08 Maret 2015

Ahok dan DPRD Perlu Belajar Lagi Komunikasi

Hingar-bingar perseteruan antara Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dan DPRD DKI Jakarta soal RAPBD 2015 sungguh mengesalkan sekaligus mencemaskan. Mengesalkan, karena perseteruan itu berlarut-larut sehingga menyita energi dan waktu kedua belah pihak secara tidak perlu.

Kedua belah pihak bukannya mencari solusi yang bersifat win win, sehingga masing-masing tak kehilangan muka atau merasa menjadi pecundang. Mereka malah larut dalam perang pernyataan yang cenderung tidak mengindahkan etika sosial.

Dalam konteks itu, Ahok maupun pihak DPRD terkesankan tidak mampu menjalin dialog secara baik. Bahkan forum dialog yang difasilitasi Kemdagri justru mereka jadikan sebagai ajang saling caci. Kedua belah pihak tidak menunjukkan keinginan untuk segera menyelesaikan perseteruan secara baik.

Karena itu pula, perseteruan antara Ahok dan DPRD ini menjadi mencemaskan. Fungsi pemerintahan dikhawatirkan terganggu -- atau bahkan bukan mustahil lumpuh -- sehingga kepentingan publik niscaya menjadi korban. Berbagai jalan raya yang rusak digerus hujan, misalnya, kini terbengkalai alias tidak mendapat sentuhan perbaikan. Atau, contoh lain, anak yatim piatu di berbagai panti asuhan terancam telantar.

Perselisihan, dalam konteks apa pun, adalah soal biasa. Meski begitu, perselisihan tidak boleh berubah menjadi laiknya pertarungan dua musuh bebuyutan seperti ditunjukkan Ahok dan DPRD dalam beberapa pekan terakhir. Perselisihan di antara mereka sudah melampaui batas kewajaran dan kapatutan, sehingga berlarut-larut serta emosional.

Ahok maupun pihak DPRD terkesankan tidak mampu mengendalikan diri dan dirasuki keinginan saling menyalahkan dan saling mengalahkan. Dalam konteks itu, mereka tak hirau menabrak norma-norma etika.

Selain itu, masing-masing pihak juga tidak menjadikan kepentingan publik terkait peran dan fungsi pemerintahan sebagai hal yang mereka jaga bersama. Mereka lupa bahwa pemerintahan harus tetap berperan dan berfungsi normal.

Alhasil, Ahok maupun DPRD harus belajar lagi membangun komunikasi politik yang santun, menyejukkan, produktif, dan bermanfaat bagi kepentingan warga DKI Jakarta. Pertikaian frontal kedua pihak, terutama dalam beberapa pekan terakhir, bukan cuma melahirkan kegaduhan di ruang publik. Pertikaian itu juga menumbuhkan benih-benih keretakan sosial.

Sementara itu, sebagai pejabat publik, Ahok juga perlu lebih mengindahkan tata krama dan kepatutan dalam berinteraksi dengan masyarakat. Selama ini dia cenderung tidak tampil sebagai pimpinan yang menenteramkan dan mengayomi. Membentak-bentak atau bahkan menantang warga beradu fisik sungguh tidak patut sama sekali dilakukan pemimpin setingkat Gubernur DKI Jakarta.

Menghadapi masyarakat yang beraneka ragam latar belakang dan kepentingan jelas tidak selalu nyaman dan tidak menyenangkan. Justru  itu pemimpin seperti Ahok wajib memiliki watak sabar, toleran, adil, dan terutama mengindahkan nilai-nilai etika serta kepatutan sosial. Sikap-tindak pemimpin berangasan bukan hanya mematrikan kesan arogan atau pongah, namun juga diam-diam menumbuhkan kebencian publik.

Kebencian atau antipati itu sudah mulai tumbuh. Itu antara lain ditunjukkan Gerakan Masyarakat Jakarta (GMJ). Mereka mendukung upaya-upaya pelengseran Ahok bukan lantaran tidak setuju atau antiprinsip good corporate governance diterapkan di lingkungan pemerintahan DKI Jakarta, melainkan terutama muak dan resah oleh sikap-tindak Ahok selaku pemimpin yang mereka nilai pongah serta kurang beretika.

Ahok tak boleh memandang remeh fenomena sosial seperti ditunjukkan GMJ atau ormas-ormas lain yang terang-terangan melakukan perlawanan terhadap kepemimpinannya. Boleh jadi, itu adalah fenomena gunung es atau bola salju.

Karena itu, gaya kepemimpinan Ahok harus berubah menjadi menyejukkan tapi tetap lugas dan tegas.***

Jakarta, 8 Maret 2015

05 Maret 2015

Jangan Anggap Remeh Gejolak Harga Pangan

Spekulasi bahwa harga gula di dalam negeri potensial meroket seperti harga beras, daging, dan sejumlah bahan pokok lain sungguh tidak berlebihan. Itu karena pasokan gula ke pasar kemungkinan menyusut sebagai konsekuensi atas konflik diplomatik Indonesia dengan Brasil dan Australia terkait eksekusi hukuman mati terpidana kasus peredaran narkoba. Konflik diplomatik kemungkinan mengganggu hubungan dagang kita dengan kedua negara, termasuk impor gula.

Selama ini, Brasil merupakan salah satu sumber utama kita dalam mengimpor gula. Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), tahun lalu kita mengimpor gula mentah (raw sugar) dari Brasil sebanyak 427.493 ton.

Angka itu sekitar 13,4 persen dari rata-rata total impor gula mentah Indonesia. Dalam kondisi tertentu, persentase impor gula dari Brasil ini bisa mencapai 15 persen atau bahkan 20 persen.

Australia juga sumber utama kita dalam mengimpor gula ini. Volume impor gula mentah dari Australia rata-rata hampir mencapai 400.000 ton per tahun atau sekitar 12,2 persen dari total impor gula mentah kita.

Di luar kedua negara itu, kita juga biasa mendatangkan gula dari Thailand, India, dan beberapa negara Afrika.

Seperti juga beras ataupun daging, kita terpaksa mengimpor gula karena produksi di dalam negeri tidak memadai. Produksi gula kita maksimal sekitar 2,5 juta ton per tahun, sementara kebutuhan konsumsi sekitar 5,7 juta ton per tahun -- termasuk kebutuhan untuk industri. Alhasil, setiap tahun kita harus mengimpor gula mentah rata-rata 3,2 juta ton.

Di tengah konflik diplomatik kita saat ini dengan Brasil dan Australia, sekitar 30 persen atau hampir 1 juta ton kebutuhan gula impor, yang selama ini didatangkian dari kedua negara itu, kemungkinan terganggu. Sementara alternatif sumber impor bukan perkara mudah bisa didapat. Impor dari Thailand, misalnya, tak bisa serta-merta dilipatgandakan. Paling tidak, perlu proses pembicaraan atau negosiasi yang niscaya relatif panjang untuk bisa mengkonversi impor gula dari Brasil dan Australia ke Thailand ini.

Alhasil, dalam situasi seperti itu harga gula di dalam negeri memang potensial meroket. Bukan cuma gula, melainkan juga aneka produk makanan dan minuman yang mengandung bahan gula sebagai pemanis rasa.

Itu tak pelak lagi akan menjadi pukulan tambahan bagi masyarakat luas setelah babak belur dihajar kenaikan harga beras, daging, dan sejumlah bahan pangan lain. Belum lagi harga bahan bakar minyak (BBM), gas elpiji, dan tarif listrik juga naik lagi.

Gejolak harga aneka bahan kebutuhan pokok itu harus diwaspadai, karena bisa menjadi malapetaka. Harga pangan saja berkontribusi sekitar 50 persen terhadap laju inflasi. Artinya, daya beli masyarakat melorot signifikan akibat kenaikan harga pangan ini. Itu juga berarti, penduduk hampir miskin menjadi jatuh miskin, dan  penduduk yang sudah miskin menjadi semakin miskin.

Karena itu, pemerintah harus waspada. Gejolak harga aneka kebutuhan pokok sekarang ini tak boleh dianggap enteng. Gejolak tersebut harus bisa segera diatasi sebelum keluhan masyarakat berubah menjadi kemarahan sosial yang bisa berdampak menggoyahkan stabilitas politik di dalam negeri.

Patut disadari, keberhasilan pemerintah mengendalikan harga aneka kebutuhan pokok masyarakat ini akan menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan Presiden Jokowi. Kalau gejolak harga itu tak bisa diatasi, maka publik akan memvonis Jokowi  gagal menyejahterakan rakyat.

Patut disadari pula bahwa kekecewaan rakyat terhadap kinerja pemerintah ini setiap saat bisa berubah menjadi kemarahan atau bahkan keberingasan sosial. Sejarah sudah membuktikan itu.***

Jakarta, 5 Maret 2015

02 Maret 2015

Pulihkan Rasa Aman

Tindak perampasan sepeda motor belakangan ini, yang bisa dikatakan marak -- terutama di Tangerang, Bekasi, dan Depok -- telah membuat masyarakat dicekam ketakutan. Aparat kepolisian harus memberantas tindak kejahatan begal sepeda motor ini. Sebagai pelindung masyarakat, polisi wajib mengembalikan rasa aman khalayak luas.

Masyarakat kini dicekam waswas mengendarai sepeda motor -- terutama di malam hari -- karena pelaku pembegalan bukan cuma merampas kendaraan, melainkan juga tak segan melukai korban secara sadistis. Seperti kasus di Jalan Margonda dan Jalan Juanda, Depok, Januari  lalu, pelaku menusuk korban berkali-kali hingga tewas.

Para pelaku pembegalan motor tampaknya memang bukan cuma berbekal nyali besar bin nekad, melainkan juga -- seperti berbagai laporan yang diterima polisi -- melengkapi diri dengan senjata berupa pisau, golok, samurai, bahkan juga senjata api. Mereka biasa beraksi di malam hari, terutama di jalur jalan yang sepi dan minim penerangan.

Polisi mencatat, tindak pencurian sepeda motor di wilayah hukum Polda Metro Jaya selama Januari 2015 saja mencapai 260 kasus -- notabene sebagian besar berupa aksi pembegalan. Rangkaian kasus pembegalan sepeda motor itu tak pelak membuat rasa aman masyarakat nyaris sirna. Padahal, tak sedikit masyarakat Tangerang, Bekasi, juga Depok mencari nafkah di Jakarta dan biasa pulang setelah hari larut.

Mereka yang mengandalkan sepeda motor sebagai sarana transportasi itu otomatis sangat berisiko menjadi korban tindak pembegalan dalam perjalanan pulang di malam hari. Wajar kalau kelompok tersebut hari-hari ini dicekam kecemasan.

Kecemasan masyarakat atas kemungkinan menjadi korban begal sepeda motor ini kian menjadi karena polisi terkesankan tidak berdaya atau paling tidak  kewalahan. Polisi seperti keteteran dalam mengatasi tindak kejahatan tersebut.

Memang polisi sudah membekuk sejumlah pelaku tindak pembegalan ini. Beberapa terduga pelaku bahkan ditembak hingga mati. Tetapi itu tak serta-merta membuat keresahan masyarakat lantas sirna, karena laporan korban pembegalan sepeda motor terus saja berdatangan ke kantor polisi.

Kenyataan itu tak boleh terus berlangsung. Ketakutan dan kegeraman masyarakat terhadap kejahatan begal motor tak boleh sampai berkembang menjadi aksi massa main hakim sendiri terhadap pelaku yang tertangkap.

Adalah berbahaya jika amuk massa main hakim sendiri dengan cara menghajar pelaku hingga babak belur atau bahkan membunuhnya secara sadistis dianggap sebagai cara efektif memberantas kejahatan. Itu berbahaya karena bisa membuat tertib bermasyarakat menjadi kacau, sekaligus meruntuhkan moral khalayak luas.

Selain itu, marwah kelembagaan polisi juga jelas menjadi hancur. Di tengah fenomena massa main hakim sendiri secara beringas dan sadistis terhadap pelaku kejahatan, polisi tidak lagi dianggap serta tidak dihargai sebagai pengayom dan pelindung masyarakat.

Fenomena seperti itu sungguh tak boleh terjadi. Oleh sebab itu, tindak kejahatan begal sepeda motor yang sudah meresahkan masyarakat harus segera bisa diberantas. Polisi wajib mengerahkan segala daya, sehingga rasa aman di masyarakat bisa pulih.

Sungguh aneh jika polisi seperti tak berdaya menghadapi kejahatan begal motor ini. Aneh, karena polisi jelas memiliki kemampuan hebat untuk memberantas aksi-aksi kejahatan, termasuk tindak pembegalan sepeda motor. Bukankah polisi bahkan mampu memerangi kejahatan terorisme yang lebih njelimet ketimbang fenomena begal motor?

Polisi sebenarnya sudah mengidentifikasi peta kejahatan begal sepeda motor ini. Polisi menyebut bahwa pelaku begal tersebut di Jabotabek adalah kelompok Lampung, kelompok Indramayu, kelompok Malingping, dan kelompok Palembang. Polisi juga sudah mengidentifikasi bahwa aksi begal sepeda motor di Jabodetabek terutama sering terjadi di 54 titik.

Karena itu, sama sekali tidak masuk akal kalau tindak pembegalan sepeda motor tetap marak seperti sekarang ini. Mengapa polisi seperti keteteran?***

Jakarta, 2 Maret 2015

26 Februari 2015

RUU Kamnas, Mengapa Tidak?

Menganggap RUU Keamanan Nasional (Kamnas) sebagai ancaman serius terhadap kehidupan demokrasi, kemerdekaan berpendapat, serta kebebasan berekspresi adalah berlebihan. Berlebihan, karena anggapan itu menempatkan pemerintah selaku pengusul RUU Kamnas seolah-olah punya niat jahat: ingin mengubur demokrasi sekaligus memasung kemerdekaan berpendapat dan kebebasan berekspresi.

Bersikap apriori terhadap isu strategis seperti RUU Kamnas adalah wajar atau bahkan perlu jika itu merupakan landasan sikap kritis-konstruktif. Dengan menjadikan apriori sebagai sikap kritis-konstruktif, secara substansial dan moral isu strategis itu pun bisa diharapkan melahirkan manfaat positif bagi semua pihak.

Tetapi kalau apriori lebih merupakan wujud kecurigaan yang berujung paranoid atas niat pemerintah mengajukan RUU Kamnas, sikap itu kehilangan relevansi. Apriori lantaran curiga dan paranoid bahkan berbahaya, karena berarti menafikan begitu saja semangat dan substansi RUU Kamnas sekaligus mematikan sikap kritis.

Jadi, jangan karena curiga atau paranoid terhadap niat pemerintah, lantas RUU Kamnas secara apriori kita tolak mentah-mentah. Adalah elegan jika kita sebagai anak bangsa ikut mengkaji dan menyiapkan ruang bagi RUU Kamnas agar dapat memberi manfaat nyata bagi bangsa dan negara.

Kita patut berperan mengawal proses pembahasan RUU Kamnas di DPR sehingga semangat maupun substansi perundangan itu menapak dalam koridor demokrasi dan mewadahi kebebasan berpendapat maupun kemerdekaan berekspresi. Dengan kata lain, RUU Kamnas tidak menjadi produk hukum yang merestui pendekatan keamanan yang bersifat represif alias antidemokrasi.

Secara substansial, RUU Kamnas terutama mengusung semangat menjaga keselamatan bangsa dan negara. Di tengah kondisi dunia yang -- berkat kemajuan teknologi -- sudah tanpa batas sekarang ini, semangat itu sungguh urgen.

Teknologi canggih di berbagai bidang bukan hanya mendorong kemajuan peradaban dengan demikian hebat, melainkan juga menghadirkan ancaman serius terhadap keselamatan bangsa dan negara. Ancaman itu bukan sebatas merujuk kepada keamanan negara dari serangan pihak luar, tapi juga termasuk keamanan berbagai hal menyangkut keselamatan rakyat.

Potensi ancaman yang bisa merontokkan kedaulatan negara ataupun membahayakan keselamatan rayat itu demikian nyata. Ancaman itu entah berupa serangan militer ataupun gangguan nonmiliter seperti terorisme, radikalisme, pembajakan, kejahatan perbankan, juga kejahatan melalui media daring (cyber crime).

Karena itu, diperlukan sistem penyelenggaraan keamanan nasional yang handal. Keperluan tersebut wajib dipenuhi negara. Negara wajib mengamankan kedaulatan, di samping melindungi segenap tumpah darah Indonesia. Negara harus mampu memberikan rasa aman kepada seluruh rakyat melalui peran integratif institusi-institusi pengamanan dan perlindungan.

RUU Kamnas disiapkan untuk menjawab berbagai kebutuhan itu, termasuk memelihara harmoni antarinstitusi negara. Konflik TNI dan Polri, misalnya, bisa diharapkan tak menggejala lagi. Kedua institusi itu bahkan terkondisikan membangun sinergi lebih padu sebagai kekuatan kemanan, sehingga keselamatan rakyat maupun negara benar-benar terjaga dengan baik.

Dalam konteks itulah, perumusan dan pembahasan RUU Kamnas menjadi produk undang-undang sungguh relevan dan urgen. RUU Kamnas adalah ikhtiar pemerintah menciptakan payung hukum bagi penyelenggaraan sistem keamanan dan keselamatan nasional yang handal.

Alhasil, tidak beralasan RUU Kamnas ditolak mentah-mentah semata karena apriori curiga bahwa itu akan melahirkan sistem represif pengamanan negara dan bangsa. Sekali lagi, apa yang relevan kita lakukan adalah mengkritisi dan mengawal proses pembahasannya agar produk hukum yang kelak dihasilkan benar-benar menjamin keselamatan rakyat tanpa mematikan demokrasi ataupun kebebasan berpendapat dan kemerdekaan berekspresi.***

Jakarta, 26 Februari 2015

22 Februari 2015

Tak Perlu Galau Oleh Australia


Sikap Australia maupun Brasil terkait rencana pemerintah kita mengeksekusi mati warga kedua negara tersebut, yang menjadi terpidana kasus narkoba di negeri kita, jelas merupakan cerminan bahwa mereka  tidak menghargai posisi kita. Mereka melulu melihat persoalan berdasar perspektif mereka sendiri -- membela warga negara -- tanpa mau mengerti bahwa  warga yang mereka bela itu telah melakukan kejahatan  serius menyangkut peredaran narkoba di Indonesia.

Rencana eksekusi itu sendiri murni penegakan hukum dan sama sekali tidak sewenang-wenang -- karena sudah melalui serangkaian proses hukum yang berlaku di Indonesia, termasuk permohonan pengampunan alias grasi kepada Presiden Jokowi. Hukuman mati ditetapkan karena kejahatan narkoba merupakan tindakan kriminal yang berbahaya serta mengancam masa depan bangsa. Hukuman mati juga tidak melanggar ketetapan internasional apa pun.

Bahwa permohonan para terpidana untuk memperoleh grasi ditolak, itu adalah yurisdiksi kita sebagai negara berdaulat. Ini seharusnya dipahami dan dihargai oleh pemerintah Australia maupun Brasil.

Tetapi kedua negara itu seolah lupa terhadap etika pergaulan antarbangsa berdaulat. Pemerintah Australia mengungkit-ungkit bantuan mereka untuk korban bencana tsunami di Aceh.
Bantuan itu seolah utang yang harus dibarter dengan pembatalan eksekusi mati terhadap dua warga Australia.

Di lain pihak, Presiden Brasil Dilma Rousseff Jumat pekan lalu secara mendadak menunda menerima penyerahan surat kepercayaan (credential) Dubes RI untuk Brasil Toto Riyanto. Padahal Dubes Toto diundang secara resmi untuk menyampaikan credential itu pada upacara di Istana Presiden Brasil.
Kita tidak boleh tunduk terhadap tekanan-tekanan seperti itu. Kita harus teguh dalam memerangi peredaran narkoba. Eksekusi para terpidana mati kasus narkoba tetap harus  dilaksanakan tanpa menghiraukan tekanan siapa pun.

Tentu kita berharap perselisihan kita dengan Australia dan Brasil ini dapat diselesaikan secara baik-baik, sehingga hubungan bilateral dengan kedua negara itu tidak lantas menjadi rusak. Tetapi bila komunikasi baik-baik tidak berhasil mencegah kerusakan hubungan bilateral, kita tidak layak kelewat menyesali ataupun risau seolah-olah kita akan kiamat.

Memang, rusaknya hubungan itu niscaya berdampak negatif secara bilateral. Tetapi, bagi kita, dampak itu tak terbilang serius. Brasil, misalnya, secara politik maupun ekonomi bukan mitra kita yang tergolong strategis. Hubungan dagang Indonesia-Brasil sejauh ini relatif kecil: tak sampai US$ 3 miliar per tahun. Angka itu di bawah 1 persen nilai perdagangan masing-masing negara.

Agak lain dengan Australia. Hubungan bilateral kita dengan Australia memang tidak tergolong biasa-biasa saja. Secara politik maupun ekonomi, kedua negara saling memandang sebagai mitra strategis.

Karena itu, rusaknya hubungan bilateral kita dengan Australia niscaya berdampak negatif bagi kedua belah pihak. Tetapi secara matematis, dampak negatif itu lebih merugikan Australia -- terutama secara ekonomi.

Neraca perdagangan kita dengan Australia selama ini menorehkan surplus bagi Australia. Menurut catatan Kementerian Perdagangan kita, tahun lalu --  hingga November -- surplus itu mencapai US$ 511,32 juta. Sementara tahun 2013 bernilai US$ 667,68 juta, dan tahun 2012 sekitar US$ 392,23 juta.

Jadi, Australia jelas sangat berkepentingan menjaga hubungannya dengan kita tetap baik. Itu pula yang membuat tindakan mereka menghentikan ekspor sapi ke Indonesia, beberapa tahun lalu, tak berlangsung lama. Tanpa kita menghiba-hiba, akhirnya mereka sendiri yang mencabut kebijakan itu.

Jadi, sekali lagi, kita tak perlu galau apalagi takut oleh tekanan Australia. Tekanan itu tidak lebih merupakan cara mereka mengemis kepada kita.***

Jakarta, 22 Februari 2015

20 Februari 2015

Karut Marut Ketenegakerjaan

Realitas ketenagakerjaan kita, khususnya tenaga kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri, adalah sebuah dunia karut-marut. Ibarat potret, realitas ketenagakerjaan kita bukan cuma buram dan kusam, melainkan juga menampilkan gambar yang mengiriskan. Realitas ketenagakerjaan kita adalah tragedi, derita, nestapa, dan kesia-siaan.

Sudah sejak lama, ketenagakerjaan kita menampilkan realitas yang tidak sedap dan tidak pula elok. Berderet-deret kisah pilu TKI sudah terkuak ke permukaan. Berderet-deret TKI menjadi korban penipuan, pelecehan, penyiksaan, bahkan hukum pancung di luar negeri. Bahkan entah berapa banyak TKI sekadar menjadi korban praktik perdagangan manusia (human trafficking).

Gambaran seperti itu merupakan cerminan bahwa peran pemerintah sebagai representasi negara sungguh minim. Dalam banyak kasus, pemerintah bukan cuma kedodoran, melainkan juga seperti tidak memberikan perlindungan memadai terhadap TKI yang bekerja di luar negeri.

Pemerintah juga tidak sungguh-sungguh berperan dalam menyiapkan keterampilan TKI yang akan ditempatkan di mancanegara. Bahkan pemerintah selama ini terkesankan nyaman-nyaman saja terhadap realita bahwa TKI yang diberangkatkan ke luar negeri sekadar golongan jongos atau babu. Sedikit sekali TKI di negeri orang yang mampu merebut jenis pekerjaan lumayan bergengsi, seperti keperawatan atau kesekretarisan.

Sudah saatnya TKI yang ditempatkan ke luar negeri tidak sekadar golongan jongos. Jenis pekerjaan tersebut harus dihapus dari daftar penyiapan TKI. Ini bukan semata soal imbalan berupa fulus yang bisa lebih bernilai, melainkan juga demi menjaga harkat martabat bangsa di mata internasional.

Itu berarti, penyiapan tenaga TKI harus dilakukan sungguh-sungguh terprogram secara jelas dan fokus. Dengan demikian, TKI yang ditempatkan di mancanegara tidak lagi lebih banyak berbekal semangat dan gincu -- dan karena itu pula mereka menjadi sasaran empuk praktik human trafficking.

Tak bisa tidak, pemerintah  wajib memiliki komitmen besar melindungi TKI dari berbagai bentuk tindakan yang merugikan mereka. Perlindungan harus diberikan mulai tahap penyiapan hingga mereka kembali ke Tanah Air. TKI yang bekerja di luar negeri ini tidak boleh lagi seolah dibiarkan menjadi bulan-bulanan tindak pemerasan -- entah dalam pengurusan dokumen-dokumen kesehatan, keimigrasian, dan lain-lain. Pemerintah juga harus memastikan bahwa TKI tidak menjadi korban praktik human trafficking.

Untuk itu, pemerintah wajib mengubah sikap mental secara mendasar. Sikap-tindak selama ini yang cenderung tutup mata terhadap berbagai bentuk praktik tidak beres dalam dunia ketenagakerjaan ini harus dienyahkan jauh-jauh.

Kalau ditelaah, sikap pemerintah yang seperti pura-pura tidak tahu terhadap berbagai praktik tidak beres dan tidak sehat itu merupakan titik simpul yang membuat dunia ketenagakerjaan kita selama ini karut-marut alias amburadul. Sikap tutup mata membuat sektor ketenagakerjaan, khususnya dalam konteks penempatan TKI di mancanegara, selama ini menjadi biang rusaknya martabat bangsa di tengah pergaulan internasional. Seolah-oleh Indonesia hanya mampu menghasilkan sumber daya sekelas babu. Selebihnya, Indonesia juga seolah merestui praktik human trafficking.

Jadi, pemerintah jangan lagi pura-pura tidak tahu alias tutup mata terhadap realitas karut-marut dunia ketenagakerjaan kita ini.***

Jakarta, 20 Februari 2015

17 Februari 2015

RUU Agraria Butuh Keseriusan

RUU Agraria, yang masuk program legislasi nasional (prolegnas) DPR periode 2014-2019, tak boleh sampai terbengkalai. RUU Agraria harus bisa tuntas dibahas. DPR dan pemerintah wajib menjadikan pembahasan RUU Agraria ini sebagai prioritas utama.

Itu bukan saja karena selama selama beberapa dekade terakhir pembaruan undang-undang pertanahan terus terkatung-katung, melainkan juga terutama lantaran distribusi lahan sudah sangat tidak sehat. Segelintir orang atau badan menguasai begitu banyak lahan, sehingga timbul ketimpangan yang sangat tidak adil di masyarakat luas.

Hasil riset sebuah lembaga, belum lama ini, menyebutkan bahwa 29 taipan nasional kini menguasai lahan perkebunan kepala sawit seluas 5,1 juta hektare. Bayangkan, itu hampir setengah Pulau Jawa yang menghampar seluas 128.297 kilometer persegi.

Di luar itu, jutaan hektar lahan juga dikuasai sejumlah kecil taipan yang itu-itu juga sebagai konsesi usaha pertambangan dan usaha perhutanan.

Pertumbuhan penguasaan lahan oleh segelintir orang itu berlangsung sangat pesat. Dalam lima tahun terakhir, misalnya, pertumbuhan perkebunan kelapa sawit saja mencapai 35 persen.

Sementara itu, alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan industri atau komplek permukiman -- terutama di Jawa -- juga tak kalah masif dan tak bisa dibendung. Ini juga memperparah distribusi lahan menjadi kian terkosentrasi di tangan pengusaha.

Alhasil, rakyat kebanyakan justru makin termarginalisasi dalam penguasaan tanah ini. Kalangan petani, terutama, sekarang ini rata-rata hanya menguasai lahan tidak sampai 0,5 hektare. Bahkan banyak pula petani yang tidak menguasai tanah.

Itu membuat usaha tani yang mereka tekuni sangat marginal. Ditambah aneka kebijakan selama ini yang tidak bersahabat, usaha tani yang marginal ini sama sekali semakin tidak menyejahterakan petani. Karena itu, petani kita hampir identik dengan kemiskinan.

Itu pula yang membuat profesi petani kian tak diminati oleh keluarga petani sendiri. Banyak petani gurem beralih penghidupan ke sektor informal. Generasi muda di kalangan petani juga cenderung memilih menjadi buruh pabrik, kuli bangunan, pengojek, atau tenaga serabutan di perkotaan.

Distribusi tanah yang makin timpang ini  jelas tak bisa dibiarkan -- karena tidak sehat dan juga tidak adil. Kondisi tersebut mencemaskan, karena bisa menjadi lahan subur kecemburuan sosial di masyarakat.

Karena itu, pembahasan RUU Agraria tak boleh lagi terkatung-katung. Pemerintah dan DPR wajib mencurahkan segenap energi agar perangkat perundangan tersebut bisa tuntas dibahas dan disahkan menjadi undang-undang seiring prolegnas kali ini.

Pembahasan RUU Agraria ini harus didasari komitmen pemerintah dan DPR untuk mereformasi pertanahan.
Perundangan agraria yang kelak dilahirkan harus menjadi wahana redistribusi lahan.

Dengan itu, penguasaan lahan harus dibuat memenuhi azas kewajaran dan berkeadilan. Ketimpangan tinggi dalam penguasaan lahan sekarang ini harus bisa diakhiri.

Terkait itu pula, perundangan agraria harus mendorong kelembagaan pertanahan berfungsi secara kuat, transparan, modern, dan kredibel.***

Jakarta, 17 Februari 2015

10 Februari 2015

Ironi Negeri Agraris

Suka ataupun tidak, Indonesia sudah bukan lagi negara agraris. Ini begitu terang-benderang tecermin dalam angka impor bahan  pangan yang terus meningkat secara signifikan.

Dalam lima tahun terakhir, volume bahan pangan yang diimpor meningkat 60,03 persen dari 12,36 juta ton menjadi 19,78 juta ton. Bahan pangan yang diimpor ini meliputi, antara lain, beras, gandum dan tepung gandum, gula, kedelai, jagung, susu, buah, sayur, sapi dan daging sapi,  kentang, minyak goreng, cabe, bahkan garam.

Untuk itu semua, devisa yang dihabiskan sungguh tidak sedikit. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, selama satu dekade sejak tahun 2003 nilai impor aneka bahan pangan itu naik empat kali lipat dari US$ 3,34 miliar menjadi US$ 14,90 miliar.

Alhasil, bagaimana mungkin Indonesia tetap bisa disebut  negara agraris, sementara begitu banyak ragam bahan pangan harus diimpor -- notabene dengan  volume yang begitu besar.  Kenyataan itu menunjukkan, produksi pertanian kita semakin hari semakin tidak mampu memenuhi kebutuhan konsumsi di dalam negeri. Mengapa?

Pertama, karena di tengah pertambahan populasi penduduk yang terbilang pesat, lahan pertanian justru terus menyusut.
Alih fungsi lahan pertanian menjadi hamparan perumahan atau kawasan industri rata-rata mencapai 1,5 persen per tahun.

Karena itu, ada yang menyebutkan bahwa dalam sepuluh tahun terakhir saja penyusutan lahan pertanian ini mencapai sekitar 5 juta hektar. Lahan yang tersisa kini menghampar sekitar 26 juta hektar, termasuk lahan perkebunan.

Dalam kondisi seperti itu, produktivitas lahan pertanian di dalam negeri hanya meningkat rata-rata 0,06 persen per hektar. Artinya, teknologi pertanian yang diterapkan di negara kita tak banyak mengalami perkembangan.

Ditambah infrastruktur dasar dan organisasi pertanian yang sejak era reformasi seolah dibiarkan hancur, kelemahan itu otomatis membuat produksi pertanian di dalam negeri tak sanggup memenuhi kebutuhan konsumsi. Padahal, sekali lagi, konsumsi terus meningkat seiring laju pertambahan penduduk.

Tata niaga produk pertanian yang tidak sehat kian menambah parah keadaan. Usaha pertanian tidak sanggup lagi memberikan kesejahteraan yang memadai bagi petani.

Karena itu, usaha pertanian cenderung ditinggalkan. Banyak petani beralih menjadi buruh, kuli, atau paling banter pedagang bakulan. Karena itu, dalam sepuluh tahun terakhir  rumah tangga usaha petani berkurang 5,07 juta unit.

Membalikkan keadaan sektor pertanian ini menjadi membaik dan sehat, jelas tidak mudah. Waktu untuk itu tak cukup 2-3 tahun sebagaimana target pemerintah mencapai swasembada pangan.

Selain kerja keras berbagai pihak, perbaikan kinerja sektor pertanian terutama menuntut keberpihakan pemerintah. Tanpa itu, usaha tani bakal makin tidak diminati bahkan oleh keluarga petani sendiri.

Lalu alih fungsi lahan pertanian menjadi permukiman atau kawasan industri juga akan terus berlangsung secara masif.  Di sisi lain, produktivitas lahan pertanian juga niscaya cuma begitu-begitu saja sehingga tetap tidak mampu memenuhi kebutuhan konsumsi.

Last but not least, impor bahan pangan pun pasti makin tak terhindarkan kian hari kian menggunung. Artinya, negeri kita makin tidak layak disebut negara agraris. Predikat tersebut cuma tinggal ilusi.

Komitmen keberpihakan pemerintah terhadap sektor pertanian ini bukan tak pernah ada. Cuma, sejauh ini, komitmen tersebut lebih banyak sekadar isapan jempol. ***

Jakarta, 10 Februari 2015

09 Februari 2015

Ancaman Bioterorisme

Pernyataan mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) Ansyaad Mbai -- bahwa Indonesia menjadi target serangan bioterorisme -- mengkonfirmasi sinyalemen Prof Dr Chairul Anwar Nidom. Guru besar Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga (Unair) Surabaya itu menyatakan, kemungkinan serangan bioterorisme sudah masuk ke Indonesia.

Pernyataan kedua tokoh itu tak selayaknya dianggap angin lalu. Sebab sinyalemen itu didasari sejumlah temuan mencurigakan yang bisa saja memang merupakan  indikasi serangan bioterorisme.

Temuan itu, antara lain, penyakit anthrax di Blitar, Jatim. Temuan tersebut aneh, dan karena itu dicurigai sebagai bioterorisme, lantaran  Jatim selama ini  bebas penyakit yang spesifik menyerang ternak sapi itu.

Temuan lain adalah virus ebola pada orangutan. Ini juga ganjil karena virus tersebut mirip dengan ebola yang kini mewabah di beberapa negara Afrika.

Meski begitu, sinyalemen tentang serangan bioterorisme ini tak perlu membuat kita panik. Paling tidak, seperti kata Prof Chairul sendiri, karena kasus-kasus mencurigakan yang sudah ditemukan belum terlihat menimbulkan dampak tertentu yang bersifat destruktif dan merugikan kepentingan kita dalam skala luas.

Serangan bioterorisme tak kalah destruktif dibanding aksi terorisme konvensional yang memanfaatkan persenjataan atau bom.  Bahkan dampak serangan bioterorisme bisa jauh lebih destruktif dan bersifat masif. Kehidupan sosial, politik, ataupun ekonomi suatu negara bisa hancur atau minimal lumpuh oleh serangan bioterorisme ini.

Memanfaatkan mahluk hidup seperti mikroorganisme atau jasad renik berupa bakteri, virus, atau  fungi, dampak serangan bioterorisme memang bisa dahsyat. Dampak tersebut  sudah dibuktikan dalam Perang Dunia II. Jerman dan Jepang bisa gemilang memenangi pertempuran di sejumlah medan -- sebelum akhirnya bertekuk lutut terhadap Sekutu pimpinan AS -- antara lain karena memanfaatkan senjata biologi berupa kuman mematikan.

Dalam konteks masa kini, serangan yang menggunakan senjata biologi itu  sangat mungkin dilakukan pihak tertentu -- bisa institusi negara, korporasi, ataupun organisasi bisnis --  terutama untuk memenangi persaingan ekonomi.

Jadi, di tengah persaingan dahsyat globalisasi saat ini -- yang ditandai dengan perdagangan bebas -- bioterorisme bisa menjadi senjata andalan untuk menghancurkan pesaing. Dalam konteks ini pula sinyalemen Prof Chairul tadi tak bisa dianggap sepi.

Artinya, sekecil apa pun kemungkinan serangan bioterorisme bisa terjadi, sinyalemen itu tetap relevan diindahkan. Terlebih pemerintah sendiri -- persisnya Kementerian Pertahanan -- pernah merilis ihwal ancaman serangan bioterorisme ini di Indonesia.

Tetapi, sekali lagi, kita tak perlu panik.  Yang perlu kita lakukan adalah bersikap waspada dan antisipatif. Dengan dua sikap itu, kita bisa memiliki kesadaran tinggi akan bahaya bioterorisme. Kesadaran tinggi pada gilirannya akan membuat kita cepat tanggap dalam mendeteksi sekaligus siap dan sigap  menangkal  serangan bioterorisme.

Untuk menangkan serangan, kegiatan riset di berbagai lembaga penelitian maupun perguruan tinggi harus diintensifkan dan fokus kepada isu bioterorisme. Selain mengembangkan sistem deteksi yang efektif, kegiatan riset juga harus bisa menghasilkan teknologi antibioterorisme.

Untuk itu pula, riset jangan lagi cenderung dianggap sebagai kegiatan yang hanya memboroskan anggaran. Riset juga tidak boleh diperlakukan  sebagai  kegiatan "orang buangan" di institusi atau korporasi agar mereka tidak mbalelo menurut perspektif subjektif pimpinan.***

Jakarta, 9 Februari 2015

07 Februari 2015

Zona Merah Keamanan di Jakarta

Kehidupan di kota besar -- terlebih kota metropolitan seperti Jakarta -- mustahil steril dari penyakit-penyakit sosial, termasuk soal keamanan. Boleh dikatakan, penyakit-penyakit sosial  merupakan bagian dinamika kehidupan kota besar.

Karena itu, hasil riset The Economist Intelligence Unit yang belum lama ini dipublikasikan, sebenarnya tidak mengejutkan. Riset tersebut menyatakan, Jakarta termasuk kota tidak aman di antara 50 kota besar di dunia yang disurvei.

Posisi Jakarta terpuruk dalam hal minimnya jumlah dokter, tingginya jumlah penderita penyakit demam berdarah, maraknya penipuan dalam perdagangan online, juga jumlah korban tewas dalam kecelakaan lalu lintas.

Tetapi yang membuat kita malu di forum global sekaligus menimbulkan rasa miris adalah bahwa riset itu juga mengungkapkan betapa tindak kejahatan di Jakarta sekarang ini terjadi setiap 10 menit. Dengan itu pula, maka tersimpulkan bahwa Jakarta merupakan kota besar paling tidak aman di dunia! Keamanan di Jakarta sudah masuk zona merah.

Khusus soal keamanan ini, tanpa survei pun kondisinya sudah sangat gamblang. Tindak kejahatan di Jakarta -- terutama di jalanan -- sudah tergolong mengerikan dan sadistis. Kini kejahatan itu bukan lagi pencopetan atau penodongan. Pelaku bahkan tak segan menusuk, membacok, atau menembak korban.

Aksi pembegalan pengendara sepeda motor, yang sekarang ini lumayan sering terjadi, merupakan  salah satu wujud tindak kejahatan sadistis ini. Itu membuat kenyamanan dan keamanan beraktivitas di jalanan Jakarta -- bahkan sudah melebar hingga ke pinggiran seperti Depok dan Bekasi -- benar-benar terampas!

Tak kurang dari Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Unggung Cahyono sendiri mengakui, pelaku kejahatan jalanan di Jakarta sekarang ini sadistis -- terutama terhadap korban yang coba-coba melawan atau berusaha menggagalkan aksi mereka.

Tak bisa tidak, itu merupakan alarm tanda bahaya yang harus cepat disikapi secara arif dan waspada. Itu bukan cuma oleh masyarakat, tetapi terutama oleh aparat keamanan (polisi) dan otoritas pemerintahan.

Operasi pemberantasan tindak kejahatan memang acap digelar pemerintah dan polisi. Kalangan preman dijaring dan bahkan dijebloskan ke sel tahanan kalau mereka terbukti berbuat jahat.

Tetapi operasi-operasi itu tak pernah efektif menekan tindak kejahatan di jalanan. Efek yang diperoleh sekadar meredakan aksi-aksi premanisme untuk sementara waktu. Pada saatnya, aksi premanisme dengan berbagai bentuk tindakan yang bersifat kriminal -- termasuk kejahatan sadistis -- marak lagi.

Sementara itu, kejahatan kerah putih juga tak kurang mengiriskan. Pembobolan rekening bank, misalnya, begitu sering terjadi. Tindak penipuan keuangan melalui aneka modus juga sungguh sudah meresahkan.

Begitu pula kejahatan di dunia maya (cyber crime), khususnya tindak penipuan melalui modus perdagangan online. Demikian maraknya, sampai-sampai aparat keamanan terkesankan kewalahan.

Berbagai bentuk kejahatan itu tentu harus segera bisa ditangani. Memang mustahil kejahatan bisa diberantas hingga sama sekali tak bersisa lagi. Tapi jika tak bisa ditekan ke tingkat yang relatif tidak meresahkan, problem keamanan di Jakarta ini bisa menyurutkan kegiatan ekonomi. Wisatawan, misalnya, pasti enggan melancong ke Jakarta. Investor juga bisa ragu menanamkan modal.

Karena itu, kecakapan menekan tindak kejahatan ini menjadi tolak ukur keberhasilan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dalam memimpin Jakarta. Mampukah?***

Jakarta, 7 Februari 2015

05 Februari 2015

Maling di Kafilah Haji

Pembentukan badan khusus pengelola dana haji harus segera diwujudkan. Sama sekali tak beralasan hal tersebut ditunda-tunda. Pertama, karena pembentukan badan khusus ini merupakan amanat Undang-undang  Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji.

Kedua, karena pembentukan badan khusus itu merupakan wujud respons dan komitmen pemerintah terhadap  tekanan banyak kalangan: memperbaiki kekeliruan selama ini menyangkut pengelolaan dana haji. Dengan membentuk badan khusus, dana haji yang kini berjumlah sekitar Rp 73 triliun tidak lagi dikelola secara amatiran serta memberi manfaat optimal bagi jemaah haji.

Dana haji memang wajib dikelola secara profesional. Bukan cuma karena dana tersebut merupakan amanat atau titipan jemaah haji guna memastikan pelayanan pemerintah dalam pelaksanaan ibadah haji benar-benar optimal. Lebih dari itu, karena pengelolaan yang profesional juga lebih bisa memenuhi asas akuntabilitas.

Artinya, dana haji benar-benar dikelola secara transparan dan akuntabel. Dengan demikian, semua pihak bisa mengetahui dan mengontrol berbagai hal -- entah soal penggunaan, teknis pengelolaan, ataupun  benefit-benefit yang diperoleh.

Karena itu pula, menunda-nunda pembentukan badan khusus pengelola dana haji serta-merta mengundang kekhawatiran atau bahkan syak wasangka publik: bahwa pemerintah -- persisnya Kementerian Agama -- belum  ikhlas melepas pengeloalan dana haji ini sebagaimana perintah undang-undang.

Perintah itu sendiri pada dasarnya merupakan koreksi atas kekeliruan selama ini: dana haji dikelola Kementerian Agama. Padahal lembaga tersebut tidak cukup memiliki kapabilitas untuk mengelola dana haji yang begitu besar secara profesional dan akuntabel.

Kelemahan itu membuat pengelolaan dana haji selama ini cenderung amatiran, tidak transparan, serta tidak memenuhi asas akuntabilitas. Itu pula yang membuat dana haji rawan tindak penyelewengan, seperti praktik penggelembungan harga (mark up) dalam penyelenggaraan pelayanan ibadah haji -- entah menyangkut transportasi, katering, pemondokan, kesehatan, dan banyak lagi.

Dana haji juga digunakan secara tidak semena-mena oleh mereka yang memiliki otoritas akses. Itu tecermin dari adanya  sejumlah orang -- notabene memiliki otoritas menjamah dana haji -- yang terpaksa berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ada yang sekadar diperiksa atau dimintai keterangan, ada pula yang sudah berstatus tersangka.

Oleh sebab itu, sekali lagi, perintah undang-undang harus segera dilaksanakan: wujudkan badan khusus pengelola dana haji. Selain memutus kekeliruan selama ini, tindakan tersebut sekaligus  menjadi ikhtiar strategis untuk mengelola dana haji sesuai kaidah yang memenuhi asas profesionalisme, transparansi, dan akuntabilitas.

Tentu ikhtiar itu pada gilirannya bermuara pada peningkatan kepercayaan masyarakat: bahwa dana haji tidak lagi diperlakukan oknum-oknum pemerintah bak bancakan. Bahwa dana haji memberi manfaat yang benar-benar optimal bagi jemaah haji.

Untuk itu, selain diisi tenaga-tenaga profesional, badan khusus pengelola dana haji ini wajib bersifat otonom. Dia harus terpisah dan steril dari organisasi maupun birokrasi institusi pemerintah yang terlibat  dalam  penyelenggaraan haji, khususnya Kementerian Agama dan Kementerian Kesehatan.

Tentu, kontrol berbagai pihak adalah keniscayaan bagi eksistensi badan khusus ini. Di badan khusus, dana haji tidak boleh tetap bisa digerogori tikus-tikus rakus tak tahu malu.

Praktik maling di kafilah haji benar-benar harus bisa diakhiri.***

Jakarta, 5 Februari 2015

04 Februari 2015

Debutan Jokonomics

Fostur RAPBN-P 2015 boleh jadi merupakan debutan Jokowinomics, yaitu paradigma pembangunan ekonomi yang khas dan spesifik pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Artinya, paradigma tersebut secara substantif beda dengan paradigma pemerintahan-pemerintahan terdahulu.

Memang, RAPBN-P 2015 belum selesai dibahas pemerintah bersama DPR. Pembahasan ditargetkan kelar sebelum masa persidangan pertama DPR berakhir -- paling lambat 12 Februari ini.

Meski secara keseluruhan RAPBN-P 2015 masih dalam pembahasan, spirit Jokowinomics sudah gamblang tecermin. Cerminan tersebut antara lain adalah  asumsi-asumsi makro ekonomi yang sudah lebih dulu disepakati bersama pemerintah dan DPR di tingkat komisi.

Selama ini, asumsi-asumsi makro ekonomi dalam APBN terdiri atas kurs rupiah, inflasi, pertumbuhan, dan lifting minyak bumi. Nah, dalam RAPBN-P 2015, asumsi makro ini ditambah dengan tingkat pengangguran, tingkat kemiskinan, indeks gini ratio, dan indeks pembangunan manusia.

Itu menunjukkan bahwa pemerintahan Jokowi punya political will untuk membangun kesejahteraan rakyat secara  terukur. Kesejahteraan rakyat bukan hanya harus meningkat, melainkan juga mesti merata.

Politicall will itu menjadi poin istimewa, karena langsung menyentuh aspek-aspek  mendasar masalah kesejahteraan. Pengangguran, kemiskinan, kesenjangan kaya-miskin, juga pembangunan manusia adalah parameter nyata tentang kesejahteraan rakyat.

Political will itu kian gamblang tecermin dalam besaran-besaran angka asumsi. Tingkat pengangguran diasumsikan 5,6 persen, tingkat kemiskinan 10,3 persen, indeks gini ratio 0,4, dan indeks pembangunan manusia 69,4.

Dengan angka-angka itu,  political will pemerintahan Jokowi dalam membangun kesejahteraan rakyat begitu gamblang -- khususnya menyangkat pemerataan hasil pembangunan. Pengangguran dan kemiskinan ditekan. Kesenjangan kaya miskin juga dijaga berada dalam rentang sempit. Sementara pembangunan manusia didongkrak ke tingkat yang relatif memenuhi syarat sejahtera.

Di sisi lain, Jokowinomics ini juga ditandai oleh pemangkasan anggaran subsidi secara drastis. Ini terutama menyangkut subsidi bahan bakar minyak (BBM).

Dalam RAPBN-P 2015, BBM jenis premium tidak  memperoleh alokasi subsidi. Artinya, harga premium dilepas  kepada mekanisme pasar. Sementara BBM jenis solar tetap disubsidi melalui mekanisme subsidi tetap.

Dalam bahasa politik, itu berarti pemerintahan Jokowi tidak lagi memanja rakyat dengan memberi  perlindungan  dari risiko gejolak harga minyak dunia.

Langkah itu tergolong berani, mengingat BBM adalah isu sensitif karena langsung mempengaruhi denyut kehidupan rakyat dalam berbagai segi. Boleh jadi, keberanian itu ditopang oleh kondisi harga minyak mentah di pasar dunia yang hari-hari ini menapak di level relatif rendah.

Kondisi itu  membuat pencabutan subsidi BBM tak serta-merta berdampak memukul ekonomi masyarakat. Dampak pencabutan subsidi BBM ini niscaya baru terasa menonjok ekonomi masyarakat manakala harga minyak mentah di pasar dunia menjulang ke langit tinggi.

Namun penghapusan subsidi BBM ini berdampak membuka ruang fiskal menjadi lebih lapang. Pemerintah memperoleh tambahan anggaran dalam jumlah  besar -- sekitar Rp 280 triliun -- dari realokasi subsidi BBM.

Itu menjadi modal berharga untuk memacu pertumbuhan ekonomi sekaligus menebarkan pemerataan pembangunan yang pada gilirannya menorehkan kesejahteraan rakyat.***

Jakarta, 4 Februari 2015

03 Februari 2015

Pertaruhan Dua Seteru

Perseteruan antara Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dan DPRD DKI Jakarta adalah pertaruhan gengsi. Gengsi siapa berhasil mempermalukan siapa dan siapa menjatuhkan siapa. Perseteruan tersebut juga mempertaruhkan kepentingan masyarakat Jakarta.

Dalam perseteruan itu, DPRD menyodok lewat manuver pengajuan hak angket -- diduga dengan sasaran akhir melengserkan Ahok.
Sementara Ahok menyerang pihak legislatif dengan melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kepada lembaga antirasuah itu, Ahok  melaporkan  dugaan "dana siluman" sebesar Rp 12,1 triliun dalam APBD 2015. Ahok juga melaporkan dugaan modus  penyelewengan serupa dalam tiga APBD sebelumnya, mulai tahun anggaran 2012.

Perseteruan Ahok dan DPRD DKI Jakarta ini menguakkan kenyataan bahwa anggaran negara yang transparan dan akuntabel masih sekadar mimpi. Kepentingan-kepentingan sempit tetap saja mewarnai penyusunan anggaran menjadi tidak benar-benar merujuk kepada kepentingan rakyat.

Kepentingan-kepentingan itu selama ini dikompromikan sebegitu rupa, sehingga tak terkuak ke ruang publik. Ironinya, seperti tecermin dalam kisruh perseteruan Ahok-DPRD DKI Jakarta sekarang ini, kepentingan rakyat justru dijadikan label kepentingan-kepentingan sempit itu.

Ahok menyebut kepentingan-kepentingan sempit itu sebagai mata anggaran siluman. Dalam APBD 2014, misalnya, mata anggaran siluman ini adalah proyek pengadaan perangkat pasokan daya listrik bebas gangguan (UPS) di sejumlah sekolah senilai Rp 330 miliar.

Ahok melukiskan mata anggaran siluman masuk APBD karena diselundupkan pihak legislatif setelah pembahasan APBD rampung dan disepakati eksekutif dan DPRD. Dengan itu Ahok ingin menyatakan bahwa selama ini dia kecolongan.

Tapi khusus APBD 2015, Ahok mengaku tidak kecolongan lagi. Dia dapat mengidentifikasi mata anggaran siluman. Itu pula yang membuat dia menolak memberi persetujuan bagi pengesahan APBD 2015, sekaligus menyampaikan ke Kemdagri APBD versi lain -- bukan APBD yang telah dibahas serta disepakati eksekutif dan legislatif dalam forum rapat paripurna DPRD.

Lucunya, pihak legislatif menyebut APBD yang diajukan Ahok ke Kemdagri itu sebagai APBD siluman pula -- karena bukan produk yang telah mereka sepakati bersama eksekutif. Klaim tersebut lantas mereka jadikan sebagai pijakan pengajukan hak angket kepada Ahok.

Ahok membalas manuver itu dengan membeberkan perkara dana siluman ke publik, sekaligus melaporkan dugaan praktik patgulipat anggaran itu ke KPK. Tapi dia beralasan bahwa tindakan melapor ke KPK itu merupakan wujud komitmennya  menegakkan prinsip good governance.

Tetapi kita tidak yakin bahwa Ahok kemarin-kemarin  kecolongan ihwal masuknya dana siluman ke APBD ini. Cuma, barangkali, dia diam saja -- dan tidak ikut menandatangani APBD -- karena tahun lalu posisi dia adalah orang nomor dua alias wagub.

Bahwa sekarang perkara dana siluman ini diungkap, boleh jadi itu karena sekarang Ahok menjadi gubernur sehingga dia lebih leluasa bersuara. Boleh jadi pula, itu merupakan agenda politik Ahok guna meraih simpati publik untuk bekal menghadapi pilkada.

Kita juga menilai tindakan Ahok mengajukan APBD 2015 versi lain ke Kemdagi tak bisa dibenarkan -- apa pun alasannya. Itu karena ketentuan undang-undang menggariskan bahwa APBD yang diajukan ke Kemdagri merupakan produk kesepakatan eksekutif dan legislatif dalam forum rapat paripurna DPRD.

Kita sangat berharap Ahok dan DPRD bersikap arif dengan tidak melupakan kepentingan masyarakat Jakarta. Kita khawatir, perseteruan itu membuat pelayanan publik di DKI Jakarta menjadi lumpuh -- karena APBD 2015 tak kunjung beroleh pengesahan. Layanan kesehatan melalui program Kartu Jakarta Sehat, misalnya, bisa terhenti. Begitu juga layanan-layanan lain, seperti penyaluran dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).

Secara moral maupun etis, kepentingan yang lebih besar tidak boleh menjadi korban perseteruan dua pihak semata lantaran masing-masing bernafsu memenangi pertaruhan gengsi.***

Jakarta, 3 Februari 2015

Kurikulum Selera Menteri

Kurikulum pendidikan di Indonesia adalah selera menteri. Siapa yang sedang menjabat menteri urusan pendidikan, maka selera dialah yang menentukan seperti apa kurikulum ini. Karena itu, sejak dulu  kurikulum di Indonesia terus berganti seiring  pergantian menteri.

Tradisi itu tak terkecuali berlanjut di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sekarang ini. Tidak sampai dua bulan sejak mulai menjabat, Mendikbud Anies Baswedan mengeluarkan keputusan yang membatalkan Kurikulum 2013 sekaligus memberlakukan kembali Kurikulum 2006.

Menteri Anies menggariskan, Kurikulum 2006 diterapkan kembali hingga tahun ajaran 2019/2020. Sementara Kurikulum 2013 tak sepenuhnya dibatalkan. Kurikulum 2013 masih diterapkan di 6.221 sekolah yang selama ini memang sudah menerapkannya.

Alhasil, Kurikulum 2013 di luar 6.221 sekolah hanya berumur  satu semester sejak resmi diberlakukan mulai Juli 2014. Begitu mudahnya perubahan kurikulum ini dilakukan. Seolah tanpa beban sama sekali.

Padahal penyiapan sebuah kurikulum jelas memakan banyak energi dan pasti tidak murah. Ada yang menyebutkan, dana yang dihabiskan untuk keperluan penelitian dan proses penulisan Kurikulum 2013 saja mencapai sekitar Rp 2,5 triliun.

Padahal di luar itu, pelatihan tenaga  guru juga membutuhkan dana tidak kecil. Begitu pula penyiapan buku tak kurang menguras dana. Saat Kurikulum 2013 diputuskan dibatalkan, sekian juta eksemplar buku telanjur dicetak. Kini buku-buku itu hanya teronggok di gudang dan sebagian mungkin menjadi koleksi perpustakaan-perpustakaan.

Mungkin benar, Kurikulum 2013 masih prematur untuk diterapkan. Pemberlakuan kurikulum tersebut boleh jadi tergesa-gesa, karena banyak aspek belum sempurna. Misalnya, seperti diberitakan, kerangka dasar, materi, kemampuan guru, juga distribusi buku tidak meyakinkan alias mengandung banyak kelemahan.

Tetapi penilaian seperti itu mungkin juga lebih karena faktor selera penentu kebijakan sekarang ini.  Sebab Mendikbud M Nuh yang menjadi pendahulu Anies mustahil memberlakukan Kurikulum 2013 jika segala sesuatunya masih prematur.

Jadi, berdasarkan persektif itu, Kurikulum 2013 dibatalkan karena memang tidak cocok dengan selera penentu kebijakan sekarang ini. Kurikulum 2013 bagaimanapun pasti bercita rasa Muhammad Nuh, seperti juga Kurikulum 2006 yang merepresentasikan selera pendahuku Nuh: Mendiknas Bambang Sudibjo.

Kalau saja cita rasa Nuh itu cocok dengan selera penguasa sekarang, sangat boleh jadi Kurikulum 2013 ini tidak dibatalkan. Meski ditemukan kekurangan atau kelemahan, kurikulum tersebut mungkin tetap diberlakukan. Kekurangan atau kelemahan lantas diperbaiki sambil jalan.

Tetapi Menteri Anies lebih merasa sreg dengan Kurikulum 2006 yang notabene tidak mengena di selera Nuh dulu. Karena itu Menteri Anies memutuskan memberlakukan kembali kurikulum tersebut dengan segala konsekuensi yang tidak kecil, terutama secara ekonomi.

Konsekuensi itu sendiri menjadi kerugian negara. Sekian banyak anggaran yang sudah dikeluarkan untuk implementasi Kurikulum 2013 praktis menjadi sia-sia. Sementara kembali ke Kurikulum 2006 pun bukan tanpa biaya besar pula -- antara lain untuk pencetakan dan distribusi buku-buku.

Tanpa perubahan paradigma kebijakan, negara niscaya terus menanggung kerugian itu seiring pergantian menteri. Selama selera menteri yang menjadi paradigma, selama itu pula kurikulum terus berganti-ganti laiknya kertas tisu.***

Jakarta, 3 Februari 2015

02 Februari 2015

Angin Segar KMP

Manuver Koalisi Merah Putih (KMP) -- diwakili Prabowo Subianto -- melakukan pertemuan dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Bogor, Kamis pekan lalu (29/1), menjadi angin segar bagi kehidupan politik di dalam negeri. Manuver itu bukan cuma memupus keraguan bahwa Prabowo masih menyimpan bara rivalitas dengan Jokowi, melainkan juga memastikan bahwa KMP tidak ikut terjebak  pro-kontra soal pelantikan Komjen Pol Budi Gunawan menjadi Kapolri dalam hari-hari belakangan ini.
    
Isu pelantikan Budi Gunawan sungguh telah membuat gaduh jagat politik di dalam negeri, sekaligus mengoyak harmoni dua institusi penegak hukum: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri.  Kedua institusi tersebut terseret ke dalam suasana  saling menafikan atau bahkan saling melemahkan.
    
Bagi Jokowi sendiri, pro-kontra soal pelantikan Budi Gunawan beserta ekses yang menyertainya terhadap kelembagaan KPK dan Polri ini tak pelak membuat suasana politik menjadi pengap. Dia mendapat tekanan politik dari kubu pro maupun kubu kontra.
    
Namun kondisi pengap dan menekan itu jadi berkurang berkat angin segar yang dihembuskan KMP melalui kunjungan Prabowo -- dan sebelumnya Aburizal Bakrie ke Istana Negara di Jakarta.
    
Bagi Jokowi, pertemuan dengan Prabowo maupun Aburizal  melegakan, karena menjadi pegangan  bahwa KMP tidak ikut menekannya agar melantik  atau tidak melantik Budi Gunawan  menjadi Kapolri.
    
Karena  itu, Jokowi pun niscaya kemudian bisa jernih memetakan masalah sekaligus menimbang dan mengambil keputusan soal Budi Gunawan ini: membatalkan atau tetap melantiknya menjadi Kapolri. Kejernihan dalam mengambil keputusan ini penting,  karena kedua pilihan itu -- melantik atau membatalkan pelantikan Budi Gunawan -- sungguh pelik.
    
Kedua pilihan itu pelik, karena  masing-masing punya konsekuensi politik maupun konsekuensi konstitusional. Jika  memilih melantik Budi Gunawan, berarti Jokowi memenuhi kewajiban konstitusional -- karena usulannya tentang Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri sudah direstui DPR. Keputusan DPR tentang itu tak bisa diabaikan karena keputusan tersebut secara konstitusional  menjadi  representasi sikap seluruh rakyat.
    
Selain memenuhi tuntutan konstitusional,  pilihan Jokowi melantik Budi Gunawan juga sekaligus mengakomodasi tekanan partai-partai  yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Desakan atau bahkan tekanan KIH sulit diabaikan karena mereka merupakan pendukung Jokowi.
    
Tetapi pilihan melantik Budi Gunawan punya konsekuensi politik tersendiri yang tidak kalah serius bagi Jokowi: dukungan  publik terhadapnya  niscaya gembos. Padahal sebelum ini dukungan publik telah melicinkan jalan bagi Jokowi dalam meraih kursi RI-1.
    
Alhasil, tekanan publik agar Budi Gunawan  tidak dilantik menjadi Kapolri juga tak bisa diabaikan oleh Jokowi. Mengabaikan tuntutan itu, bagi Jokowi,  bisa berdampak melemahkan dukungan rakyat.
    
Konsekuensi itu sungguh tak bisa dipandang remeh. Sejumlah survei sudah  mengingatkan bahwa dukungan rakyat terhadap Jokowi  menyusut dibanding saat dia memenangi pilpres. Jadi, Jokowi sangat berkepentingan menjaga dukungan rakyat agar tidak kian tergerus.
    
Dalam suasana pelik seperti itu, bisa dibayangkan jika KMP ikut-ikutan menekan Jokowi menyangkut pelantikan Budi Gunawan menjadi Kapolri. Entah KMP mendukung ataupun menolak pelantikan itu,  bagi Jokowi dampak tekanan itu sama saja: suasana politik benar-benar pelik sekaligus menyesakkan.
    
Karena itu, sekali lagi, sikap KMP  tidak ikut menekan soal pelantikan Budi Gunawan sungguh menjadi angin segar yang melegakan Jokowi.  Bahwa sikap  mendukung atau menentang baru diambil KMP setelah Jokowi mengambil keputusan soal Budi Gunawan, itu soal nanti.
    
KMP sendiri sebenarnya hampir pasti sudah punya pilihan sikap tentang Budi Gunawan ini. Cuma KMP tak ingin pilihan tersebut ikut menekan Jokowi secara politik.
    
Sikap KMP itu menjadi bukti bahwa mereka tidak melulu mengusung  kepentingan politik mereka sendiri, melainkan terutama konstruktif bagi kehidupan rakyat banyak. Karena itu, dalam berhadapan dengan pemerintah, sikap KMP tak sembarangan dukung namun tidak pula asal oposan.***

Jakarta, 2 Februari 2015

23 Januari 2015

Anomali Harga

Meski pemerintah sudah dua kali kembali menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis premium dan solar pada awal dan pertengahan Januari ini, harga barang kebutuhan pokok dan jasa -- khususnya ongkos transportasi -- tetap saja tinggi. Seolah-olah harga BBM kini tidak lagi berpengaruh.

Itu jelas merupakan anomali. Harga kebutuhan pokok dan jasa yang tetap tinggi ini mengingkari logika ekonomi. Kalau kenaikan harga BBM berdampak menaikkan harga barang dan jasa -- termasuk kebutuhan pokok --, maka seharusnya ketika harga BBM turun pun harga kebutuhan pokok ikut turun pula.

Tetapi logika itu ternyata tidak berlaku. Dampak variabel BBM terhadap harga kebutuhan pokok hanya searah: melulu ketika harga BBM naik. Penurunan harga BBM -- apalagi sampai dua kali -- dipersepsi sebagai sentimen negatif.

Bagi pedagang, penurunan harga BBM jelas berdampak memangkas margin keuntungan. Karena itu pula, mereka bergeming dengan harga semula pascapenaikan harga BBM.

Kenyataan itu meneguhkan kesan bahwa pemerintah tak mampu menyentuh pasar barang kebutuhan pokok. Pemerintah seolah hilang kendali atau bahkan tak berdaya dalam berhadapan dengan dinamika pasar.

Kesan itu tertoreh, karena paling tidak selama ini gejolak harga bahan pokok masyarakat praktis selalu menjadi penyakit tahunan -- dan nyaris tak pernah bisa diobati. Pemicunya bisa momen hari besar nasional seperti Lebaran atau Natal dan Tahun Baru. Bisa juga imbas faktor kebijakan pemerintah yang menumbuhkan persepsi negatif kalangan pedagang.

Gejolak harga barang kebutuhan pokok yang bertahan tinggi sekarang ini sungguh merisaukan. Sebab akhir tahun lalu itu, inflasi tahunan (year on year) masih jauh di atas target yang dijanjikan di bawah 5 persen. Akhir tahun lalu, inflasi tahunan ini tercatat 8,36 persen.

Maka pemerintah sungguh-sungguh ditantang. Pemerintah harus bekerja ekstra keras untuk menekan inflasi. Artinya, pemerintah harus mampu mematahkan anomali pasar bahan kebutuhan pokok pascapenurunan harga BBM, belum lama ini.

Pasar bahan kebutuhan pokok di dalam negeri patut diakui tidak sehat. Rantai distribusi terlampau panjang. Itu menjadi ruang-ruang bagi tindakan spekulasi ataupun distorsi pasar sehingga gejolak harga-harga pun acap bias -- tak selalu bisa dijelaskan sesuai hukum permintaan dan penawaran.

Kenyataan itu pula, barangkali, yang membuat kendali pemerintah untuk meredam gejolak harga selama ini hampir selalu tidak efektif. Terlebih strategi pemerintah sendiri kaku dan konvensional, di samping skalanya juga relatif terbatas. Strategi operasi pasar sudah acap terbukti tidak ampuh alias mandul.

Rencana pemerintah menerapkan sistem registrasi pelaku usaha bahan kebutuhan pokok barangkali bisa diharapkan menjadi strategi alternatif yang berdampak memangkas mata rantai distribusi. Strategi tersebut layak diterapkan. Terlebih di tengah anomali pasar bahan kebutuhan pokok sekarang ini.

Bagi pemerintahan Presiden Jokowi sendiri, upaya mematahkan anomali pasar itu menjadi pertaruhan besar. Keberhasilan upaya tersebut bisa berdampak meyakinkan khalayak luas bahwa pemerintah memang memiliki kepekaan terhadap derita rakyat.***

Jakarta, 21 Januari 2015

18 Januari 2015

Momentum Menegakkan Kedaulatan Energi

Sejumlah blok migas, yang notabene selama ini dikuasai kontraktor asing, dalam sepuluh tahun ke depan ini habis masa kontrak pengelolaan. Dua blok terbilang kakap, yaitu Blok Mahakam (habis kontrak tahun 2017) dan Blok Rokan (habis kontrak tahun 2021).

Bisa dipastikan, kontraktor-kontraktor bersangkutan kini berupaya memperoleh perpanjangan kontrak. Mustahil mereka lantas "tutup warung" begitu saja.

Cadangan tersisa yang relatif masih banyak di blok masing-masing niscaya menjadi alasan utama mereka untuk memperoleh perpanjangan kontrak ini. Cadangan tersisa di Blok Mahakam, misalnya, diperkirakan mencapai 5,8 triliun kaki kubik gas plus 185 juta barel minyak bumi. Sementara di Blok Rokan, cadangan tersisa ini diperkirakan 10 miliar barel minyak.

Karena itu, sekali lagi, mustahil mereka begitu saja "tutup warung" lantaran kontrak berakhir. Bagaimanapun, mereka sangat berkepentingan memperoleh perpanjangan kontrak atas ladang-ladang migas yang selama ini mereka kuasai.

Alhasil, pendekatan, proposal, atau bahkan negosiasi terhadap otoritas permerintahan di bidang itu pada hari-hari ini niscaya sedang intensif mereka lakukan. Terlebih, seharusnya, kontrak perpanjangan sudah mereka peroleh sejak beberapa tahun lalu.

Tetapi, bagaimanapun, habisnya masa kontrak pengelolaan blok-blok migas oleh korporasi asing ini selayaknya dijadikan momentum untuk menegakkan kedaulatan kita di bidang energi. Sumber daya migas kita sudah terlalu lama dalam genggaman asing. Karena itu, sungguh naif bila tak punya keinginan politik untuk menjadikan perusahaan-perusahaan nasional kita sebagai penerus.

Jadi, kini saatnya perusahaan-perusahaan nasional kita -- entah Pertamina ataupun swasta -- diberi kesempatan melanjutkan pengelolaan blok-blok migas yang selama puluhan tahun ini dikelola asing. Mereka harus diberi kepercayaan. Ironi perpanjangan kontrak Blok Cepu tak boleh sampai terulang kembali.

Soal modal ataupun penguasaan teknologi jangan pernah dijadikan dalih untuk tidak memberi kesempatan kepada perusahaan-perusahaan nasional ini menjadi penerus kontraktor asing. Toh soal modal bisa dicari entah dengan cara bagaimana. Begitu juga soal teknologi.

Karena itu, pemerintah wajib memiliki misi dan target yang jelas mengenai pengelolaan blok-blok migas usai berakhirnya kontrak pengelolaan oleh pihak asing ini. Pemerintah tak boleh lagi begitu gampang menafikan peluang dan kesempatan bagi perusahaan-perusahaan nasional menjadi penguasa baru ladang migas tersebut.

Untuk itu, pemerintah harus memiliki kepercayaan diri tinggi. Pemerintah tak boleh begitu saja termakan oleh manuver pihak asing yang memberi gambaran seolah-olah pengelolaan ladang-ladang minyak eks asing sangat berisiko -- sehingga perusahaan nasional tak layak menjadi penerus kontrak.

Gambaran mereka bahwa  produksi tidak efisien, butuh investasi lanjutan super jumbo, juga menuntut teknologi kelas wahid dan paling anyar boleh diyakini lebih merupakan trik untuk menutup jalan bagi perusahaan nasional. Mereka tak akan rela ladang-ladang minyak mereka kemudian jatuh kepada perusahaan nasional.

Karena itu, pemerintah wajib memiliki komitmen keberpihakan terhadap perusahaan-perusahaan nasional. Tanpa komitmen tersebut, kedaulatan energi kita tak akan pernah bisa ditegakkan. Kita akan terus dalam genggaman asing. Haruskah?***

Jakarta, 18 Januari 2015

14 Januari 2015

Bias Kepentingan KPK

Penetapan Komjen Pol Budi Gunawan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi menjadi bukti bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kini telah menjelma menjadi institusi sangat berkuasa alias super body. Demikian berkuasa, sampai-sampai institusi kepresidenan pun tak segan mereka permalukan.

Budi Gunawan adalah calon tunggal Kapolri yang diajukan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan. Artinya, Budi Gunawan adalah selera Presiden. Budi benar-benar pilihan Presiden setelah melalui tahap-tahapan proses seleksi. 

Tetapi pilihan itu secara tidak langsung dinyatakan bermasalah oleh KPK. Budi Gunawan ditetapkan berstatus tersangka kasus dugaan korupsi dan gratifikasi kala dia menjabat Kepala Biro Pembinaan Karier Sumber Daya Manusia, Mabes Polri.

Dengan tindakan itu, KPK sama saja dengan menyatakan bahwa pilihan Presiden Jokowi tentang calon Kapolri ini ngawur. Atau lebih lugas lagi: pilihan Presiden secara etis dan moral sama sekali tidak layak.

Begitu pula terhadap DPR. Dengan menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi dan gratifikasi, KPK secara tidak langsung ingin menyatakan bahwa DPR tidak patut melanjutkan proses uji kepantasan. Itu juga berarti, persetujuan atau restu DPR kepada Presiden untuk mengangkat Budi Gunawan sebagai pimpinan puncak Polri menjadi konyol.

Di sisi lain, tindakan KPK terhadap Budi Gunawan juga membuat marwah institusi Polri merosot. Pamor dan martabat kelembagaan Polri bisa luruh manakala nanti resmi dipimpin Budi Gunawan karena dia menyandang status tersangka kasus dugaan korupsi.

Bagi Budi Gunawan sendiri, tindakan KPK itu bermakna pembunuhan karakter. Pertama, karena dia belum pernah diperiksa KPK terkait kasus dugaan korupsi dan gratifikasi yang dialamatkan kepadanya. Kedua, karena dia justru sedang menghadapi proses uji kepatutan di DPR sebagai calon Kapolri.

Soalnya menjadi lain sama sekali kalau saja KPK menetapkan status tersangka terhadap diri Budi Gunawan ini jauh-jauh hari. Bisa dipastikan Presiden Jokowi tak bakal sampai memilih dan mengajukan Budi sebagai calon Kapolri ke DPR.

Dengan itu pula, DPR pun tak harus dibuat terkesankan konyol memberi restu kepada figur bermasalah untuk menjadi orang nomor satu di institusi Polri. Sementara Budi Gunawan sendiri juga tak perlu sampai mengalami pembunuhan karakter.

Jadi, apa yang dilakukan KPK terhadap Budi Gunawan ini luar biasa. Betapa tidak, karena KPK tidak lain sekadar lembaga ad hoc. Jajaran pimpinan KPK sendiri dipilih oleh rakyat melalui sebuah panitia bentukan Presiden dan disyaratkan mendapat restu DPR.

Namun, sekali lagi, KPK kini telah menjelma menjadi lembaga super body sehingga mereka sanggup memaksakan kehendak kepada institusi lain. Fungsi penegakan hukum yang mereka emban kini tidak lagi melulu demi penegakan hukum, melainkan sudah bias kepentingan beraroma politik.

Kecenderungan itu tentu tak boleh dibiarkan. Adalah berbahaya jika institusi penegak hukum seperti KPK larut masuk wilayah politik. Bukan cuma asas objektivitas dan fairness dalam penegakan hukum bisa terabaikan dan menjadi sekadar aksesoris. Lebih dari itu, bisa-bisa KPK lupa terhadap mandatnya sendiri.

Kalau saja itu sampai terjadi, keberadaan KPK pun kehilangan relevansi dan urgensi. Itu berarti, gerakan antikorupsi mengalami kemunduran.***

Jakarta, 14 Januari 2015

13 Januari 2015

Ada Apa dengan KPK?

Tindakan Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) mengumumkan penetapan  Komjen Pol Budi Gunawan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi -- saat menjabat Kepala Biro Pembinaan Karier Mabes Polri -- sangat politis. Betapa tidak, karena Budi Gunawan adalah calon Kapolri yang diajukan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke DPR untuk mendapatkan persetujuan.

Penetapan status itu sendiri dilakukan KPK menjelang proses uji kelayakan Budi Gunawan sebagai calon Kapolri di Komisi III DPR. Walhasil, status Budi pun tercederai. Peluang dia untuk menjadi orang nomor satu di Polri bisa terganjal. Dengan menyandang status tersangka kasus dugaan korupsi, secara etis Budi menjadi tak layak dan tidak patut lolos menjadi Kapolri -- sehingga DPR pun bisa menolaknya sebagai calon.

Kenapa baru sekarang KPK mengumumkan penetapan status tersangka terhadap Budi Gunawan ini? Kenapa itu tidak dilakukan KPK sejak jauh hari, saat Budi mulai diusung Kompolnas menjadi salah satu calon Kapolri? Apakah KPK memang sengaja menahan-nahan penetapan status itu sampai menemukan momentum yang benar-benar pas sesuai agenda tertentu?

Seharusnya sejak awal KPK paling tidak memberi alarm kepada Kompolnas bahwa Budi Gunawan tak layak diajukan sebagai calon pimpinan puncak Korps Bhayangkara. Toh, seperti pernyataan KPK sendiri, jauh sebelum ini KPK sudah menangkap indikasi yang mengarah kepada dugaan keterlibatan Budi dalam kasus korupsi ini.

Dengan memberi alarm sejak jauh hari kepada Kompolnas, maka KPK pun tidak lantas terkesankan sengaja mempecundangi Budi dalam konteks seleksi Kapolri ini. Karena itu, sekali lagi, tindakan KPK mengumumkan penetapan status tersangka terhadap Budi sangat kental bernuansa politis.

Meski bukan institusi skrining, KPK boleh saja kecewa tidak dilibatkan dalam proses seleksi calon Kapolri ini sebagaimana biasa dilakukan di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, ataupun seperti dalam proses seleksi anggota Kabinet Kerja pimpinan Presiden Jokowi.

Tetapi itu tak lantas berarti KPK layak mengganjal Budi Gunawan dengan memberinya status tersangka justru saat proses pemilihan Kapolri sekarang ini hampir rampung. Tindakan tersebut sangat tidak fair dan terkesankan memiliki agenda tersembunyi.

Penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi ini juga tidak fair, karena orang yang pernah menduduki pos Biro Pembinaan Karier Mabes Polri jelas bukan cuma Budi. Mengacu kepada penjelasan KPK mengenai penetapan status tersangka atas diri Budi, Biro Pembinaan Karier di Mabes Polri ini dikesankan sebagai lahan "basah kuyup".

Tetapi mengapa hanya Budi Gunawan yang ditetapkan menjadi tersangka? Mengapa sekian banyak tokoh lain yang pernah menduduki pos tersebut tidak diperiksa pula? Apakah mereka memang sama sekali bersih?

Melakukan penegakan hukum, khususnya dalam kasus-kasus korupsi, memang merupakan tugas dan wewenang KPK. Tetapi itu tak boleh bersifat bias kepentingan. Sebagai institusi penegak hukum, KPK tak boleh memikiki kepentingan lain kecuali penegakan hukum.

Jadi, ada apa dengan KPK terkait penetapan status tersangka terhadap Budi Gunawan ini menjelang dia menjalani uji kepatutan dan kepantasan di DPR?***

Jakarta, 13 Januari 2015

09 Januari 2015

Barang Bukti Narkoba

Perang melawan tindak penyalahgunaan narkoba, terutama yang dikobarkan Badan Narkotika Nasional (BNN) dan kepolisian, acap dicederai atau digembosi oleh oknum aparat berwenang. Entah sudah berapa banyak kasus terungkap dan gamblang menunjukkan bagaimana oknum aparat ini menyelewengkan hasil operasi BNN ataupun kepolisian.

Pelaku tindakan culas itu bisa oknum polisi, oknum jaksa, atau sekadar pegawai biasa di institusi yang menangani perkara penyalahgunaan narkoba ini:  kejaksaan ataupun kepolisian. Dalam konteks ini, barang bukti narkoba -- hasil operasi penggerebekan -- menjadi incaran sekaligus objek empuk tindakan culas oknum-oknum itu.

Keculasan mereka adalah diam-diam menjual narkoba berstatus sitaan ke tengah masyarakat. Lazimnya, itu mereka lakukan bekerja sama dengan sindikat pengedar narkoba. Jadi, oknum itu pada dasarnya merupakan bagian sindikat.

Aksi culas mereka, tentu, membuat operasi BNN ataupun kepolisian pun nyaris menjadi sia-sia. Narkoba sitaan bocor dan tetap meracuni masyarakat. Padahal operasi BNN maupun kepolisian sendiri dalam mengungkap peredaran narkoba ini sangat menguras waktu dan energi.

Operasi pengungkapan itu -- terutama yang melibatkan produsen, bandar, ataupun pengedar -- tidak bersifat sembarangan. Operasi penggerebekan baru dilakukan setelah segala info benar-benar  akurat. Justru itu, proses ke arah operasi tersebut lebih menyerupai gerilya -- dan karena itu sangat menguras energi.

Oknum-oknum aparat sendiri bisa berbuat culas karena memiliki akses. Bagi mereka, akses untuk bisa menjamah narkoba berstatus barang bukti relatif tidak sulit. Posisi atau status mereka sebagai aparat memungkinkan mereka untuk itu.

Oleh sebab itu pula, perang melawan tindak penyalahgunaan narkoba ini sungguh pelik. Tindakan culas oknum di internal institusi yang menangani perkara tersebut barangkali bahkan jauh lebih berbahaya ketimbang fenomena penyalahgunaan narkoba itu sendiri di tengah masyarakat. Lebih berbahaya, itu tadi: karena tindakan culas oknum ini berdampak menggembosi perang yang dikobarkan BNN ataupun kepolisian.

Tak bisa tidak, BNN dan kepolisian memang harus senantiasa ekstra waspada oleh tindak penggembosan itu. Berbagai celah yang memungkinkan oknum petugas berbuat culas harus benar-benar bisa diamankan. Sekecil apa pun celah itu tak boleh dibiarkan.

Salah satu celah yang bisa -- dan sudah terbukti acap dimanfaatkan oknum petugas -- adalah proses ke arah pemusnahan barang bukti. Makin lama barang bukti narkoba teronggok di tempat penyimpanan -- menunggu pemusnahan -- maka peluang bagi oknum petugas untuk menjamahnya terbuka lebar.

Karena itu, kita mendorong agar proses pemusnahan barang bukti narkoba ini  tak perlu menunggu waktu berlama-lama. Untuk itu, segala persyaratan legal bagi tindak pemusnahan harus bisa diselesaikan secara cepat.  

Gerak cepat ini makin urgen karena fenomena penyalahgunaan narkoba di tengah masyarakat semakin serius. Artinya, perang melawan narkoba jangan sampai tergembosi oleh faktor-faktor yang sesungguhnya bisa dihindari.*** 

Jakarta, 9 Januari 2015

06 Januari 2015

Peliknya Asuransi Korban AirAsia

Status penerbangan pesawat AirAsia QZ-8501 yang dinyatakan ilegal oleh pemerintah memang tak serta-merta menggugurkan hak keluarga penumpang untuk memperoleh pembayaran klaim asuransi. Toh mereka tidak ikut bersalah dalam konteks penerbangan ilegal itu.

Di sisi lain, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga sudah menyatakan bahwa perusahaan asuransi tetap wajib membayar klaim asuransi kepada keluarga yang menjadi korban penerbangan AirAsia QZ-8501 ini. Tetapi proses pembayaran klaim itu tetap bisa pelik karena kemungkinan berbenturan dengan masalah legalitas yang harus dipenuhi perusahaan asuransi. 

Kepelikan itu tak harus terjadi kalau saja status penerbangan AirAsia QZ-8501 tidak dinyatakan ilegal oleh pemerintah. Perusahaan asuransi mungkin sulit menemukan pijakan hukum untuk melakukan pembayaran asuransi karena penerbangan nyata-nyata dinyatakan ilegal oleh pemerintah selaku pemegang otoritas kebijakan di industri penerbangan.

Jadi, vonis ilegal bagi penerbangan AirAsia QZ-8501 bisa menyulitkan perusahaan asuransi untuk membayarkan asuransi kepada keluarga korban.  Bagaimanapun, bagi perusahaan asuransi, pembayaran klaim tak bisa melulu disandarkan kepada niat baik. Toh mereka bukan institusi amal.

Karena itu, sekali lagi, proses pembayaran asuransi bagi keluarga penumpang yang menjadi korban penerbangan AirAsia QZ-8501 bisa pelik. Meski, menurut OJK,  perusahaan-perusahaan asuransi terkait berkomitmen membayar klaim, kepelikan itu tetap harus diperhitungkan.

Menjadi tugas pemerintah untuk mengantisipasi kepelikan itu. Pemerintah tak boleh begitu saja beranggapan atau bahkan berkeyakinan bahwa proses pembayaran asuransi kepada keluarga korban penerbangan AirAsia QZ-8501 ini pasti lancar -- semata karena perusahaan-perusahaan asuransi sudah memberi komitmen ke arah itu.

Lebih mendasar lagi, pemerintah juga berkewajiban memastikan bahwa keluarga para korban tetap menerima pembayaran asuransi. Kerumitan dan kepelikan seperti apa pun yang terjadi dalam konteks pembayaran asuransi ini, mereka tidak boleh sampai korban lagi. Hak mereka memperoleh pembayaran asuransi harus diperjuangkan hingga benar-benar terpenuhi.

Jadi, andai perusahaan asuransi mengelak membayar asuransi karena kepelikan status penerbangan AirAsia QZ-8501 yang dinyatakan ilegal, pemerintah harus berperan optimal mengawal kepentingan keluarga para korban. Dalam konteks ini, perusahaan yang mewadahi maskapai AirAsia harus dipaksa menanggung pembayaran asuransi kepada keluarga para korban.

Selain itu, pemerintah juga harus memastikan bahwa maskapai AirAsia memenuhi kewajiban mengucurkan santunan seperti diatur dalam Permenhub Nomor 77/2011. Pengucuran santunan ini jangan sampai dikesankan sebagai belas kasih pihak maskapai. Keluarga korban QZ-8501 harus mengetahui bahwa santunan itu adalah hak mereka.

Kita menghargai komitmen pimpinan AirAsia yang sejak awal menyatakan tak hendak lari dari tanggung jawab terkait musibah yang dialami AirAsia QZ-8501. Justru itu, pemerintah berkewajiban memastikan bahwa komitmen itu ternyata kemudian  melenceng atau apalagi menguap.***

Jakarta, 6 Januari 2015