28 Agustus 2012

Advokat Koruptor


Pernyataan Wamenkumham Denn Indrayana dalam bentuk "kicauan" di jejaring sosial Twitter mengundang heboh. Terutama kalangan pengacara, mereka menjadi gerah dan bahkan marah oleh kicauan itu.

Mereka tak bisa terima kicauan Denny bahwa advokat koruptor adalah koruptor. Mereka merasa dilecehkan lantaran kicauan itu mengandung arti bahwa pengacara alias  advokat yang membela tersangka atau terdakwa kasus korupsi adalah koruptor juga.

Denny sendiri, dalam kicauan di Twitter itu, menjelaskan bahwa advokat koruptor adalah mereka yang membela klien kasus korupsi secara membabi-buta. Mereka juga, katanya, tanpa malu menerima bayaran dari hasil korupsi.

Atas dasar itu pula, belakangan, Denny memunculkan istilah advokat bersih. Gampang diduga, istilah tersebut merupakan antonim advokat koruptor. Dengan istilah itu, Denny tampaknya ingin mengatakan bahwa di luar advokat koruptor ada pula pengacara yang tak asal melakukan pembelaan atau apalagi sampai membabi-buta.

Istilah-istilah seperti itu sebenarnya tidak perlu ada. Bagaimanapun, advokat atau pengacara adalah profesi mulia. Mulia karena profesi advokat merupakan bagian fungsi penegakan kebenaran dan keadilan hukum. Karena itu, istilah advokat bersih ataupun advokat koruptor sama sekali tidak relevan.

Bagi advokat, membela pencuri kelas teri atau pembunuh paling keji sekalipun sama-sama mulia dalam perpektif kemanusiaan: bahwa nilai keadilan dan kebenaran harus tegak di muka hukum. Dalam proses pengadilan, mereka jangan sampai mendapat perlakukan semena-mena hanya karena tak memperoleh pembelaan hukum.

Begitu pula mereka yang terbelit kasus korupsi. Mereka berhak memperoleh pendampingan dan pembelaan hukum melalui jasa advokat atau pengacara. Hak tersebut bahkan tegas diatur dalam ketentuan perundangan. Terlebih hukum di Indonesia juga menganut asas praduga tak bersalah.

Karena itu kegusaran kalangan advokat terhadap kicauan Denny di Twitter sungguh bisa dipahami.  Kicauan tersebut menimbulkan kesan bahwa advokat yang membela klien kasus korupsi telah menghianati nilai-nilai idealisme: menegakkan kebenaran dan keadilan proses peradilan. Seolah-olah fungsi pembelaan hukum yang diemban advokat terhadap mereka yang terjerat perkara korupsi lebih karena motif imbalan finansial.

Tetapi kesan seperti itu memang kadang tercuatkan. Paling tidak, seperti kata Denny, karena ada advokat yang bersikap-tindak "membabi-buta". Didorong semangat memenangi putusan hukum, terutama dalam kasus-kasus yang tergolong kelas kakap, mereka tak ragu menghalalkan segala cara. Mereka, misalnya, intensif mendekati jaksa dan hakim di luar persidangan sehingga proses hukum pun menjadi tak sepenuhnya objektif lagi.

Sikap-tindak seperti itu pula yang melahirkan apa yang selama ini dikenal sebagai fenomena mafia hukum. Fenomena tersebut sejak lama menjadi keprihatinan banyak pihak. Bukan saja karena berimplikasi negatif terhadap dunia peradilan yang seharusnya menjunjung tinggi idealisme menegakkan kebenaran dan keadilan, melainkan juga karena fenomena mafia hukum ini sungguh sulit diberantas.
 
Dalam perspektif itu pula, konstatasi Denny soal advokat bersih dan tak bersih terasa beroleh pembenaran. Agaknya, konstatasi tersebut baru bisa luruh kalau saja orientasi pembelaan hukum bukan semata memenangi putusan, melainkan terutama menegakkan kebenaran dan keadilan.***

Jakarta, 28 Agustus 2012

08 Agustus 2012

Jalur Mudik, Jalur Proyek


Setiap menjelang Lebaran, jalur mudik selalu saja diperbaiki. Manakala hari sudah bergulir mendekati momen Lebaran, kesibukan pengerjaan perbaikan jalan serentak terhampar di banyak titik jalur mudik yang sebelumnya justru terkesan dibiarkan amburadul.

Kesibukan itu jelas menunjukkan upaya pemerintah menyulap jalur mudik agar bisa nyaman dan aman dilalui. Bukan saja lubang-lubang ditutup dan permukaan jalan dibuat rata, bahkan di sejumlah titik badan jalan dibongkar total serta selanjutnya dicor beton.

Tetapi kenapa perbaikan itu selalu saja dilakukan menjelang Lebaran? Kenapa sebelumnya titik-titik kerusakan jalan justru seperti sengaja dibiarkan? Kenapa langkah perbaikan tidak dilaksanakan sejak jauh-jauh hari, sehingga pekerjaan tidak kedodoran? Bukankah justru karena kepepet momen  Lebaran, di banyak titik pekerjaan perbaikan itu menjadi tak bisa tuntas atau bahkan asal-asalan saja sehingga jalur mudik pun tak sepenuhnya bisa mulus?

Tanpa mengurangi penghargaan terhadap keinginan baik pemerintah menyiapkan jalur mudik menjadi nyaman dan aman, tindak perbaikan jalan menjelang Lebaran adalah kebiasaan buruk. Itulah: pemeliharaan fasilitas publik tidak menjadi program rutin dan berkesinambungan. Pemeliharaan jalan, termasuk jalur mudik, tidak dipandang sebagai kebutuhan guna menjamin kenyamanan dan keamanan jalan terus terjaga setiap saat.

Dalam perspektif lain, selama ini pemeliharaan fasilitas publik berupa sarana jalan sekadar menjadi bagian tradisi mudik Lebaran. Karena itu, usai Lebaran, berbagai jalur jalan nyaris tanpa sentuhan pemeliharaan yang bersifat serius. Terlebih, karena cenderung dilakukan terburu-buru lantaran mengejar momen Lebaran, kualitas pekerjaan perbaikan itu sendiri tidak selalu menjamin kelayakan jalan bisa bertahan dalam jangka panjang.

Karena minim pemeliharaan, kondisi berbagai jalur jalan usai Lebaran seolah sengaja dibiarkan begitu saja. Jalan menjadi rusak atau bahkan amburadul pun sepertinya tak mengusik perhatian pemerintah. Tindak pemeliharaan serius tak dilakukan sampai muncul momen Lebaran berikutnya.

Walhasil, pemeliharaan jalan lebih merupakan proyek tahunan. Proyek itu diwujudkan berupa perbaikan yang tergolong masif dan bersifat serentak. Tapi ibarat legenda Bandung Bondowoso yang harus membangun candi dalam tempo semalam saja, perbaikan itu ditumpukan dalam rentang waktu sangat pendek: dua tiga pekan menjelang Lebaran. Justru itu, mutu kelayakan jalan pun secara keseluruhan tak terjamin bisa bertahan lama.

Kebiasaan buruk itu -- perbaikan sarana jalan hanya dilakukan menjelang Lebaran -- patut diberangus. Kebiasaan menjadikan pemeliharaan dan perbaikan jalan sebagai proyek tahunan dalam rangka Lebaran sungguh tidak sehat. Tak sehat karena seolah sarana jalan digunakan sekadar untuk mewadahi arus mudik.

Dalam perspektif itu, sudah saatnya jalan raya benar-benar diperlakukan sebagai urat nadi kehidupan bersama. Jalan raya adalah wahana lalu-lintas arus sosial, ekonomi, juga budaya. Itu berarti, jalan raya jangan lagi cenderung diperlakukan sebagai proyek tahunan yang diacukan sebatas untuk mewadahi arus mudik!

Jakarta, 8 Agustus 2012