25 Oktober 2003

Kredit Bermasalah

Mungkin benar, seperti kata beberapa pengamat ekonomi, tingkat kredit bermasalah (NPL) di perbankan nasional saat ini belum membahayakan. Memang Gubernur Bank Indonesia Burhanuddin Abdullah menyatakan bahwa NPL di perbankan nasional ini belakangan cenderung naik. Tapi tingkat NPL kotor (gross) sebesar 8,3 persen pada akhir triwulan III/2003 masih terbilang relatif aman.

Kendati demikian, kita patut tetap merasa risau oleh kemungkinan bahwa NPL yang belakangan ini cenderung meningkat itu terkait dengan perilaku buruk bank-bank sendiri. Adalah ekonom Dradjad Wibowo yang mengungkapkan bahwa kalangan perbankan nasional mulai memperlihatkan lagi praktik lama yang sudah terbukti menjadi biang kehancuran industri perbankan di dalam negeri.

Praktik lama itu, antara lain, penggelembungan (mark up) plafon kredit. Dalam rangka memenangi persaingan merebut nasabah bonafid, mereka berani menaikkan plafon kredit di atas kebutuhan calon debitur. Kenyataan tersebut jelas potensial menimbulkan NPL.

Di sisi lain, kalangan perbankan ini juga mulai berani melanggar prinsip pengenalan nasabah (know your customer). Keberanian tersebut melahirkan sikap-tindak ceroboh dalam mengucurkan kredit. Rambu-rambu kehati-hatian perbankan (prudential banking) seolah tak berarti lagi. Ini juga potensial menorehkan NPL.

Yang mencemaskan, tindakan kolutif dalam penyaluran kredit justru mulai menggejala lagi. Itu akibat munculnya kembali benturan kepentingan antara pegawai bank dan debitur. Mungkin dalam kaitan itu pula, analisis dan manajemen risiko pun tak konsisten diterapkan.

Justru itu, kalau saja berbagai kecenderungan tadi terus berlangsung, bukan tidak mungkin NPL di tubuh perbankan nasional ini terus meningkat menembus level yang tak lagi bisa dipandang aman. Itu sungguh berbahaya karena bisa menyeret industri perbankan di dalam negeri kembali terjerembab ke dalam krisis. Padahal krisis yang telanjur terjadi pun membutuhkan biaya pemulihan demikian mahal dan harus ditanggung negara dengan menyuntikkan obligasi rekap.

Kecenderungan ke arah kondisi yang mencemaskan itu sendiri sebenarnya sudah mulai menggejala -- dan karena itu masalah NPL di perbankan nasional ini tak bisa kita hadapi dengan sikap tenang-tenang saja. Seperti dipaparkan Dradjad pula, elastisitas perkembangan NPL perbankan -- terutama bank-bank BUMN -- kini sudah mulai mengkhawatirkan. Itu ditunjukkan oleh rasio antara persentase perubahan NPL dengan persentase perubahan penyaluran kredit. Elastisitas NPL Bank BNI, misalnya, mencapai 2,40 persen. Sementara elastisitas NPL Bank BTN 3,23 persen dan Bank BRI -0,14 persen.

Elastisitas itu mencerminkan persentase NPL naik atau turun manakala penyaluran kredit naik atau turun satu persen. Idealnya, untuk satu persen kucuran kredit tertoreh pertumbuhan NPL negatif. Tetapi belakangan ini, katanya, sudah terlihat pertumbuhan NPL yang semakin cepat dibanding jumlah kredit yang dikucurkan sehingga potensial menimbulkan menggoyahkan stabilitas perbankan nasional secara keseluruhan. Jika Bank BNI menambah kredit, misalnya, NPL mereka bertambah 2,40 persen. Sementara bagi Bank BRI, penambahan kredit ini membuat NPL mereka justru berkurang 0,14 persen.

Karena itu, meski NPL gross sejauh ini tergolong relatif aman, semakin besarnya elastisitas NPL ini perlu kita lihat dan kita perlakukan sebagai peringatan dini. Kalau saja kita lengah atau abai, amat mungkin tingkat NPL perbankan ini kian tinggi dan menjadi sumber malapetaka lagi bagi kehidupan ekonomi nasional kita -- lengkap dengan segenap ongkos pemulihan yang harus kita keluarkan.

Untuk itu, Bank Indonesia jelas dituntut memerketat pengawasan dan penerapan manajemen risiko, terutama risiko pasar, risiko kredit, risiko likuiditas, risiko operasional, risiko legal dan peraturan, dan risiko kesalahan manusia.
Dalam konteks ini, Bank Indonesia juga dituntut bersikap konsisten dan lugas menerapkan aturan main: bank yang memiliki rasio NPL bersih di atas 5 persen jumlah kredit yang disalurkan segera dimasukkan ke pengawasan intensif Bank Indonesia.

Kita tentu sepakat bahwa bagaimanapun perbankan nasional jangan sampai terjerumus lagi ke jurang kehancuran sebagaimana terjadi saat krisis pada 1997 silam. Krisis tersebut sudah terbukti amat memukul kehidupan ekonomi kita, di samping menuntut ongkos pemulihan yang sungguh mahal.

Yang lebih penting lagi, kita amat tak menghendaki sumber penyakit yang mengakibatkan perbankan nasional didera krisis tetap menggejala. Kita selayaknya tak sedikit pun memberi ruang bagi bank-bank berperilaku sembrono dalam menyalurkan kredit. Karena itu, sekali lagi, perkembangan NPL perbankan kita -- meski di atas kertas terbilang masih aman -- tak kita pandang remeh. Kita tak boleh abai sedikit pun.***
Jakarta, 25 Oktober 2003

22 Oktober 2003

KTT APEC Di Bangkok

Dalam konteks ekonomi, Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di Bangkok, yang berakhir kemarin, tak menorehkan keputusan monumental-strategis. Apa yang tertoreh dalam pertemuan puncak di Bangkok ini sekadar berupa semangat dan komitmen para pemimpin ekonomi APEC untuk menggulirkan kembali perundingan tentang perdagangan multiletaral di bawah Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Memang, keputusan itu juga penting: mencairkan kembali kebekuan mengenai pembicaraan tentang sistem perdagangan dunia, menyusul gagalnya konferensi tingkat menteri WTO di Cancun (Meksiko), September lalu. Semangat dan komitmen para pemimpim ekonomi APEC ini memberikan harapan ke arah sistem perdagangan dunia yang bebas dan fair.

Konferensi tingkat menteri WTO di Cancun sendiri gagal justru karena perundingan-perundingan yang berlangsung terkesan menafikan faktor fairness ini. Kenyataan itu terjadi karena kelompok negara maju berkukuh mendesakkan kepentingan mereka yang justru merugikan kelompok negara berkembang, khususnya menyangkut perdagangan komoditas pertanian.

Meski begitu, apa yang dihasilkan KTT APEC di Bangkok tetap terasa kurang greget. Perhelatan tersebut makin meneguhkan kesan bahwa APEC sudah tidak fokus pada soal perdagangan, investasi, dan isu-isu ekonomi. Isu-isu tersebut tenggelam oleh isu politik-keamanan yang didesakkan AS. Karena itu pula, APEC seperti kian mengabaikan misi awal saat didirikan pada tahun 1989: mendorong Asia Pasifik menjadi kawasan perdagangan bebas dan membebaskan aliran investasi investasi dari berbagai hambatan.

Dengan kata lain, sekali lagi, keputusan yang dihasilkan dalam pertemuan puncak di Bangkok ini tak memiliki makna strategis-fenomenal seperti KTT APEC di Bogor pada 1994, misalnya, yang menghasilkan Deklarasi Bogor. Melalui deklarasi itu, APEC dicanangkan menjadi kawasan bebas perdagangan dan arus investasi pada tahun 2010 untuk anggota maju dan tahun 2020 untuk anggota dengan perekonomian terbelakang.

Deklarasi Bogor sendiri kini seperti tinggal sekadar manuskrip sejarah -- karena tak lagi ditindaklanjuti ke level langkah-langkah implementasi. Akibat dominasi pengaruh AS, patut kita akui, masing-masing pemimpin APEC seolah dipaksa melupakan semangat menggulirkan peraturan-peraturan yang mengikat tiap anggota membuat APEC terhampar mulus sebagai kawasan perdagangan bebas. Pembicaraan-pembicaraan dalam KTT APEC di Bangkok justru lebih intens masuk ke isu-isu politik dan terorisme.

Justru itu, APEC sulit diharapkan mampu mewujudkan cita-cita atau sasaran semula: menjadi kekuatan raksasa yang amat menentukan hitam-putih ekonomi dunia. Selama tidak segera kembali ke "khittah", APEC tidak lebih sekadar kumpulan ekonomi yang tidak sinergis. Justru itu, pamor APEC sebagai raksasa ekonomi yang harus diperhitungkan pun pelan-pelan bisa tenggelam.

Semula kita berharap pertemuan puncak di Bangkok ini mampu membawa APEC kembali ke rel semula: fokus pada semangat liberalisasi perdagangan dan investasi. Tetapi dominasi AS yang begitu bersemangat menggiring APEC ke wilayah politik demikian kukuh. Tak heran jika gagasan pihak Thailand untuk memercepat liberalisasi bagi ekonomi berkembang dari 2020 menjadi 2013 pun seperti menguap begitu saja.
Bagi Indonesia sendiri, KTT APEC di Bangkok itu seharusnya amat strategis: merupakan wahana untuk memerjuangkan kepentingan nasional agar tidak serta-merta luruh tergusur semangat liberalisasi yang digulirkan negara-negara lain. Maklum, memang, karena kita sebenarnya belum benar-benar siap memasuki liberalisasi perdagangan dan investasi ini. Bahkan banyak aturan dalam WTO sendiri yang sulit kita terapkan.
Karena itu, mestinya, isu-isu dalam kerangka liberalisasi perdagangan dan investasi dibicarakan intens dalam KTT APEC di Bangkok ini. Tetapi, itu tadi, pembicaraan-pembicaraan dalam pertemuan puncak tersebut melenceng ke isu-isu politik. Dalam konteks ini pula, PM Malaysia Mahathir Mohammad menyatakan bahwa AS telah menyelewengkan APEC dari semula forum ekonomi menjadi forum politik.

Sayang, memang, pemimpin ekonomi yang memiliki keberanian dan rasa percaya diri bersikap berseberangan dengan AS ini hanya terlihat pada diri seorang Mahathir. Lebih sayang lagi, karena Mahathir segera lengser dari tampuk kekuasaan di negerinya. Sementara pemimpin-pemimpin ekonomi lain belum terlihat siap bersikap penuh percaya diri seperti Mahathir. Seperti dalam KTT APEC di Bangkok ini, mereka amat terkesan luruh dan manut-manut saja terhadap agenda yang didiktekan George W Bush selaku pemimpin ekonomi AS.

Karena itu, tampaknya APEC masih tetap akan melupakan misi awal: menjadi forum ekonomi. Pembicaraan-pembicaraan dalam keragka APEC ke depan ini, boleh jadi, masih tetap lebih banyak menapak pada isu-isu politik yang menjadi kepentingan AS. Padahal begitu banyak isu dan aspek strategis yang mendesak dibahas menjelang liberalisasi perdagangan dan investasi sesuai Deklarasi Bogor.***
Jakarta, 22 Oktober 2003

10 Oktober 2003

Integrasi Ekonomi ASEAN

Sejauh kesan yang kita tangkap, semangat para pemimpin ASEAN menyangkut integrasi ekonomi ASEAN amat menggebu-gebu. Tak heran jika pembicaraan tentang rencana pembentukan Komunitas Ekonomi ASEAN (AEC) dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-9 ASEAN di Bali, beberapa hari lalu, pun begitu mulus. Masing-masing segera bisa bersepakat bahwa AEC -- notabene menjadi sebagai salah satu pilar Bali Concord II yang ditandatangani ke-10 pemimpin anggota ASEAN dalam KTT ASEAN di Bali itu -- sudah terbentuk paling lambat pada 2020.

Bahkan dalam rangka integrasi ekonomi ini, forum ekonomi ASEAN menyepakati bahwa pasar bersama ASEAN -- khususnya meliputi 11 komoditas -- dipercepat dari tahun 2020 menjadi tahun 2010. Lebih menakjubkan lagi, para pemimpin negara ASEAN ini malah sudah sampai pada konsep Pasar Bersama ASEAN yang dimulai 3 tahun mendatang.

Memang, integrasi ekonomi ASEAN akan menciptakan pasar yang demikian luas dan amat menjanjikan. Dengan populasi penduduk yang sekarang ini saja sudah mencapai 500 juta jiwa dan nilai perdagangan 720 miliar dolar AS, ASEAN adalah sebuah pasar raksasa.

Karena itu, pasar bersama ASEAN niscaya membuat volume ataupun nilai perdagangan antarnegara ASEAN bisa meningkat berlipat-lipat. Selama ini, volume perdagangan intra-ASEAN hanya mencapai 21 persen dari total perdagangan ASEAN ke seluruh dunia. Dalam pasar bersama, volume perdagangan intra-ASEAN ini niscaya bisa meningkat menjadi 60 atau 70 persen sebagaimana dialami Uni Eropa yang telah lebih dulu mengintegrasikan ekonomi mereka.

Bagi sejumlah negara anggota ASEAN seperti Singapura, Thailand, atau Malaysia, semangat menggebu itu mungkin amat beralasan. Bahkan bagi mereka, integrasi ekonomi ASEAN tampaknya memang bukan lagi merupakan tantangan, melainkan sudah menjadi peluang yang niscaya harus bisa diraih -- karena infrastruktur ekonomi maupun pelaku bisnis mereka sudah siap bersaing. Peluang itu sendiri, bagi mereka, semakin menggiurkan karena perjanjian dagang internasional dalam kerangka Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dalam status quo, menyusul kegagalan perundingan di Cancun (Meksiko), baru-baru ini.

Lalu bagaimana dengan kesiapan kita sendiri? Patut diakui, kesiapan kita menghadapi integrasi ekonomi ASEAN ini masih kedodoran. Infrastruktur ekonomi ataupun pelaku bisnis kita sulit bisa diandalkan mampu menghadapi persaingan dalam konteks integrasi ekonomi ASEAN ini. Kadin Indonesia, misalnya, terus-terang menyatakan bahwa sekitrar 33 persen produk yang kita hasilkan masih membutuhkan proteksi pemerintah.

Dengan kata lain, masih cukup banyak komoditas kita belum siap digiring masuk ke pasar bebas ASEAN. Sebut saja produk otomotif: kesiapan kita di sektor bersangkutan jauh di bawah Thailand atau Malaysia. Tapi dalam forum ekonomi ASEAN di Bali, perdagangan produk otomotif ini justru disepakati termasuk salah satu obyek yang dipercepat dalam bingkai Pasar Bersama ASEAN 2010. Lucunya, dalam konteks itu, Indonesia sendiri ditunjuk menjadi koordinator percepatan jalur (fast track) perdagangan.

Tampaknya, dalam menghadapi integrasi ekonomi ASEAN ini, kita memang amat percaya diri. Namun terkesan kuat bahwa sikap itu kurang melihat pada realitas obyektif di lapangan. Jika tidak begitu, bagaimana mungkin seorang pejabat tinggi kita bisa mengaku optimis bahwa dalam konteks integrasi ekonomi ASEAN ini Indonesia paling siap dalam menjaring investasi.

Bagaimanapun, pernyataan seperti itu mengabaikan atau bahkan memanipulasi kenyataan obektif sekarang ini: iklim investasi kita amat tidak kondusif -- dan karena itu sulit bisa dikatakan kompetitif dalam menarik investor. Bukankah selama tiga tahun terakhir ini kita mencatat bahwa capital outflow jauh lebih besar daripada capital inflow? Artinya, investor asing yang hengkang ke luar jauh lebih banyak ketimbang mereka yang masuk menanam modal di sini. Jadi, bagaimana mungkin bisa dikatakan bahwa kita paling siap dalam menjaring investasi?

Karena itu, sepertinya kita terlampau percaya diri (over confidence) dalam menghadapi integrasi ekonomi ASEAN ini. Kita tidak tahu kenapa itu bisa terjadi. Yang pasti, kesepakatan tentang integrasi ekonomi ASEAN ini sudah ditandatangani menjadi perjanjian. Atinya, kita terikat untuk melaksanakan perjanjian tersebut.

Justru itu, berbagai pembenahan mendasar amat mendesak kita lakukan. Kita harus bisa segera membuat daftar inventarisasi masalah sekaligus merumuskan serta melaksanakan langkah-langkah yang membuat ekonomi kita benar-benar efisien dan berdaya saing.

Dalam konteks itu, kita dituntut amat konsisten dan konsekuen. Betapapun pahitnya langkah pembenahan yang harus kita lakukan, itu tetap kita tempuh. Jika saja kita tak konsisten dan tak konsekuen, integrasi ekonomi ASEAN niscaya malah menjadi malapetaka buat kita: dalam AEC, kita menjadi pihak yang tersingkir sebagai pemain -- dan karena itu kita cuma menjadi pasar bagi negara-negara anggota lain ASEAN.***
Jakarta, 10 Oktober 2003

03 Oktober 2003

Perang Melawan Korupsi

Kesadaran bahwa korupsi adalah penyakit berbahaya sebenarnya sudah lama tumbuh dalam diri kita. Kita sadar betul bahwa korupsi adalah praktik yang bukan saja tidak produktif, melainkan terutama berwatak destruktif. Sendi-sendi kehidupan sosial, ekonomi, ataupun politik bisa rontok dan hancur gara-gara digerogoti praktik korupsi ini. Banyak pelajaran dalam sejarah yang bisa kita petik tentang itu.

Karena itu, nurani kita tak pernah menyetujui praktik korupsi. Nurani kita yang paling dalam bahkan mencela praktik tersebut. Kita juga sadar betul bahwa fenomena korupsi adalah najis yang harus kita singkirkan jauh-jauh -- karena tak akan pernah membawa kita menjadi bangsa yang makmur, kuat, dan maju.

Tetapi kesadaran itu lebih banyak sekadar menjadi kesadaran. Dalam praktik keseharian, selama ini kita seolah kurang peduli. Kita tak pernah konsisten dan konsekuen menghindari ataupun mengenyahkan praktik korupsi. Bahkan acap kali kita -- langsung ataupun tidak -- turut terlibat dalam praktik tersebut. Paling tidak, sering kali kita terkondisi -- tanpa daya dan tanpa peduli -- menjadi bulan-bulanan atau obyek tindak korupsi.

Justru itu, korupsi pun begitu marak dalam kehidupan keseharian kita. Bahkan korupsi ini nyaris sudah menjadi bagian kehidupan kita. Saking parahnya, dalam berbagai dimensi, korupsi hadir tanpa malu-malu lagi. Praktik korupsi sudah begitu terang-benderang. Kita semua seolah sudah benar-benar tak berdaya menghadapi kenyataan itu. Dengan sedikit nyinyir bercampur getir kita seperti dipaksa membenarkan pendapat Bung Hatta dulu: bahwa korupsi di tengah kehidupan kita sudah membudaya ...

Itu pula, barangkali, yang membuat setiap gugatan terhadap fenomena korupsi ini selalu menjadi seolah hanya angin lalu. Sejenak gugatan itu memang membuat kita terperangah -- bahkan bereaksi positif. Tapi sejurus kemudian, kita kembali larut dalam ketidakpedulian atau ketidakberdayaan oleh berbagai tindak korupsi di sekeliling kita. Praktik korupsi di negeri kita akhirnya sekadar menjadi wacana mengasyikkan dalam berbagai forum diskusi, seminar, atau talk show di layar televisi.

Apakah kenyataan seperti itu pula yang akan terjadi setelah dunia usaha nasional yang tergabung dalam wadah Kadin Indonesia menyatakan perang terhadap praktik suap? Entahlah. Hanya perjalanan waktu yang akan memberi jawaban tentang itu.

Tetapi pernyataan Kadin ini sungguh menjanjikan -- karena tegas-tegas menunjukkan sikap perlawanan terhadap praktik suap yang notabene merupakan wujud lain tindak korupsi. Terlebih perlawanan itu terasa begitu heroik karena langsung dicanangkan dalam bentuk kampanye nasional antisuap yang ditandai oleh penandatanganan sebuah pakta -- Pakta Antisuap Dunia Usaha. Pakta ini tak hanya ditandatangani oleh pentolan-pentolan Kadin, melainkan juga diteken oleh 45 wakil pengusaha, asosiasi dan himpunan pengusaha, lembaga pendidikan, koperasi, usaha kecil menengah, dan media massa nasional.

Kita layak menaruh harapan terhadap tekad yang dicanangkan Kadin ini. Diakui ataupun tidak, dunia usaha adalah salah satu pihak yang selama ini telah menumbuhsuburkan praktik suap bin korupsi ini. Sudah menjadi rahasia umum bahwa dunia usaha kita lazim menjadikan suap, sogok, upeti, atau apa pun istilahnya sebagai senjata andalan untuk melicinkan kegiatan bisnis. Justru itu, suap dalam dunia usaha nasional selama ini praktis sudah menjadi bagian integral kegiatan produksi.

Tetapi sikap-tindak korupsi yang semakin parah dan merambah ke mana-mana telah membuat suap kian menjadi beban. Rata-rata nilai nominal yang harus dikeluarkan dunia usaha untuk keperluan suap ini semakin hari semakin membengkak. Sampai-sampai kegiatan dunia usaha secara keseluruhan menjadi tak efisien lagi. Dunia usaha kita digayuti ekonomi biaya tinggi. Daya saing produk barang maupun jasa yang mereka hasilkan pun terus-menerus melorot.

Dengan kata lain, bagi dunia usaha nasional, praktik suap sekarang telah menjadi bumerang yang mematikan. Itu pula yang kemudian melahirkan sikap dan tekad mereka melakukan perlawanan dengan mencanangkan kampanye nasional antisuap sebagai langkah perlawanan dalam jangka pendek (2003-2004) dan perlawanan dalam jangka panjang lewat gerakan nasional antisuap (2005-2015).

Justru karena selama ini merupakan kelompok yang turut menumbuhsuburkan praktik suap, perlawanan dunia usaha nasional terhadap fenomena itu tentu bisa diharapkan membuatkan hasil nyata. Memang, hasil tersebut tak bisa segera. Bagaimanapun, praktik suap baru benar-benar bisa tersapu bersih setelah perlawanan dilakukan tanpa henti dan berpijak pada langkah aksi yang benar-benar nyata.

Itu berarti, segenap dunia usaha nasional dituntut konsisten dan konsekuen dalam memerangi praktik suap ini. Jika tidak, perlawanan mereka hanya akan menjadi sekadar deklarasi yang segera sirna dihembus angin.***
Jakarta, 3 Oktober 2003