27 November 2001

Merger BRI-BTN

Gagasan pemerintah mengenai merger Bank BRI dan Bank BTN tampaknya lebih merupakan cermin kepanikan menyangkut kemungkinan rekapitalisasi kedua terhadap salah satu atau mungkin kedua bank tersebut. Maklum, karena rasio kecukupan modal (CAR) kedua bank terkesan masih potensial meluncur ke tingkat di bawah patokan ideal yang sudah digariskan Bank Indonesia: 8 persen pada akhir 2001 ini.

Dalam konteks itu, hasil stress test yang dilakukan Bank Indonesia menunjukkan bahwa BTN sangat terpengaruh kenaikan tingkat bunga dan depresiasi rupiah. CAR BTN turun terus seiring dengan kenaikan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Dengan tingkat bunga SBI 12,5 persen, misalnya, CAR Bank BTN masih sekitar 14,81 persen. Ketika bunga SBI naik menjadi 14,5 persen, CAR BTN melorot menjadi 8,46 persen. Lalu manakala tingkat bunga SBI mencapai 16,5 persen, CAR menyusut menjadi 2,11 persen. Kini, bunga SBI anteng di atas 17 persen. Jadi, BTN terancam tidak bisa memenuhi CAR 8 persen pada akhir 2001.

Hasil stress test Bank Indonesia juga menunjukkan bahwa CAR BRI tak terkecuali berisiko turun, kendati tetap di atas 8 persen jika bunga SBI mencapai 17,5 persen. Hingga September lalu, CAR BRI ini tercatat 13 persen. Dirut BRI Rudjito menyatakan bahwa dengan penukaran 50 persen obligasi rekapitalisasi fixed rate yang dimiliki BRI -- senilai Rp 14,5 triliun -- menjadi obligasi variable rate, CAR BRI dia yakini bisa meningkat.

Di lain pihak, Dirut BTN Kodradi juga menepis kemungkinan bahwa BTN tak akan mampu memenuhi CAR 8 persen pada akhir 2001 ini. Dia menyebutkan, meski suku bunga SBI mencapai 17 persen, BTN masih mampu memenuhi CAR 8 persen pada akhir 2001 sesuai patokan Bank Indonesia.

Tapi Kodradi juga mengakui, BTN tengah mencari sejumlah cara untuk mencapai ketentuan modal yang ditetapkan Bank Indonesia. Salah upaya untuk menjaga kinerja BTN ini, katanya, adalah mengatasi macetnya kucuran dana subsidi kredit perumahan rakyat (KPR) dari pemerintah. Dia menambahkan, BTN telah membuat kesepakatan dengan Depkeu guna mengatasi dana subsidi KPR ini. Pemerintah sendiri sudah menyatakan komitmen menyediakan dana subsidi untuk 2001.

Toh, tampaknya, pemerintah tetap galau -- atau bahkan panik mengenai posisi modal BRI maupun BTN ini -- sehingga terlontar gagasan mengenai perlunya kedua bank dimerger. Maklum, karena jika CAR kedua bank terus tergelincir, mau tidak mau pemerintah memang harus melakukan injeksi rekapitalisasi untuk kali kedua.

Bagi pemerintah, kemungkinan itu menjadi masalah yang membuat panik karena kemampuan sudah sangat cekak. Jangankan menggelar lagi program rekapitalisasi -- notabene jelas bakal menambah beban APBN -- bahkan sekadar menambal defisit anggaran sekarang ini pun pemerintah sudah amat keteteran. Apa mau dikata karena program-program yang semula diandalkan untuk itu, sejauh ini belum membuahkan hasil mengesankan. Program privatisasi BUMN, misalnya, terus-menerus molor -- dengan berbagai alasan.

Di lain pihak, hasil penjualan aset di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) juga masih jauh di bawah target. Sementara program divestasi baru memberikan sedikit kemungkinan: jika penjualan saham BCA benar-benar terlaksana sesuai rencana terakhir, yakni pada akhir tahun ini. Toh itu tak bakal serta-merta mampu menutup defisit APBN yang telanjur menganga demikian lebar. Padahal kucuran pinjaman IMF sebesar 400 juta dolar masih saja belum pasti benar segera jadi kenyataan.

Walhasil, kemampuan pemerintah memang sangat cekak. Bisa dipahami manakala menyadari kemungkinan BRI dan BTN harus diinjeksi lagi modal, pemerintah serta-merta terkesan panik. Merge kedua bank itu pun segera mereka lontarkan.

Tapi, soalnya, kalau sekadar untuk menghindari kemungkinan rekapitalisasi jilid dua, gagasan merger BRI-BTN ini seolah menafikkan soal kemampuan keuangan yang telanjur cekak tadi. Betapa tidak, karena merger pun membutuhkan ongkos tidak kecil.

Lagi pula, jika situasi dan kondisi ekonomi tetap tak kondusif seperti sekarang, bisa-bisa merger hanya menunda masalah: posisi modal bank hasil merger dalam beberapa tahun mendatang mungkin sudah goyah lagi.

Kalau soal posisi modal yang menjadi alasan, merger bukan solusi populer untuk menyehatkan BRI dan BTN. Mengundang investor baru menginjeksikan modal (private placement) mungkin bisa menjadi alternatif dalam situasi darurat yang dihadapi pemerintah saat ini. Dibanding merger, private placement relatif tak membebani keuangan pemerintah. Sementara, di sisi lain, kebutuhan utama -- injeksi modal -- tetap terpenuhi. Selebihnyam kehadiran investor melalui private placement bisa lebih menggulirkan good corporate governance alias membuat bank bersangkutan lebih sehat.

Dengan itu pula, keruwetan-keruwetan teknis yang menyertai merger bisa dihindari. Ongkos sosial berupa pemutusan hubungan kerja sekian banyak karyawan di kedua bank juga tak perlu dilakukan. Lalu, masyarakat luas tak perlu kehilangan layanan spesifik yang selama ini sudah diemban BRI dan BTN. Bahkan kedua bank bisa lebih kukuh lagi menegakkan peran spesifik masing-masing.

Memang, jika BRI dan BTN jadi dimerger, masyarakat pasti merasa sangat kehilangan. Terlebih bila pola merger yang dipilih pemerintah adalah melebur kedua bank menjadi sosok yang benar-benar baru seperti kasus kelahiran Bank Mandiri: kibar BRI dan BTN praktis tinggal sejarah.

Karena merger pula, boleh jadi orientasi yang selama ini diemban BRI dan BTN jadi tak fokus lagi. Dalam sosok bank hasil merger, atas berbagai pertimbangan, komitmen BRI terhadap wong cilik mungkin berkurang atau bahkan pupus. Terlebih -- lagi-lagi sebagaimana sudah ditunjukkan dalam kasus kelahiran Bank Mandiri -- merger kemungkinan memangkas jaringan masing-masing bank. Dengan demikian, basis ekonomi wong cilik di desa-desa yang selama ini begitu intens ditekuni BRI praktis ditinggalkan.

Jelas, itu membuat masyarakat kecil jadi kehilangan sandaran. Padahal bank-bank lain belum siap atau mungkin malah enggan mengisi optimal peran yang ditinggalkan BRI ini. Maklum karena untuk bisa merengkuh sampai ke pelosok-pelosok desa dibutuhkan investasi tidak sedikit untuk membangun infrastruktur.

Jaringan BRI yang sudah begitu kuat merambah hingga ke pelosok-pelosok ini memang tak tertandingi oleh bank nasional mana pun. Bahkan jajaran bank pembangunan daerah ataupun bank perkreditan rakyat (BPR) sendiri harus mengakui keunggulan BRI ini. Tapi, itu tadi, merger kemungkinan malah memangkas jaringan tersebut. Tapi Andai pun pemangkasan jaringan ini tak dilakukan, organisasi bank hasil merger pasti akan sangat gendut alias tak efisien.

Bagi BTN sendiri, boleh jadi merger membuat keistimewaan mereka selama ini -- spesifik bergerak di bidang perumahan -- jadi kabur atau dikubur. Paling tidak, tak ada jaminan bahwa bank hasil merger tetap mempertahankan peran spesifik BTN selama ini secara penuh. Apalagi alasan untuk itu sudah tergelar: pemerintah kelak tak lagi menyalurkan kredit pemilikan rumah (KPR) bersubsidi.

Tapi, soalnya, tantangan di bidang perumahan telanjur menggunung. Itu tak mungkin bisa begitu saja dipercayakan kepada bank-bank lain. Pihak Real Estate Indonesia (REI) sendiri, karena itu, tak berharap merger BTN dan BRI menjadi kenyataan. Bagi mereka, selama ini BTN sudah berperan bagus dan masih bisa diharapkan tetap elok menggelar layanan sesuai fokus masing-masing.

Walhasil, gagasan merger BRI-BTN ini lebih baik dilupakan saja. Terlebih karena kondisi keuangan tak mendukung, pemaksaan merger hanya akan menumbuhkan kesan bahwa pemerintah tak memiliki sense of crisis.

Namun upaya-upaya mempercantik kondisi keuangan maupun kinerja operasional kedua bank tetap perlu dilakukan. Kalau saja private plecement tak menjadi alternatif, entah karena alasan apa pun, manajemen BRI dan BTN perlu diberi kesempatan melakukan langkah-langkah yang sudah mereka siapkan dalam rangka memperkuat aspek permodalan ini -- notabene merupakan faktor yang telah mengilhami pemerintah melontarkan gagasan memerger kedua bank. Toh manajemen BTN, misalnya, antara lain sedang berupaya mengatasi macetnya dana subsidi KPR. Agaknya, upaya tersebut bisa diandalkan. Yang penting, komitmen pemerintah sendiri tentang itu jangan sekadar basa-basi.

Di sisi lain, manajemen BRI juga sudah mencanangkan program privatisasi. Ini juga bagus ketimbang memaksa mereka merger dengan BTN. Untuk itu, manajemen BRI sudah berencana menukar obligasi berbunga tetap dengan obligasi berbunga mengambang senilai Rp20,14 triliun. Agaknya, rencana tersebut mampu mempercantik kinerja BRI. Justru itu, pada saatnya, investor bisa diharapkan tertarik membeli saham mereka. Tinggal bagaimana manajemen BRI bersama pemerintah pandai-pandai memilih waktu yang tepat dalam melakukan privatisasi ini.***

Jakarta, 27 November 2001

26 November 2001

Pro-Kontra Transgenik

Kontroversi tentang benih dan produk tanaman hasil rekayasa bioteknologi (transgenik) tak kunjung reda. Pro-kontra terus berlangsung. Bahkan, seiring perkembangan transgenik yang terus melaju pasti, pro-kontra ini semakin seru. Kedua belah pihak terus bersikukuh pada teori maupun fakta dan argumentasi masing-masing. Titik temu pandangan kedua pihak, sejauh ini, sama sekali belum terlihat.

Bagi pihak yang bersikap pro, transgenik adalah terobosan meyakinkan yang memungkinkan budidaya tanaman lebih efisien, murah, produktif, serta menghasilkan produk yang kualitatif jauh lebih baik. Sementara kelompok yang bersikap kontra, dengan nada yang kerap tendensius dan lebih berpijak pada asumsi ketimbang fakta, berpendirian bahwa transgenik potensial melahirkan masalah serius menyangkut keseimbangan lingkungan maupun kesehatan manusia.

Di Indonesia sendiri, kontroversi tentang transgenik ini tak terkecuali berlangsung ramai. Seperti juga di tingkat internasional, perdebatan seru dan melelahkan ini belum terlihat menuju titik akhir. Boleh jadi, kontroversi ini memang tak akan pernah berakhir.

Justru itu, menjadi pertanyaan menggelitik: bagaimanakah kita -- terutama kalangan pengambil kebijakan -- harus bersikap terhadap transgenik ini? Haruskah kita malah ikut larut dalam perdebatan tiada akhir? Padahal perkembangan transgenik sendiri, seolah tak hirau oleh kontroversi yang terus berlangsung, kian melaju kencang menawarkan terobosan-terobosan menakjubkan di bidang pertanian secara umum.

Kenyataan itu sungguh mengusik, karena kita berhadapan dengan problem pembangunan pertanian dalam arti luas yang sungguh merisaukan. Untuk sejumlah komoditas, produksi pertanian kita bahkan belum mampu memenuhi kebutuhan di dalam negeri. Selebihnya, secara keseluruhan, daya saing produk-produk pertanian kita tampaknya belum bisa diandalkan mampu bersaing dalam era perdagangan bebas yang tak lama lagi menjelang.

Jadi, sekali lagi, bagimanakah kita harus bersikap terhadap perkembangan dan manfaat transgenik yang terus disaput pro-kontra ini?

Sebagai produk yang menawarkan terobosan kuantitatif maupun kualitatif di bidang pertanian dalam arti luas, transgenik memang sangat menakjubkan. Tak terkecuali bagi badan-badan dunia yang bertali-temali dengan masalah kependudukan, kesehatan, atau masalah pangan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) ataupun Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO), misalnya, bahkan tegas-tegas mendukung penerapan dan pengembangan transgenik ini.

Sikap itu tak sulit dipahami. Maklum, karena bagi lembaga semacam FAO, kondisi obyektif dunia di bidang pangan saat ini sungguh mengkhawatirkan. Itu terkait dengan laju pertumbuhan penduduk yang terus melaju kencang dan menuntut ketersediaan pangan.

Menurut perkiraan PBB, penduduk dunia dewasa ini mencapai sekitar 6 miliar jiwa. Itu dua kali lipat dibanding kondisi 50 tahun silam. Lalu, dalam tempo setengah abad mendatang, jumlah penduduk dunia ini diperkirakan berlipat menjadi sekitar 9 miliar jiwa.

Itu berarti, produksi pangan harus meningkat pula dan mesti mampu mencukup kebutuhan konsumsi. Untuk itu, jika berpijak pada teknologi konvensional, luas lahan pertanian jelas harus terus ditambah.

Tapi, soalnya, lahan bagi budidaya pertanian kian hari kian terbatas. Karena desakan kebutuhan ruang bagi kepentingan pemukiman dan industri, areal baru pertanian semakin cenderung sulit dihamparkan. Bahkan areal pertanian produktif yang sudah tergelar pun tak jarang tergerogoti oleh pembangunan perumahan dan industri.

Dalam situasi seperti itu, transgenik serta-merta terasa menjadi solusi. Tanaman transgenik mampu meningkatkan hasil panen berkali lipat tanpa harus menambah areal tanaman. Hasil panen tanaman kapas transgenik yang mulai dikembangkan secara terbatas di tujuh kebupaten di Sulsel, misalnya, rata-rata mencapai 1 ton hingga 1,5 ton kapas per hektar. Sementara kapas varietas lokal, Kanesia, hanya menghasilkan 700-an kilogram per hektar.

Bagi Indonesia, kenyataan itu menunjukkan bahwa pengembangan kapas transgenik bisa menjadi alternatif strategis guna memacu produksi kapas dalam negeri. Ini sungguh relevan karena dalam rangka menekan impor kapas yang sangat dibutuhkan industri tekstil di dalam negeri. Impor kapas ini mencapai sekitar 98 persen kebutuhan bahan baku industri tekstil. Sementara produksi kapas di dalam negeri sendiri baru sekitar 1 persen.

Kenyataan itu makin terasa riskan, karena kebutuhan industri tekstil akan bahan baku kapas ini cenderung semakin meningkat. Pada 1990, misalnya, kebutuhan tersebut baru sekitar 347 ribu metrik ton. Tapi pada 1999, angka itu naik menjadi 410,6 ribu metrik ton. Bahkan pada 1995 mencapai 484 ribu metrik ton.

Di tengah kecenderungan itu, produksi kapas dalam negeri sendiri justru cenderung menurun dari 11,5 ribu metrik ton pada 1990 menjadi 4,9 ribu metrik ton 1999. Karena itu pula, impor kapas terus meningkat dari 334,3 ribu metrik ton 1990 menjadi 459,2 ribu metrik ton pada 1999.

Jadi, produksi kapas di dalam negeri jelas harus bisa ditingkatkan hingga mencapai 30 persen. Untuk itu, perlu dilakukan perluasan lahan hingga minimal sekitar 500 ribu hektar. Dengan demikian, Indonesia bisa mencapai swasembada kapas. Selebihnya, produk tekstil nasional bisa diharapkan lebih kompetitif.

Pemerintah sendiri, setelah melihat hasil perdana pelepasan terbatas kapas transgenik di tujuh kabupaten di Sulsel -- notabene, berdasarkan pantauan yang dilakukan sebuah tim khusus, tak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan -- sudah memastikan bahwa areal tanaman tersebut segera diperluas dari 4,6 ribu hektar menjadi 12.000 hektar. Bahkan pemerintah juga sudah menyiratkan bahwa dalam jangka panjang tanaman tersebut akan dikembangkan hingga meliputi berbadai daerah yang cocok dan potensial.

Itu bukan sekadar strategis dalam rangka mencapai swasembada kapas, melainkan juga karena tanaman transgenik -- sebagaimana tercermin dalam hasil uji-coba pertama di Sulsel -- mampu meningkatkan pendapatan petani secara signifikan. Peningkatan pendapatan ini bukan hanya dimungkinkan oleh tingkat produktivitas tanaman yang sangat mengesankan, melainkan juga karena ongkos produksi yang dikeluarkan petani dapat ditekan dalam hitungan amat meyakinkan. Pemakaian pestisida kimia, dalam konteks ini, amat sedikit. Maklum karena tanaman transgenik tahan serangan hama tanpa membunuh serangga lain. Atas dasar itu pula, bagi kalangan yang bersikap pro, tanaman transgenik sebenarnya ramah lingkungan.

Di sisi lain, kualitas produk tanaman hasil rekayasa genetika ini juga jauh lebih baik. Buah pepaya Hawai, misalnya, selain tak cepat peot, juga memiliki rasa lebih manis dan harum dibanding buah pepaya liar atau alami.

Begitu pula padi emas (golden rice) yang dikembangkan peneliti Swis, Ingar Potrykus: lebih pulen, wangi, serta mengandung provitamin A yang sangat bermanfaat mencegah kebutaan yang pekat membayangi penduduk miskin di negara-negara berkembang.

Menyadari kelebihan-kelebihan seperti itu pula, sejumlah negara sejak jauh-jauh hari menerapkan transgenik dalam kegiatan produksi pertanian mereka. Hingga 2000, negara-negara yang telah memanfaatkan transgenik dalam kegiatan pertanian ini adalah AS, Argentina, China, Kanada, Afsel, Australia, Rumania, Meksiko, Bulgaria, Spanyol, Jerman, Prancis, serta Uruguay.

Apa yang dilakukan negara-negara itu bukan lagi sekadar coba-coba seperti dalam konteks pengembangan kapas Bollgard di Indonesia sekarang ini. Mereka telah menerapkan transgenik dalam hamparan pertanian yang terbilang masif.

Dalam konteks itu, secara global areal tanaman transgenik ini terus meningkat pesat. Selama periode 1996-2000 saja, menurut catatan International Service for the Acquisition of Agri-Biotech Applicational (ISAAA), areal tersebut sudah meningkat 25 kali lipat lebih dari 1,7 juta hektar menjadi 44,2 juta hektar. Tahun ini, areal tanaman transgenik di dunia ini sudah lebih luas lagi: diperkirakan menghampar sekitar 50 juta hektar.

Dari total areal seluas 44,2 juta hektar itu, 33,5 juta hektar menghampar di negara-negara industri. Selebihnya di negara berkembang. Dalam konteks ini, AS merupakan negara yang paling luas menanam tanaman transgenik: sekitar 68 persen dari total areal hamparan tanaman transgenik di dunia. Sementara jenis-jenis tanaman yang mereka kembangkan meliputi jagung, kapas, dan kanola.

Posisi AS ini disusul oleh Argentina (23 persen), meliputi tanaman kedelai, jagung, dan kapas. Lalu Kanada (7 persen), mencakup kedelai, jagung, dan kanola; serta Cina (1 persen), meliputi kapas. Negara-negara lain hanya sekitar 1 persen: Afsel (jagung dan kapas), Australia (kapas), Rumania (kedelai dan kentang), Meksiko (kapas), Bulgaria (jagung), Spanyol (jagung), Jerman (jagung), Prancis (jagung), serta Uruguay (kedelai).

Hingga tahun lalu, tanaman transgenik yang paling dominan ditanam di berbagai belahan dunia adalah jagung, kedelai, kapas, dan kanola. Tapi di samping itu, ada lagi jenis-jenis tanaman lain yang sudah terkena sentuhan transgenik ini -- meski masih relatif kecil ditanam. Sebut saja kentang, labu, pepaya, melon, juga tomat. Masing-masing tahan virus, awet segar, serta bernilai gizi tinggi.

Di AS, diperkirakan sekitar 60 persen makanan yang beredar di berbagai pasar swalayan mengandung bahan baku produk tanaman transgenik -- terutama jagung, kedelai, dan kanola. Demikian juga sayuran segar.

Tapi jangan salah, pemanfaatan tanaman transgenik di AS ini sudah melewati berbagai tahap pengujian dan percobaan yang dilakukan instansi sangat kompeten dan kredibel, seperti Badan Pengawasan Obat dan Makanan AS (FDA) atau Kantor Pengawasan Lingkungan AS (EPA), di samping harus memperoleh izin Departemen Perundang-undangan AS (USDA).

Dengan demikian, berbagai tanaman transgenik sudah dinyatakan aman bagi lingkungan dan kesehatan. Jika tidak, mana mungkin tanaman-tanaman transgenik di AS ini bebas dibudidayakan serta hasilnya diolah menjadi bahan pangan.

Sangat boleh jadi, selama ini kita sudah akrab mengonsumsi bahan pangan produk tanaman transgenik ini. Sebut saja tempe atau tahu. Maklum karena kedelai yang kita manfaatkan sebagai bahan baku tahu atau tempe ini banyak kita impor dari AS -- notabene memanfaatkan benih kedelai transgenik.

Tapi kenyataan itu seolah tak kita sadari. Atau mungkin kita abaikan. Dalam riuh-rendah pro-kontra tentang tanaman transgenik di Indonesia ini, kenyataan itu nyaris tak pernah menjadi sorotan. Berbagai kalangan yang bersikap antitransgenik, khususnya, lebih memokuskan perhatian pada kemungkinan kita memanfaatkan tanaman produk rekayasa genetika dalam kegiatan budidaya pertanian.

Mungkin itu bisa terjadi karena sikap mereka yang kontra terhadap transgenik di Indonesia ini lebih mengikuti arus serupa yang berkembang di negara-negara maju. Tak heran jika berbagai argumentasi yang mereka ajukan pun terkesan acap tidak berpijak pada rasionalitas ilmiah sesuai hasil pengujian mereka sendiri, melainkan cenderung bersandar pada wacana kontra transgenik yang berkembang di negara-negara lain. Tak jarang argumentasi tentang sikap antitransgenik ini terkesan tendensius dan mengada-ada. Kapas transgenik, misalnya, entah atas dasar apa, sampai mereka dengungkan bisa mengakibatkan penyakit raja singa segala.

Sementara itu, wacana antitransgenik di luar negeri sendiri -- notabene kerap menjadi acuan berbagai pihak yang kontra terhadap tanaman transgenik di Indonesia -- tidak selalu benar-benar obyektif menurut takaran ilmiah. Berbagai argumentasi yang mengemuka terkesan cenderung bersifat emosional ketimbang rasional-ilmiah, dan karena itu jelas lebih mencerminkan kekhawatiran yang berlebihan. Bahkan kampanye yang dilakukan lembaga sekaliber Greenpeace di AS, misalnya, menurut Ketil Haarstad -- peneliti di Norwegian Center for Soil and Enviromental Research -- lebih berbau propaganda antitransgenik ketimbang fakta bahwa tanaman hasil rekayasa genetika berbahaya bagi lingkungan maupun kesehatan.

Sikap-sikap seperti itu tak pelak melahirkan fobia. Sejumlah negara di Eropa, misalnya, melarang atau membatasi penanaman ataupun impor makanan yang berasal dari tanaman transgenik. Mereka bahkan menyebut makanan tersebut sebagai frankenfood. Mereka, sekali lagi, khawatir bahwa produk transgenik berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan. Padahal itu belum cukup terbukti. Kekhawatiran mereka lebih karena asumsi-asumsi atau bahkan fantasi. Betapa tidak! Tanaman padi emas, misalnya, sampai mereka asumsikan bakal melahirkan tanaman raksasa yang bisa merusak ekosistem.

Memang, kalangan ilmuwan dan peneliti yang bersikap pro sekalipun tak bakal berani menjamin bahwa produk transgenik benar-benar aman alias tanpa risiko sama sekali. Sebagai produk ilmu pengetahuan, keamanan transgenik tidak bersipat mutlak. Sekecil apa pun, kemungkinan bahwa produk tersebut berisiko bagi kesehatan maupun lingkungan tetap harus kita perhitungkan.

Begitu pula terhadap tanaman yang dikembangkan secara konvensional. Bagaimanapun, sesungguhnya, soal kemungkinan risiko terhadap kesehatan dan lingkungan itu bukan spesifik bisa ditorehkan tanaman transgenik. Tanaman yang dikembangkan secara konvensional pun bukan tidak mungkin bisa menebarkan risiko serupa.

Cuma, jelas tidak proporsional dan tak cukup obyektif jika ihwal risiko itu lantas dijadikan pijakan dalam menempatkan transgenik sebagai produk berbahaya dan karena itu harus ditampik mentah-mentah hingga menafikkan berbagai manfaat yang bisa dipetik bagi kesejahteraan masyarakat. Dengan kata lain, apa yang diperlukan dalam menghadapi produk transgenik ini adalah sikap berhati-hati -- bukan mati-matian apriori. Sikap berhati-hati ini juga jangan berlebihan hingga menjadi fobia. Sikap tersebut harus berdasarkan informasi atau data yang berimbang, memadai, dan dapat dipertanggungjawabkan menurut kaidah etika, moral, juga rasionalitas ilmiah.

Untuk itu, sikap kritis terhadap berbagai informasi atau data mengenai produk transgenik ini juga mutlak perlu. Dengan itu, sikap pro ataupun kontra terhadap produk tersebut tak lagi cenderung berpijak pada sekadar pernyataan orang atau kelompok di negara lain. Juga bukan karena menelan begitu saja publikasi komentar atau ulasan pihak di luar sana. Bagaimanapun, pernyataan, komentar, atau telaah mengenai produk transgenik yang begitu riuh di luar negeri ini -- entah pro ataupun kontra -- harus dikaji ulang karena belum tentu cocok ataupun relevan dengan kondisi obyektif di sini.

Bahkan kita mungkin perlu menaruh curiga terhadap sikap atau keputusan yang ditunjukkan berbagai negara lain mengenai produk transgenik ini. Sikap negara-negara Eropa melarang atau membatasi ketat pemanfaatan produk tersebut, misalnya, bukan tidak mungkin memuat kepentingan perusahaan-perusahaan raksasa produsen berbagai produk pestisida kimia. Dalam konteks ini, produk transgenik memang potensial menjadi ancaman serius terhadap kedigjayaan mereka menggeluti bisnis pestisida.

Begitu pula sikap negatif negara-negara Eropa terhadap tanaman padi emas, boleh jadi itu lebih mencerminkan soal selera. Bagi mereka, sosok padi emas yang tak bersih-bernas sungguh tak mengundang selera -- -- di samping bahan pangan utama mereka memang bukan beras. Padahal bagi negara berkembang, padi emas justru amat dibutuhkan guna menepis risiko kebutaan yang begitu pekat membayangi kalangan penduduk miskin akibat kekurangan provitamin A.

Jadi, sekali lagi, sikap yang harus kita tunjukkan di tengah kontroversi produk transgenik ini adalah hati-hati, kritis, plus memberi ruang kondusif bagi pengembangan dan pemanfaatan kemajuan ilmu pengetahuan. Jika kalangan pengambil kebijakan, khususnya, malah larut dalam kontroversi itu, pembangunan pertanian kita -- notabene selama ini terasa merisaukan -- niscaya tak akan menorehkan lompatan-lompatan.

Memang patut diakui bahwa selama ini kalangan pengambil kebijakan di Indonesia cenderung terpaku terhadap riuh-rendah kontroversi tentang rekayasa genetika ini. Jika pun sedikit langkah ke arah itu terlihat diayunkan, kebijakan yang digariskan terasa kedodoran karena tak efektif mendorong berbagai pihak melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan bioteknologi modern secara kompetitif. Tak heran pula, di tingkat aplikasi kita tertinggal jauh dibanding negara-negara lain. Kita hanya bisa terpana oleh kehebatan Thailand, misalnya, yang terbukti sudah begitu jauh di muka dalam memanfaatkan hasil penelitian bioteknologi modern ini.

Hebatnya pula, negara seperti Singapura saja -- notabene tak memiliki potensi di bidang pertanian -- sejak jauh-jauh hari sudah menunjukkan perhatian dan langkah-langkah nyata di bidang bioteknologi modern ini. Mereka telah membangun pusat-pusat penelitian bioteknologi yang siap menggelar jasa rekonstruksi atau sertifikasi produk-produk transgenik.

Haruskah pertanian kita tetap jalan di tempat dan karena itu kian jauh tertinggal oleh negara-negara lain? Agaknya, kita bisa sepakat bahwa itu tak boleh terjadi. Pertanian kita harus segera bangkit melakukan langkah-langkah terobosan yang sangat dimungkinkan oleh bioteknologi modern. Kalangan pengambil keputusan, dalam konteks ini, dituntut mengambil sikap tegas terhadap alternatif tersebut dengan menggelar kebijakan yang prudent, kritis, serta produktif-kompetitif.

Dengan demikian, dalam era perdagangan bebas yang mulai bergulir pada 2003 dalam rangka AFTA, kita niscata tak hanya menjadi pasar produk pertanian negara-negara lain seperti sudah menggejala selama ini. Dengan keragaman hayati yang kita miliki, bagaimanapun, sesungguhnya kita justru sangat berpeluang menguasai perdagangan produk pangan dunia. Tapi, sekali lagi, peluang tersebut hanya mungkin bisa kita gapai jika kita tak cuma larut dalam pro-kontra mengenai rekayasa bioteknologi.***

Jakarta, 26 November 2001

23 November 2001

Merger Empat Bank

Jika melihat kebutuhan mendesak yang harus bisa dipenuhi pemerintah saat ini -- menutup defisit APBN --, merger bank sebenarnya tak terbilang strategis. Langkah yang relevan dan urgen ditempuh pemerintah justru divestasi BUMN maupun aset di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).

Tapi merger empat bank di bawah pengelolaan BPPN -- Bank Bali, Bank Universal, Bank Prima Ekspres, dan Bank Patriot -- terpaksa menjadi pilihan pemerintah karena bank-bank itu tak cukup meyakinkan bisa cepat laku dan menghasilkan dana relatif besar jika didivestasi sekarang. Apa boleh buat karena keempat bank memang tak terbilang aset menggiurkan seperti Bank BCA.

Kondisi beberapa bank itu, meski sudah memperoleh injeksi modal melalui program rekapitalisasi, memang masih saja payah. Masih mengkhawatirkan. Rasio kecukupan modal (CAR) Bank Universal, misalnya, hanya 4,1 persen. Itu jauh di bawah ketentuan Bank Indonesia yang mematok CAR 8 persen pada akhir 2001 ini. Begitu pula Bank Bali: meski memiliki CAR 13,01 persen, mereka digayuti kredit bermasalah sebesar 15,53 persen. Padahal Bank Indonesia menggariskan, pada akhir 2001 tingkat kredit bermasalah di bank-bank nasional maksimal 5 persen.

Jadi, jika tak segera dimerger, sangat mungkin salah satu atau beberapa bank terpaksa terkena tindak penghentian operasi seperti belum lama ini dialami Unibank. Padahal tindakan itu riskan. Sistem perbankan nasional secara keseluruhan bisa goyah. Di samping itu, penghentian operasi bank juga harus memakan ongkos tidak kecil, khususnya menyangkut nasib dana masyarakat di bank-bank bersangkutan yang masih terkait program penjaminan pemerintah.

Memang, langkah merger sendiri bukan tanpa ongkos. Bagaimanapun langkah tersebut tetap membutuhkan biaya tidak kecil. Sebut saja ongkos rasionalisasi karyawan.

Tapi ongkos itu relatif lebih ringan dibanding dampak ekonomis maupun sosial-politis tindak penutupan bank yang mungkin harus dilakukan pemerintah jika merger tak segera dilakukan. Dengan kata lain, merger merupakan pilihan paling mungkin untuk menyelamatkan keempat bank di bawah BPPN itu.

Sebenarnya, untuk menyelamatkan bank-bank itu pemerintah bisa menempuh alternatif lain: melakukan injeksi modal melalui rekapitalisasi. Tapi ini sangat tidak populer. Di samping secara tidak langsung menguakkan kenyataan bahwa rekapitalisasi yang sudah dilakukan tak cukup efektif, alternatif itu juga jelas hanya akan menambah beban pemerintah. Padahal, itu tadi, untuk menambal defisit APBN 2001 saja pemerintah sudah sangat keteteran. Jadi, jika rekapitalisasi kembali dilakukan, itu jelas tidak lucu.

Soalnya sekarang, merger empat bank di bawah pengawasan BPPN itu sendiri harus benar-benar menjadi solusi yang efektif. Jangan sampai terjadi, merger hanya menunda masalah karena kelak ternyata bank hasil merger tetap saja menuntut langkah penyelamatan yang harus menyedot dana dalam jumlah besar.

Kemungkinan itu bukan tidak mungkin tertorehkan jika konsep dan strategi merger tak benar-benar jitu. Contoh kasus tentang itu sudah gamblang tergelar. Akuisisi Bank Danamon atas delapan bank berstatus diambil-alih (BTO) pada tahun 2000, misalnya, membuat pemerintah harus mengucurkan tambahan biaya rekapitalisasi senilai Rp 28 triliun. Itu karena aset buruk di bank-bank yang diakuisisi harus dipindahkan ke AMC-BPPN. Lalu, sebagai konsekuensi penjaminan deposito, pemerintah juga harus menginjeksikan tambahan obligasi rekapitalisasi ke Bank Danamon senilai Rp 28 triliun.

Sayangnya, justru konsep dan stretegi merger empat bank ini belum dipaparkan pemerintah. Bahkan sekadar bentuk mergernya itu sendiri -- apakah salah satu bank mengakuisisi tiga bank lain seperti tempo hari dilakukan Bank Danamon terhadap delapan bank BTO, ataukan menjelmakan bank baru seperti kasus penggabungan empat bank BUMN -- Bank Bumi Daya, Bank Pembangunan Indonesia, Bank Exim, dan Bank Bank Dagang Negara -- menjadi Bank Mandiri.

Mudah-mudahan itu bukan cermin ketergesaan pemerintah sekadar untuk menyelamatkan keempat bank bersangkutan. Jika itu yang terjadi, sungguh mencemaskan karena risiko di kemudian hari jelas lagi-lagi harus berupa injeksi dana pemerintah: rekapitalisasi jilid kedua. Padahal, seperti sudah disinggung, merger menjadi pilihan justru untuk menghindari kemungkinan pemerintah melakukan injeksi rekapitalisasi ini -- sekaligus berharap divestasi bank hasil merger kelak membuahkan hasil optimal.***

Jakarta, 23 November 2001







21 November 2001

Akuisisi Bank BII


Jelas sudah, Bank Internasional Indonesia (BII) tidak jadi diakuisisi Bank Mandiri. Pemerintah akhirnya memutuskan BII menjadi bank stand alone alias berdiri sendiri. Untuk itu, pemerintah sudah memperkuat posisi keuangan BII dengan memberikan hedge bonds (obligasi lindung nilai) sebesar Rp 14 triliun. Dengan itu, likuiditas BII kini sudah mulai membaik. Rasio kecukupan modal (CAR), misalnya, disebut-sebut sudah di atas 8 persen. Posisi tersebut sudah aman jika dikaitkan dengan ketentuan Bank Indonesia yang mewajibkan perbankan nasional memiliki CAR minimal 8 persen pada akhir 2001 ini.

Dalam rangka mengupayakan BII menjadi bank stand alone, pemerintah akan mengeluarkan dana untuk membiayai interbank dan divertax, masing-masing sebesar Rp 1,2 triliun dan Rp 800 miliar. Dana tersebut, menurut Menneg BUMN Laksamana Sukardi, bersumber pada obligasi yang dimiliki pemerintah di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) berupa recycle bonds.

Konon, bagi pemerintah, membiarkan BII menjadi bank stand alone lebih ekonomis ketimbang menggabungkannya ke Bank Mandiri. Paling tidak, karena proses merger masih membutuhkan waktu lumayan lama -- meski Bank Mandiri sendiri sudah melakukan due diligence terhadap BII. Selebihnya, boleh jadi, sebagai bank yang mulai sehat kembali BII menjanjikan prospek bagus. Terlebih bank eks milik Sinar Mas Group itu sudah terbilang mapan berkiprah di sektor ritel.

Bank Mandiri sendiri, keputusan pemerintah menjadikan BII sebagai bank stand alone ini jelas melegakan. Itu lebih baik ketimbang mereka menunggu rencana akuisisi BII -- notabene sudah matang -- terus mengambang. Setelah jelas rencana akuisisi batal, kini Bank Mandiri bisa benar-benar berkonsentrasi menuju privatisasi melalui initial public offering (IPO) pada awal 2002.

Rencana IPO itu sendiri semula dijadwalkan pada akhir Oktober 2001. Namun gara-gara masuk agenda akuisisi BII, rencana tersebut terpaksa jadi agak molor. Itu terkait penundaan penerbitan obligasi lindung nilai untuk BII yang terbentur masalah personal guarantee Eka Tjipta Widjaja selaku pemilik Sinar Mas Group. Penerbitan hedge bond itu sendiri baru terlaksana awal November 2001.

Dari segi bisnis, akuisisi atas BII memang sungguh strategis bagi Bank Mandiri. Akusisi memungkinkan Bank Mandiri membangun sinergi dan tampil sebagai bank universal: menggarap sektor korporat sekaligus ritel. Itu pula yang membuat manajemen Bank Mandiri sejak awal sangat antusias oleh tawaran akuisisi BII yang disorongkan pemerintah.

Tapi aspek bisnis pula yang membuat manajemen Bank Mandiri ekstra hati-hati dalam menimbang akuisisi atas BII ini. Mereka tak menghendaki akuisisi sekadar melahirkan beban ruwet yang menguras energi. Bisa dipahami jika dalam rangka mengakuisisi BII ini mereka disebut-sebut menyodorkan persyaratan lumayan berat: meminta Depkeu memberikan komitmen tetap mempertahankan dana subsidi senilai Rp 8,5 triliun yang selama ini telah ditempatkan di Bank Mandiri. Dana tersebut diminta dipertahankan selama masa integrasi 1,5 hingga 2 tahun jika Bank Mandiri jadi mengakusisi BII.

Di samping itu, Bank Mandiri juga meminta BPPN menyetujui recycled bond (obligasi daur ulang) senilai Rp 4 triliun -- kelebihan rekapitalisasi Bank Mandiri -- tetap mereka gunakan. Selebihnya, Bank Mandiri meminta penerbitan hedge bond sebagai pertukaran pengalihan kredit Sinar Mas Group kepada BPPN senilai 1,059 juta dolar. Penerbitan hedge bond ini merupakan penjaminan atas pinjaman macet Sinar Mas Group kepada BII.

Selain kredit BII kepada Sinar Mas Group diambil-alih pemerintah, Bank Mandiri juga meminta agar sejumlah kredit BII di luar Sinar Mas dikeluarkan dari neraca BII. Dalam konteks ini, manajemen Bank Mandiri menduga sejumlah kredit BII non-Sinar Mas tergolong bermasalah. Justru itu, kalau disertakan, kredit BII non-Sinar MAs bakal membuat Bank Mandiri harus mengeluarkan biaya provisi (pencadangan).

Nah, pencadangan itu dapat menganggu modal Bank Mandiri. Dalam konteks ini, CAR Bank Mandiri bisa melorot drastis. Ini jelas riskan, dan karena itu harus benar-benar diperhitungkan dalam rangka menimbang akuisisi BII ini.

Walhasil, bila harga yang harus dibayar tak sesuai, bagi Bank Mandiri batalnya akusisi atas BII malah lebih baik. Tinggal BII sendiri setelah ditetapkan menjadi bank stand alone: akankah kinerja mereka ke depan ini bergulir mulus dan bagus?***

Jakarta, 21 November 2001




16 November 2001

Nasib PT Timah


Nasib PT Timah di ujung tanduk. Jika langkah penyelamatan tak segera dilakukan, BUMN pertambangan yang menguasai areal kerja di Bangka dan Belitung ini pasti ambruk. Bangkrut. Risiko tersebut sudah begitu gamblang terhampar. Seperti kata Dirut Timah Erry Ryana Hardja Pamekas, kondisi cash flow Timah kini hanya cukup sampai Februari 2002. Bila perbaikan berarti tak segera menyentuh, April 2002 napas Timah praktis mulai megap-megap. Makin lama, kondisi mereka jelas makin memburuk. Karena itu, manajemen Timah pun sudah menyiapkan skenario paling pahit: self liquidation alias memilih bangkrut.

Mungkinkah pada akhirnya Timah hanya tinggal sejarah? Tampaknya pemerintah tak rela. Dalam konteks ini, Menneg BUMN Laksamana Sukardi mengusulkan Timah menempuh merger dengan BUMN pertambangan lain, yaitu PT Aneka Tambang. Bagi Laksamana, itu merupakan alternatif yang paling mungkin ditempuh untuk menyelamatkan Timah hingga bisa tetap survive. Benarkah?

Rasanya tidak. Melihat kondisi Timah saat ini yang sudah begitu payah, merger tampaknya bukan solusi. Betapa tidak, karena proses ke arah itu membutuhkan waktu relatif lama. Proses due diligence, dalam konteks ini, jelas tak bisa tuntas dalam hitungan minggu. Padahal due diligence sangat mendasar. Paling tidak bagi calon pasangan merger, hasil due diligence sungguh mutlak jika mereka tak ingin kejeblos pada kerumitan masalah ekonomis di kemudian hari.

Karena proses due diligence ini membutuhkan waktu lumayan, bisa-bisa Timah sudah ambruk duluan sebelum merger menjadi kenyataan. Atau andai pun proses itu bisa dikebut habis-habisan, hasil yang tertorehkan belum tentu positif: merger tak cukup layak dilakukan menurut sudut pandang teknis-ekonomis. Alih-alih menyelamatkan Timah, pasangan merger yang semula tak bermasalah akhirnya malah bisa tertular penyakit. Perusahaan hasil merger bisa terjerembab pada problem yang menentukan kelangsungan hidup mereka sendiri seperti dihadapi Timah saat ini.

Apa boleh buat, kondisi Timah telanjur parah. Kinerja mereka, sejak awal tahun ini, terus memburuk ke tingkat sangat memrihatinkan. Arus kas bersih tercatat minus Rp 90 miliar. Sementara utang bersih menggunung Rp 296,7 miliar. Bisa dipahami jika nyawa Timah praktis hanya tinggal beberapa bulan lagi. Padahal, dalam kondisi seperti itu, peluang yang bisa membuat kinerja Timah segera beranjak membaik nyaris tak tergambar.

Itu karena masalah yang membelit Timah telanjur kompleks. Di satu sisi, harga timah di pasar internasional terjerembab begitu dalam: anjlok dari sekitar 5.700 dolar per metrik ton di awal tahun 2001 menjadi antara 3.500-3.750 dolar per metrik ton pada Oktober 2002. Padahal biaya pokok yang harus dikeluarkan Timah mencapai sekitar 4.000 dolar per metrik ton.

Harga timah di pasar dunia itu sendiri merupakan terendah sejak tiga dasawarsa terakhir. Harga komoditas tersebut tersuruk amburadul sebagai dampak resesi ekonomi global. Padahal resesi ini entah kapan berakhir. Tapi kalaupun dalam setahun ke depan masalah resesi ini sudah tak mencengkram lagi, nasib Timah sendiri mungkin telanjur masuk kubur.

Masalah lain yang begitu serius membuat Timah meranggas ini adalah fenomena penambangan liar di areal kerja mereka di Bangka dan Belitung. Aksi ilegal ini benar-benar marak hingga menggerogoti produktivitas Timah. Kenyataan tersebut, agaknya, dipicu dan dipacu oleh izin ekspor timah dalam bentuk bijih alias tanpa dilebur lebih dulu.

Kenyataan itu diperparah pula oleh aneka pungutan pihak pemda setempat atas nama otonomi daerah. Meski bukan spesifik dihadapi Timah atau perusahaan pertambangan lain, bagaimanapun aneka pungutan ini kian menggerogoti kondisi usaha Timah yang sudah berdarah-darah.

Justru itu pula, kombinasi masalah yang membelit Timah ini membuat gagasan merger terasa bukan langkah strategis. Selama masalah-masalah itu tak tuntas dibenahi dan dipecahkan -- lagi-lagi ini juga membutuhkan proses lama -- merger malah sangat mungkin membuat Timah malah menjadi virus yang membuat perusahaan hasil gabungan tidak sehat. Sementara langkah darurat yang bisa diharapkan menyelamatkan kelangsungan hidup Timah ini -- injeksi pemerintah -- sungguh tak mungkin. Keuangan pemerintah sendiri sedang cekak. Untuk menambal defisit APBN saja, pemerintah sudah kewalahan.

Jadi, haruskah Timah mengalami nasib tragis: tamat riwayat? Menurut ukuran rasional, agaknya, itu harus menjadi kenyataan. Apa boleh buat!***

Jakarta, 16 November 2001