31 Oktober 2002

Penyelundupan Kok Marak?

Jelas sudah bahwa usulan tentang penerapan sistem pemeriksaan barang sebelum pengapalan (pre-shipment inspection) tak bakal terwujud. Kandas. Paling tidak untuk sementara ini. Dirjen Bea dan Cukai Edi Abdurrahman menyebutkan, bahwa sistem itu tak akan diterapkan. Menurut dia, penerapan pre-shipment inspection tidak bakal mampu menekan tindak penyelundupan sebagaimana asumsi Menperindag selaku pihak yang mengajukan usulan.

Usulan tentang penerapan pre-shipment inspection sendiri berangkat dari keprihatinan. Bahwa tindak penyelundupan impor sejumlah komoditas, terutama elektronika dan tekstil, dewasa ini amat marak. Dalam konteks ini, sistem post cleareance audit yang sekarang diterapkan pemerintah ditunjuk sebagai biang kerok. Dengan itu pula, secara tidak langsung instansi Bea Cukai divonis dinilai gagal melaksanakan fungsi menjaga lalu-lintas barang maupun berperan sebagai benteng terdepan dalam pengawasan dan pengamanan kepabeanan.

Kita sepakat bahwa tindak penyelundupan komoditas impor sangat merugikan. Tidak saja mengakibatkan negara kehilangan potensi pemasukan bea masuk, melainkan juga memukul industri bersangkutan di dalam negeri. Jadi, memang, penyelundupan harus bisa diberantas. Minimal bisa ditekan.

Tetapi apakah benar bahwa fenomena penyelundupan impor sejumlah komoditas dewasa ini merupakan pertanda kegagalan instansi Bea dan Cukai mengemban peran dan fungsi pengawasan atas lalu-lintas barang? Entahlah. Yang pasti, seperti juga di jajaran birokrasi lain, instansi tersebut tak benar-benar bersih. Pungutan liar masih bisa ditemukan di sana-sini. Tindak penyimpangan ketentuan oleh oknum pun masih menggejala. Praktik under invoicing oleh kalangan importir, misalnya, sulit bisa dilakukan tanpa mereka main mata dengan aparat Bea Cukai.

Meski begitu, sistem pre-shipment inspection sendiri -- notabene berarti mempreteli kewenangan Bea Cukai menyangkut fungsi pengawasan dan pemeriksaan atas lalu-lintas barang ekspor maupun impor -- belum tentu menjadi solusi yang benar-benar efektif. Sejarah mencatat bahwa selama periode 1985-1997, saat sistem pre-shipment inspection diterapkan, manipulasi sertifikat ekspor justru sangat marak sehingga banyak merugikan negara.

Di sisi lain, penerapan pre-shipment inspection juga amat membebani anggaran negara. Ketika itu, fee yang dikeluarkan pemerintah terhadap Societte Generale de Surveillance (SGS) selaku pihak yang melaksanakan pre-shipment inspection demikian mahal: 400 juta dolar per tahun. Padahal anggaran Bea Cukai sendiri ketika itu hanya ekivalen 25 juta dolar setahun.

Fee sebesar 400 juta dolar bagi SGS sendiri, menurut penelitian Econit Advisory Group, bernilai sekitar 15 persen penerimaan negara selama setahun. Jadi, ongkos yang harus dibayar bagi penerapan sistem pre-shipment inspection memang amat mahal. Padahal sistem itu tak efektif mengamankan potensi penerimaan negara.

Itu pula yang kemudian mendorong pemerintah mengembalikan fungsi pengawasan barang ekspor dan impor kepada pihak Bea Cukai dengan memberlakukan lagi sistem post cleareance audit sejak 1997.

Kini, setelah gamblang bahwa sistem pre-shipment inspection tak akan diterapkan lagi, lalu bagaimana dengan tindak penyelundupan sejumlah komoditas impor? Jelas fenomena tersebut tak bisa dibiarkan karena menghilangkan potensi penerimaan negara, sekaligus memukul kehidupan industri di dalam negeri.

Itu berarti tantangan bagi pihak Bea Cukai selaku instansi yang tetap dipercaya pemerintah melaksanakan fungsi pemeriksaan atas arus keluar-masuk barang. Bea Cukai minimal harus bisa menekan tindak penyelundupan ini.

Sebenarnya, Bea Cukai sudah menunjukkan komitmen ke arah itu. Paling tidak, itu tercermin pada serangkaian langkah perbaikan dan modernisasi kepabeanan yang mereka lakukan sejak tahun anggaran 2001. Antara lain meliputi penyempurnaan tata laksana di bidang impor, penyempurnaan sistem dan prosedur pelayanan, penyelenggaraan audit kepabeanan, juga percepatan proses pemeriksaan barang dengan mengoptimalkan penggunaan peralatan sinar X dan penggunaan jaringan electronic data interchange.

Berbagai kebijakan itu juga diikuti dengan peningkatan pengawasan di bidang kepabeanan. Antara lain meliputi
optimalisasi pemeriksaan barang tertentu dan patroli laut, optimalisasi pendayagunaan sinar X dan hi-co scan cintainer, juga peningkatan operasi intelijen.

Toh tindak penyelundupan tetap menggejala dalam takaran yang mengundang prihatin, sehingga muncul usulan tentang penerapan kembali sistem pre-shipment inspection. Itu berarti ada yang tidak beres. Apa, di mana, dan bagaimana ketidakberesan itu?

Kita tak mau menduga-duga. Tapi, barangkali, itu patut menjadi bahan introspeksi bagi pihak Bea Cukai sekaligus jadi pijakan untuk lebih melakukan pembenahan ke dalam.***


Jakarta, 31 Oktober 2002

08 Oktober 2002

Kontrak IMF Berakhir

Akhirnya pemerintah memastikan bahwa kontrak Dana Moneter Internasional (IMF) sebagai dokter yang menangani krisis ekonomi nasional tak akan diperpanjang. Itu berarti, kontrak IMF ini berakhir pada tahun 2003. Setelah itu, good bye IMF!

Keputusan tentang itu bukan sekadar konsisten melaksanakan Tap MPR 2002. Tapi juga merupakan jawaban yang melegakan atas kenyataan pahit selama ini: IMF gagal berperan membantu memulihkan ekonomi nasional. Resep-resep yang mereka sodorkan -- liberalisasi, deregulasi, dan privatisasi -- terbukti tidak manjur. Krisis ekonomi nasional pun tak kunjung sembuh. Ekonomi kita tetap kembang-kempis.

Kalangan pengamat ekonomi sudah sejak lama mengingatkan bahwa resep-resep IMF bukan saja tidak cespleng, melainkan juga sering ngawur dan mengada-ada. Sudah begitu, mereka juga sangat memaksakan agar pemerintah menerapkan resep-resep yang mereka ajukan. Tentang ini, Menneg Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Kwik Kian Gie menyebutkan bahwa IMF selalu menyodorkan jurus "pokoknya nurut atau perundingan bubar".

Akibatnya seringkali konyol. Divestasi saham pemerintah di Bank BCA atau Bank Niaga, misalnya, tetap dilaksanakan meski jelas-jelas merugikan negara -- karena tumpukan obligasi rekap di kedua bank tak ditarik lebih dulu. Contoh lain adalah pembukaan kran ekspor kayu gelondongan (log). Langkah tersebut terbukti sangat konyol karena serta-merta memicu tindak penebangan liar dan penyelundupan log ke mancanegara. Itu bukan saja membuat potensi penerimaan negara banyak lolos, melainkan juga mengakibatkan proses deforestasi berlangsung gila-gilaan tanpa bisa dibendung.

Pemerintah sendiri terkesan tidak memiliki pilihan lain kecuali tunduk-patuh terhadap kemauan IMF. Pemerintah selalu mengaku khawatir bahwa IMF kemudian ngambek jika keinginan atau resep mereka dalam menanggulangi krisis ekonomi tak diindahkan. Jika IMF sampai ngadat, pemerintah cemas bahwa dunia internasional kemudian ikut-ikutan meradang pula. Kalangan investor, misalnya, bisa-bisa enggan datang dan ogah menabur modal di sini.

Kekhawatiran itu sendiri terasa berlebihan. Barangkali kekhawatiran itu lebih merupakan rekaan atau fantasi pemerintah sendiri. Buktinya, meski sudah tunduk-patuh terhadap kemauan IMF, investor asing ternyata tak kunjung berbondong-bondong masuk ke negeri kita. Bahkan sebaliknya, investor yang selama ini sudah ajek menggeluti usaha di sini pun belakangan angkat kaki. Dengan berdalih bahwa keamanan tak cukup terjamin, serta di sisi lain iklim investasi tak kondusif lagi, sejumlah pemodal asing merelokasi usaha mereka ke negara lain.

Di tengah kondisi seperti itu pula, sekali lagi atas tekanan IMF melalui formula letter of intent (LoI), aset-aset negara terus menyusut drastis melalui privatisasi dan divestasi. Ekonomi nasional kian compang-camping sebagaimana tercermin pada defisit dalam APBN. Sementara prospek pemulihan masih saja samar-samar dan entah kapan bisa tercapai. Padahal, terutama akibat liberalisasi dan deregulasi, rakyat kebanyakan sudah membayar mahal ongkos proses pemulihan ekonomi yang dijejalkan IMF ini. Mereka harus menanggung beban amat berat dan parah: kehidupan kian sulit dan serba mahal.

Toh, semula, pemerintah memberi isyarat bahwa kontrak IMF ini tak bakal segera diputus. Itu tandas diutarakan Presiden Megawati Soekarnoputri saat berpidato di hadapan sidang tahunan MPR, Agustus 2002. Ketika itu, Mega menyatakan bahwa Indonesia masih membutuhkan kehadiran IMF untuk menumbuhkan kepercayaan dunia internasional terhadap ekonomi makro dan moneter di dalam negeri.

Tapi, barangkali karena MPR tegas mengamanatkan, pemerintah ternyata kemudian berpendirian lain. Kontrak IMF tak diperpanjang setelah habis pada tahun 2003. Itu, sekali lagi, sungguh terasa melegakan. Kita berharap, setelah tak lagi terikat kontrak dengan IMF, pemerintah bisa menggulirkan kebijakan-kebijakan yang lebih tepat sasaran dan benar-benar prorakyat kebanyakan. Kita percaya bahwa pemerintah bersama segenap komponen bangsa memiliki kemampuan untuk itu.

Dalam tataran legal-formal, perencanaan mantap dan matang harus segera disiapkan pemerintah bersama DPR: apa dan bagaimana langkah-langkah yang akan dilakukan untuk menanggulangi krisis yang telanjur berkepanjangan ini. Jika tidak, keadaan tetap tak bakal kunjung membaik. Bahkan bukan tidak mungkin malah semakin amburadul.

Justru itu, pemerintah dan pihak-pihak yang memiliki kekuasaan harus memiliki ketulusan dan kejujuran untuk tidak memanfaatkan situasi pasca-IMF ini sebagai arena bancakan. Kita sangat khawatir mengenai kemungkinan tersebut.***

Jakarta, Oktober 2002

06 Oktober 2002

Aturan Main Privatisasi

Sikap antiprivatisasi BUMN kian mengkristal. Rabu, 9 September 2002, sejumlah organisasi kemasyarakatan mendeklarasikan pembentukan Barisan Penyelamat Aset Bangsa (BPAB). Mereka yang menyokong keberadaan lembaga tersebut adalah beberapa serikat pekerja BUMN, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan komponen mahasiswa.

Melalui BPAB, mereka meneguhkan penilaian bahwa program privatisasi BUMN sudah sangat melenceng dan merugikan negara. Karena itu, jika pemerintah tak segera menghentikan privatisasi BUMN, mereka mengaku siap melakukan gugatan class action.

Berlebihankah mereka? Jika berpijak pada alasan-alasan idealistis, sikap mereka sungguh bisa kita terima. Bagaimanapun, jika privatisasi BUMN membuat kontrol pemerintah menjadi terlepas -- karena penguasaan beralih dari negara kepada swasta -- kepentingan rakyat jelas dipertaruhkan. Kepentingan rakyat tergadai.

Terlebih jika menyangkut BUMN sangat strategis, yakni memangku hajat hidup rakyat banyak, privatisasi bisa tergolong merupakan tindak pelanggaran terhadap amanat konstitusi. Bukankah pasal 33 UUD 1945 tegas menyatakan bahwa cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak mutlak harus dikuasai negara?

Kenyataannya, program privatisasi ini tak terkecuali mencakup BUMN-BUMN yang memangku hajat hidup rakyat banyak. Siapa pun pasti sepakat bahwa Telkom, misalnya, adalah BUMN yang mestinya kukuh dipertahankan. Tetap dikuasai negara. Tapi pemerintah justru menetapkan Telkom sebagai BUMN yang diprioritaskan masuk program privatisasi.

Di sisi lain, program privatisasi juga terkesan dipaksakan. Belum lama ini, misalnya, pemerintah menyatakan bahwa program privatisasi BUMN tetap jalan terus. Padahal kondisi pasar kini sangat tidak kondusif. Kondisi pasar potensial menorehkan kerugian jika privatisasi tetap dilaksanakan.

Memang, program privatisasi BUMN sudah masuk letter of intent (LoI) Dana Moneter Internasional (IMF). Tapi apakah benar itu merupakan harga mati, sehingga privatisasi harus tetap dilaksanakan meski situasi dan kondisi jelas-jelas tak menguntungkan?

Kalaupun benar bahwa LoI merupakan harga mati, mestinya pemerintah tak terlampau galau oleh ancaman klasik IMF: kucuran pinjaman mereka tahan. Toh kucuran pinjaman mereka belakangan ini tak bisa langsung kita manfaatkan -- karena cadangan devisa di Bank Indonesia masih relatif mencukupi. Jadi, mengapa kita khawatir bahwa IMF ngambek dan menahan pencairan pinjaman? Justru itu, mengapa privatisasi BUMN terkesan dipaksakan?

Kita setuju bahwa defisit dalam APBN menganga lebar. Tapi itu mestinya tidak menjadi alasan utama privatisasi BUMN. Itu berbahaya, karena bisa melahirkan kepanikan pemerintah. Kepanikan itu sendiri, pada gilirannya, bisa melahirkan tindakan grasa-grusu: privatisasi BUMN lebih menyerupai aksi "cuci gudang".

Dengan kata lain, langkah menangani masalah defisit APBN ini jangan diletakkan pada program privatisasi. Toh masih ada alternatif lain yang tak kalah strategis: penjualan aset-aset di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Yang penting, program penjualan aset di BPPN ini juga benar-benar terencana sehingga bisa diperoleh hasil optimal.

Program privatisasi sendiri, di lain pihak, mestinya ditempatkan sebagai strategi penyehatan BUMN. Kasus di berbagai negara jelas menunjukkan bahwa privatisasi mengondisikan BUMN tumbuh sehat dan optimal dalam meraih keuntungan. Studi International Finance Corporation, misalnya, menyimpulkan bahwa 67 persen kasus privatisasi BUMN mampu meningkatkan profitabilitas unit-unit usaha bersangkutan.

Kenyataan selama ini menunjukkan bahwa BUMN kita cenderung menjadi sapi perahan pihak-pihak yang memiliki akses kekuasaan. Hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sendiri tegas menyimpulkan bahwa BUMN selama ini menjadi sarang praktik KKN.

Tapi melihat kasus-kasus di berbagai negara, kita berkeyakinan bahwa privatisasi bisa diandalkan mampu memupus praktik tak sehat itu. Bahkan privatisasi juga bisa mendorong BUMN tumbuh menguntungkan tanpa membebani khalayak luas.

Karena itu pula, kita bisa menerima gagasan tentang privatisasi BUMN ini. Hanya, itu tadi, langkah tersebut jangan lantas menanggalkan penguasaan pemerintah atas unit usaha bersangkutan. Terlebih jika menyangkut BUMN strategis yang menguasai hajat hidup rakyat banyak.

Di sisi lain, langkah privatisasi juga harus berpijak pada hasil perencanaan yang benar-benar matang dan terarah. Dengan demikian, kita bisa berharap bahwa privatisasi efektif berhasil -- secara ideal maupun ekonomis.

Untuk itu, barangkali, UU BUMN bisa membuat filosofi, kriteria, maupun rambu-rambu yang menjadi aturan main privatisasi ini. Yang jadi soal sekarang: kapan undang-undang tersebut lahir? Kesan yang mencuat selama ini, semangat pemerintah maupun DPR dalam menggulirkan kelahiran UU BUMN terkesan melempem. Kenapa?***

Jakarta, Oktober 2002

Tax Holiday, Kenapa Tidak?

Tragedi bom di Legian, Kuta, Bali, bukan sekadar mengundang kepiluan dan kutukan dunia. Tragedi itu juga serta-merta menorehkan kenyataan lain yang tak kalah mengiris hati. Prospek ekonomi nasional babak-belur. Hasil jerih-payah kita selama ini memulihkan kehidupan ekonomi, setelah terpuruk dahsyat diterjang krisis moneter sejak 1997 silam, nyaris sirna seketika. Porak-poranda. Kita tiba-tiba harus kembali melangkah tertatih-tatih dari titik nol.

Apa boleh buat, tragedi Bali memang membuat kepercayaan dunia atas keamanan di negeri kita benar-benar jadi jeblok. Tengok saja, sesaat setelah tragedi bom itu tersiar ke berbagai belahan dunia, sejumlah negara serta-merta mengeluarkan larangan bagi warga mereka bertandang ke Indonesia. Itu berarti kiamat bagi industri kepariwisataan kita.

Di sisi lain, kalangan pemilik modal pun jadi kian enggan masuk ke negeri kita. Malah sejumlah kalangan memperkirakan, investor yang selama ini sudah mantap mengelola usaha di sini pun sangat mungkin kini bersiap-siap angkat kaki ke negeri lain. Tindakan itu bukan hanya bisa ditunjukkan oleh investor asing. Jajaran pemilik modal lokal pun, atas pertimbangan bisnis, boleh jadi ikut-ikutan hengkang memindahkan modal dan usaha ke mancanegara. Mereka merasa tak memiliki alasan lagi terus mengepakkan kegiatan usaha di sini, karena faktor keamanan kian niscaya tak terjamin.

Walhasil, kegiatan investasi di dalam negeri -- notabene selama ini pun sudah tak mengesankan -- sangat mungkin segera menyusut ke tingkat yang tak pernah kita bayangkan. Itu berarti, kehidupan ekonomi nasional ke depan ini sungguh buram. Carut-marut. Padahal tanpa dihantam dampak tragedi Bali pun, ekonomi kita sudah demikian berat menyandang masalah: penganguran demikian menggunung. Laju pertumbuhan ekonomi, dalam kaitan ini, tak sebanding dengan tingkat pengangguran.

Menurut perkiraan, angka pengangguran sudah mencapai 35 juta hingga 40 juta orang. Itu sungguh bukan main. Padahal angka itu sangat mungkin kian membengkak lagi dalam waktu dekat jika investor benar-benar hengkang memboyong proyek atau modal mereka ke luar negeri. Justru itu, tumpukan masalah pengangguran ini niscaya merupakan bom waktu yang setiap saat bisa meledak dengan akibat yang jauh lebih dahsyat ketimbang ledakan di Legian.

Menimbang kemungkinan itu, penerapan fasilitas tax holiday seperti dilontarkan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Theo F Toemion terasa beralasan. Fasilitas tersebut, barangkali, bisa diandalkan menahan arus eksodus sekaligus menarik penanaman modal. Paling tidak, tax holiday bisa diharapkan membuat kalangan pemilik modal yang sudah mapan berkiprah tak lantas berpikir untuk hengkang dari negeri kita.

Urgensi tentang penerapan tax holiday ini sudah berkali-kali dilontarkan Toemion. Tapi sejauh ini selalu saja gagasan itu mental. Pihak Depkeu, dalam kaitan ini, berkeberatan. Bagi mereka, penerapan tax holiday sungguh tak produktif. Bahkan sekadar diterapkan terhadap proyek baru penanaman modal sekalipun, dalam pertimbangan mereka, tax holiday tetap tak relevan. Tax holiday hanya membuat ciut potensi penerimaan pajak.

Meski masih bisa diperdebatkan, asumsi itu mungkin benar. Tapi apakah karena itu gagasan tentang penerapan tax holiday di tengah kondisi ekonomi yang memburuk sekarang ini tetap dinafikan? Akankah kita tetap berkukuh pada pendirian bahwa tax holiday tak sehat bagi kepentingan fiskal, sementara di lain pihak kondisi ekonomi kita menuntut terobosan segera?

Agaknya, dihadapkan pada kondisi ekonomi yang gawat-darurat sekarang ini, kita dituntut bersikap sangat pragmatis. Kita mesti menanggalkan pertimbangan-pertimbangan idealistis. Kita juga dituntut membuang jauh-jauh sikap egoistis. Kita harus segera menentukan pilihan-pilihan paling mungkin mendatangkan manfaat. Meski manfaat itu relatif tak seberapa menurut takaran kondisi normal.

Dalam konteks itu pula, gagasan tentang penerapan tax holiday yang dilontarkan kembali oleh Kepala BPKM di tengah kondisi ekonomi nasional yang mencemaskan sekarang ini kita coba letakkan. Tax holiday sangat beralasan kita tebarkan sebagai katup pengaman atau bahkan terobosan sosial dalam rangka mengatasi bom waktu berupa problem pengangguran yang sungguh terasa mengundang riskan.

Jadi, kenapa tidak tax holiday kita terapkan sekarang ini? Terlebih, seperti diakui Dirjen Pajak Hadi Poernomo, target penerimaan pajak tahun 2002 ini sangat mungkin tak tercapai -- akibat terhembus dampak tragedi bom Bali. Dengan kata lain, sesungguhnya, tanpa menerapkan tax holiday pun potensi penerimaan pajak kita sudah ciut.***


Jakarta, Oktober 2002