17 November 2006

Deklarasi Hanoi dan APEC

Sebagai semangat ataupun komitmen bersama, Deklarasi Hanoi yang dihasilkan dalam pertemuan puncak para pemimpin Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di Hanoi, Vietnam, Minggu kemarin, memang punya makna istimewa dan serta-merta menerbitkan harapan. Deklarasi Hanoi menekankan perlunya dimulai kembali pembicaraan Putaran Doha yang menjadi agenda perundingan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Itu terasa istimewa karena nasib Putaran Doha sendiri sekarang ini praktis tidak menentu. Akibat perbedaan kepentingan antara kelompok negara maju dan kelompok negara berkembang -- terutama menyangkut sektor strategis dan sensitif, seperti pertanian -- putaran perundingan WTO tersebut praktis buntu.

Kenyataan itu mencemaskan, bahkan berbahaya. Ekonomi global terancam tidak karuan. Persaingan tidak sehat bisa menggejala hebat. Bahkan sengketa dagang antarnegara, terutama antara raksasa ekonomi AS dan China, bisa menjadi-jadi dan tanpa penyelesaian.

Dalam konteks seperti itu, nasib negara-negara dunia ketiga jelas menjadi korban. Keberadaan mereka dalam percaturan ekonomi global terkondisi kian terpinggirkan. Negara-negara dunia ketiga sekadar menjadi objek kerakusan raksasa-raksasa ekonomi dunia. Implikasinya, negara-negara dunia ketiga menjadi semakin miskin dan praktis tak punya lagi harapan.

Karena itu, komitmen para pemimpin APEC mengenai perlunya memulai kembali pembicaraan mengenai Putaran Doha WTO sungguh terasa melegakan. Komitmen tersebut serta-merta membersitkan harapan bahwa kebuntuan putaran perundingan agenda Doha segera berakhir.

Pembicaraan tentang itu bisa segera bergulir lagi. Dengan demikian, segala ancaman yang membahayakan percaturan ekonomi global pun bisa disingkirkan. Terlebih bila perundingan yang kelak berlangsung tidak berlarut-larut dan tanpa arah penyelesaian yang jelas.

Tetapi kelegaan seperti itu bisa terbukti keliru. Harapan berbunga-bunga tentang putaran perundingan agenda Doha mungkin saja ternyata hampa belaka. Betapa tidak, karena sejatinya komitmen yang diusung Deklarasi Doha sama dan sebangun dengan semangat Deklarasi Busan yang dihasilkan dalam pertemuan puncak para pemimpin APEC di Busan, Korsel, tahun lalu. Bahkan Deklarasi Busan lebih tegas: Putaran Doha harus segera diselesaikan.

Dengan kata lain, semangat dan komitmen para pemimpin APEC di Hanoi mengenai Putaran Doha ini sekadar penegasan atau pengulangan. Justru itu, kita patut prihatin. Menurut perspektif kita, Deklarasi Hanoi lebih merupakan pengakuan tidak langsung mengenai ketidakseriusan para pemimpin APEC dalam melaksanakan komitmen mereka sendiri. Buktinya, setahun setelah pertemuan puncak para pemimpin APEC di Busan, Putaran Doha hingga kini tetap saja buntu dan beku.

Namun, tentu, kita tidak menginginkan Deklarasi Hanoi tidak melahirkan makna apa-apa bagi percaturan ekonomi global. Dekralasi Hanoi tidak boleh bernasib seperti Deklarasi Busan. Artinya, kita amat berharap para pemimpin APEC benar-benar konsisten dan konsekuen melaksanakan komitmen mereka sebagaimana tertuang dalam Deklarasi Hanoi.

Itu amat penting kita garis bawahi. Sebab, jika tidak, kita bisa tergiring pada kesimpulan bahwa forum APEC tidak bermanfaat dan karena itu tidak diperlukan lagi. Terlebih pembicaraan-pembicaraan seru yang mengemuka -- notabene itu digulirkan AS dengan sikap jumawa -- kian mengarah pada isu-isu politik, sementara isu ekonomi sendiri praktis sekadar menjadi sisipan.

Menarik kesimpulan bahwa forum APEC tidak bermanfaat dan tidak diperlukan lagi mungkin terlalu dini. Terlebih jika menilik semangat yang melatari kelahirannya, forum APEC sejatinya sungguh strategis. APEC adalah forum konsultasi yang memiliki tujuan dan sasaran yang jelas: mewujudkan perdagangan dan investasi bebas dan terbuka di Asia Pasifik paling lambat pada 2010 bagi kelompok ekonomi maju dan 2020 bagi kelompok ekonomi berkembang.

APEC juga mengusung asas nondiskriminasi, membahas isu-isu baru di bidang perdagangan dan investasi, juga mengurangi ketegangan perdagangan di Asia Pasifik.

Karena itu, yang diperlukan forum APEC adalah tetap konsisten dan konsekuen pada maksud dan tujuan semula.***
Jakarta, 17 November 2006

11 November 2006

Suspicious Transaction Report

Benarkah gerakan antipencucian uang di Indonesia semakin meningkat? Memang, laporan keuangan yang mencurigakan (suspicious transaction report/STR) yang masuk ke Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menunjukkan peningkatan signifikan dibanding tahun lalu. Hingga Oktober lalu saja, PPATK sudah menerima 3.219 laporan. Itu meningkat hampir seratus persen dibanding tahun lalu sebanyak 2.055 laporan.

Kita berkeyakinan, hingga akhir tahun nanti, laporan yang masuk ke PPATK tentang transaksi keuangan yang mencurigakan ini masih akan bertambah. Itu sangat mungkin karena, pertama, belum semua lembaga keuangan bank dan nonbank memberikan laporan. Kedua, kasus-kasus baru mungkin saja menyusul ditemukan dan kemudian dilaporkan ke PPATK.

Di satu sisi, kenyataan itu melegakan. Paling tidak, peningkatan laporan keuangan yang mencurigakan ini merupakan pertanda bahwa gerakan antipencucian uang di negeri kita memang meningkat. Mungkin benar, kesadaran lembaga keuangan -- perbankan maupun nonperbankan -- turut membangun rezim antipencucian uang semakin menguat.

Mereka kian tergugah untuk melaporkan setiap transaksi yang mencurigakan ke instansi yang bertugas mengawal rezim antipencucian uang ini, yaitu PPATK.

Bahwa tidak setiap laporan itu layak ditindaklanjuti institusi penegak hukum, sesuai hasil analisis PPATK, itu soal lain. Tapi, bagaimanapun, kesadaran berbagai lembaga keuangan melaporkan transaksi finansial yang mencurigakan itu sungguh positif. Kesadaran tersebut bisa menjadi credit point bagi kita di mata dunia internasional. Yaitu bahwa dari aspek administrasi saja, paling tidak, kita serius membangun rezim antipencucian uang.

Tetapi di sisi lain, kenyataan itu juga membuat kita prihatin. Peningkatan signifikan laporan keuangan yang mencurigakan bisa menjadi indikasi awal bahwa praktik pencucian uang di negara kita semakin serius. Artinya, kejahatan di bidang keuangan -- korupsi, suap, perdagangan ilegal, dan lain-lain -- kian mencemaskan. Orang terkesan tidak lagi takut atau malu melakukan korupsi atau berbisnis secara haram.

Oleh sebab itu tidak heran jika peringkat kita sebagai negara paling korup di dunia tak kunjung menjunjukkan perubahan signifikan. Posisi kita terus saja dalam kategori buruk. Padahal, ironinya, ekspektasi publik atas pemberantasan korupsi justru tinggi.

Karena itu pula, peningkatan STR ini juga bisa menjadi paradoks. Jika aspek penegakan hukum (law enforcement) tetap tidak mengesankan seperti selama ini, bisa-bisa grafik laporan yang meningkat itu malah menggiring khalayak luas -- terutama dunia internasional -- sampai pada satu kesan: bahwa dalam konteks pembangunan rezim antipencucian uang, kita sejatinya masih sekadar main-main alias tidak serius.

Kalau sudah begitu, risiko yang kita hadapi sungguh berat. Bisa-bisa kita kembali dimasukkan ke daftar negara yang tidak kooperatif terhadap gerakan antipencucian uang. Kita tahu, status tersebut memiliki implikasi lebih jauh dan gawat: kita bisa diisolasi dari percaturan transaksi keuangan global.

Jelas, kita tak menginginkan kemungkinan itu benar-benar menjadi kenyataan. Justru itu, keseriusan kita membangun rezim antipencucian uang tidak cukup ditunjukkan sebatas pada aspek administrasi pelaporan. Bagaimanapun, kita juga tidak boleh bermain-main di level penegakan hukum. Sekecil apa pun kasus-kasus yang dilaporkan PPATK, institusi penegak hukum -- kepolisian, kejaksaan, juga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) -- harus memprosesnya secara serius dan tanpa pandang bulu.

Kita yakin, PPATK sendiri mampu bersikap objektif dalam menganalisis berbagai STR. Bagaimanapun, sejauh ini kita tidak memiliki alasan sedikit pun untuk meragukan bahwa kasus-kasus yang disimpulkan PPATK patut ditindaklanjuti aparat penegak hukum beraroma subjektif atau hasil "tebang pilih". Sebagai institusi yang berdiri paling di muka, PPATK tentu tak menginginkan rezim antipencucian uang di Indonesia hanya di atas kertas!***
Jakarta, 11 November 2006

20 Februari 2006

Menakar Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi dalam kisaran relatif tinggi bagi kita sekarang ini memang menjadi kebutuhan mendesak. Pertumbuhan ekonomi tinggi adalah jawaban strategis terhadap masalah sosial-ekonomi di masyarakat kita yang telanjur menggunung dengan kadar yang kian serius. Kita tahu, pengangguran kian membengkak, kemiskinan semakin dalam dan luas, juga kesehatan masyarakat terus cenderung menurun.

Karena itu, pernyataan Menko Perekonomian Boediono tentang pertumbuhan ekonomi nasional serta-merta menerbitkan harapan. Dia berani menargetkan pertumbuhan ekonomi nasional tahun ini sebesar 6-7 persen. Bahkan dia juga mengaku optimis bahwa target itu bisa dicapai.

Angka target pertumbuhan ekonomi yang disebut Boediono itu jelas terbilang relatif tinggi, sekaligus jauh lebih baik dibanding realisasi pertumbuhan ekonomi tahun lalu yang hanya 5,6 persen. Karena itu, kita boleh berharap bahwa beban masalah sosial-ekonomi kita tahun ini bisa berkurang. Dengan pertumbuhan ekonomi dalam kisaran relatif tinggi, lapangan kerja bisa lumayan banyak tercipta. Itu, pada gilirannya, niscaya berdampak positif terhadap penurunan masalah kemiskinan maupun perbaikan kesehatan masyarakat.

Jadi, sekali lagi, target dan optimisme Boediono tentang pertumbuhan ekonomi nasional tahun ini sungguh membesarkan hati. Cuma, jujur saja, kita tidak mendapat penjelasan mengenai munculnya angka pertumbuhan sebesar 6-7 persen yang disebut Boediono itu. Terlebih angka itu menunjukkan lompatan dibanding pertumbuhan ekonomi nasional tahun lalu.

Di sisi lain, kita juga tidak menemukan argumen meyakinkan yang membuat Boediono bisa optimis tentang pertumbuhan ekonomi sebesar 6-7 persen ini. Sejauh terungkap dalam pemberitaan pers, optimisme Boediono ini berpijak pada premis bahwa semua pihak sungguh-sungguh bekerja keras menggerakkan ekonomi. Juga, di lain pihak, situasi dan kondisi di dalam negeri relatif kondusif alias menunjang kegiatan ekonomi.

Walhasil, ihwal pertumbuhan ekonomi yang disebut Boediono ini sebenarnya lebih merupakan hipotesis -- bukan sesuatu yang hampir pasti tercapai. Artinya, angka maupun optimisme tentang pertumbuhan itu hanya mungkin menjadi kenyataan bila faktor dependen -- kerja keras semua pihak dan situasi yang kondusif -- terpenuhi. Padahal justru faktor dependen itu yang sekarang ini menjadi persoalan serius kita. Paling tidak perkembangan selama setahun terakhir gamblang memberi gambaran tentang itu.

Sulit dipungkiri bahwa selama setahun terakhir ini pemerintah sudah benar-benar bekerja keras menggerakkan kehidupan ekonomi nasional. Mungkin benar, masing-masing pengambil kebijakan tetap sibuk seperti biasa. Tapi kesibukan itu tidak saling bersinergi. Kesan yang kental mengemuka, masing-masing pengambil kebijakan -- terutama di tim ekonomi -- tidak kompak. Itu pula yang membuat sasaran pertumbuhan ekonomi nasional tahun lalu gagal dicapai.

Bahwa sekarang ini kabinet sudah dirombak, itu belum menjadi jawaban bahwa pertumbuhan ekonomi tahun ini bisa membaik sebagaimana optimisme Boediono. Pertama, karena tim ekonomi belum menunjukkan diri sebagai tim yang solid dan kompak. Bahkan, dalam beberapa kasus, tim ekonomi hasil reshuffle ini terkesan saling berseberangan atau saling ganjal.

Kedua, seperti kata kalangan ekonom, pertumbuhan ekonomi pada satu tahun tertentu bukan merupakan satu kesatuan yang terpisah. Sedikit atau banyak, pertumbuhan ekonomi pada tahun tertentu dipengaruhi oleh kinerja ekonomi pada tahun sebelumnya. Justru itu, kalaupun membaik, pertumbuhan ekonomi tahun ini agak musykil bisa melompat signifikan dibanding tahun lalu.

Ketiga, kegiatan ekonomi kita sekarang ini tidak berpijak pada sebuah grand strategy sebagimana dipaparkan ekonom Didik J Rachbini lewat artikelnya di sebuah harian nasional. Padahal, seperti sudah ditunjukkan di sejumlah negara yang sukses menjulangkan kemajuan ekonomi, grand strategy sungguh mutlak perlu dan harus ada.

Atas dasar itu semua, angka maupun optimisme Boediono tentang pertumbuhan ekonomi nasional tahun ini agaknya terlalu mengawang-awang. Memang membesarkan hati. Namun tak cukup realistis.***
Jakarta, 20 Februari 2006