14 September 2014

Momentum Penaikan BBM

Penaikan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi kini hanya soal waktu. Presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi), Sabtu lalu, menegaskan bahwa dia siap menanggung risiko tidak populer sebagai dampak politik penaikkan harga BBM subsidi ini.

Dengan kata lain, tekad Jokowi untuk itu sudah bulat. Dia terkesankan tidak hirau oleh desakan sejumlah kalangan agar mencari opsi lain yang memungkinkan harga BBM subsidi tak perlu dinaikkan. Bagi dia, sebagaimana juga sikap wapres terpilih Jusuf Kalla, penaikan harga BBM adalah satu-satunya pilihan untuk menyelamatkan problem fiskal akibat beban subsidi BBM yang terus membengkak.

Meski begitu, penaikan harga BBM subsidi ini tak bisa serta-merta dilakukan begitu Jokowi-Jusuf Kalla resmi dilantik menjadi pasangan presiden dan wapres, Oktober mandatang. Bagaimanapun, seperti pengalaman selama ini, penaikan harga BBM subsidi punya implikasi sosial-ekonomi. Persisnya, kesejahteraan rakyat -- terutama di lapisan bawah -- menurun. Kemiskinan membuncah.

Namun seberapa parah penurunan kesejahteraan rakyat itu tertoreh, itu sangat bergantung pada besaran penaikan harga BBM subsidi. Yang pasti, semakin tinggi harga BBM subsidi ini dinaikkan, keterpurukan kesejahteraan rakyat pun semakin dalam.

Jokowi sendiri belum punya ancar-ancar mengenai pilihan kebijakan yang akan ditempuh menyangkut penaikan harga BBM subsidi ini: apakah dilakukan bertahap ataukah sekaligus sampai tingkat keekonomian BBM, sehingga subsidi pun tak dikucurkan lagi. Tapi opsi mana pun yang dipilih, Jokowi sungguh harus berhitung cermat mengenai ekses yang muncul berupa penurunan kesejahteraan rakyat.

Lebih dari itu, Jokowi harus berpikir keras agar penaikan harga BBM subsidi tidak lantas menumbuhkan kesan sebagai tindakan yang melulu menyengsarakan rakyat -- terutama kelompok wong cilik. Artinya, kebijakan itu harus dibarengi dengan "terapi" berupa jaring pengaman sosial.

Untuk itu, jelas, jaring pengaman sosial harus benar-benar disiapkan lebih dahulu secara matang sebelum penaikan harga BBM subsidi dilakukan. Dalam konteks ini, jaring pengaman sosial tak boleh sekadar merupakan "pelipur lara". Jaring pengaman sosial juga harus sekaligus menjadi instrumen perberdayaan masyarakat yang memungkinkan mereka bisa segera bangkit secara sosial maupun ekonomi setelah harga BBM subsidi dinaikkan.

Jaring pengaman sosial juga menuntut penyiapan dan kesiapan organisasi pelaksana, mulai di tingkat pusat hingga operasional di lapangan. Tanpa organisasi pelaksana yang rapi dan siap bekerja, jaring pengaman sosial hampir pasti tidak akan efektif mencapai sasaran dan tujuan.

Menimbang itu semua, maka langkah penaikan harga BBM subsidi ini baru mungkin bisa dilakukan Jokowi pada tahun depan. Jika dipaksakan tahun ini juga, karena rentang waktu yang tersedia sudah pendek, penaikan itu berisiko melahirkan ekses-ekses sosial-ekonomi tak terduga atau mungkin tak terkendali.


Lalu, last but not least, kebijakan menyangkut BBM subsidi ini harus paralel dilakukan dengan program-program penghematan. Untuk itu, Jokowi tinggal menerapkan program-program yang sudah dirumuskan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Program-program itu, secara konseptual bagus dan feasible diaplikasikan. Namun selama ini pemerintah terkesankan gamang dan tidak konsisten, sehingga konsumsi BBM subsidi terus-menerus kedodoran.

Nah, Jokowi jangan sampai mengulang kesalahan itu.***

Jakarta, 14 September 2014