29 November 2002

Eksodus Investasi



Sama sekali tak mengagetkan ketika terungkap bahwa Sony Corp berniat menutup dan memindahkan pabrik produk audio mereka di Indonesia ke Malaysia. Toh akar masalah tersebut sejak lama sudah gamblang. Itulah: iklim investasi di negeri kita sudah tak kondusif lagi. Kalangan investor -- entah asing ataupun lokal -- sejak jauh-jauh hari sudah mengeluh. Iklim usaha di Indonesia sudah kalah menggairahkan dibanding di negara-negara lain.

Banyak faktor mengondisikan kenyataan itu. Sebut saja ketidakpastian di bidang hukum, sikap-tindak kalangan pekerja yang amat mudah menggelar aksi demo, inkonsistensi kebijakan, aneka pungutan -- resmi maupun liar -- yang meraja-lela, dan banyak lagi. Belum lagi soal insentif-insentif investasi -- sebut saja di bidang perpajakan atau hak guna usaha -- yang sudah tak gemerlap lagi dibanding negara-negara lain.

Tetapi kita memang cenderung abai. Pemerintah, khususnya, cenderung menganggap sepi persoalan. Keluhan kalangan pemilik modal mengenai iklim investasi yang terasa tak kondusif ini malah ditanggapi sebagai sikap kolokan. Soal kemungkinan mereka hengkang ke negara lain juga dianggap sekadar gertak sambal.

Kalaupun terlihat sedikit kepedulian ke arah itu, sikap-tindak yang ditunjukkan pemerintah bukan memecahkan masalah. Apa yang terjadi justru sekadar perang pernyataan antarpejabat. Masing-masing pihak larut dalam wacana yang berlangsung seru dan melelahkan. Tapi itu pun akhirnya menguap begitu saja. Tak ada solusi atau terobosan masalah yang justru dinanti-nanti investor.

Memang, dalam satu-dua kasus, kepedulian itu sampai juga ke tahap realisasi alias tak sekadar menapak di tataran wacana. Sekadar menyebut contoh, kita tunjuk saja soal pembentukan Crisis Center atau Pusat Krisis yang digagas Menperindag Rini Suwandi. Namun lembaga tersebut kini entah di mana atau bagaimana. Jangankan melihat action, bahkan sayup-sayup ihwal eksistensi Crisis Center ini sama sekali tak terdengar. Itu kontras dengan saat gagasan tentang lembaga tersebut bergulir sebagai wacana. Berbagai pihak -- kalangan pemerintahan dan dunia usaha, terutama -- begitu seru saling mengasah gagasan.

Kini, setelah Sony Corp mengungkapkan rencana memindahkan pabrik audio mereka di Indonesia ke Malaysia, kita pun geger lagi. Heboh. Seolah-olah itu kenyataan yang sulit dipahami dan tanpa sebab. Masing-masing pihak di pemerintahan langsung cuci-tangan: bahwa rencana Sony itu tak terkait dengan kebijakan di instansi mereka.

Bahwa rencana Sony ini serta-merta mengundang heboh, itu mudah dipahami. Bukan semata karena rencana itu mengancam nasib sekitar 1.000 karyawan mendadak kehilangan pekerjaan. Lebih dari itu, rencana tersebut ibarat borok bernanah yang tiba-tiba terkuak. Kalangan pemilik modal, dalam kaitan ini, dikhawatirkan jadi kian enggan menanam investasi di Indonesia. Bahkan investor yang selama ini bertahan menggerakkan kegiatan usaha di sini pun boleh jadi ikut-ikutan berbuat serupa.

Setelah Sony Corp, memang tak ada jaminan bahwa investor lain tak bakal segera menyusul bersiap-siap angkat kaki dari negeri ini. Padahal sebelum Sony, Matsushita Corp juga sudah lebih dulu mengambil ancang-ancang pula mengalihkan investasi ke Vietnam. Itu tadi, karena borok bernanah jadi terkuak: iklim investasi di Indonesia sudah benar-benar tak kondusif lagi.

Jadi, eksodus investasi ke luar negeri sangat mungkin segera terjadi. Implikasinya jelas dan sangat serius: masalah pengangguran serta-merta bakal kian menjadi-jadi. Padahal sekarang ini saja jumlah pengangguran kita sudah mencapai sekitar 40 juta jiwa.

Dalam konteks lebih luas, eksodus investasi ke luar negeri ini bisa membuat proses pemulihan ekonomi terganggu -- atau bahkan mungkin mandek. Betapa tidak, karena kegiatan ekonomi jelas jadi keropos, loyo, atau entah apa lagi istilahnya.

Walhasil, sekali lagi, memang wajar jika rencana Sony Corp memindahkan industri audio mereka ke Malaysia ini serta-merta mengundang heboh. Tapi setelah itu apa? Akankah kita hanya larut dalam kehebohan seperti selama ini?

Jelas tidak. Kehebohan harus segera diakhiri. Wacana-wacana seru dan melelahkan seputar keputusan Sony Corp ini sama sekali tak kita perlukan. Itu tadi, karena persoalan sudah amat gamblang: iklim investasi di negeri kita sudah tak kondusif. Yang harus kita lakukan segera adalah tindakan nyata dan berdaya guna. Paling tidak, eksodus investasi ke luar negeri harus segera bisa dicegah.

Untuk itu, kita sangat berharap agar pemerintah benar-benar satu sikap dan solid bahu-membahu. Jangan lagi seperti selama ini: masing-masing pihak justru cenderung saling menafikan hanya karena soal ego atau gengsi.***

Jakarta, 29 November 2002

22 November 2002

Release and Discharge

Siapa yang akan meneken surat pengampunan atas tindakan hukum (release and discharge) terhadap obligor yang dinilai kooperatif oleh pemerintah? Apakah itu Badan Penyehatan Perbankan Nasional, Kejaksaan Agung, Komite Kebijakan Sektor Keuangan, atau institusi lain? Entahlah. Kepastian tentang soal itu kemungkinan baru bisa tertoreh dua pekan lagi. Itu setelah pemerintah melakukan kajian khusus mengenai siapa atau institusi mana yang paling tepat menekan relrease and discharge ini.

Memang aneh bahwa pemerintah tak bisa segera menentukan institusi yang meneken surat pemberian amnesti tindakan hukum bagi obligor yang dianggap kooperatif itu. Sampai-sampai, untuk itu, harus terlebih dulu dilakukan kajian khusus. Apa yang sebenarnya terjadi?

Boleh jadi, kenyataan itu merupakan cerminan bahwa keputusan yang harus diteken mengandung masalah pelik. Entah secara moral ataupun mungkin juga secara legal. Karena itu, barangkali, tak ada institusi pemerintah yang sejak awal bersedia meneken surat release and discharge. Masing-masing terkesan buang badan. Masing-masing enggan tampil sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas pemberian amnesti hukum bagi
obligor yang dinilai kooperatif ini.

Keputusan pemerintah memberi release and discharge kepada obligor yang dinilai kooperatif itu sendiri, notabene tertoreh sebagai hasil sidang kabinet yang digelar pada 18 November 2002, memang kontroversial. Ini terutama karena nilai aset yang diserahkan obligor dengan nilai kewajiban mereka kepada negara jauh tak sebanding. Terlebih setelah sekian tahun nilai aset-aset itu ternyata terus mencuit.

Justru itu, muncul pertanyaan: layakkah obligor memperoleh release and discharge? Tidakkah itu menggugah rasa keadilan -- karena rakyat harus menanggung beban demikian menggunung berupa obligasi rekap berkaitan dengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang dikucurkan kepada bank-bank milik para obligor itu?

Lalu, apa dan bagaimana kriteria kooperatif sehingga obligor dinilai layak memperoleh release and discharge? Bukankah mereka selama ini justru terkesan kurang beritikad baik menyelesaikan semua kewajiban kepada negara? Dari total kewajiban senilai Rp 600 triliun di pundak para penanda tangan perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) ini, aset yang mereka serahkan sebagai jaminan kepada BPPN ternyata hanya bernilai sekitar Rp 140 triliun -- karena mengalami penciutan. Sudah begitu, jumlah kewajiban mereka banyak juga tak sampai Rp 20 triliun.

Padahal, sekali lagi, rakyat telah berkorban banyak sebagaimana tercermin dalam APBN yang terus mengucurkan pembayaran bunga obligasi rekap bernilai triliun rupiah.

Tapi, barangkali, kalangan obligor sendiri tak benar-benar bersalah. Dalam konteks ini, BPPN sedikit banyak turut mengondisikan penyelesaian kewajiban para obligor terus berlarut dan memakan ongkos sangat mahal.

Dalam konteks perjanjian penyelesaian BLBI dengan jaminan aset alias Master of Settlement Acquisition Agreement (MSAA), misalnya, BPPN nyaris tak kunjung melakukan verifikasi melalui mekanisme financial due diligence oleh pihak independen. Padahal MSAA jelas dan tegas menggariskan soal itu: untuk mengetahui bahwa nilai aset yang diserahkan obligor sesuai nilai yang disepakati. Kalau tidak, nilai selisihnya bisa diketahui sekaligus menjadi kewajiban obligor untuk menyerahkan aset cadangan.

Hasil identifikasi Tim Bantuan Hukum yang ditunjuk Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) terhadap obligor MSAA ini, juga menyatakan bahwa sebagian besar obligor tidak menyerahkan aset ke perusahaan induk seperti dijanjikan. Tetapi, sejauh ini, BPPN tak terlihat pernah menindak tegas obligor bersangkutan. Upaya ke arah itu lebih banyak sebatas pernyataan di media massa berupa ancaman-ancaman yang tak pernah kunjung menjadi kenyataan.

Penyelesaian masalah BLBI, bagaimanapun, merupakan salah satu barometer pemerintahan kinerja pemerintah. Terlebih karena selama ini masalah tersebut terus terombang-ambing tanpa langkah penyelesaian yang benar-benar meyakinkan.

Apakah karena pertimbangan itu pula pemerintah kemudian memutuskan memberikan release and discharge terhadap obligor yang dinilai kooperatif? Entahlah. Yang pasti, apa pun langkah penyelesaian masalah BLBI ini sungguh menelan ongkos amat mahal dan menggugah rasa keadilan. Bisa dipahami jika untuk sekadar menentukan institusi yang harus meneken surat release and discharge ini pun pemerintah terkesan amat pelik dan gamang.***

Jakarta, 22 November 2002

15 November 2002

Penyelesaian Beban BLBI

Keputusan DPR menunda pembahasan masalah beban Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) antara pemerintah dan Bank Indonesia bukan tanpa risiko serius terhadap geliat ekonomi nasional. Tapi putusan itu tampaknya memang sulit dihindari -- karena substansi masalah sangat prinsip dan menjadi taruhan bagi generasi mendatang.

Dalam konteks itu, DPR menggulirkan bola tentang mekanisme penyelesaian masalah beban BLBI ini kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Instansi tersebut diharapkan segera memberikan opini terhadap opsi penyelesaian BLBI yang sudah disepakati pemerintah dan Bank Indonesia. Jika opini sudah keluar, DPR pun bisa lebih mudah bersikap. Mereka memiliki pijakan pasti mengenai alasan teknis-ekonomis untuk secara politis menolak atau menyetujui opsi penyelesaian BLBI yang disodorkan pemerintah bersama Bank Indonesia.

Jumlah beban BLBI sendiri, yang harus dibagi antara pemerintah dan Bank Indonesia, ternyata jauh lebih besar ketimbang angka yang terungkap selama ini. Bukan Rp 144,5 triliun, melainkan Rp 159 triliun. Menkeu Boediono mengungkapkan bahwa selisih Rp 14,5 triliun tertoreh dari surat utang pemerintah (SUP) senilai Rp 53,8 triliun.

Beban tambahan BLBI sebesar Rp 14,5 triliun itu, menurut Boediono, memang terlepas dari beban BLBI yang telah diaudit BPK. Itu karena beban tambahan tersebut dikeluarkan setelah Januari 1999, dan pemerintah sendiri menilai beban tersebut merupakan bagian BLBI.

Pemerintah dan Bank Indonesia sendiri telah sepakat mengubah SUP dalam rangka BLBI senilai Rp 134,5 triliun menjadi perpetual promissory notes (PPN) alias obligasi tanpa jatuh waktu dan tanpa beban bunga. Namun kesepakatan tersebut dibatalkan. Konon karena DPR dan BPK menilai kesepakatan lebih banyak merugikan Bank Indonesia. Pemerintah dan Bank Indonesia kemudian bersepakat lagi mengubah surat utang dalam rangka BLBI ini menjadi redeemable promissory note (RPN), yakni surat utang yang dapat ditebus atau dikurangi sehingga jumlahnya bisa berubah dan bisa dilunasi -- tergantung kondisi kemampuan pemerintah dan Bank Indonesia.

Tetapi kesepakatan itu ternyata menggantung tak menentu. Bahkan DPR selaku otoritas yang sangat diharapkan memberikan persetujuan atau penolakan malah melempar bola kepada BPK. Itu memang prosedur yang harus ditempuh DPR agar sikap mereka terhadap opsi penyelesaian masalah beban BLBI tidak ngawur.

Hanya, implikasinya, kemelut mengenai pertanggungjawaban pengucuran BLBI ini pun lagi-lagi molor entah sampai berapa lama. Padahal penuntasan masalah beban BLBI antara pemerintah dan Bank Indonesia ini sangat mempengaruhi struktur pengeluaran APBN, di samping memberikan kepastian fiskal terhadap dunia usaha.

Sebenarnya, BPK sendiri sudah memberi isyarat positif terhadap kesepakatan pemerintah dan Bank Indonesia mengenai penerbitan RPN sebagai solusi penyelesaian masalah beban BLBI ini. Dalam konteks itu, Ketua BPK Satrio Boedihardjo Joedono menilai penerbitan RPN merupakan langkah maju dibanding rencana semula berupa penerbitan PPN.

Kendati demikian, tak serta-merta berarti bahwa BPK bersikap oke terhadap rencana penerbitan RPN ini. Bagaimanapun, BPK jelas akan bersikap ekstra hati-hati sebelum memberikan opini tentang itu. Maklum karena BLBI adalah dana negara berjumlah demikian besar -- notabene milik rakyat -- yang harus bisa diselamatkan alias tak boleh hangus ataupun menguap akibat tak jelas pertanggungjawaban.

Justru itu, apa pun sikap BPK -- setuju atau menolak -- bisa berimplikasi serius. Jika setuju, berarti BPK secara tidak langsung memberi garansi kepada DPR bahwa penerbitan RPN memang merupakan solusi yang akan menyelamatkan pengembalian BLBI. Sebaliknya jika menolak -- sehingga DPR pun kemungkinan besar tak akan berani memberikan persetujuan terhadap rencana penerbitan RPN -- berarti BPK mementahkan kembali proses alot yang sudah dilalui pemerintah dan DPR dalam rangka mencari solusi penyelesaian beban BLBI ini.

Itu juga berarti, kemelut penyelesaian BLBI tetap tak kunjung terselesaikan. Segala risiko politis atau ekonomis yang harus ditanggung negara pun tak bisa dihindari. Risiko tersebut terutama berupa beban bunga surat utang dalam rangka BLBI yang jelas-jelas terus bergulir tanpa bisa distop.

Kenyataan itu pula yang potensial meningkatkan derajat risiko fiskal bagi kalangan pengusaha. Maklum, karena kebijakan fiskal merupakan alternatif yang paling gampang dilirik pemerintah dalam mengatasi beban APBN ini -- notabene sudah dibebani defisit yang menganga lebar.***
Jakarta, 15 November 2002

08 November 2002

Mengatasi Defisit

Defisit RAPBN 2003 membengkak Rp 10 triliun lebih. Jika semula Rp 26,263 triliun atau 1,3 persen produk domestik bruto (PDB), angka defisit RAPBN 2003 ini -- sesuai usulan perubahan yang diajukan pemerintah kepada Panitia Anggaran DPR -- berubah menjadi Rp 36,567 triliun (1,9 persen PDB).

Perubahan angka defisit itu sendiri merupakan penyesusuaian atas perubahan asumsi-asumsi makro dalam RAPBN 2003. Ini sebagai antisipasi terhadap dampak ekonomis tragedi bom di Bali, 12 Oktober 2002, yang membuat ruang gerak pemerintah dalam menimba penerimaan menjadi sempit.

Lepas dari persoalan bahwa usulan itu disetujui atau tidak oleh DPR, masalah defisit dalam RAPBN 2003 ini tetap gawat. Angkanya pasti tetap membengkak. Lalu bagaimana cara pemerintah mengatasi masalah tersebut?

Itu sungguh pertanyaan krusial. Terlebih karena pemerintah juga masih membutuhkan dana lain sebesar Rp 5,9 triliun yang sudah diputuskan sebagai alokasi bagi stimulus ekonomi tahun depan. Padahal ruang gerak dan pilihan-pilihan yang bisa ditempuh pemerintah untuk itu sudah sangat sempit.

Program privatisasi BUMN dan divestasi aset-aset di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), misalnya, hanya solusi tak meyakinkan. Selain sudah terbukti selalu tak bisa berjalan mulus, privatisasi BUMN dan divestasi aset-aset di BPPN juga kian resisten. Ujung-ujungnya, alternatif tersebut gagal mencapai target kontribusi penerimaan bagi pemerintah.

Alternatif lain -- kebijakan fiskal -- memang sangat mungkin digarap pemerintah. Tapi ini justru melahirkan disinsentif dan trade off bagi dunia bisnis. Terlebih situasi makro saat ini tak kondusif. Justru itu, kebijakan fiskal ini pun tak banyak menjanjikan. Karena itu pula bisa dipahami jika Ditjen Pajak pun justru memberi sinyal bahwa penerimaan pajak pada tahun depan kemungkinan diturunkan.

Jadi, bagaimana masalah defisit RAPBN 2003 ini bisa diatasi pemerintah? Boleh jadi, utang luar negeri akan menjadi pilihan strategis yang dilirik pemerintah. Apalagi forum Consultative Group on Indonesia (CGI) sudah memberikan isyarat bahwa mereka siap memberikan komitmen pinjaman relatif besar -- jauh di atas angka yang sudah siap diajukan pemerintah (3 miliar dolar atau ekivalen sekitar Rp 26 triliun) pada sidang CGI di Yogyakarta, akhir Oktober 2002, yang ternyata urung digelar. Komitmen itu, konon, sebagai wujud kepedulian mereka membantu mengatasi kesulitan pemerintah berkaitan dengan dampak tragedi bom di Bali.

Melihat gelagat positif yang ditunjukkan CGI ini, sangat mungkin pemerintah pun tergerak. Berapa angka yang akan diajukan pemerintah kepada forum sidang CGI pada awal tahun 2003, itu belum jelas. Tapi hampir pasti di atas ancar-ancar semula sebesar 3 miliar dolar.

Kita berharap, bantuan CGI tak serta-merta menambah beban tumpukan utang kita yang sudah menggunung demikian tinggi. Justru itu, kita perlu mengingatkan pemerintah agar dalam forum pertemuan CGI awal tahun 2003 berjuang ekstra keras hingga bisa memperoleh banyak bantuan berupa hibah.

Sepanjang pemerintah bisa benar-benar meyakinkan -- bahwa kesulitan keuangan yang kita hadapi sudah mencapai taraf emergency -- kita percaya bahwa kalangan donor tak akan pelit memberikan banyak hibah. Kalaupun tidak, barangkali mereka rela memberikan konversi utang (debt swap) -- entah itu berupa konversi dengan program-program pelestarian lingkungan (debt to nature swap), pendidikan (debt to education swap), atau pengentasan kemiskinan (debt to poverty swap).

Di samping itu, pemerintah juga selayaknya kian serius mengelola utang dalam negeri maupun utang luar negeri. Untuk sementara, program penataan ulang profil (reprofiling) obligasi jatuh tempo mungkin layak diteruskan sehingga bisa mencakup seluruh bank peserta program rekap. Namun langkah ke arah itu harus konsisten berpijak pada semangat kesukarelaan (volunteer) pihak bank. Sebab, jika main paksa, program reprofiling obligasi ini malah mengguncangkan likuiditas bank. Konsekuensinya bisa serius: bukan tidak mungkin bank terjerembab lagi ke dalam krisis yang telah membuat mereka harus memperoleh injeksi rekap.

Di sisi lain, berkaitan dengan utang luar negeri, pemerintah juga sudah sangat perlu membulatkan keberanian dan tekad meminta pengurangan utang kepada kalangan kreditor. Toh meski sebagian utang luar negeri sudah direstrukturisasi melalui forum Paris Club, secara keseluruhan beban utang kita sudah kelewat besar dan di ambang kondisi menjebak (debt trap).***
Jakarta, 8 November 2002