11 November 2006

Suspicious Transaction Report

Benarkah gerakan antipencucian uang di Indonesia semakin meningkat? Memang, laporan keuangan yang mencurigakan (suspicious transaction report/STR) yang masuk ke Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menunjukkan peningkatan signifikan dibanding tahun lalu. Hingga Oktober lalu saja, PPATK sudah menerima 3.219 laporan. Itu meningkat hampir seratus persen dibanding tahun lalu sebanyak 2.055 laporan.

Kita berkeyakinan, hingga akhir tahun nanti, laporan yang masuk ke PPATK tentang transaksi keuangan yang mencurigakan ini masih akan bertambah. Itu sangat mungkin karena, pertama, belum semua lembaga keuangan bank dan nonbank memberikan laporan. Kedua, kasus-kasus baru mungkin saja menyusul ditemukan dan kemudian dilaporkan ke PPATK.

Di satu sisi, kenyataan itu melegakan. Paling tidak, peningkatan laporan keuangan yang mencurigakan ini merupakan pertanda bahwa gerakan antipencucian uang di negeri kita memang meningkat. Mungkin benar, kesadaran lembaga keuangan -- perbankan maupun nonperbankan -- turut membangun rezim antipencucian uang semakin menguat.

Mereka kian tergugah untuk melaporkan setiap transaksi yang mencurigakan ke instansi yang bertugas mengawal rezim antipencucian uang ini, yaitu PPATK.

Bahwa tidak setiap laporan itu layak ditindaklanjuti institusi penegak hukum, sesuai hasil analisis PPATK, itu soal lain. Tapi, bagaimanapun, kesadaran berbagai lembaga keuangan melaporkan transaksi finansial yang mencurigakan itu sungguh positif. Kesadaran tersebut bisa menjadi credit point bagi kita di mata dunia internasional. Yaitu bahwa dari aspek administrasi saja, paling tidak, kita serius membangun rezim antipencucian uang.

Tetapi di sisi lain, kenyataan itu juga membuat kita prihatin. Peningkatan signifikan laporan keuangan yang mencurigakan bisa menjadi indikasi awal bahwa praktik pencucian uang di negara kita semakin serius. Artinya, kejahatan di bidang keuangan -- korupsi, suap, perdagangan ilegal, dan lain-lain -- kian mencemaskan. Orang terkesan tidak lagi takut atau malu melakukan korupsi atau berbisnis secara haram.

Oleh sebab itu tidak heran jika peringkat kita sebagai negara paling korup di dunia tak kunjung menjunjukkan perubahan signifikan. Posisi kita terus saja dalam kategori buruk. Padahal, ironinya, ekspektasi publik atas pemberantasan korupsi justru tinggi.

Karena itu pula, peningkatan STR ini juga bisa menjadi paradoks. Jika aspek penegakan hukum (law enforcement) tetap tidak mengesankan seperti selama ini, bisa-bisa grafik laporan yang meningkat itu malah menggiring khalayak luas -- terutama dunia internasional -- sampai pada satu kesan: bahwa dalam konteks pembangunan rezim antipencucian uang, kita sejatinya masih sekadar main-main alias tidak serius.

Kalau sudah begitu, risiko yang kita hadapi sungguh berat. Bisa-bisa kita kembali dimasukkan ke daftar negara yang tidak kooperatif terhadap gerakan antipencucian uang. Kita tahu, status tersebut memiliki implikasi lebih jauh dan gawat: kita bisa diisolasi dari percaturan transaksi keuangan global.

Jelas, kita tak menginginkan kemungkinan itu benar-benar menjadi kenyataan. Justru itu, keseriusan kita membangun rezim antipencucian uang tidak cukup ditunjukkan sebatas pada aspek administrasi pelaporan. Bagaimanapun, kita juga tidak boleh bermain-main di level penegakan hukum. Sekecil apa pun kasus-kasus yang dilaporkan PPATK, institusi penegak hukum -- kepolisian, kejaksaan, juga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) -- harus memprosesnya secara serius dan tanpa pandang bulu.

Kita yakin, PPATK sendiri mampu bersikap objektif dalam menganalisis berbagai STR. Bagaimanapun, sejauh ini kita tidak memiliki alasan sedikit pun untuk meragukan bahwa kasus-kasus yang disimpulkan PPATK patut ditindaklanjuti aparat penegak hukum beraroma subjektif atau hasil "tebang pilih". Sebagai institusi yang berdiri paling di muka, PPATK tentu tak menginginkan rezim antipencucian uang di Indonesia hanya di atas kertas!***
Jakarta, 11 November 2006