maupun pasar modal tidak yakin bahwa perbaikan itu bisa menjadi kenyataan.

Dengan kata lain, pelaku pasar terkesankan meragukan komitmen pemerintah melakukan pembenahan ekonomi sebagaimana diniatkan dalam empat paket kebijakan tadi. Bagi mereka, komitmen bagus saja tidak cukup. Bagaimanapun, komitmen baru punya makna kalau terjamin bukan sekadar lip service alias bukan isapan jempol belaka.

Patut diakui, selama ini pemerintah memang acap mempertontonkan tabiat kurang elok: tidak konsisten melaksanakan kebijakan ataupun program kerja. Banyak kebijakan dan program kerja terkesankan dilaksanakan tidak dengan sepenuh hati alias ogah-ogahan. Paling tidak, kesungguhan merealisasikan kebijakan dan program acap lambat-laun mengendur -- lalu menguap begitu saja -- seiring perjalanan waktu.

Sekadar contoh konkret adalah larangan transaksi di dalam negeri menggunakan valuta asing, terutama dolar AS. Kebijakan tersebut diluncurkan pemerintah tahun 2008 silam di tengah gonjang-ganjing krisis global yang membuat kurs rupiah tertekan hebat -- mirip situasi dan kondisi sekarangn ini.

Perlahan tapi pasti, kebijakan itu menguap entah ke mana. Bahkan, sebagaimana tecermin dalam laporan kekayaan yang disampaikan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), para pejabat publik di pemerintahan tanpa sungkan-sungkan memperlihatkan kegandrungan menyimpan dana dalam denominasi valuta asing, khususnya dolar AS.

Karena itu, wajar jika sekarang ini pelaku pasar terkesankan skeptis atau bahkan tak yakin bahwa empat paket kebijakan pemerintah dalam rangka penyelamatan ekonomi nasional bisa efektif diimplementasikan. Tidak mengherankan, pergerakan kurs rupiah maupun indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) pun terus terkoreksi secara negatif.

Berpijak kepada kecenderungan seperti itu, tak bisa lain bagi pemerintah kecuali segera menjabarkan empat paket kebijakan itu menjadi program-program kerja yang fokus terarah dan nyata terukur. Juga, ibarat lomba marathon, pemerintah sama sekali tak boleh lelet dan tak boleh lelah berlari terus sampai garis finis.

Bersikap cermat dan jeli dalam merumuskan program kerja memang perlu. Terlebih program kerja itu amat diharapkan menjadi penawar terpaan krisis ekonomi global. Tetapi sikap tersebut tak boleh sampai menimbulkan persepsi negatif di mata publik: seolah pemerintah setengah hati untuk melangkah.

Persepsi publik seperti itu bukan hanya tidak produktif, melainkan juga berbahaya: ekonomi nasional -- wabil khusus kurs rupiah dan IHSG -- bisa semakin terpuruk. Jika itu yang terjadi, paket kebijakan ekonomi yang pekan lalu diluncurkan pemerintah niscaya tak punya arti sama sekali. Di sisi lain, jelas: kehidupan ekonomi nasional niscaya amburadul diterjang krisis.***

Jakarta, 28 Agustus 2013

25 Agustus 2013

Jurus Mengatasi Rupiah


Bank Indonesia (BI) mulai menerapkan banyak jurus untuk meredam tren penurunan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS belakangan ini. Selain intensif melakukan intervensi ke pasar valuta asing dengan mengguyurkan dolar AS sejak pekan lalu, BI juga mulai menerap surat utang negara (SUN).

Lalu, kemarin BI juga memutuskan menaikkan suku bunga deposit fasility dan BI Rate masing-masing sebesar 25 basis poin menjadi 4,25 persen dan 6 persen. Selain itu, pimpinan BI pula masih menyiapkan jurus-jurus lain siap digulirkan jika memang diperlukan.

Efektivitas berbagai jurus itu sendiri masih harus ditunggu dalam beberapa hari ini. Mudah-mudahan, tentu, kurs rupiah segera stabil alias tidak terus terseok-seok lagi seperti dalam beberapa pekan terakhir. Namun kalau ternyata kurs rupiah tetap loyo, kita layak khawatir.

Pertama, karena upaya stabilisasi kurs ini sudah makan ongkos yang tak bisa dibilang kecil. Ongkos tersebut paling tidak sudah mencapai 2,12 miliar dolar AS, sehingga cadangan devisa pun susut menjadi 105,149 miliar dolar AS per 31 Mei lalu.

Jadi, kalau intervensi ke pasar valuta asing terus dilakukan BI, sementara kurs rupiah tetap cenderung melemah, berarti ongkos yang dikeluarkan semakin besar sehingga cadangan devisa kian terkuras. Kenyataan seperti itu secara psikologis sungguh rentan terhadap kurs rupiah karena bisa mengundang reaksi negatif di pasar uang.

Kedua, kita juga layak khawatir karena kurs rupiah sempat menembus level psikologis Rp 10.000 per dolar AS. Jika hari-hari ke depan ini kurs rupiah ternyata masih cenderung tertekan, bukan tidak mungkin batas psikologis itu jebol lagi. Jika itu yang terjadi, kepanikan hampir pasti melanda pasar valas. Konsekuensinya, tekanan terhadap rupiah makin berat lagi.

Kemungkinan ke arah itu bukan mustahil. Di satu sisi, karena jurus-jurus yang ditebar BI belum tentu memang merupakan jawaban yang pas untuk mengatasi tren depresiasi rupiah ini. Di sisi lain, juga karena bukan tidak mungkin aneka jurus itu malah dipersepsi pelaku pasar sebagai wujud kepanikan BI dalam menghadapi tekanan terhadap rupiah belakangan ini.

Sebenarnya, upaya stabilisasi rupiah ini bukan melulu tegas BI. Bagaimanapun, pemerintah juga memiliki tanggung jawab untuk berbuat konkret dan padu dengan apa yang dilakukan BI.
Namun pemerintah justru terkesankan masih tenang-tenang saja. Seolah-olah pemerintah menyerahkan penuh upaya stabilisasi rupiah kepada BI. Padahal, boleh jadi, sumber masalah yang memicu pelemahan kurs rupiah sekarang ini terletak di sisi pemerintahan.

Tentang itu, sejumlah kalangan sudah sejak jauh hari mengingatkan bahwa faktor yang belakangan menekan kurs rupiah ini antara lain rencana penaikan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi yang terus menggantung akibat keragu-raguan pemerintah mengambil keputusan. Juga soal defisit dalam neraca pembayaran yang belum terlihat ditangani pemerintah secara serius dan mengesankan. Belum lagi beban utang pemerintah yang sudah menumpuk -- melampaui Rp 2.000 triliun --, sementara utang baru terus saja dijala.

Walhasil, pemerintah sangat diharapkan segera berbuat. Pemerintah jangan lagi bersikap busisess as usual dalam menghadapi tren pelemahan rupiah ini. Bahu-membahu bersama BI, pemerintah harus segera melakukan langkah konkret untuk meredakan tren itu. Antara lain dengan merespons isu-isu yang memicu sentimen negatif di masyarakat, terutama di pasar uang.***

Jakarta, 25 Agustus 2013