Mungkin benar, seperti kata beberapa pengamat ekonomi, tingkat kredit bermasalah (NPL) di perbankan nasional saat ini belum membahayakan. Memang Gubernur Bank Indonesia Burhanuddin Abdullah menyatakan bahwa NPL di perbankan nasional ini belakangan cenderung naik. Tapi tingkat NPL kotor (gross) sebesar 8,3 persen pada akhir triwulan III/2003 masih terbilang relatif aman.
Kendati demikian, kita patut tetap merasa risau oleh kemungkinan bahwa NPL yang belakangan ini cenderung meningkat itu terkait dengan perilaku buruk bank-bank sendiri. Adalah ekonom Dradjad Wibowo yang mengungkapkan bahwa kalangan perbankan nasional mulai memperlihatkan lagi praktik lama yang sudah terbukti menjadi biang kehancuran industri perbankan di dalam negeri.
Praktik lama itu, antara lain, penggelembungan (mark up) plafon kredit. Dalam rangka memenangi persaingan merebut nasabah bonafid, mereka berani menaikkan plafon kredit di atas kebutuhan calon debitur. Kenyataan tersebut jelas potensial menimbulkan NPL.
Di sisi lain, kalangan perbankan ini juga mulai berani melanggar prinsip pengenalan nasabah (know your customer). Keberanian tersebut melahirkan sikap-tindak ceroboh dalam mengucurkan kredit. Rambu-rambu kehati-hatian perbankan (prudential banking) seolah tak berarti lagi. Ini juga potensial menorehkan NPL.
Yang mencemaskan, tindakan kolutif dalam penyaluran kredit justru mulai menggejala lagi. Itu akibat munculnya kembali benturan kepentingan antara pegawai bank dan debitur. Mungkin dalam kaitan itu pula, analisis dan manajemen risiko pun tak konsisten diterapkan.
Justru itu, kalau saja berbagai kecenderungan tadi terus berlangsung, bukan tidak mungkin NPL di tubuh perbankan nasional ini terus meningkat menembus level yang tak lagi bisa dipandang aman. Itu sungguh berbahaya karena bisa menyeret industri perbankan di dalam negeri kembali terjerembab ke dalam krisis. Padahal krisis yang telanjur terjadi pun membutuhkan biaya pemulihan demikian mahal dan harus ditanggung negara dengan menyuntikkan obligasi rekap.
Kecenderungan ke arah kondisi yang mencemaskan itu sendiri sebenarnya sudah mulai menggejala -- dan karena itu masalah NPL di perbankan nasional ini tak bisa kita hadapi dengan sikap tenang-tenang saja. Seperti dipaparkan Dradjad pula, elastisitas perkembangan NPL perbankan -- terutama bank-bank BUMN -- kini sudah mulai mengkhawatirkan. Itu ditunjukkan oleh rasio antara persentase perubahan NPL dengan persentase perubahan penyaluran kredit. Elastisitas NPL Bank BNI, misalnya, mencapai 2,40 persen. Sementara elastisitas NPL Bank BTN 3,23 persen dan Bank BRI -0,14 persen.
Elastisitas itu mencerminkan persentase NPL naik atau turun manakala penyaluran kredit naik atau turun satu persen. Idealnya, untuk satu persen kucuran kredit tertoreh pertumbuhan NPL negatif. Tetapi belakangan ini, katanya, sudah terlihat pertumbuhan NPL yang semakin cepat dibanding jumlah kredit yang dikucurkan sehingga potensial menimbulkan menggoyahkan stabilitas perbankan nasional secara keseluruhan. Jika Bank BNI menambah kredit, misalnya, NPL mereka bertambah 2,40 persen. Sementara bagi Bank BRI, penambahan kredit ini membuat NPL mereka justru berkurang 0,14 persen.
Karena itu, meski NPL gross sejauh ini tergolong relatif aman, semakin besarnya elastisitas NPL ini perlu kita lihat dan kita perlakukan sebagai peringatan dini. Kalau saja kita lengah atau abai, amat mungkin tingkat NPL perbankan ini kian tinggi dan menjadi sumber malapetaka lagi bagi kehidupan ekonomi nasional kita -- lengkap dengan segenap ongkos pemulihan yang harus kita keluarkan.
Untuk itu, Bank Indonesia jelas dituntut memerketat pengawasan dan penerapan manajemen risiko, terutama risiko pasar, risiko kredit, risiko likuiditas, risiko operasional, risiko legal dan peraturan, dan risiko kesalahan manusia.
Dalam konteks ini, Bank Indonesia juga dituntut bersikap konsisten dan lugas menerapkan aturan main: bank yang memiliki rasio NPL bersih di atas 5 persen jumlah kredit yang disalurkan segera dimasukkan ke pengawasan intensif Bank Indonesia.
Kita tentu sepakat bahwa bagaimanapun perbankan nasional jangan sampai terjerumus lagi ke jurang kehancuran sebagaimana terjadi saat krisis pada 1997 silam. Krisis tersebut sudah terbukti amat memukul kehidupan ekonomi kita, di samping menuntut ongkos pemulihan yang sungguh mahal.
Yang lebih penting lagi, kita amat tak menghendaki sumber penyakit yang mengakibatkan perbankan nasional didera krisis tetap menggejala. Kita selayaknya tak sedikit pun memberi ruang bagi bank-bank berperilaku sembrono dalam menyalurkan kredit. Karena itu, sekali lagi, perkembangan NPL perbankan kita -- meski di atas kertas terbilang masih aman -- tak kita pandang remeh. Kita tak boleh abai sedikit pun.***
Jakarta, 25 Oktober 2003
Kendati demikian, kita patut tetap merasa risau oleh kemungkinan bahwa NPL yang belakangan ini cenderung meningkat itu terkait dengan perilaku buruk bank-bank sendiri. Adalah ekonom Dradjad Wibowo yang mengungkapkan bahwa kalangan perbankan nasional mulai memperlihatkan lagi praktik lama yang sudah terbukti menjadi biang kehancuran industri perbankan di dalam negeri.
Praktik lama itu, antara lain, penggelembungan (mark up) plafon kredit. Dalam rangka memenangi persaingan merebut nasabah bonafid, mereka berani menaikkan plafon kredit di atas kebutuhan calon debitur. Kenyataan tersebut jelas potensial menimbulkan NPL.
Di sisi lain, kalangan perbankan ini juga mulai berani melanggar prinsip pengenalan nasabah (know your customer). Keberanian tersebut melahirkan sikap-tindak ceroboh dalam mengucurkan kredit. Rambu-rambu kehati-hatian perbankan (prudential banking) seolah tak berarti lagi. Ini juga potensial menorehkan NPL.
Yang mencemaskan, tindakan kolutif dalam penyaluran kredit justru mulai menggejala lagi. Itu akibat munculnya kembali benturan kepentingan antara pegawai bank dan debitur. Mungkin dalam kaitan itu pula, analisis dan manajemen risiko pun tak konsisten diterapkan.
Justru itu, kalau saja berbagai kecenderungan tadi terus berlangsung, bukan tidak mungkin NPL di tubuh perbankan nasional ini terus meningkat menembus level yang tak lagi bisa dipandang aman. Itu sungguh berbahaya karena bisa menyeret industri perbankan di dalam negeri kembali terjerembab ke dalam krisis. Padahal krisis yang telanjur terjadi pun membutuhkan biaya pemulihan demikian mahal dan harus ditanggung negara dengan menyuntikkan obligasi rekap.
Kecenderungan ke arah kondisi yang mencemaskan itu sendiri sebenarnya sudah mulai menggejala -- dan karena itu masalah NPL di perbankan nasional ini tak bisa kita hadapi dengan sikap tenang-tenang saja. Seperti dipaparkan Dradjad pula, elastisitas perkembangan NPL perbankan -- terutama bank-bank BUMN -- kini sudah mulai mengkhawatirkan. Itu ditunjukkan oleh rasio antara persentase perubahan NPL dengan persentase perubahan penyaluran kredit. Elastisitas NPL Bank BNI, misalnya, mencapai 2,40 persen. Sementara elastisitas NPL Bank BTN 3,23 persen dan Bank BRI -0,14 persen.
Elastisitas itu mencerminkan persentase NPL naik atau turun manakala penyaluran kredit naik atau turun satu persen. Idealnya, untuk satu persen kucuran kredit tertoreh pertumbuhan NPL negatif. Tetapi belakangan ini, katanya, sudah terlihat pertumbuhan NPL yang semakin cepat dibanding jumlah kredit yang dikucurkan sehingga potensial menimbulkan menggoyahkan stabilitas perbankan nasional secara keseluruhan. Jika Bank BNI menambah kredit, misalnya, NPL mereka bertambah 2,40 persen. Sementara bagi Bank BRI, penambahan kredit ini membuat NPL mereka justru berkurang 0,14 persen.
Karena itu, meski NPL gross sejauh ini tergolong relatif aman, semakin besarnya elastisitas NPL ini perlu kita lihat dan kita perlakukan sebagai peringatan dini. Kalau saja kita lengah atau abai, amat mungkin tingkat NPL perbankan ini kian tinggi dan menjadi sumber malapetaka lagi bagi kehidupan ekonomi nasional kita -- lengkap dengan segenap ongkos pemulihan yang harus kita keluarkan.
Untuk itu, Bank Indonesia jelas dituntut memerketat pengawasan dan penerapan manajemen risiko, terutama risiko pasar, risiko kredit, risiko likuiditas, risiko operasional, risiko legal dan peraturan, dan risiko kesalahan manusia.
Dalam konteks ini, Bank Indonesia juga dituntut bersikap konsisten dan lugas menerapkan aturan main: bank yang memiliki rasio NPL bersih di atas 5 persen jumlah kredit yang disalurkan segera dimasukkan ke pengawasan intensif Bank Indonesia.
Kita tentu sepakat bahwa bagaimanapun perbankan nasional jangan sampai terjerumus lagi ke jurang kehancuran sebagaimana terjadi saat krisis pada 1997 silam. Krisis tersebut sudah terbukti amat memukul kehidupan ekonomi kita, di samping menuntut ongkos pemulihan yang sungguh mahal.
Yang lebih penting lagi, kita amat tak menghendaki sumber penyakit yang mengakibatkan perbankan nasional didera krisis tetap menggejala. Kita selayaknya tak sedikit pun memberi ruang bagi bank-bank berperilaku sembrono dalam menyalurkan kredit. Karena itu, sekali lagi, perkembangan NPL perbankan kita -- meski di atas kertas terbilang masih aman -- tak kita pandang remeh. Kita tak boleh abai sedikit pun.***
Jakarta, 25 Oktober 2003