24 November 2013

Surat Balasan PM Abbott

Keengganan pihak Istana menjelaskan isi surat balasan Perdana Menteri Australia Tony Abbott kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dengan alasan tidak etis, terasa menggelikan. Menggelikan, karena surat-menyurat antara dua kepala pemerintahan itu menyangkut masalah yang justru kita nilai tidak etis: tindak penyadapan.

Di sisi lain, masalah itu sendiri telanjur terbuka dan mengaduk-aduk emosi publik Indonesia. Justru itu, segenap publik Indonesia berhak mengetahui isi surat balasan Perdana Menteri Abbott. Apakah surat tersebut sekadar berisi ungkapan penyesalan sebagaimana pernyataan Perdana Menteri Abbot saat berbicara di parlemen Australia? Ataukah pernyataan itu juga dilengkapi permohonan maaf pemerintah Australia sebagaimana tuntutan pemerintah dan publik Indonesia?

Jadi, Istana sungguh perlu memaparkan substansi surat balasan Perdana Menteri Abbott kepada publik Indonesia. Dengan demikian, publik Indonesia bisa menilai apakah sikap pemerintah Australia atas kemarahan Indonesia soal penyadapan yang mereka lakukan sudah memadai ataukah tidak. Ini penting karena menentukan sikap lebih lanjut publik Indonesia terhadap Australia -- dan karena itu bisa mempengaruhi masa depan hubungan bilateral Indonesia-Australia setelah heboh kasus penyadapan. 

Surat-menyurat antara Presiden Yudhoyono dan Perdana Menteri Abbott kali ini memang bukan soal biasa. Bukan hanya soal komunikasi antara pemimpin kedua negara. Bagaimanapun surat-menyurat itu juga melibatkan soal emosi publik Indonesia yang telanjur tersinggung dan marah akibat tidak pelecehan pemerintah Australia lewat aksi penyadapan telepon sejumlah tokoh nasional, termasuk Presiden Yudhoyono. 

Karena itu, isi surat balasan Perdana Menteri Abbot kepada Presiden Yudhoyono tak bisa dilokalisasi menjadi sekadar diketahui lingkar dalam Istana. Terlebih lagi sebelumnya Presiden Yudhoyono sendiri bersikap transparan mengenai suratnya kepada Perdana Menteri Abbot. 

Jadi, kalau Presiden Yudhoyono bersikap terbuka menyangkut suratnya yang tempo hari dikirim kepada pihak Australia, kenapa sekarang Istana enggan membeberkan ihwal substansi surat balasannya? Kenapa sekarang beralasan soal etika, sementara tempo hari -- saat bicara soal surat untuk Perdana Menteri Abbott -- Istana seolah bersikap bebas nilai?

Bagi publik, keengganan Istana mengungkapkan substansi surat balasan Perdana Menteri Abbott kepada Presiden Yudhoyono soal isu penyadapan ini malah mencurigakan atau bahkan mengundang syak wasangka. Seolah-olah Istana ingin menutupi sesuatu dalam surat itu yang bersinggungan dengan Presiden Yudhoyono. 

Keengganan itu juga sekaligus seolah menjadi pembenaran terhadap isu miring yang sebelumnya menyeruak ke ruang publik. Yaitu bahwa Presiden marah disadap Australia karena apa yang disadap itu adalah sesuatu yang meruntuhkan marwahnya selaku pemimpin bangsa dan negara. 

Walhasil, keengganan Istana membeberkan substansi surat balasan Perdana Menteri Abbot kepada Presiden Yudhoyono ini bukan cuma menafikan hak publik Indonesia untuk mengetahuinya. Lebih dari itu, secara politis juga tidak produktif bagi marwah Presiden Yudhoyono sendiri.  

Boleh jadi, keengganan itu bukan sikap atau kehendak Presiden Yudhoyono. Keengganan itu lebih mencerminkan keinginan lingkar dalam Istana memproteksi Presiden sekaligus merupakan wujud kegagapan mereka dalam merespons kemarahan publik di dalam negeri terhadap Australia.***

Jakarta, 24 November 2013

Penyimpangan Anggaran

Temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) soal indikasi tindak penyimpangan anggaran negara, baik di instansi pemerintah pusat maupun daerah, jelas perkara serius. Serius, karena dugaan kasus tindak penyimpangan itu terbilang bejibun serta berkecenderungan terus meningkat.

Di sisi lain, dari segi nominal anggaran, tindak penyimpangan ini juga tak kalah gawat. Untuk semester I/2013, penyimpangan tersebut bernilai Rp 56,98 triliun (13.969 kasus). Angka itu meningkat signifikan dibanding semester II/2012 yang total bernilai Rp 9,72 triliun (12.947 kasus). 

Ditarik lebih jauh ke belakang, gambaran serupa tetap tertoreh. Gambaran tersebut menunjukkan bahwa secara kuantitatif maupun kualitatif, tindak penyimpangan anggaran sudah tidak bisa dipandang remeh. 

Namun sungguh mengherankan bahwa laporan BPK soal indikasi penyimpangan anggaran negara ini nyaris tidak pernah ditindaklanjuti pemerintah. Seolah-olah pemerintah tidak merasa perlu melakukan berbagai pembenahan kelembagaan maupun penindakan hukum. Seolah-olah laporan BPK adalah dokumen tak berharga. 

Padahal laporan BPK sendiri tidak sekadar menyodorkan angka-angka, tetapi juga rinci membeberkan faktor penyebab kasus-kasus tindak penyimpangan itu. Misalnya, sistem pengendalian internal kedodoran, sistem administrasi diselewengkan, juga prinsip ekonomi diabaikan sehingga penggunaan anggaran tidak hemat, tidak efisien, dan tidak efektif. 

Dengan itu, mestinya pemerintah tidak sulit melakukan tindak-lanjut atas laporan BPK soal penyimpangan anggaran ini. 
Ibarat berkendara, pemerintah tinggal tancap gas. Pemerintah tak perlu bingung menentukan arah yang harus dituju karena BPK sudah memberikan peta jalan.

Pemerintah perlu atau bahkan secara moral wajib melakukan tindak-lanjut atas temuan BPK karena bagaimanapun anggaran negara harus digunakan dengan sebaik-baiknya. Terlebih di tengah kondisi penerimaan negara saat ini yang cenderung seret. 

Lebih dari itu, anggaran tak boleh digunakan secara semena-mena karena merupakan uang rakyat. Artinya, berbagai tindak penyimpangan harus dicegah -- atau ditindak tegas jika penyimpangan itu telanjur terjadi. Untuk itu, pembenahan moral aparat maupun pembenahan sistem kelembagaan merupakan keharusan. 
 
Namun, itu tadi, pemerintah sepertinya tidak memiliki cukup kemauan untuk melakukan tindak-lanjut atas berbagai kasus dugaan penyimpangan anggaran yang ditemukan dan dilaporkan BPK. Justru itu, moral culas di jajaran pemerintahan menyangkut anggaran pun seolah sengaja dipelihara. Begitu pula sistem pengendalian internal terkesankan dibiarkan terus memble. 

Dalam konteks itu, tak bisa tidak, reformasi birokrasi pemerintahan yang digulirkan sejak beberapa tahun terakhir pun seperti tak punya banyak arti. Reformasi birokrasi seolah bersifat setengah hati. Reformasi baru lebih banyak menyentuh aspek insentif finansial bagi pegawai ketimbang pembenahan mendasar sistem kelembagaan. 

Kenyataan itu menunjukkan perlunya dibuat ketentuan perundangan yang membuat pemerintah berkewajiban menindaklanjuti setiap temuan penyimpangan anggaran yang dilaporkan BPK. Tindak-lanjut bukan sekadar berupa pembenahan sistem kelembagaan dan moral aparat, melainkan juga proses hukum terhadap setiap temuan kasus penyimpangan.***


Jakarta, 24 November 2013

17 November 2013

Aturan Genap-Ganjil


Penerapan aturan genap-ganjil nomor polisi (nopol) kendaraan di DKI Jakarta, yang menurut rencana dimulai medio tahun ini, patut didukung semua pihak. Bahwa aturan tersebut belum teruji efektif mengatasi kemacetan arus lalu lintas kendaraan di jalan raya, itu tak bisa dijadikan alasan untuk apriori dan menampiknya. Paling tidak, aturan genap-ganjil ini patut dicoba dulu diterapkan -- karena masalah kemacetan lalu lintas jalan raya di ibukota Jakarta sudah sangat akut.

Aturan genap-ganjil nopol kendaraan memang merupakan salah satu strategi Pemda DKI Jakarta untuk mengurangi kemacetan lalu lintas jalan raya. Penerapan aturan tersebut memungkinkan kendaraan yang beroperasi di jalan-jalan raya ibukota Jakarta bisa menurun drastis. Artinya, tingkat kepadatan arus kendaraan dan tingkat kemacetan lalu lintas pun bisa diharapkan menurun pula secara signifikan.

Dalam semangat menangani masalah kemacetan lalu lintas jalan raya pula, aturan genap-ganjil ini selaras dengan upaya Pemda DKI Jakarta mendorong masyarakat pengguna kendaraan pribadi beralih menggunakan angkutan umum. Untuk itu, layanan angkutan umum di DKI Jakarta kini mulai dibenahi.

Melihat keseriusan pihak pemda, pembenahan itu bisa diharapkan membuat angkutan umum di ibukota Jakarta perlahan tapi pasti menjadi nyaman, aman, dan terjangkau. Karena itu, sekali lagi, penerapan aturan genap-ganjil ini patut didukung.

Namun belum apa-apa, aturan genap-ganjil ini sudah terdistorsi. Persisnya: karena Polda Metro Jaya memberi keleluasan bagi masyarakat untuk memesan ataupun menukar nopol kendaraan  -- nomor genap menjadi ganjil dan sebaliknya ganjil menjadi genap.

Kebijakan itu terkesankan tidak produktif karena mendistorsi tujuan yang ingin dicapai oleh aturan genap-ganjil. Kebijakan itu tidak sejalan dengan strategi penanganan masalah kemacetan lalu lintas lewat pengurangan kepadatan kendaraan yang turun ke jalan-jalan raya di seantero Jakarta.

Memang, kebijakan itu merupakan wujud keinginan dan niat baik Polda Metro memberi kemudahan kepada masyarakat. Namun keinginan dan niat baik saja tidak cukup atau tidak relevan jika tidak produktif.

Dengan memberi keleluasaan bagi masyarakat untuk memesan ataupun menukar nopol kendaraan, Polda Metro nyata-nyata memberi angin bagi mereka yang memiliki cukup kemampuan untuk memiliki kendaraan lebih dari satu. Minimal warga Jakarta dimungkinkan memiliki dua buah kendaraan dengan nomor genap dan ganjil, sehingga mereka bisa tetap berkendara di Jalan raya.

Selama ini, sumber kemacetan lalu lintas jalan raya, khususnya di Jakarta, antara lain adalah banyaknya warga menggunakan kendaraan pribadi. Dengan alasan angkutan umum tidak nyaman dan tidak aman, banyak pula warga yang mampu secara ekonomi memiliki kendaraan lebih dari satu.

Kini, kecenderungan itu diwadahi oleh keleluasaan untuk memesan ataupun menukar nopol kendaraan. Justu itu, aturan genap-ganjil pun menjadi tak bakal efektif menurunkan kepadatan kendaraan di jalan raya. Artinya, masalah kemacetan lalu lintas pun tak bisa diharapkan teratasi secara signifikan.

Karena itu, ketimbang repot melayani penukaran nopol plat kendaraan, lebih baik Polda Metro fokus menyiapkan pembatasan kendaraan melalui implementasi aturan genap-ganjil. Mereka harus bisa memastikan bahwa aturan tersebut pada saatnya bisa efektif diterapkan sekaligus berfungsi mendorong masyarakat perlahan beralih menggunakan angkutan umum.***

Jakarta, 17 November 2013

Budi Mulya Bukan Akhir

Pernyataan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad, Sabtu lalu, bahwa penahanan mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Budi Mulya bukan akhir pengungkapan skandal korupsi dalam penyelamatan (bailout) Bank Century sungguh melegakan. Pernyataan tersebut menjadi jaminan bahwa KPK akan terus menelisik keterlibatan tokoh-tokoh lain, terutama aktor utama, dalam skandal yang merugikan keuangan negara hingga Rp 6,7 triliun itu.

Budi Mulya disangka menyalahgunakan kewenangan dalam penyaluran fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) kepada Bank Century, sekaligus dalam penetapan bank tersebut sebagai bank gagal berdampak sistemik. Tetapi pengambilan keputusan di BI bersifat kolektif kolegial. Artinya, keputusan itu tak mungkin dilakukan sendiri oleh Budi Mulya.

Budi Mulya sendiri menyatakan bahwa kebijakan pengucuran FPJP kepada Bank Century diputuskan oleh Dewan Gubernur BI yang saat itu dipimpin Boediono (kini Wapres). Karena, tekad dan komitmen KPK untuk menelisik tokoh-tokoh lain yang diduga terlibat dalam skandal penyelamatan Bank Century ini sungguh relevan dan urgen.

Selain Budi Mulya, sejauh ini KPK sudah pula menetapkan status tersangka terhadap bekas petinggi lain BI, yaitu mantan Deputi Gubernur Siti Fadjrijah. Namun proses pemeriksaan terhadap Fadjridah tak bisa berlanjut karena dia menderita sakit serius.

Secara keseluruhan, KPK sudah memanggil dan meminta keterangan terhadap lebih dari 30 orang yang dipandang punya kaitan langsung maupun tidak langsung dengan proses penyelamatan Bank Century ini. Selain Budi Mulya dan Sisi Fadjrijah, mereka antara lain mantan Direktur Pengaturan Perbankan BI Wimboh Santoso serta mantan Menkeu sekaligus mantan Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) Sri Mulyani Indrawati dan Sekretaris KSSK Raden Pardede.

Sri Mulyani turut terseret-seret karena selaku Ketua KSSK dia berperan penting dalam rapat penentuan status Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik yang kemudian menjadi pijakan bagi tindak penyelamatan bank tersebut. Rapat itu sendiri juga dihadiri Gubernur BI Boediono selaku Wakil Ketua KSSK kala itu.

Selain meminta keterangan sejumlah saksi, KPK juga sudah menggeledah serta menyita sejumlah dokumen dari BI. Dokumen tersebut menjadi bahan penting untuk lebih mendalami keterangan saksi-saksi yang sudah diperiksa.

Jadi, proses penanganan kasus Bank Century oleh KPK ini sebenarnya sudah terbilang jauh. Terlebih kalau ditarik ke titimangsa kasus tersebut, yaitu November 2008, rentang waktu yang telah dilalui demikian panjang.

Tetapi toh kasus Bank Centiry masih saja lebih merupakan benang kusut. Siapa yang diduga menjadi aktor intelektual, terutama, belum juga tergambar -- meski berbagai spekulasi sudah mengarahkan telunjuk kepada figur-figur tertentu.

Karena itu, berpilin dengan proses politik di DPR, isu Bank Century ini terasa begitu banyak menguras energi sekaligus sarat mengundang kegaduhan di ruang publik. Masyarakat sendiri sudah lelah dan nyaris bosan oleh proses penanganan kasus tersebut, entah secara politik ataupun secara hukum lewat peran KPK.

Oleh sebab itu pula, penahanan Budi Mulya harus dibuktikan memang bukan akhir proses pengungkapan skandal penyelamatan Bank Century. KPK harus serius menelusuri lebih jauh dan lebih dalam seputar tokoh-tokoh lain yang diduga terlibat skandal itu, terutama figur yang menjadi aktor utama. Dalam konteks ini, pemeriksaan Boediono sangat urgen.***


Jakarta, 17 November 2013

16 November 2013

Sinergi BI-Pemerintah


Untuk kali kelima selama tahun ini, Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan alias BI Rate sebesar 25 basis poin menjadi 7,5 persen. Langkah tersebut mengagetkan, karena jelas berdampak kian menyulitkan sektor riil. Laju pertumbuhan ekonomi nasional pun niscaya makin melambat.

Target pertumbuhan ekonomi tahun ini dipatok pemerintah sebesar 6 persen. Target tersebut hampir pasti tak bakal bisa dicapai. Pada triwulan III/2013 saja, pertumbuhan ekonomi ini sudah ngos-ngosan di level 5,62 persen.

BI sendiri bukan tidak menyadari risiko itu. Namun BI galau oleh beban defisit dalam neraca transaksi berjalan. Pada kuartal III/2013, desifit tersebut mencapai US$ 8,4 miliar atau 3,8 persen produk domestik bruto (PDB). Angka itu memang menunjukkan perbaikan dibanding semester II/2013 sebesar US$ 9,9 miliar (4,4 persen PDB). Tetapi, bagi BI, penurunan tersebut relatif lamban dibanding potensi tekanan terhadap ekonomi nasional.

Dari dalam negeri, tekanan itu antara lain kebutuhan impor yang tetap tinggi, terutama impor migas. Sementara dari lingkungan eksternal, tekanan itu terkait kondisi ekonomi global yang masih saja sarat ketidakpastian.

Kombinasi tekanan internal dan eksternal itu bukan saja bisa membuat defisit dalam neraca transaksi berjalan terus tinggi, melainkan juga mengondisikan neraca pembayaran tetap babak-belur. Pada kuartal III/2013, neraca pembayaran ini mengalami defisit US$ 2,16 miliar. Bahkan pada semester II/2013, defisit tersebut mencapai US$ 2,5 miliar.

Walhasil, dengan perspektif seperti itu, langkah BI menaikkan lagi BI Rate untuk kali kelima pada tahun ini memang bisa dipahami. Namun tantangan yang dihadapi ekonomi nasional ini tak mungkin bisa ditangani sendiri oleh BI. Bahkan, tanpa imbangan kebijakan pemerintah, langkah BI itu boleh jadi malah menjadi blunder.

Itu berarti, pemerintah bagaimanapun harus ikut juga berjibaku dengan menebar kebijakan yang bersifat menunjang atau melengkapi langkah BI. Memang, pemerintah pun sudah mengayun langkah dalam merespons tantangan yang dihadapi ekonomi nasional ini. Misalnya, Agustus lalu mengeluarkan paket kebijakan fiskal yang terutama ditujukan untuk menekan defisit dalam neraca transaksi berjalan.

Tetapi, patut diakui, implementasi kebijakan tersebut masih letoy. Itu pula yang membuat defisit transaksi berjalan maupun defisit neraca pembayaran tetap tinggi, meski belakangan menunjukkan sedikit penurunan. Dalam konteks itu, pemerintah terkesankan kurang sungguh-sungguh melangkah. Itu antara lain gamblang tecermin dalam volume impor bahan bakar minyak (BBM) yang tetap tinggi.

Impor BBM terus saja menggunung, karena konsumsi memang bisa dikatakan tetap tak terkendali. Program-program yang disiapkan untuk itu, di tahap implementasi, nyaris menguap begitu saja. Bahkan, seperti dalam kasus program mobil murah, sikap dan kebijakan pemerintah sungguh tidak produktif -- bahkan kontradiktif -- dengan tuntutan kondisional menyangkut pengendalian konsumsi BBM ini.

Jadi, sikap seperti itu harus ditanggalkan. Terlebih di tengah tren pelambatan ekonomi nasional sekarang ini, pemerintah kudu lebih trengginas bertindak. Kebijakan dan program-program yang sudah disiapkan harus konsisten diimplementasikan.

Di sisi lain, setelah BI menaikkan lagi BI Rate, pemerintah juga harus meluncurkan kebijakan yang berdampak sebagai stimulus sehingga ekonomi nasional -- terutama sektor riil -- tetap mampu menggeliat.***

Jakarta, 16 November 2013

03 November 2013

Penyadapan Terbongkar


Tindak penyadapan seperti dilakukan pemerintah AS dan Australia terhadap sejumlah negara, termasuk Indonesia, merupakan bagian kegiatan spionase alias mata-mata (spy). Kegiatan spionase sendiri lumlah dan wajar dilakukan suatu negara terhadap negara lain untuk mengamankan kepentingan nasional mereka. Spionase adalah wujud keinginan atau dorongan suatu negara untuk mengetahui "jeroan" negara lain.

Oleh sebab itu, kegiatan spionase suatu negara tidak melulu ditujukan kepada negara yang dianggap sebagai musuh (enemy). Negara-negara yang dianggap sahabat atau sekutu pun bisa dan wajar menjadi objek kegiatan spionase, karena cakupan kepentingan negara tidak selalu dalam konteks memenangi perang secara militer. Kepentingan negara juga bisa dalam pengertian memenangi persaingan di bidang ekonomi, sosial, budaya, sains, juga politik.

Jadi, demi alasan strategis, AS pun bahkan "tega" menyadap lalu-lintas percakapan telepon Kanselir Jerman Angela Merkel, misalnya. Padahal Jerman adalah salah satu negara sekutu utama AS.

Sebaliknya, sama sekali tidak bisa dijamin bahwa AS pun bebas dari tindak penyadapan oleh negara lain -- termasuk oleh mitra dan sekutu mereka. Bahkan meski soal penyadapan atau spionase menjadi perjanjian antarnegara sebagai tindakan yang dilarang alias tak boleh dilakukan.

Karena itu, terbongkarnya tindak penyadapan oleh AS dan Australia terhadap sejumlah negara sebenarnya tak mengagetkan. Kasus tersebut lebih merupakan pembenaran bahwa kepentingan nasional suatu negara berada di atas kepentingan apa pun.

Meski begitu, secara moral, tindak penyadapan jelas tidak patut. Secara etis juga tercela. Tindakan tersebut mencederai norma hubungan diplomatik. Oleh sebab itu, terbongkarnya kasus penyadapan suatu negara hampir selalu menimbulkan ketersinggungan atau bahkan kemurkaan pemerintah negara bersangkutan.

Ketersinggungan atau kemarahan itu bisa diwujudkan dalam bentuk penyampaian nota protes dan permintaan klarifikasi kepada negara pelaku penyadapan. Bisa pula kemarahan ini diwujudkan dalam bentuk pengusiran diplomat atau bahkan pemutusan hubungan diplomatik dengan negara pelaku penyadapan.

Tetapi pengusiran diplomat atau pemutusan hubungan diplomatik lazimnya tidak terjadi jika negara korban spionase bisa menerima klarifikasi serta penjelasan negara pelaku penyadapan. Karena itu, heboh kasus penyadapan sejumlah negara oleh AS dan Australia pun bisa dianggap selesai begitu saja. Cepat atau lambat, hubungan diplomatik lantas menjadi normal atau bahkan mungkin mesra kembali.

Meski demikian, secara internal kenegaraan kita sendiri, kasus itu tak patut dianggap selesai begitu saja seiring langkah penyelesaian di jalur diplomatik -- apa pun itu: entah sekadar melayangkan protes atau mengusir diplomat AS dan Australia. Pemerintah tak boleh lantas berdiam diri. Pemerintah harus segera melakukan pembenahan mendasar dan masif menyangkut pengamanan kepentingan nasional.

Dengan kata lain, kasus penyadapan oleh Australia dan AS harus dijadikan pemerintah sebagai cambuk untuk melakukan penelitian kompehensif mengenai kelemahan-kelemahan dalam sistem keamanan dan pengamanan kepentingan nasional. Itu kemudian harus dijadikan fondasi untuk membangun sistem baru yang bisa diandalkan sehingga kepentingan nasional tak mudah diintip negara lain.

Selebihnya, pemerintah harus membangun sistem intelijen yang benar-benar handal -- termasuk dalam memata-matai negara lain! Toh, atas nama dan demi kepentingan nasional, kegiatan spionase merupakan kelaziman dan kebutuhan strategis.***

Jakarta, 3 November 2013