09 Desember 2003

Ekspor TPT Pascakuota

Mestinya kita tidak grogi atau bahkan seperti panik manakala beroleh kepastian bahwa selepas tahun 2004, ekspor tekstil dan produk tekstil (TPT) kita ke pasar tradisional -- AS, Uni Eropa, dan Kanada -- tak lagi dikenai fasilitas kuota. Toh, sebetulnya, kita memiliki waktu relatif panjang -- 10 tahun -- untuk melakukan langkah-langkah persiapan atau antisipasi menghadapi sistem perdagangan TPT tanpa fasilitas kuota ini.

Sesuai hasil perundingan Putaran Uruguay dalam rangka General Agreement on Tariff and Trade (GATT) pada 1994, perjanjian tentang perdagangan tekstil dan pakaian jadi disepakati segera diimplementasikan. Artinya, sejak 1994, perdagangan tekstil dan pakaian jadi tak lagi dibatasi oleh sistem kuota.

Tapi perundingan Putaran Uruguay pada 1994 itu juga menyepakati masa peralihan selama 10 tahun bagi implementasi perjanjian tentang perdagangan tekstil dan pakaian jadi ini. Dengan demikian, kesepakatan itu baru berlaku efektif sejak 1 Januari 2005.

Jadi, selama masa peralihan itu pula seharusnya kita gencar melakukan langkah-langkah antisipasi secara nyata dan tajam terarah mengenai ekspor TPT tanpa sistem kuota ini. Masa 10 tahun sebenarnya lebih dari cukup untuk membenahi berbagai masalah internal maupun eksternal yang memungkinkan daya saing TPT kita meningkat. Dengan action plan yang jelas, begitu sistem kuota dalam perdagangan TPT ini efektif dihapuskan sejak 1 Januari 2005, kita sudah siap. Kita tak perlu grogi ataupun panik. Bahkan bukan tidak mungkin, penghapusan sistem kuota ini malah membuat kinerja ekspor TPT kita kian bagus.

Memang, sejatinya, penghapusan sistem kuota merupakan peluang bagi kita untuk meningkatkan volume maupun nilai ekspor TPT. Betapa tidak, karena ekspor TPT ke AS, Uni Eropa, dan Kanada tak lagi dibatasi kuota seperti selama ini. Justru itu, jika di bawah sistem kuota nilai ekspor TPT kita hanya bernilai 5 miliar dolar, misalnya, pascakuota mestinya nilai ekspor itu bisa jauh lebih tinggi. Sebuah survei, dalam kaitan ini, menyatakan bahwa transaksi perdagangan TPT pascakuota naik sekitar 50 miliar dolar menjadi 400 miliar dolar.

Jadi, mestinya, penghapusan sistem kuota TPT ini kita hadapi dengan penuh gairah. Dengan itu, pada pascakuota kontribusi ekspor TPT terhadap perolehan devisa mestinya bisa lebih signifikan lagi. Jika selama ini nilai ekspor TPT kita total berkisar 5 miliar hingga 7 miliar dolar, pascakuota mungkin bisa melampaui 10 miliar dolar.

Tetapi kita memang bangsa yang selalu cenderung abai dan lalai. Begitu juga dalam konteks ekspor TPT: kita telanjur keenakan oleh sistem kuota. Masa peralihan selama 10 tahun sejak 1994 bukan benar-benar kita manfaatkan untuk melakukan langkah-langkah antisipasi, melainkan kita justru terbuai oleh mimpi yang kita bangun sendiri: AS, Uni Eropa, dan Kanada memerpanjang sistem kuota impor TPT.

Mimpi itu kian gamblang tercuatkan lewat upaya lobi yang dilakukan tim pemerintah baru-baru ini kepada tiga negara yang selama ini memberlakukan kuota impor TPT. Kita baru terhenyak dan sadar setelah ketiga negara yang selama ini menjadi pasar tradisional ekspor TPT kita memberi kepastian bahwa mereka tak akan memerpanjang sistem kuota. Maka kita pun jadi grogi dan panik. Sejumlah industri TPT di Bandung, misalnya, serta-merta dikabarkan segera banting stir ke sektor usaha lain karena mereka menyadari betul bahwa produk mereka tak bakal mampu bersaing di tengah pasar pascakuota ini.

Kenyataan itu tampaknya bukan sekadar soal sikap mental yang tidak siap bersaing, melainkan juga merupakan cerminan bahwa daya saing TPT kita memang payah. Bahkan kalaupun sistem kuota tidak dihapuskan, TPT kita pasti keok oleh produk Cina, India, Vietnam, dan Bangladesh. Buktinya, selama ini pangsa ekspor TPT kita ke pasar di luar negara yang memberlakukan kuota tak pernah membesar -- tetap di bawah 40 persen.

Walhasil, ekspor TPT kita selama ini bisa tetap berkibar memang karena fasilitas kuota impor yang diberlakukan AS, Uni Eropa, dan Kanada. Bisa kita pastikan, setelah kuota efektif dihapuskan, ekspor TPT ke AS, Uni Eropa, dan Kanada langsung rontok. Justru itu, kinerja ekspor TPT secara keseluruhan niscaya menciut. Itu berarti, TPT pun sulit kita harapkan mampu bertahan sebagai primadona penghasil devisa.

Pesimistis, memang. Tapi, agaknya, itu sikap paling realistis. Terlebih lagi karena pemerintah sendiri tak menyiapkan semacam crash program untuk membalikkan kemungkinan dalam sisa waktu 1 tahun sebelum perjanjian penghapusan kuota TPT efektif berlaku. Sementara beberapa gagasan yang dilontarkan pemerintah, dalam kaitan ini, di samping tak terlampau meyakinkan, bukan tidak mungkin hanya akan sekadar menjadi wacana. Padahal masalah internal maupun eksternal yang membelit industri TPT kita begitu kompleks dan akut.***
Jakarta, 09 Desember 2003

05 Desember 2003

Nasib Petani Gabah

Nasib petani padi kita tak pernah baik. Mereka selalu saja dihadapkan pada kondisi yang menekan dan menghimpit. Bahkan panen raya, yang semestinya menjadi kesempatan bagi mereka menangguk keuntungan ekonomis, justru menjadi saat yang mengiris dan menyesakkan. Setiap panen raya tiba, harga gabah selalu saja terpuruk.

Dalam konteks itu, instrumen kebijakan yang disiapkan pemerintah selalu terbukti tidak ampuh. Inpres No 9/2003 yang dikeluarkan pada awal tahun ini, misalnya, hanya indah di atas kertas. Inpres tersebut menyatakan bahwa harga pembelian pemerintah (HPP) dipatok Rp 1.725/kg untuk gabah kering giling (GKG) dan Rp 1.320/kg untuk gabah kering panen (GKP).

Namun pada musim panen April-Mei lalu, harga gabah berkualitas seadanya (kadar air di atas 20 persen, kadar kotor di atas 10 persen) tidak sampai Rp 1.000/kg. Walhasil, kebijakan perberasan yang tertuang dalam Inpres No 9/2003 ini melenceng dari sasaran. Alih-alih menikmati untung, petani pun banyak yang dibuat pusing tujuh keliling karena biaya produksi yang telanjur mereka keluarkan nyaris tak tertutup.

Panen raya mendatang ini pun kemungkinan tetap menjadi siklus yang menyengsarakan petani. Bahkan belum apa-apa, harga beras kini sudah tertekan -- bahkan cenderung turun. Badan Pusat Statistik (BPS) saja sudah mencatat, selama November lalu harga beras tercatat menurun. Itu pula yang membuat inflasi selama November relatif tetap rendah.

Kenapa harga beras kini cenderung turun, sementara panen raya belum lagi tiba? Ternyata itu karena beras impor telanjur membanjiri pasar. Justru itu pula, saat panen raya tiba nanti, harga gabah di tingkat petani pasti jeblok tak tertahankan.

Beras impor memang menjadi momok yang setiap saat menekan harga komoditas itu di dalam negeri. Maklum saja karena arus beras impor sulit sekali dibendung. Impor beras saat ini hanya berdasarkan nomor pengenal importir khusus (NPIK). Jadi, tak ada izin spesifik yang harus dikantungi importir. Mereka cukup sekadar mendaftar: bahwa mereka mengimpor beras.

Kalau saja stok beras di dalam negeri dalam kondisi tipis, arus masuk beras impor ini tidak masalah -- bahkan merupakan kebutuhan dalam rangka menjaga harga bahan pokok tersebut tidak melambung tinggi. Tetapi ketika stok beras nasional relatif memadai seperti saat ini, terus panen raya padi juga tak lama lagi dijelang, impor beras tentu terasa mengherankan.

Dalam konteks itu pula kita bisa memahami pernyataan Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (KHTI) Siswono Yudhohusodo yang mencurigai upaya terselubung dan sistematis di balik arus deras impor beras sekarang ini. Upaya tersebut, katanya, jelas merujuk pada penghancuran harga gabah di tingkat petani.

Kalau saja asumsi itu benar, kita sungguh dibuat terpana karena Perum Bulog pun ikut andil dalam mengalirkan beras impor di saat stok memadai dan panen raya segera tiba ini. Kita terpana, karena selaku instansi pemerintah mestinya Bulog menyadari betul bahwa impor beras saat ini sungguh tidak produktif bagi kepentingan nasional.

Di samping, menekan harga gabah yang menjadi tumpuan harapan petani, langkah itu secara tidak langsung juga memberi kesan seolah Bulog tidak percaya terhadap sasaran yang dibuat Deptan menyangkut produksi gabah. Padahal Deptan sendiri sudah berulang kali berupaya meyakinkan bahwa sasaran produksi gabah pada tahun depan sebesar 53 juta ton hampir pasti bisa tercapai.

Tapi kenyataan itu juga menorehkan kenyataan lain: koordinasi di jajaran pemerintahan memang amat lemah. Egoisme sektoral, dalam konteks ini, mungkin menjadi salah satu sebab. Mungkin juga faktor patronase berbau politis turut pula berbicara. Yang pasti, menyadari betapa koordinasi antarjajaran pemerintahan ini begitu lemah, kita tak bisa lain kecuali harus mengelus dada.

Kita semakin trenyuh mengingat nasib petani gabah kita, karena pemerintah sendiri terkesan belum menemukan formula kegijakan yang benar-benar jitu dan handal. Memang, dalam rangka mengamankan harga gabah di tingkat petani, Menperindag sudah sampai pada keputusan untuk segera pengaturan impor dan menaikkan bea masuk beras pada musim panen mendatang.

Tetapi, seperti pendapat kalangan analis, kebijakan tersebut sulit diharapkan benar-benar efektif. Apa mau dikata: beras impor telanjur membanjir. Bahkan, sangat boleh jadi, arus impor beras saat ini justru merupakan antisipasi pengusaha terhadap langkah pemerintah menaikkan bea masuk dan mengatur impor.

Jadi, nasib petani gabah kita entah kapan bisa membaik.***
Jakarta, 05 Desember 2003

21 November 2003

Pembenahan di Tubuh PTKA

Pernyataan Menhub Agum Gumelar, bahwa calo tiket kereta api sulit diperangi, seharusnya tidak menjadi alasan pembenaran bagi manajemen PT Kereta Api (PTKA) untuk tidak berbenah secara mendasar dan merumuskan konsep layanan terbaik. Mungkin benar bahwa praktik percaloan tiket kereta api di tengah lonjakan calon penumpang seperti saat ini sulit diperangi. Tetapi, barangkali, itu lebih karena konsep dan mekanisme layanan pihak PTKA masih amburadul.

Kita menghargai langkah-langkah antisipasi manajemen PTKA dalam menghadapi arus musik Lebaran ini -- antara lain membuka penjualan tiket sejak jauh hari. Tetapi kita juga harus jujur mengatakan bahwa itu sama sekali tidak menjawab masalah: karena banyak calon penumpang telantar dan teraniaya secara fisik, psikis, dan ekonomis. Mereka harus berjam-jam -- bahkan sampai begadang di stasiun segala -- sekadar untuk bisa mendapatkan beberapa lembar tiket. Padahal sama sekali tidak ada jaminan tentang itu -- antara lain karena tiket telanjur diborong calo-calo.

Pada musim mudik Lebaran seperti sekarang ini, permintaan akan jasa angkutan kereta api -- seperti juga dialami moda angkutan lain -- memang meningkat drastis. Namun itu sungguh tak bijak dijadikan pembelaan atas susah atau bahkan gagalnya sekian banyak calon penumpang memeroleh tiket. Bagaimanapun, kenyataan itu lebih menunjukkan bahwa antisipasi manajemen PTKA dalam menghadapi lonjakan calon penumpang dalam rangka mudik Lebaran ini masih kedodoran.

Dalam konteks ini pula, kita sependapat dengan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI): bahwa langkah-langkah antisipasi yang dilakukan manajemen PTKA masih membuka peluang bagi praktik percaloan. Sistem penjualan tiket yang dilakukan on-line, misalnya, memang menjanjikan kemudahan dan kenyamanan bagi calon penumpang. Tapi karena dilakukan tertutup, tindak penyimpangan oleh oknum orang dalam PTKA sendiri jelas terbuka. Mereka bisa bermain mata dengan pihak luar hingga kemudian praktik percaloan tiket pun merebak. Sistem penjualan tiket secara on-line, karena itu, menjadi tak benar-benar efektif.

Begitu juga penjualan tiket di sejumlah loket yang digelar sejak jauh hari. Sedikit atau banyak, langkah tersebut justru membukakan kesempatan bagi mereka yang memiliki naluri menjadi calo.

Justru itu, kita menangkap kesan bahwa antisipasi manajemen PTKA dalam menghadapi arus mudik Lebaran ini cenderung setengah hati. Mereka sepertinya tidak belajar pada pengalaman serupa di tahun-tahun lalu. Mereka juga seolah tak bercermin pada layanan yang digelar moda-moda angkutan lain, khususnya maskapai penerbangan dan jasa angkutan penumpang bus yang relatif tak mengundang keluh-kesah atau gerutuan konsumen.

Seharusnya manajemen PTKA punya pendirian begini: jika jajaran maskapai penerbangan atau perusahaan otobus bisa relatif mulus memberikan layanan kepada calon penumpang, kenapa PTKA tidak? Bukankah berbagai maskapai penerbangan maupun perusahaan otobus juga menghadapi lonjakan permintaan pengguna jasa?

Mungkin benar, praktik percaloan relatif tak banyak menyusahkan calon penumpang pesawat terbang ataupun bus karena perusahaan-perusahaan bersangkutan mendesentralisasikan penjualan tiket. Dengan itu, calon penumpang tak harus menghambur dan menumpuk di titik tertentu. Ditambah penerapan mekanisme pemesanan jauh di muka, ruang gerak bagi praktik percaloan pun relatif tertutup.

Kenapa manajemen PTKA tak menerapkan mekanisme serupa? Kenapa penjualan tiket ini harus terpusat di tangan mereka alias tidak disebarkan ke pihak-pihak ketiga? Jujur saja, pertanyaan-pertanyaan senada itu justru mengundang kecurigaan bahwa pihak PTKA memang tak sungguh-sungguh berkeinginan menggelar layanan penjualan tiket yang mudah dan nyaman. Terlebih bila dikaitkan dengan kenyataan bahwa dulu PTKA pun sebenarnya sudah mendesentralisasikan penjualan tiket kepada kalangan biro perjalanan -- mirip apa yang kini diterapkan jajaran maskapai penerbangan dan perusahaan otobus. Tapi, entah kenapa, mekanisme penjualan tiket itu belakangan menjadi tersentralisasi lagi di tangan PTKA.

Ataukah PTKA sendiri menaruh kepentingan tertentu di balik itu? Paling tidak kepentingan ekonomis, yakni supaya bisa bermain mata dengan para calo? Secara kelembagaan, jelas itu tak mungkin. Tapi boleh jadi, itu menjadi kepentingan oknum-oknum di dalam tubuh PTKA.

Karena itu, sekali lagi, manajemen PTKA amat beralasan melakukan pembenahan mendasar mengenai sistem dan mekanisme penjualan tiket ini. Untuk itu, mereka harus membuang semangat pembenahan bersipat setengah hati. PTKA sudah saatnya tampil sebagai perusahaan yang sehat, bersih, nyaman, dan mampu memberikan layanan optimal bagi konsumen. Toh konsumen selama ini pun sudah memberikan ongkos yang tak terbilang murah-meriah.***
Jakarta, 21 November

18 November 2003

Sanksi Gijzeling

Sanksi penyanderaan (gijzeling) yang diterapkan Ditjen Pajak sudah memakan korban dua wajib pajak. Entah kebetulan entah bukan, mereka masing-masing berkewarganegaraan Indonesia dan asing. Mereka terkena gijzeling karena tak kunjung menunjukkan itikad baik dalam membayar tunggakan pajak. Wajib pajak yang berkewarganegaraan Indonesia memiliki tunggakan pajak Rp 11,5 miliar, sementara wajib pajak yang warga asing Rp 45,7 miliar.

Sebelum ini, santer disebut-sebut bahwa mereka yang terancam dikenai sanksi gijzeling ini -- karena dinilai kurang kooperatif -- berjumlah delapan wajib pajak. Nilai tunggakan mereka, konon, total mencapai sekitar Rp 120 miliar. Tapi setelah sanksi gijzeling disosialisasikan dan aparat pajak sendiri melakukan pendekatan terakhir, konon pula, enam wajib pajak berubah kooperatif. Mereka bersedia membayar tunggakan pajak. Sementara dua wajib pajak lain, itu tadi: tak kunjung menunjukkan itikad baik sehingga terpaksa dikenai gijzeling.

Langkah Ditjen Pajak itu, tampaknya, telah melahirkan efek psikologis: kalangan wajib pajak jadi merasa miris. Mereka dibuat sadar: tak boleh main-main dengan kewajiban pajak. Dirjen Pajak Hadi Purnomo sendiri menyebutkan bahwa penerapan sanksi gijzeling membuat banyak penunggak pajak -- meski tak tergolong kelompok sasaran sanksi itu -- tergerak melunasi kewajiban mereka.

Tetapi, sebenarnya, tak setiap wajib pajak bisa terkena sanksi gijzeling ini. Hanya mereka yang bandel atau sama sekali tak menunjukkan itikad baik membayar tunggakan pajak yang bisa terkena sanksi tersebut. Lagi pula, tunggakan pajak yang bisa dikenai gijzeling hanya bernilai Rp 100 juta ke atas. Bagi mereka yang memiliki tunggakan di bawah angka itu, untuk sementara ini, sebenarnya tak beralasan merasa miris terkena gijzeling.

Kendati demikian, efek positif penerapan sanksi gijzeling ini -- kalangan wajib pajak jadi merasa miris bermain-main dengan kewajiban pajak -- sungguh positif. Itu menerbitkan harapan ke arah peningkatan penerimaan pajak. Bagaimanapun, rasa miris tadi amat mungkin membuat tingkat kepatuhan wajib pajak jadi meningkat. Justru itu, tax ratio kita pun bisa diharapkan terdongkrak ke tingkat yang lebih baik.

Kenyataan seperti itu, pada gilirannya, amat positif. Seperti telah berkali-kali dibahas di ruangan ini, peningkatan kepatuhan wajib pajak sungguh amat strategis bagi kemandirian pembiayaan penyelenggaraan negara kita. Untuk saat sekarang saja, peningkatan kepatuhan wajib pajak ini niscaya bisa membuat target penerimaan pajak sebesar Rp 210,79 triliun bisa lebih mudah tercapai.

Karena itu, bagi kita, penerapan sanksi gijzeling oleh Ditjen Pajak yang menimbulkan efek psikologis di kalangan wajib pajak ini sungguh positif. Kita tak melihat efek psikologis berupa perasaan miris bermain-main dengan kewajiban pajak itu sebagai sesuatu yang tidak produktif dan tidak konstruktif. Meski barangkali di luar sasaran atau tujuan utama penerapan sanksi gijzeling sendiri, fenomena itu justru harus kita pelihara karena jelas mengusung fungsi deterrent effect: memupus kemungkinan wajib pajak coba-coba tidak melunasi kewajiban pajak.

Atas dasar itu, kita tak habis mengerti oleh pernyataan Menkeu Boediono yang terkesan gerah oleh langkah Ditjen Pajak menerapkan sanksi gijzeling ini. Pernyataan tersebut menumbuhkan spekulasi bahwa Menkeu tak rela ancaman bagi wajib pajak tak beritikad baik itu serius dilaksanakan. Dalam kaitan itu, barangkali Menkeu memang tak pernah memerkirakan bahwa ancaman sanksi gijzeling ternyata menimbulkan deterrent effect di kalangan wajib pajak berupa perasaan miris jika menunggak pajak.

Kita sendiri, sejauh ini, tak melihat aparat Ditjen Pajak memanfaatkan sanksi gijzeling ini sebagai alat untuk menakut-nakuti wajib pajak. Apa yang mereka lakukan tampaknya masih dalam koridor yang digariskan: menyodorkan sanksi gijzeling sebagai faktor pemaksa bagi wajib pajak tak kooperatif untuk melunasi tunggakan pajak mereka yang bernilai minimal Rp 100 juta.

Bahwa langkah itu ternyata menimbulkan efek takut di kalangan wajib pajak secara keseluruhan, barangkali itu di luar dugaan. Tetapi kalaupun sengaja dilakukan -- sepanjang masih dalam koridor yang tidak berlebihan menurut etika ataupun tertib hukum --, mengampanyekan sanksi gijzeling untuk menumbuhkan rasa takut di kalangan wajib pajak barangkali juga tidak masalah.

Bagi sebuah negeri yang memiliki tax ratio rendah seperti kita ini, sengaja mengondisikan deterrent effec bagi kalangan wajib pajak sebenarnya bahkan merupakan kebutuhan. Terlebih jika mengingat bahwa utang kita sekarang ini sudah sebatas leher, sehingga penerimaan pajak makin menjadi andalan bagi pembiayaan penyelenggaraan negara -- termasuk untuk mencicil utang.

Jadi, kenapa risau jika wajib pajak kemudian bersikap takut menunggak pajak?***
Jakarta, 18 November 2003

11 November 2003

BUMN Rugi Tanpa Akhir?

Kerugian yang diderita empat badan usaha milik negara (BUMN) -- PT Dirgantara Indonesia, PT Kereta Api, PT Pupuk Sriwijaya (Pusri), dan PT Taspen -- sungguh mengejutkan, sekaligus menambah buram potret BUMN kita. Ketika kita masih terbengong-bengong oleh skandal letter of credit sebesar Rp 1,7 triliun yang melanda Bank BNI, akhir pekan lalu tiba-tiba terkuak kenyataan lain: keempat BUMN tadi menderita kerugian demikian besar. Dalam lima tahun terakhir (1998-2002), keempat BUMN itu total merugi sebesar Rp 17,09 triliun.

Kita sungguh terkejut karena angka itu bukan merupakan potensi kerugian (potential loss), melainkan sudah menjadi kerugian nyata. Artinya, kerugian memang sudah benar-benar tertoreh (actual loss) -- dan karena itu harus ditanggung dengan segala konsekuensinya. Padahal di samping kerugian nyata ini, keempat BUMN ini juga masih menanggung potential loss senilai Rp 2,65 triliun.

Kita lebih terkejut lagi karena actual loss sebenarnya bisa dihindari kalau saja masing-masing BUMN bersangkutan benar-benar menerapkan praktik terbaik dalam mengelola usaha (good corporate governance). Justru itu, kalau saja kerugian besar ini tertoreh sebagai konsekuensi fungsi sosial yang diemban masing-masing BUMN, kita masih bisa maklum. Tapi fakta di lapangan justru menampik itu: keempat BUMN -- seperti juga kebanyakan BUMN lain -- boleh dikata sudah tak lagi mengemban fungsi sosial ini.

Tengok saja PT Kereta Api, misalnya. Sebagian terbesar rangkaian kereta api yang mereka gelar sekarang ini lebih ditujukan bagi masyarakat berduit. Istilah kelas tiket pun jelas sekali menunjukkan semangat itu: kelas bisnis dan kelas eksekutif.

Bagaimana dengan kereta api kelas ekonomi? Jujur saja, PT Kereta Api sudah sangat sedikit menggelar jasa kereta api yang mengemban fungsi sosial itu. Meski menerima dana kompensasi (public service obligation), pihak manajemen memerlakukan kereta api kelas ekonomi ini dengan sikap ogah-ogahan.

Justru itu, kerugian yang diderita Kerata Api selama lima tahun terakhir -- sebesar Rp 2,9 triliun (actual loss) plus Rp 1,14 triliun (potential loss) -- bukan sebagai konsekuensi menggelar layanan yang berfungsi sosial (kereta api ekonomi). Kerugian itu lebih karena faktor manajemen yang tidak profesional.

Memang, menurut hasil audit, kerugian itu antara lain terkait dengan tingginya angka penumpang tak bertiket -- terutama di kelas ekonomi. Tapi, bagaimanapun, persoalan teknis semacam itu bisa dihindari atau dicegah bila asas manajemen modern benar-benar konsekuen dan konsisten diterapkan. Justru itu, lagi-lagi persoalan pun bermuara pada sikap-tindak manajemen yang tidak profesional sesuai tuntutan asas good corporate governance.

Begitu juga dengan PT Pusri: kerugian tertoreh karena inefisiensi. Kalau ditelisik, inefisiensi itu sendiri menggejala karena pihak manajemen gagal mengantisipasi perubahan kebijakan pemerintah. Ketika pemerintah mencabut subsidi pupuk, dan tata biaga komoditas tersebut dibebaskan, manajemen PT Pusri kelabakan oleh kenyataan yang mereka hadapi: permintaan pasar menurun. Strategi mereka menyiasati kenyataan itu pun ternyata malah melahirkan banyak piutang tak tertagih alias macet.

Tampaknya, PT Pusri telanjur keenakan oleh pola lama yang mengondisikan perusahaan menggeliat bukan karena dinamika pasar, melainkan lebih karena kebijakan pemerintah berupa kucuran subsidi produk dan tata niaga komoditas yang mereka hasilkan. Asas good corporate governance pun, notabene demikian gencar didengungkan dalam beberapa tahun terakhir, nyaris tak memiliki makna bagi kiprah bisnis PT Pusri ini. Sikap mereka yang telanjur keenakan oleh kebijakan pemerintah membuat asas good corporate governance hanya menjadi slogan.

Tapi mungkin kerugian yang tertoreh ini tak sepenuhnya merupakan kesalahan atau kelemahan pihak manajemen BUMN. Boleh jadi, pemerintah juga punya andil. Sedikit banyak, sikap-tindak atau kebijakan pemerintah sendiri seolah mengondisikan BUMN sulit bisa bergerak profesional. Penunjukan direksi, misalnya, hampir selalu beraroma KKN. Kepentingan tertentu di luar konteks bisnis BUMN sendiri acap lebih menentukan dalam pemilihan direksi ini ketimbang aspek kualitatif berupa kecakapan atau profesionalisme.

Lalu bagaimana? Tak bisa lain, mengharapkan BUMN benar-benar profesional dan konsekuen menerapkan asas good corporate governance jelas menuntut perubahan sikap mental secara mendasar: di kalangan direksi BUMN sendiri maupun di jajaran pengambil kebijakan di pemerintahan. Cerita atau laporan tentang BUMN menanggung rugi besar tak akan pernah berakhir selama soal sikap mental ini tak kunjung berubah. Padahal kerugian BUMN adalah juga kerugian publik: karena sedikit banyak itu langsung berimplikasi terhadap keuangan negara.

Jadi, haruskah kerugian BUMN ini tak pernah berakhir?***
Jakarta, 11 November 2003

07 November 2003

Net Importer Minyak

Dulu, setiap kali harga minyak mentah di pasar internasional melonjak di atas patokan dalam APBN, kita -- khususnya pemerintah -- bisa bersorak gembira. Ya, karena lonjakan itu membuat kita memeroleh rezeki nomplok (windfall profit) berupa selisih harga antara harga patokan dalam APBN dan harga yang terbentuk di pasar internasional. Makin banyak minyak yang kita ekspor, makin besar pula rezeki nomplok yang kita nikmati.

Tapi sekarang tidak lagi. Kenaikan harga minyak mentah yang jauh melampaui patokan dalam APBN justru terasa menyesakkan. Seperti sekarang ini: harga mentah di pasar internasional yang bertahan di atas 27 dollar AS per barel membuat pemerintah bisa menangguk windfall profit sebesar Rp 7 triliun. Tapi di lain pihak, kenaikan harga minyak mentah ini justru menorehkan tambahan subsidi bahan bakar minyak (BBM) sebesar Rp 11 triliun.

Walhasil, pemerintah pun harus menombok APBN sebesar Rp 4 triliun untuk menambah subsidi BBM. Apa boleh buat karena subsidi yang dipatok dalam APBN hanya sekitar Rp 14 triliun, gara-gara harga minyak mentah naik jauh di atas patokan APBN, membengkak menjadi sekitar Rp 21 triliun.

Kenyataan itu bisa terjadi karena di samping mengekspor, kini kita juga mengimpor minyak mentah -- bahkan plus BBM -- dengan volume yang hampir setara dengan ekspor. Dalam ungkan keren, kita sekarang ini sebenarnya sudah menjadi net importer minyak.

Dirjen Migas Iin Arifin Takhyan membeberkan, setiap tahun kita kini rata-rata mengimpor minyak mentah -- untuk diolah di kilang-kilang Pertamina -- sebanyak 250.000 barrel per hari. Di sisi lain, impor BBM dalam setahun sekitar 150.000 hingga 250.000 barel per hari sesuai kebutuhan pasar dalam negeri.

Kebutuhan akan BBM sendiri di dalam negeri terus meningkat. Padahal cadangan minyak kita sudah mulai berkurang -- hingga kilang-kilang di dalam negeri yang total berkapasitas 1 juta barel minyak pun hanya terpenuhi rata-rata 750.000 barel per hari. Itu pula yang memaksa pemerintah kini mengimpor minyak mentah rata-rata sebanyak 250.000 barel per hari.

Untuk mengurangi jumlah impor, produksi minyak di dalam negeri jelas harus digenjot. Pemerintah sendiri, dalam kaitan ini, terus berupaya mengundang investor agar tergerak melakukan eksplorasi dan eksploitasi guna mencari cadangan baru minyak di perut bumi kita.

Tapi itu tidak mudah. Itu bukan saja terkait dengan iklim investasi di dalam negeri -- notabene dewasa ini secara keseluruhan kurang menggairahkan kalangan pemilik modal --, melainkan juga terutama amat bergantung pada kenyataan bahwa kegiatan eksplorasi dan eksploitasi cadangan baru minyak ini membutuhkan waktu relatif lama.

Itu berarti, paling tidak dalam jangka pendek dan menengah kita masih sulit menekan impor minyak mentah. Terlebih lagi peningkatan konsumsi BBM di dalam negeri tampaknya sulit dibendung. Dengan kata lain, entah hingga berapa lama lagi -- atau jangan-jangan selamanya -- kita akan tetap menjadi net importer minyak.

Kesadaran tentang itu sungguh penting -- karena posisi kita sebagai net impoter minyak ini melahirkan implikasi tidak ringan terhadap beban keuangan negara. Dalam konteks ini, kita harus menyadari bahwa subsidi BBM sebenarnya makin tidak relevan. Seperti paparan di atas, dari segi anggaran negara, subsidi BBM sungguh tidak produktif.

Pemerintah sendiri, sebenarnya, sudah mulai mengurangi subsidi BBM ini sejak 1999 silam. Implikasinya, setahap demi setahap, harga BBM tak lagi terasa murah-meriah seperti di masa lalu. Bahkan, pada tahun anggaran mendatang, hanya tinggal minyak tanah yang masih memeroleh subsidi pemerintah ini. Itu pun spesifik diperuntukkan bagi kalangan rumah tangga dan usaha kecil menengah (UKM).

Langkah pengurangan subsidi ini tampaknya akan terus berlanjut sampai akhirnya -- sesuai UU Propenas -- tak lagi dikucurkan. Lalu, sebagai kompensasinya -- seperti sudah dilakukan selama tiga tahun terakhir -- dana subsidi BBM ini disalurkan ke sektor-sektor tertentu yang lebih mengusung fungsi manfaat bagi kehidupan masyarakat banyak, khususnya kalangan lapisan bawah.

Secara prinsip, kita setuju terhadap langkah pengurangan atau penghapusan subsidi BBM ini. Tapi kita perlu menekankan bahwa program kompensasi harus dibuat lebih terarah lagi. Melihat apa yang terjadi di lapangan selama ini, pelaksanaan program kompensasi subsidi BBM masih banyak melenceng alias tidak benar-benar tepat sasaran. Justru itu, program tersebut selama ini amat kental mengundang persepsi sebagai langkah yang menyengsarakan rakyat kecil.***
Jakarta, 07 November 2003

02 November 2003

Evian Approach Kok Ditampik?

Beban utang pemerintah sudah demikian berat dan potensial menjadi jebakan utang (debt trap) di masa datang. Memang, sekarang ini risiko gagal bayar (default risk) utang pemerintah ini sudah menurun lumayan berarti. Bisa dipahami jika kepercayaan kalangan investor dalam maupun luar negeri terhadap kemampuan pemerintah mengelola utang pun membaik kembali. Karena itu pula, stabilisasi kurs rupiah sudah mulai bisa tercipta.

Di sisi lain, tingkat bunga juga terdorong turun signifikan. Sementara lembaga pemeringkat utang internasional seolah berlomba memerbaiki (upgrade) peringkat utang kita. Setelah Moody's, Standar & Poor's pun ikut-ikutan mendongkrak peringkat utang kita ini.

Penurunan default risk ini juga tercermin dalam penciutan cukup berarti rasio utang Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) selama beberapa tahun terakhir. Jika tiga tahun lalu rasio utang Indonesia ini masih sekitar 100 persen, tahun ini angka itu sudah menurun menjadi sedikit di atas 70 persen PDB.

Jelas kenyataan yang menunjukkan bahwa default risk ini menurun bukan sesuatu yang terjadi dengan sendirinya. Kenyataan itu adalah buah berbagai langkah yang diayunkan pemerintah. Sebut saja penataan ulang profil (reprofiling) obligasi yang jatuh tempo, pembelian kembali (buy back) obligasi, juga stabilisasi makro ekonomi.

Pemerintah sendiri menyatakan bahwa kebijakan-kebijakan yang bersipat mengurangi risiko default dalam membayar utang yang jatuh tempo dalam waktu dekat ini masih akan digulirkan. Reprofiling obligasi, misalnya, ke depan ini dilakukan lagi -- khususnya, seperti kata Menkeu Boediono -- melalui mekanisme pasar, tidak lagi bilateral seperti selama ini.

Walhasil, paling tidak untuk dua tahun ke depan, pemerintah terhindar dari kewajiban membayar utang yang jatuh tempo dalam jumlah besar. Dampaknya juga lumayan: membantu meringankan beban keuangan negara di tengah kondisi pasca-IMF yang memaksa APBN harus dikuras banyak untuk membayar utang. Tahun depan, misalnya, dana APBN yang harus dialokasikan untuk membayar utang kepada IMF yang jatuh tempo ini bernilai sekitar 2 miliar dolar AS.

Tetapi kita tak boleh terlena dan lengah. Bisa-bisa default risk kelak benar-benar tak bisa kita hindari lagi -- karena beban utang sudah amat menggunung dan menjadi perangkap. Terus-terang, perangkap jebakan utang ini makin serius membayangi kita. Apa mau dikata, memang, karena langkah-langkah seperti reprofiling obligasi yang dilakukan pemerintah pada dasarnya tak lebih dari sekadar menggeser beban utang saat ini ke masa depan.

Jadi, default risk yang sudah bisa dihindari pemerintah sebenarnya adalah kelegaan semu -- karena sama sekali tidak mengurangi beban utang. Bahkan berbagai langkah yang ditempuh pemerintah untuk itu malah membuat utang di masa depan kian menggunung. Justru itu, jika tak awas, beban utang ini kelak benar-benar menjadi perangkap yang mematikan. Rasio utang terhadap PDB pun pasti membengkak lagi. Konsekuensi lebih jauh, kepercayaan dunia internasional terhadap ekonomi kita bisa benar-benar luntur. Ini niscaya melahirkan efek lanjutan yang sungguh mencemaskan karena bisa membuat ekonomi kita hancur.

Semangat itu pula yang disiratkan DPR, pekan lalu, dengan mendesak pemerintah agar mengupayakan fasilitas rescheduling utang ini kepada para kreditur. Memang, sebagai konsekuensi pengakhiran program kerja sama dengan IMF pada akhir tahun ini, kita tak bisa lagi berharap menikmati fasilitas rescheduling utang di forum Paris Club. Tetapi, amat kebetulan, akhir Oktober lalu Kelompok Delapan Negara Maju (G-8) menyepakati kebijakan baru yang disebut Evian Apprroach.

Kebijakan itu merujuk pada skema baru pengurangan beban utang bagi negara yang tidak tergolong miskin atau non-HIPIC (Heavily Indebted Poor Income Country). Melalui Evian Approach, negara debitur berkesempatan menegosiasikan utang luar negeri secara bilateral dengan negara kreditor.

Namun belum-belum seorang pejabat kita sudah menyatakan bahwa Indonesia tidak akan memanfaatkan fasilitas Evian Approach ini. Konon, itu karena sekarang ini kita masih mampu membayar utang.

Terus-terang, kita menilai pernyataan itu terkesan sombong dan angkuh. Pernyataan itu amat menyepelekan risiko kita terjebak beban utang di masa datang. Sekarang ini kita memang masih mampu membayar utang. Tapi, sekali lagi, pada tahun-tahun mendatang beban utang kita tidak makin berkurang.

Justru itu, mestinya kita arif memelajari berbagai kemungkinan dan peluang mengurangi beban utang ini -- termasuk menimbang Evian Approach. Sudah tak sepantasnya lagi kita mati-matian mematut diri menjadi a good boy dalam soal utang luar negeri ini. Bagaimanapun itu terlalu mewah dan menipu diri.***
Jakarta, 2 November 2003

25 Oktober 2003

Kredit Bermasalah

Mungkin benar, seperti kata beberapa pengamat ekonomi, tingkat kredit bermasalah (NPL) di perbankan nasional saat ini belum membahayakan. Memang Gubernur Bank Indonesia Burhanuddin Abdullah menyatakan bahwa NPL di perbankan nasional ini belakangan cenderung naik. Tapi tingkat NPL kotor (gross) sebesar 8,3 persen pada akhir triwulan III/2003 masih terbilang relatif aman.

Kendati demikian, kita patut tetap merasa risau oleh kemungkinan bahwa NPL yang belakangan ini cenderung meningkat itu terkait dengan perilaku buruk bank-bank sendiri. Adalah ekonom Dradjad Wibowo yang mengungkapkan bahwa kalangan perbankan nasional mulai memperlihatkan lagi praktik lama yang sudah terbukti menjadi biang kehancuran industri perbankan di dalam negeri.

Praktik lama itu, antara lain, penggelembungan (mark up) plafon kredit. Dalam rangka memenangi persaingan merebut nasabah bonafid, mereka berani menaikkan plafon kredit di atas kebutuhan calon debitur. Kenyataan tersebut jelas potensial menimbulkan NPL.

Di sisi lain, kalangan perbankan ini juga mulai berani melanggar prinsip pengenalan nasabah (know your customer). Keberanian tersebut melahirkan sikap-tindak ceroboh dalam mengucurkan kredit. Rambu-rambu kehati-hatian perbankan (prudential banking) seolah tak berarti lagi. Ini juga potensial menorehkan NPL.

Yang mencemaskan, tindakan kolutif dalam penyaluran kredit justru mulai menggejala lagi. Itu akibat munculnya kembali benturan kepentingan antara pegawai bank dan debitur. Mungkin dalam kaitan itu pula, analisis dan manajemen risiko pun tak konsisten diterapkan.

Justru itu, kalau saja berbagai kecenderungan tadi terus berlangsung, bukan tidak mungkin NPL di tubuh perbankan nasional ini terus meningkat menembus level yang tak lagi bisa dipandang aman. Itu sungguh berbahaya karena bisa menyeret industri perbankan di dalam negeri kembali terjerembab ke dalam krisis. Padahal krisis yang telanjur terjadi pun membutuhkan biaya pemulihan demikian mahal dan harus ditanggung negara dengan menyuntikkan obligasi rekap.

Kecenderungan ke arah kondisi yang mencemaskan itu sendiri sebenarnya sudah mulai menggejala -- dan karena itu masalah NPL di perbankan nasional ini tak bisa kita hadapi dengan sikap tenang-tenang saja. Seperti dipaparkan Dradjad pula, elastisitas perkembangan NPL perbankan -- terutama bank-bank BUMN -- kini sudah mulai mengkhawatirkan. Itu ditunjukkan oleh rasio antara persentase perubahan NPL dengan persentase perubahan penyaluran kredit. Elastisitas NPL Bank BNI, misalnya, mencapai 2,40 persen. Sementara elastisitas NPL Bank BTN 3,23 persen dan Bank BRI -0,14 persen.

Elastisitas itu mencerminkan persentase NPL naik atau turun manakala penyaluran kredit naik atau turun satu persen. Idealnya, untuk satu persen kucuran kredit tertoreh pertumbuhan NPL negatif. Tetapi belakangan ini, katanya, sudah terlihat pertumbuhan NPL yang semakin cepat dibanding jumlah kredit yang dikucurkan sehingga potensial menimbulkan menggoyahkan stabilitas perbankan nasional secara keseluruhan. Jika Bank BNI menambah kredit, misalnya, NPL mereka bertambah 2,40 persen. Sementara bagi Bank BRI, penambahan kredit ini membuat NPL mereka justru berkurang 0,14 persen.

Karena itu, meski NPL gross sejauh ini tergolong relatif aman, semakin besarnya elastisitas NPL ini perlu kita lihat dan kita perlakukan sebagai peringatan dini. Kalau saja kita lengah atau abai, amat mungkin tingkat NPL perbankan ini kian tinggi dan menjadi sumber malapetaka lagi bagi kehidupan ekonomi nasional kita -- lengkap dengan segenap ongkos pemulihan yang harus kita keluarkan.

Untuk itu, Bank Indonesia jelas dituntut memerketat pengawasan dan penerapan manajemen risiko, terutama risiko pasar, risiko kredit, risiko likuiditas, risiko operasional, risiko legal dan peraturan, dan risiko kesalahan manusia.
Dalam konteks ini, Bank Indonesia juga dituntut bersikap konsisten dan lugas menerapkan aturan main: bank yang memiliki rasio NPL bersih di atas 5 persen jumlah kredit yang disalurkan segera dimasukkan ke pengawasan intensif Bank Indonesia.

Kita tentu sepakat bahwa bagaimanapun perbankan nasional jangan sampai terjerumus lagi ke jurang kehancuran sebagaimana terjadi saat krisis pada 1997 silam. Krisis tersebut sudah terbukti amat memukul kehidupan ekonomi kita, di samping menuntut ongkos pemulihan yang sungguh mahal.

Yang lebih penting lagi, kita amat tak menghendaki sumber penyakit yang mengakibatkan perbankan nasional didera krisis tetap menggejala. Kita selayaknya tak sedikit pun memberi ruang bagi bank-bank berperilaku sembrono dalam menyalurkan kredit. Karena itu, sekali lagi, perkembangan NPL perbankan kita -- meski di atas kertas terbilang masih aman -- tak kita pandang remeh. Kita tak boleh abai sedikit pun.***
Jakarta, 25 Oktober 2003

22 Oktober 2003

KTT APEC Di Bangkok

Dalam konteks ekonomi, Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di Bangkok, yang berakhir kemarin, tak menorehkan keputusan monumental-strategis. Apa yang tertoreh dalam pertemuan puncak di Bangkok ini sekadar berupa semangat dan komitmen para pemimpin ekonomi APEC untuk menggulirkan kembali perundingan tentang perdagangan multiletaral di bawah Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Memang, keputusan itu juga penting: mencairkan kembali kebekuan mengenai pembicaraan tentang sistem perdagangan dunia, menyusul gagalnya konferensi tingkat menteri WTO di Cancun (Meksiko), September lalu. Semangat dan komitmen para pemimpim ekonomi APEC ini memberikan harapan ke arah sistem perdagangan dunia yang bebas dan fair.

Konferensi tingkat menteri WTO di Cancun sendiri gagal justru karena perundingan-perundingan yang berlangsung terkesan menafikan faktor fairness ini. Kenyataan itu terjadi karena kelompok negara maju berkukuh mendesakkan kepentingan mereka yang justru merugikan kelompok negara berkembang, khususnya menyangkut perdagangan komoditas pertanian.

Meski begitu, apa yang dihasilkan KTT APEC di Bangkok tetap terasa kurang greget. Perhelatan tersebut makin meneguhkan kesan bahwa APEC sudah tidak fokus pada soal perdagangan, investasi, dan isu-isu ekonomi. Isu-isu tersebut tenggelam oleh isu politik-keamanan yang didesakkan AS. Karena itu pula, APEC seperti kian mengabaikan misi awal saat didirikan pada tahun 1989: mendorong Asia Pasifik menjadi kawasan perdagangan bebas dan membebaskan aliran investasi investasi dari berbagai hambatan.

Dengan kata lain, sekali lagi, keputusan yang dihasilkan dalam pertemuan puncak di Bangkok ini tak memiliki makna strategis-fenomenal seperti KTT APEC di Bogor pada 1994, misalnya, yang menghasilkan Deklarasi Bogor. Melalui deklarasi itu, APEC dicanangkan menjadi kawasan bebas perdagangan dan arus investasi pada tahun 2010 untuk anggota maju dan tahun 2020 untuk anggota dengan perekonomian terbelakang.

Deklarasi Bogor sendiri kini seperti tinggal sekadar manuskrip sejarah -- karena tak lagi ditindaklanjuti ke level langkah-langkah implementasi. Akibat dominasi pengaruh AS, patut kita akui, masing-masing pemimpin APEC seolah dipaksa melupakan semangat menggulirkan peraturan-peraturan yang mengikat tiap anggota membuat APEC terhampar mulus sebagai kawasan perdagangan bebas. Pembicaraan-pembicaraan dalam KTT APEC di Bangkok justru lebih intens masuk ke isu-isu politik dan terorisme.

Justru itu, APEC sulit diharapkan mampu mewujudkan cita-cita atau sasaran semula: menjadi kekuatan raksasa yang amat menentukan hitam-putih ekonomi dunia. Selama tidak segera kembali ke "khittah", APEC tidak lebih sekadar kumpulan ekonomi yang tidak sinergis. Justru itu, pamor APEC sebagai raksasa ekonomi yang harus diperhitungkan pun pelan-pelan bisa tenggelam.

Semula kita berharap pertemuan puncak di Bangkok ini mampu membawa APEC kembali ke rel semula: fokus pada semangat liberalisasi perdagangan dan investasi. Tetapi dominasi AS yang begitu bersemangat menggiring APEC ke wilayah politik demikian kukuh. Tak heran jika gagasan pihak Thailand untuk memercepat liberalisasi bagi ekonomi berkembang dari 2020 menjadi 2013 pun seperti menguap begitu saja.
Bagi Indonesia sendiri, KTT APEC di Bangkok itu seharusnya amat strategis: merupakan wahana untuk memerjuangkan kepentingan nasional agar tidak serta-merta luruh tergusur semangat liberalisasi yang digulirkan negara-negara lain. Maklum, memang, karena kita sebenarnya belum benar-benar siap memasuki liberalisasi perdagangan dan investasi ini. Bahkan banyak aturan dalam WTO sendiri yang sulit kita terapkan.
Karena itu, mestinya, isu-isu dalam kerangka liberalisasi perdagangan dan investasi dibicarakan intens dalam KTT APEC di Bangkok ini. Tetapi, itu tadi, pembicaraan-pembicaraan dalam pertemuan puncak tersebut melenceng ke isu-isu politik. Dalam konteks ini pula, PM Malaysia Mahathir Mohammad menyatakan bahwa AS telah menyelewengkan APEC dari semula forum ekonomi menjadi forum politik.

Sayang, memang, pemimpin ekonomi yang memiliki keberanian dan rasa percaya diri bersikap berseberangan dengan AS ini hanya terlihat pada diri seorang Mahathir. Lebih sayang lagi, karena Mahathir segera lengser dari tampuk kekuasaan di negerinya. Sementara pemimpin-pemimpin ekonomi lain belum terlihat siap bersikap penuh percaya diri seperti Mahathir. Seperti dalam KTT APEC di Bangkok ini, mereka amat terkesan luruh dan manut-manut saja terhadap agenda yang didiktekan George W Bush selaku pemimpin ekonomi AS.

Karena itu, tampaknya APEC masih tetap akan melupakan misi awal: menjadi forum ekonomi. Pembicaraan-pembicaraan dalam keragka APEC ke depan ini, boleh jadi, masih tetap lebih banyak menapak pada isu-isu politik yang menjadi kepentingan AS. Padahal begitu banyak isu dan aspek strategis yang mendesak dibahas menjelang liberalisasi perdagangan dan investasi sesuai Deklarasi Bogor.***
Jakarta, 22 Oktober 2003

10 Oktober 2003

Integrasi Ekonomi ASEAN

Sejauh kesan yang kita tangkap, semangat para pemimpin ASEAN menyangkut integrasi ekonomi ASEAN amat menggebu-gebu. Tak heran jika pembicaraan tentang rencana pembentukan Komunitas Ekonomi ASEAN (AEC) dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-9 ASEAN di Bali, beberapa hari lalu, pun begitu mulus. Masing-masing segera bisa bersepakat bahwa AEC -- notabene menjadi sebagai salah satu pilar Bali Concord II yang ditandatangani ke-10 pemimpin anggota ASEAN dalam KTT ASEAN di Bali itu -- sudah terbentuk paling lambat pada 2020.

Bahkan dalam rangka integrasi ekonomi ini, forum ekonomi ASEAN menyepakati bahwa pasar bersama ASEAN -- khususnya meliputi 11 komoditas -- dipercepat dari tahun 2020 menjadi tahun 2010. Lebih menakjubkan lagi, para pemimpin negara ASEAN ini malah sudah sampai pada konsep Pasar Bersama ASEAN yang dimulai 3 tahun mendatang.

Memang, integrasi ekonomi ASEAN akan menciptakan pasar yang demikian luas dan amat menjanjikan. Dengan populasi penduduk yang sekarang ini saja sudah mencapai 500 juta jiwa dan nilai perdagangan 720 miliar dolar AS, ASEAN adalah sebuah pasar raksasa.

Karena itu, pasar bersama ASEAN niscaya membuat volume ataupun nilai perdagangan antarnegara ASEAN bisa meningkat berlipat-lipat. Selama ini, volume perdagangan intra-ASEAN hanya mencapai 21 persen dari total perdagangan ASEAN ke seluruh dunia. Dalam pasar bersama, volume perdagangan intra-ASEAN ini niscaya bisa meningkat menjadi 60 atau 70 persen sebagaimana dialami Uni Eropa yang telah lebih dulu mengintegrasikan ekonomi mereka.

Bagi sejumlah negara anggota ASEAN seperti Singapura, Thailand, atau Malaysia, semangat menggebu itu mungkin amat beralasan. Bahkan bagi mereka, integrasi ekonomi ASEAN tampaknya memang bukan lagi merupakan tantangan, melainkan sudah menjadi peluang yang niscaya harus bisa diraih -- karena infrastruktur ekonomi maupun pelaku bisnis mereka sudah siap bersaing. Peluang itu sendiri, bagi mereka, semakin menggiurkan karena perjanjian dagang internasional dalam kerangka Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dalam status quo, menyusul kegagalan perundingan di Cancun (Meksiko), baru-baru ini.

Lalu bagaimana dengan kesiapan kita sendiri? Patut diakui, kesiapan kita menghadapi integrasi ekonomi ASEAN ini masih kedodoran. Infrastruktur ekonomi ataupun pelaku bisnis kita sulit bisa diandalkan mampu menghadapi persaingan dalam konteks integrasi ekonomi ASEAN ini. Kadin Indonesia, misalnya, terus-terang menyatakan bahwa sekitrar 33 persen produk yang kita hasilkan masih membutuhkan proteksi pemerintah.

Dengan kata lain, masih cukup banyak komoditas kita belum siap digiring masuk ke pasar bebas ASEAN. Sebut saja produk otomotif: kesiapan kita di sektor bersangkutan jauh di bawah Thailand atau Malaysia. Tapi dalam forum ekonomi ASEAN di Bali, perdagangan produk otomotif ini justru disepakati termasuk salah satu obyek yang dipercepat dalam bingkai Pasar Bersama ASEAN 2010. Lucunya, dalam konteks itu, Indonesia sendiri ditunjuk menjadi koordinator percepatan jalur (fast track) perdagangan.

Tampaknya, dalam menghadapi integrasi ekonomi ASEAN ini, kita memang amat percaya diri. Namun terkesan kuat bahwa sikap itu kurang melihat pada realitas obyektif di lapangan. Jika tidak begitu, bagaimana mungkin seorang pejabat tinggi kita bisa mengaku optimis bahwa dalam konteks integrasi ekonomi ASEAN ini Indonesia paling siap dalam menjaring investasi.

Bagaimanapun, pernyataan seperti itu mengabaikan atau bahkan memanipulasi kenyataan obektif sekarang ini: iklim investasi kita amat tidak kondusif -- dan karena itu sulit bisa dikatakan kompetitif dalam menarik investor. Bukankah selama tiga tahun terakhir ini kita mencatat bahwa capital outflow jauh lebih besar daripada capital inflow? Artinya, investor asing yang hengkang ke luar jauh lebih banyak ketimbang mereka yang masuk menanam modal di sini. Jadi, bagaimana mungkin bisa dikatakan bahwa kita paling siap dalam menjaring investasi?

Karena itu, sepertinya kita terlampau percaya diri (over confidence) dalam menghadapi integrasi ekonomi ASEAN ini. Kita tidak tahu kenapa itu bisa terjadi. Yang pasti, kesepakatan tentang integrasi ekonomi ASEAN ini sudah ditandatangani menjadi perjanjian. Atinya, kita terikat untuk melaksanakan perjanjian tersebut.

Justru itu, berbagai pembenahan mendasar amat mendesak kita lakukan. Kita harus bisa segera membuat daftar inventarisasi masalah sekaligus merumuskan serta melaksanakan langkah-langkah yang membuat ekonomi kita benar-benar efisien dan berdaya saing.

Dalam konteks itu, kita dituntut amat konsisten dan konsekuen. Betapapun pahitnya langkah pembenahan yang harus kita lakukan, itu tetap kita tempuh. Jika saja kita tak konsisten dan tak konsekuen, integrasi ekonomi ASEAN niscaya malah menjadi malapetaka buat kita: dalam AEC, kita menjadi pihak yang tersingkir sebagai pemain -- dan karena itu kita cuma menjadi pasar bagi negara-negara anggota lain ASEAN.***
Jakarta, 10 Oktober 2003

03 Oktober 2003

Perang Melawan Korupsi

Kesadaran bahwa korupsi adalah penyakit berbahaya sebenarnya sudah lama tumbuh dalam diri kita. Kita sadar betul bahwa korupsi adalah praktik yang bukan saja tidak produktif, melainkan terutama berwatak destruktif. Sendi-sendi kehidupan sosial, ekonomi, ataupun politik bisa rontok dan hancur gara-gara digerogoti praktik korupsi ini. Banyak pelajaran dalam sejarah yang bisa kita petik tentang itu.

Karena itu, nurani kita tak pernah menyetujui praktik korupsi. Nurani kita yang paling dalam bahkan mencela praktik tersebut. Kita juga sadar betul bahwa fenomena korupsi adalah najis yang harus kita singkirkan jauh-jauh -- karena tak akan pernah membawa kita menjadi bangsa yang makmur, kuat, dan maju.

Tetapi kesadaran itu lebih banyak sekadar menjadi kesadaran. Dalam praktik keseharian, selama ini kita seolah kurang peduli. Kita tak pernah konsisten dan konsekuen menghindari ataupun mengenyahkan praktik korupsi. Bahkan acap kali kita -- langsung ataupun tidak -- turut terlibat dalam praktik tersebut. Paling tidak, sering kali kita terkondisi -- tanpa daya dan tanpa peduli -- menjadi bulan-bulanan atau obyek tindak korupsi.

Justru itu, korupsi pun begitu marak dalam kehidupan keseharian kita. Bahkan korupsi ini nyaris sudah menjadi bagian kehidupan kita. Saking parahnya, dalam berbagai dimensi, korupsi hadir tanpa malu-malu lagi. Praktik korupsi sudah begitu terang-benderang. Kita semua seolah sudah benar-benar tak berdaya menghadapi kenyataan itu. Dengan sedikit nyinyir bercampur getir kita seperti dipaksa membenarkan pendapat Bung Hatta dulu: bahwa korupsi di tengah kehidupan kita sudah membudaya ...

Itu pula, barangkali, yang membuat setiap gugatan terhadap fenomena korupsi ini selalu menjadi seolah hanya angin lalu. Sejenak gugatan itu memang membuat kita terperangah -- bahkan bereaksi positif. Tapi sejurus kemudian, kita kembali larut dalam ketidakpedulian atau ketidakberdayaan oleh berbagai tindak korupsi di sekeliling kita. Praktik korupsi di negeri kita akhirnya sekadar menjadi wacana mengasyikkan dalam berbagai forum diskusi, seminar, atau talk show di layar televisi.

Apakah kenyataan seperti itu pula yang akan terjadi setelah dunia usaha nasional yang tergabung dalam wadah Kadin Indonesia menyatakan perang terhadap praktik suap? Entahlah. Hanya perjalanan waktu yang akan memberi jawaban tentang itu.

Tetapi pernyataan Kadin ini sungguh menjanjikan -- karena tegas-tegas menunjukkan sikap perlawanan terhadap praktik suap yang notabene merupakan wujud lain tindak korupsi. Terlebih perlawanan itu terasa begitu heroik karena langsung dicanangkan dalam bentuk kampanye nasional antisuap yang ditandai oleh penandatanganan sebuah pakta -- Pakta Antisuap Dunia Usaha. Pakta ini tak hanya ditandatangani oleh pentolan-pentolan Kadin, melainkan juga diteken oleh 45 wakil pengusaha, asosiasi dan himpunan pengusaha, lembaga pendidikan, koperasi, usaha kecil menengah, dan media massa nasional.

Kita layak menaruh harapan terhadap tekad yang dicanangkan Kadin ini. Diakui ataupun tidak, dunia usaha adalah salah satu pihak yang selama ini telah menumbuhsuburkan praktik suap bin korupsi ini. Sudah menjadi rahasia umum bahwa dunia usaha kita lazim menjadikan suap, sogok, upeti, atau apa pun istilahnya sebagai senjata andalan untuk melicinkan kegiatan bisnis. Justru itu, suap dalam dunia usaha nasional selama ini praktis sudah menjadi bagian integral kegiatan produksi.

Tetapi sikap-tindak korupsi yang semakin parah dan merambah ke mana-mana telah membuat suap kian menjadi beban. Rata-rata nilai nominal yang harus dikeluarkan dunia usaha untuk keperluan suap ini semakin hari semakin membengkak. Sampai-sampai kegiatan dunia usaha secara keseluruhan menjadi tak efisien lagi. Dunia usaha kita digayuti ekonomi biaya tinggi. Daya saing produk barang maupun jasa yang mereka hasilkan pun terus-menerus melorot.

Dengan kata lain, bagi dunia usaha nasional, praktik suap sekarang telah menjadi bumerang yang mematikan. Itu pula yang kemudian melahirkan sikap dan tekad mereka melakukan perlawanan dengan mencanangkan kampanye nasional antisuap sebagai langkah perlawanan dalam jangka pendek (2003-2004) dan perlawanan dalam jangka panjang lewat gerakan nasional antisuap (2005-2015).

Justru karena selama ini merupakan kelompok yang turut menumbuhsuburkan praktik suap, perlawanan dunia usaha nasional terhadap fenomena itu tentu bisa diharapkan membuatkan hasil nyata. Memang, hasil tersebut tak bisa segera. Bagaimanapun, praktik suap baru benar-benar bisa tersapu bersih setelah perlawanan dilakukan tanpa henti dan berpijak pada langkah aksi yang benar-benar nyata.

Itu berarti, segenap dunia usaha nasional dituntut konsisten dan konsekuen dalam memerangi praktik suap ini. Jika tidak, perlawanan mereka hanya akan menjadi sekadar deklarasi yang segera sirna dihembus angin.***
Jakarta, 3 Oktober 2003

26 September 2003

Kerahasiaan Bank

Pajak memang kian diandalkan sebagai sumber penerimaan negara. Kita tak mungkin lagi mengandalkan pinjaman sebagai sumber utama pembiayaan pembangunan nasional seperti di masa lalu. Utang kita sudah begitu bertumpuk-tumpuk. Sampai-sampai sekitar sepertiga penerimaan pajak kini terserap untuk mencicil utang ini.

Tapi kita paham betul bahwa upaya menarik pajak bukan pekerjaan mudah. Kalangan wajib pajak, dalam konteks ini, selalu berupaya menghindari kewajiban mereka. Paling tidak, mereka berupaya agar beban pajak mereka tak terlampau tinggi. Berbagai siasat pun mereka lakukan untuk itu -- termasuk bermain mata dengan oknum aparat pajak sendiri.

Mungkin itu merupakan bukti bahwa kesadaran wajib pajak kita amat rendah. Atau mungkin juga itu adalah cerminan bahwa patriotisme kita mulai luntur. Yang pasti, sejauh ini tax ratio kita masih terbilang rendah: hanya 13-an persen. Itu jauh di bawah rata-rata tax ratio kebanyakan negara lain sebesar 20 persen. Rendahnya angka tax ratio kita ini merupakan petunjuk nyata bahwa potensi pajak kita masih banyak lolos tak terjaring.

Karena itu, di tengah tuntutan kondisional yang menempatkan pajak kian jadi andalan penerimaan negara, pemerintah dituntut kerja ekstra keras. Berbagai kendala yang menghadang jelas harus bisa mereka siasati. Semangat pantang menyerah merupakan prasyarat untuk itu, di samping kaya gagasan mengenai langkah terobosan.

Tetapi kita sungguh kaget ketika diberitakan bahwa Panitia Anggaran DPR dan pemerintah yang diwakili Menkeu Boediono menyepakati perlunya pelonggaran kerahasiaan bank.
Kita tidak tahu persis ihwal pelonggaran yang dimaksud. Hanya, kita dibuat kaget karena kesepakatan tentang itu seperti menyederhanakan masalah. Bahwa selama ini prinsip kerahasiaan bank -- notabene diatur UU Perbankan -- amat terasa mengganjal upaya aparat pajak memaksimalkan penerimaan pajak, itu kita akui. Bahwa potensi penerimaan pajak di kalangan nasabah bank ini sekarang banyak tak bisa dijaring gara-gara tersekat kerahasiaan bank, itu juga betul.

Cuma, bagaimanapun, kerahasiaan bank sungguh amat prinsip dan sensitif. Justru itu, langkah pelonggaran prinsip kerahasiaan bank jelas berisiko: kenyamanan pemilik dana di perbankan nasional bisa terusik. Itu amat mungkin mendorong pelarian modal ke luar negeri (capital flight). Karena itu pula, bukan mustahil industri perbankan nasional pun jadi rontok.

Karena itu, pelonggaran kerahasiaan bank sungguh tak akan produktif. Tax ratio kita tak bakal serta-merta melonjak drastis. Sementara di lain pihak industri perbankan nasional hancur karena ditinggalkan nasabah.

Karena itu pula, kita tak habis pikir: bagaimana mungkin Menkeu Boediono bisa menyepakati ihwal pelonggaran kerahasiaan bank ini. Kita juga tak bisa paham bahwa wakil-wakil rakyat di Senayan bisa punya pikiran tentang itu. Apakah mereka tidak menyadari bahwa pelonggaran kerahasiaan bank akan menjadi blunder yang konyol bagi industri perbankan kita -- bahkan bagi ekonomi nasional secara keseluruhan?

Kita tidak tahu persis bagaimana sesungguhnya perdebatan dalam forum Raker Menkeu dengan Panitia Anggaran DPR hingga kemudian keluar rekomendasi tentang perlunya pelonggaran kerahasiaan bank ini. Yang jelas, Menkeu Boediono sendiri kemudian seolah meralat kesepakatan pemerintah dan Panitia Anggaran DPR itu. Boediono menyatakan bahwa pelonggaran kerahasiaan bank tidak mungkin dilakukan -- antara lain karena bisa berdampak negatif terhadap stabilitas moneter.

Lepas dari kesan bahwa sikap Menkeu mencla-mencle, kita gembira dan mendukung pendirian pemerintah tentang kerahasiaan bank ini. Pemerintah memang seyogyanya tegas berkukuh bahwa kerahasiaan bank adalah harga mati. Prinsip kerahasiaan bank adalah pertaruhan bagi nasib ekonomi nasional. Kita tentu tak ingin lagi menelan kepahitan dan kegetiran amat mendalam akibat kepercayaan masyarakat terhadap perbankan kita ambrol.

Namun, jelas, sejalan dengan itu kita juga perlu terus mencari strategi dan langkah terobosan -- termasuk pembenahan di berbagai lini dan aspek -- yang bisa mendongkrak angka tax ratio kita ke level ideal. Yakni level yang memberi indikasi bahwa potensi penerimaan pajak kita relatif tergarap baik alias tak banyak lolos. Dengan demikian, sesuai tuntutan kondisional, pajak benar-benar bisa menjadi andalan penerimaan negara.

Di samping itu, tak kalah mendasar dan amat mendesak dipikirkan adalah perbaikan tingkat penggunaan anggaran negara. Bukankah berbagai kalangan sudah sering mengingatkan bahwa sejauh ini penggunaan anggaran negara kita belum juga efisien? Bukankah praktik mark-up proyek sebagai sumber utama korupsi tetap saja meraja-lela -- bahkan makin menggila?

Kalau saja penggunaan anggaran negara ini bisa benar-benar efisien, hasil pajak yang relatif masih kecil dibanding potensi di lapangan tentu bisa memberi manfaat lebih luas dan lebih optimal bagi kehidupan kita bersama sebagai bangsa.***
Jakarta, 26 September 2003

23 September 2003

Independensi BI Direcoki?

Posisi Bank Indonesia (BI) lembaga independen harus terus bisa dipertahankan. Pengalaman menunjukkan, ketika masih merupakan subordinasi pemerintah, BI sering tak bisa optimal berperan menjaga stabilitas moneter dan keuangan. BI acap tak berdaya menghadapi intervensi atau bahkan diktean pemerintah yang notabene tidak selalu berada dalam koridor kepentingan moneter ataupun keuangan. Puncaknya ketika BI menggelontorkan sekian banyak dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Itu serta-merta menjadi langkah blunder karena terbukti bahwa kucuran BLBI banyak bermasalah -- sampai pun nyaris membangkrutkan BI sendiri.

Jadi, bagi BI, independensi adalah kebutuhan yang sama sekali tak bisa diabaikan. Dengan independensi, bank Indonesia bisa benar-benar fokus dan konsisten berperan menjaga stabilitas moneter. Itu sungguh menjadi modal berharga bagi kita -- meski bukan satu-satunya faktor -- untuk bangkit meninggalkan krisis ekonomi yang menyergap kita begitu telak pada medio 1997 silam.

Manfaat independensi BI ini bahkan sudah bisa kita nikmati sekarang. Lihat saja, kurs rupiah ataupun inflasi terus terkontrol pada level yang cukup memberi ruang bagi kegiatan ekonomi masyarakat. Di sisi lain, tingkat sukubunga perbankan juga mampu dikendalikan hingga mencapai posisi yang relatif rendah.

Terus-terang, kita sulit membayangkan kondisi seperti itu bisa tercipta kalau saja BI tidak independen seperti di masa lalu. Bahkan, boleh jadi, kondisi ekonomi nasional sekarang ini belum juga relatif membaik dibanding saat krisis ekonomi benar-benar berkecamuk.

Karena itu, kita terperanjat ketika sekonyong-konyol muncul usulan pemerintah tentang apa yang disebut Dewan Supervisi BI. Kita terperanjat karena tampaknya lembaga tersebut bisa menggerogoti independensi BI. Itu terutama karena, konon, Dewan Supervisi bisa merekomendasikan pemecatan Dewan Gubernur BI.

Mungkin apriori jika kita berasumsi bahwa peran dan fungsi Dewan Supervisi seperti itu bisa membuat BI tak lagi bisa independen. Tetapi tidak berlebihan jika kita juga khawatir atas kemungkinan bahwa kelak rekomendasi pemecatan menjadi komoditas politik dagang sapi. Terlebih lagi, siapa bisa menjamin bahwa rekomendasi Dewan Supervisi ini benar-benar obyektif alias benar-benar tidak mengusung kepentingan-kepentingan pihak tertentu? Kalaupun sungguh-sungguh obyektif, tetap saja sulit dijamin bahwa rekomendasi itu tidak dimanfaatkan pihak lain untuk menekan [impinan BI agar menggelar kebijakan sesuai kepentingan jangka pendek mereka. Justru itu, independensi BI pun sungguh menjadi taruhan.

Boleh jadi, Dewan Gubernur BI sendiri tak bakal mudah digertak atau ditekan oleh rekomendasi Dewan Supervisi ini. Tapi sedikit ataupun banyak, rekomendasi tersebut pasti punya pengaruh terhadap konsentrasi kerja mereka. Seperti kata Deputi Senior Gubernur BI Anwar Nasution, rekomendasi itu pasti terasa merecoki kiprah pimpinan BI.

Walhasil, keberadaan Dewan Supervisi BI ini terasa tak urgen -- bahkan cenderung bisa melahirkan suasana tidak produktif di tengah tuntutan aktual-obyektif yang dihadapi BI. Karena itu, kita sungguh memahami sikap pimpinan BI yang serta-merta menolak gagasan tentang pembentukan Dewan Supervisi ini.

Bahwa akuntabilitas BI perlu terus ditingkatkan, kita setuju seratus persen. Kita sependapat bahwa independensi jangan sampai membuat BI tak bisa dikontrol ataupun disentuh pihak lain. Bagaimanapun kiprah BI tetap harus bisa dikendalikan hingga tidak keluar koridor yang kita sepakati. Dengan kata lain, kita sangat tak menginginkan bahwa dengan dan atas nama independensi, BI bisa bablas melangkah tanpa bisa diingatkan pihak lain. BI tidak boleh menjadi seperti negara dalam negara.

Untuk itu, keberadaan BI memang tetap membutuhkan kontrol. Tetapi itu tidak berarti bahwa BI perlu didampingi lembaga baru seperti Dewan Supervisi yang diusulkan pemerintah. Sebab, bukankah selama ini mekanisme kontrol terhadap BI ini sudah terwadahi melalui peran dan kontrol DPR? Secara politis kebijakan, setiap saat DPR bisa melakukan kontrol terhadap langkah-langkah BI. Lalu, secara teknis administrasi keuangan, BI juga selalu diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Apakah peran DPR dan BPK dalam rangka menegakkan akuntabilitas BI ini masih kurang? Jika itu yang menjadi soal, mestinya pemerintah mendesak DPR dan BPK agar lebih meningkatkan dan fungsi mereka. Tapi kita lebih khawatir, jangan-jangan gagasan tentang pembentukan Dewan Supervisi ini lebih merupakan upaya merecoki independensi BI.***
Jakarta, 23 September 2003

Pasar yang Gurih

Menjadi negara dagang sebenarnya bukan aib. Bahkan itu bisa menjadi berkah yang menyejahterakan kehidupan kita bersama sebagai bangsa. Negara seperti Singapura atau Hong Kong adalah contoh terbaik tentang itu. Singapura dan Hong Kong adalah pasar atau arena dagang yang tak pernah sepi. Posisi kedua negara tersebut di pentas internasional malah begitu mencorong. Keduanya amat diperhitungkan karena turut menentukan irama dan arah bisnis global. Itu pula yang membuat Singapura mampu tampil sebagai negara yang makmur.

Kita juga tampaknya sudah mulai menjadi negara dagang. Tetapi berbagai kecenderungan yang memberi indikasi kuat tentang itu malah membuat kita prihatin dan cemas. Betapa tidak, karena kecenderungan itu mengarahkan kita sekadar menjadi pasar. Berbeda dengan Singapura atau Hong Kong, kita sepertinya terkondisi cuma menjadi tempat atau arena dagang bagi pihak lain. Kita tampaknya tidak banyak terlibat sebagai pelaku aktif dalam degup kehidupan perdagangan itu.

Coba saja simak indeks kapasitas produksi industri nasional yang terus merosot, sementara di lain pihak pertumbuhan konsumsi justru terbilang tinggi. Menurut catatan, indeks kapasitas terpakai industri kita melorot dari 51 persen pada Oktober 2002 menjadi 41 persen pada Januari 2003. Di sisi lain, indeks produksi justru turun dari 109,2 pada tahun 2000 menjadi 100,3 pada tahun 2002. Padahal pertumbuhan konsumsi meningkat terus.

Itu adalah petunjuk nyata bahwa pasar domestik kita telah dikuasai barang impor. Kenyataan tersebut diperkuat oleh data lain yang memperlihatkan bahwa selama periode Januari-Juli 2003, impor barang modal menurun 6,14 persen dibanding periode sama tahun lalu. Artinya, sektor produksi kita tidak melakukan ekspansi berupa peningkatan kapasitas produksi ataupun membuat proyek baru. Ini bukan saja mencerminkan bahwa produk industri nasional kewalahan menghadapi serbuan impor, melainkan juga kesulitan mengembangkan ekspor.

Gambaran itu kian gamblang tertoreh lewat data impor secara keseluruhan. Selama periode Januari-Juli 2003, total impor kita naik 11,7 persen dari 16,6 miliar dolar AS menjadi 18,54 miliar dolar AS pada periode tujuh bulan pertama tahun lalu. Artinya, aneka barang impor kian banyak menghambur masuk ke pasar dalam negeri.

Dalam konteks itu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa selama semester I/2003, negara yang paling banyak memasok barang ke Indonesia adalah Jepang (19,4 persen), AS (13,58 persen), dan Cina (9,8 persen). Justru itu, aneka produk negara-negara tersebut begitu bertebaran di pasar dalam negeri.

Negara-negara lain memang belum terlampau signifikan dalam memasok aneka produk mereka ke pasar domestik ini. Tapi itu tetap tak bisa dipandang enteng. Tengok saja produk mereka di pasar: sudah lumayan marak. Kita tak akan kesulitan mencari produk buatan India, Taiwan, Korea, Inggris, atau Swedia.

Anehnya, BPS sendiri selalu mencatat bahwa neraca perdagangan kita selama ini mampu menuai surplus. Artinya, nilai ekspor kita relatif lebih tinggi ketimbang impor. Tapi kemungkinan besar itu bias: karena aneka produk impor yang masuk melalui jalur ilegal (selundupan) tak pernah bisa dicatat. Sementara praktik penyelundupan itu sendiri, meski terbatas mencakup produk-produk tertentu, sudah terbilang serius.

Justru itu, kita sulit mengingkari bahwa sebenarnya pasar domestik kita sudah didominasi aneka produk impor -- entah resmi ataupun ilegal. Terlebih, itu tadi, data juga gamblang menunjukkan bahwa industri kita kini sudah tidak lagi mampu melakukan ekspansi.

Karena itu pula, ke depan ini perkembangan yang terjadi hampir pasti membuat kita harus lebih mengeluas dada: pasar domestik kita semakin serius dikangkangi aneka produk impor. Kita niscaya kian terkondisi hanya menjadi pasar, sementara kita sendiri semakin tersisih sebagai pelaku aktif.

Asumsi itu tak berlebihan. Pertama, karena kita belum melihat langkah konkret sebagai terobosan untuk menggairahkan iklim investasi di dalam negeri. Kalaupun keinginan atau wacana tentang itu dilontarkan pihak-pihak berwenang, implementasinya pasti tidak mudah -- dan karena itu membutuhkan waktu. Maklum karena terobosan tentang kebijakan investasi ini menuntut kerelaan banyak pihak untuk dipreteli peran atau kewenangannya.

Kedua, karena kita telanjur terikat oleh perjanjian perdagangan bebas (free trade agreement). Yang sudah pasti saja, kita sudah tak mungkin mengelaki perdagangan bebas di kawasan ASEAN (AFTA) yang kini mulai bergulir. Beberapa tahun kemudian, kita juga harus konsekuen mengikuti perdagangan bebas dalam kerangka kerja sama ekonomi Asia-Pasifik (APEC). Lalu, kita juga terikat oleh kesepakatan-kesepakatan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Dalam berbagai kesepakatan atau perjanjian perdagangan bebas itu sendiri, kita telanjur kebablasan. Kita terlampau berani membuka pasar domestik kita, sementara infrastruktur ekonomi-bisnis di dalam negeri justru tidak siap. Tak heran kita pun lantas menjadi pasar yang gurih tanpa kita banyak terlibat aktif sebagai pelaku.***
Jakarta, 12 September 2003

19 September 2003

White Paper

Program kebijakan ekonomi pemerintah pasca-IMF -- tertuang dalam sebuah dokumen buku putih (white paper) yang awal pekan ini diumumkan pemerintah -- sungguh amat menentukan perkembangan kita ke depan. Seperti kata Menkeu Boediono, program tersebut amat diharapkan mampu mengisi kesenjangan kredibilitas pemerintah setelah kita tak lagi terikat kerja sama pemulihan ekonomi dengan IMF. Kesenjangan kredibilitas ini memang amat riskan karena bisa melahirkan guncangan-guncangan dalam kehidupan ekonomi nasional. Justru itu, perekonomian kita pun bukan tidak mungkin mengalami kemunduran.

Pemerintah mungkin sudah berupaya keras menyiapkan program kebijakan ekonomi pasca-IMF ini. Paling tidak, proses penyusunan dokumen white paper ini -- yang terkesan alot hingga melampaui tenggat yang dibuat pemerintah sendiri -- bisa kita tangkap sebagai indikasi tentang itu. Semula pemerintah menjanjikan mengumumkan penerbitan dokumen white paper ini pada 16 Agustus 2003 dalam sidang paripurna DPR. Tapi ternyata dokumen yang tertuanga dalam Inpres No 5/2003 itu baru bisa diluncurkan sebulan kemudian, yakni Senin lalu (15/9).

Program kebijakan ekonomi pemerintah pasca-IMF ini memiliki tiga sasaran pokok, yaitu memelihara dan memantapkan stabilitas ekonomi makro yang sudah dicapai, melanjutkan restrukturisasi dan reformasi sektor keuangan, serta meningkatkan investasi, ekspor, dan penciptaan lapangan kerja.
Bahwa ternyata paket program kebijakan ekonomi pasca-IMF ini tidak bisa memuaskan semua pihak, itu bisa kita maklumi. Kita sadari penuh bahwa bagaimanapun sebuah produk -- terlebih itu menyangkut kebijakan yang akan sangat berpengaruh terhadap kehidupan ekonomi nasional -- tak mungkin benar-benar sempurna bak kitab suci. Tergantung kepentingan dan sudut pandang yang kita gunakan: paket kebijakan ekonomi pasca-IMF ini pun bisa terlihat seperti loyang atau emas.

Namun kalau keluhan mengenai isi white paper ini dilontarkan pelaku usaha, tampaknya kita tak bisa diam begitu saja dan menganggap keluhan itu tak istimewa. Selaku pihak yang berkepentingan langsung, pandangan dunia usaha tentang program kebijakan ekonomi pasca-IMF mungkin bukan sekadar soal kacamata yang digunakan. Pandangan itu, agaknya, bukan cuma sebuah penilaian, tinjauan, atau telaah yang lebih kental bernuansa teroritis sebagaimana lazim dikemukakan kalangan pengamat. Pandangan itu justru lebih merupakan reaksi menyangkut aspirasi atau harapan obyektif yang kandas.

Dunia usaha memang amat berharap terhadap program kebijakan ekonomi pasca-IMF ini. Mungkin melebihi pihak mana pun, termasuk pemerintah sendiri, bagi mereka program itu harus menjadi jalan yang membuat kendaraan bisa melaju mulus.

Karena itu, keluhan dunia usaha mengenai isi white paper ini tak layak kita pandang sebagai semacam celotehan atau gerutuan. Sekali lagi, keluhan itu sepatutnya kita perlakukan sebagai cerminan bahwa aspirasi dan harapan obyektif dunia usaha tentang perjalanan panjang pasca-IMF ternyata kandas.

Sejauh yang kita tangkap lewat pemberitaan di media massa, dunia usaha nasional menilai isi white paper lebih menonjolkan aspek makro yang sebenarnya menjadi porsi Program Pembangunan Nasional (Propenas). Padahal seharusnya white paper justru merupakan penjabaran teknis atas Propenas.

Dalam bahasa lebih gamblang, di mata dunia usaha kita, program kebijakan ekonomi pasca-IMF sama sekali tak memuat terobosan yang menjamin masa depan ekonomi nasional benar-benar bergerak aman dan nyaman. Apa mau dikata karena langkah-langkah yang ingin diayunkan pemerintah sungguh tidak jelas dan normatif. Untuk meningkatkan investasi dan ekspor, misalnya, program pemerintah itu mereka nilai tak menjanjikan langkah fundamental, strategis, dan operasional.

Di sisi lain, dunia usaha kita juga tak terlampau yakin terhadap sikap konsekuen dan konsisten pemerintah dalam mengimplementasikan isi white paper ini. Bagi mereka, boleh jadi isi white paper kelak terbukti hanya menjadi tumpukan kertas yang tidak menorehkan manfaat sebagaimana harapan semula.

Memang, keraguan -- tentang apa pun dan dilontarkan oleh siapa pun -- hampir selalu berbau prasangka negatif. Tetapi menilik kecenderungan selama ini, keraguan dunia usaha nasional terhadap konsistensi atau kesungguhan pemerintah menerapkan isi white paper ini bukan tanpa alasan -- dan karena itu boleh jadi benar. Kita tahu, IMF pernah beberapa kali menunda pencairan pinjaman justru karena pemerintah tidak konsisten terhadap butir-butir program ekonomi yang tertuang dalam letter of intent (LoI).

Karena itu, pemerintah tak selayaknya menganggap angin lalu mengenai penilaian dan kekecewaan dunia usaha soal isi white paper ini. Pada tempatnya, aspirasi itu menjadi alasan bagi pemerintah untuk langkah perbaikan menyangkut konsep programnya sendiri maupun jaminan implementasi. Betapapun, sekali lagi, dunia usaha adalah pihak yang berkepentingan langsung terhadap program kebijakan ekonomi pasca-IMF ini -- dan karena itu pandangan mereka bisa lebih obyektif.***
Jakarta, 19 September 2003

16 September 2003

Daftar Hitam FATF

Proses amandemen UU No 15/2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang tampaknya bisa rampung sebelum Financial Action Task Force (FATF) on Money Laundering menggelar sidang pleno di Swedia, awal 3 Oktober 2003. Sidang tersebut bagi kita sungguh kritis karena antara lain membahas keseriusan kita membangun rezim antipencucian uang. Kalau saja sidang pleno FATF menilai positif hasil amandemen UU No 15/2002 ini, kita boleh berharap urung dikenai sanksi mematikan: aktivitas ekonomi bisnis kita dengan dunia internasional diisolasi.

Hasil pembahasan amandemen UU No 15/2002 itu sendiri tinggal menunggu keputusan sidang peripurna DPR, Selasa ini. Kita berkeyakinan bahwa forum tersebut tak bakal menjadi batu sandungan. Artinya, sidang pleno DPR hampir pasti menyetujui hasil pembahasan amandemen yang dilakukan Komisi II DPR bersama pemerintah yang diwakili Depkeh/HAM itu.

Secara garis besar, hasil pembahasan amandemen UU No 15/2002 ini mencatat sejumlah klausul mendasar yang bisa diharapkan membuat dunia internasional -- khususnya sidang pleno FATF -- tak lagi menilai kita tidak serius membangun rezim antipencucian uang. Sebut saja cakupan tentang pengertian penyedia jasa keuangan diperluas. Begitu juga klausul tentang pengertian transaksi keuangan yang mencurigakan. Sementara klausul tentang jumlah hasil tindak pidana tak lagi dibatasi.

Di sisi lain, klausul tentang cakupan tindak pidana itu sendiri diperluas. Sedangkan jangka waktu penyampaian laporan transaksi keuangan yang mencurigakan dipersingkat.

Hasil pembahasan amandemen UU No 15/2002 ini juga menambah ketentuan baru yang menjamin kerahasiaan penyusunan dan penyampaian laporan transaksi keuangan mencurigakan yang disampaikan kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) atau penyidik. Kemudian ketentuan tentang kerja sama bantuan timbal balik di bidang hukum juga dipertegas.

Yang menarik, klausul denda minimum untuk tindak pidana pencucian uang ditetapkan Rp 100 juta, sedangkan maksimal Rp 15 miliar.

Melihat klausul-klausul seperti itu, tak beralasan lagi bagi FATF tetap menilai kita kurang serius dalam membangun rezim antipencucian uang ini. Justru itu, kita layak optimis bahwa sidang pleno FATF di Swedia pada awal Oktober ini urung menjatuhkan sanksi mematikan (counter measures) bagi kita. Hubungan perbankan nasional dengan bank-bank koresponden di mancanegara, misalnya, diputus total sehingga kita praktis terkucil dari komunitas ekonomi-bisnis dunia.

FATF memang berkepentingan agar berbagai negara mengadopsi semangat maupun aturan internasional yang mampu mencegah, mendeteksi, dan memberi sanksi terhadap segala tindak pencucian uang. Untuk itu, sidang pleno FATF akan mengkaji langkah-langkah nyata tiap negara dalam memerangi tindak pencucian uang ini. Lebih khusus lagi, FATF mengevaluasi kemajuan-kemajuan yang dilakukan sejumlah negara tertentu dalam mengatasi kelemahan peraturan dan kebijakan berkaitan dengan pembangunan rezim anti-money laundering.

Kita termasuk negara yang akan memperoleh evaluasi khusus itu. Maklum karena kita masuk daftar hitam negara tidak kooperatif (non-cooperative countries and territories/NCCTs) terhadap semangat dan aturan internasional memerangi tindak pencucian uang. Kita masuk daftar tersebut sejak tiga tahun lalu. Selama ini, FATF masih memberikan toleransi hingga kita tak terkena counter measures. Tapi jika dalam sidang pleno FATF mendatang ini kita masih saja dinilai tak serius membangun rezim antipencucian uang, toleransi itu sungguh tak bakal bisa kita nikmati lagi. FATF niscaya bertindak tegas menjatuhkan counter measures terhadap kita.

Karena itu, amandemen UU No 15/2002 -- notabene selama ini dinilai FATF masih banyak mengandung celah yang seolah memberi angin bagi tindak pencucian uang -- sungguh menentukan. Namun demikian, hasil amandemen itu sendiri boleh jadi tidak serta-merta membuat kita dikeluarkan dari daftar NCCTs.

Bercermin pada pengalaman beberapa negara, amat boleh jadi kita masih akan bercokol dalam daftar NCCTs. Dalam konteks ini, FATF sangat mungkin masih merasa perlu melihat langkah-langkah kita mengimplementasikan ketentuan perundangan tentang tindak pidana pencucian uang ini. Itu bisa berlangsung setengah tahun, setahun, atau mungkin lebih lama lagi -- tergantung hasil penilaian FATF sendiri.

Tetapi, memang, soal implementasi jauh lebih penting ketimbang aturan main. Terlebih, patut kita akui, dalam soal itu kita memang amat lemah. Kita acap membuat peraturan atau kebijakan yang begitu indah dan hebat. Namun pada tahap implementasi, peraturan itu menjadi sekadar omong kosong.

Karena itu, kemungkinan FATF tak serta-merta mencabut kita dari daftar NCCTs selepas kita mengamandemen UU No 15/2002 tak perlu membuat kita kehilangan semangat membangun rezim antipencucian uang. Bahkan sebaliknya, kemungkinan itu justru harus memacu kita lebih serius serta benar-benar konsisten dan konsekuen menerapkan UU No 15/2002 hasil amandemen. Dengan begitu, kita bisa berharap bahwa dalam tempo tak terlalu lama FATF mencabut kita dari daftar NCCTs.***
Jakarta, 16 September 2003

09 September 2003

Menyikapi Laporan Unctad

Laporan United Nations Conference on Trade and Development (Unctad) mengenai investasi dunia 2003 memang terasa menohok kita. Betapa tidak, karena laporan tersebut gamblang memerlihatkan bahwa daya saing kita dalam menarik investasi langsung oleh perusahaan asing (foreign direct investment) sungguh telah terpuruk habis. Menurut laporan itu, kinerja Indonesia dalam menarik investasi langsung oleh asing ini -- berdasar data selama periode 1999-2001 -- berada di posisi 138 dari 140 negara. Jadi, posisi kita adalah nomor 3 dari level terbawah dalam daftar negara yang dinilai Unctad. Posisi kita hanya lebih baik dibanding Gabon dan Suriname.

Meski terasa menohok, kenyataan itu mestinya menggugah kesadaran kita untuk segera berbenah dan memacu diri memoles iklim investasi kita menjadi menarik dan menggairahkan lagi. Bagaimanapun, investasi langsung sungguh teramat fundamental bagi kegiatan ekonomi kita sekarang ini di tengah tantangan mendesak yang kian terasa mencemaskan: angka pengangguran kian membengkak. Investasi langsung -- bukan investasi dalam fortofolio saham atau surat berharga -- adalah motor yang niscaya membuat ekonomi bergerak hingga mampu menyerap banyak tenaga kerja.

Tapi apa yang ditunjukkan pemerintah justru ibarat orang kebakaran jenggot. Menko Perekonomian, dalam kaitan ini, serta-merta sibuk membuat sanggahan bahwa laporan Unctad tadi kurang valid. Pertama, laporan itu menggunakan data periode 1999-2001 hingga tidak memberikan gambaran nyata kegiatan investasi di Indonesia hingga saat ini.

Kedua, laporan itu juga tidak mencakup investasi dalam portofolio saham ataupun surat berharga -- termasuk investasi asing melalui program privatisasi BUMN ataupun divestasi aset-aset di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Di samping itu, karena kealpaan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), investasi di sektor migas dan perbankan tak ikut masuk hitungan. Demikian juga investasi yang dilakukan oleh perusahaan asing melalui laba yang ditahan (retained earning) maupun investasi yang tak memerlukan perizinan baru.

Dengan itu semua, pemerintah terkesan berupaya meyakinkan publik bahwa laporan Unctad tadi keliru atau bahkan menyesatkan. Dengan kata lain, bagi pemerintah, gambaran investasi di Indonesia sebenarnya tak seburuk laporan Unctad. Di mata pemerintah, secara keseluruhan iklim investasi di Indonesia relatif masih baik -- antara lain karena investasi dalam fortofolio saham dan surat berharga tetap mengesankan, atau bahkan kini menunjukkan grafik yang cenderung terus menanjak.

Kita mengakui bahwa -- karena kelemahan sistem pencatatan di BKPM selama ini -- data investasi kita tidak lengkap. Karena itu, kita juga tidak mengingkari bahwa laporan Unctad tadi tidak mencerminkan gambaran sebenarnya kegiatan investasi di negeri kita.

Tetapi, bagaimanapun, laporan Unctad tetap tidak menutupi kenyataan yang sudah demikian kasat mata: daya saing investasi langsung di negeri kita sudah terpuruk jauh. Jangankan di tingkat realisasi proyek, bahkan baru sekadar di tahap persetujuan pun, gambaran kegiatan di negeri kita sungguh buram. Sejak beberapa tahun terakhir, angka persetujuan maupun realisasi investasi di negeri kita cenderung terus memburuk.

Pada tahun lalu, misalnya, nilai bersih investasi langsung oleh asing di Indonesia tercatat minus 0,8 miliar dolar AS. Artinya, devisa yang ditaburkan investor asing di berbagai proyek di negeri kita lebih sedikit dibanding devisa yang dikirimkan jajaran PMA ke luar negeri dalam rangka pembayaran kembali pokok pinjaman (debt repayment) mereka kepada perusahaan induk di mancanegara.

Dengan kenyataan serupa itu pula, dibanding negara-negara lain, daya saing iklim investasi kita sudah jeblok. Bahkan dibanding sejumlah negara yang satu dekade lalu masih merupakan "anak bawang" dalam peta kegiatan investasi internasional ini -- seperti Vietnam atau bahkan Kamboja --, kinerja investasi kita kini sudah bukan apa-apa lagi. Kita sudah kalah. Kepercayaan dan gairah asing menanam investasi langsung di negeri kita sudah nyaris luntur.

Dalam konteks itu, kita tak bisa menghibur diri oleh angka-angka investasi dalam fortofolio saham dan surat berharga. Kita tahu, di samping tidak memiliki dampak langsung terhadap kegiatan ekonomi sektor riil -- notabene, sekali lagi, amat membantu mengatasi masalah pengangguran -- volatilitas investasi dalam fortofolio ini juga amat tinggi. Berbeda dengan investasi langsung, dana investasi dalam bentuk fortofilio amat mudah ditarik atau dipindahkan seketika.

Dengan kata lain, angka investasi dalam fortofolio saham dan surat berharga cenderung semu -- dan karena itu bisa mengecoh. Justru itu, angka mengesankan tentang investasi dalam fortofolio ini tak selayaknya menjadi ukuran bahwa iklim investasi kita sudah benar-benar oke.

Itu berarti, laporan Unctad tadi tak sepatutnya membuat kita bak orang kebakaran jenggot. Laporan tersebut justru amat beralasan kita tanggapi serius sebagai pijakan untuk melakukan pembenahan mendasar terhadap iklim investasi langsung, terutama oleh asing, di negeri kita.***
Jakarta. 9 September 2003

02 September 2003

Moral Aparat Pajak

Menuntut tax ratio mencapai level relatif tinggi -- katakan saja 20 persen sebagaimana di negara-negara tetangga -- memang sah-sah saja. Bahkan dalam konteks negara modern, tuntutan itu sungguh logis: karena tax ratio merupakan tolok ukur atau cerminan tentang partisipasi rakyat dalam penyelenggaraan negara. Makin tinggi tax ratio, berarti makin tinggi pula partisipasi rakyat dalam penyelenggaraan negara.

Tetapi tuntutan itu menjadi terasa tidak adil kalau berbagai peluang yang memungkinkan penerimaan pajak bisa meningkat drastis justru tak bisa disentuh. Nalar kita langsung terusik: bagaimana mungkin tax ratio bisa meningkat signifikan kalau banyak potensi penerimaan pajak tak bisa digali karena memang akses untuk itu tertutup rapat.

Dirjen Pajak Hadi Purnomo sendiri membeberkan bahwa paling tidak terdapat tujuh akses yang sekarang ini tak bisa ditembus ketentuan perpajakan ini. Dia menyebut bahwa akses yang kini tak bisa ditembus itu, antara lain, pemilik deposito, pemegang kartu kredit, juga penerima kredit perbankan. Aparat pajak tak bisa berbuat apa-apa menghadapi kenyataan bahwa kewajiban pajak orang-orang terkait dengan pemilikan kartu kredit atau deposito -- juga tabungan dan giro -- sekarang ini masih banyak lolos. Apa boleh buat karena ketentuan UU Perbankan tak membukakan akses bagi aparat pajak untuk menggali potensi pajak yang tercecer itu.

Entah berapa besar nilai potensi pajak yang tercecer atau bahkan tak tersentuh ini. Yang pasti, Hadi menyebutkan bahwa kalau saja ketujuh akses tadi bisa ditembus, dana puluhan triliun rupiah bisa dijala sebagai penerimaan pajak.

Peluang seperti itu jelas sungguh amat berarti -- terlebih di tengah prognosa bahwa penerimaan pajak tahun ini menurun akibat kondisi makro yang tak kondusif bagi pemungutan pajak. Dengan bisa menembus akses-akses yang selama ini tertutup rapat, tax ratio pun pasti terdongkrak. Di satu sisi, itu membuat penerimaan pajak jadi jauh lebih besar ketimbang rata-rata selama ini dengan angka tax ratio yang hanya 13-an persen. Di sisi lain, peningkatan tax ratio juga membuat perpajakan jadi lebih kuat mengemban fungsi keadilan.

Karena itu, kita mendukung pendirian mengenai perlunya akses-akses yang selama ini tertutup bagi perpajakan ini dibuka. Klausul kerahasiaan bank yang termuat dalam UU Perbankan, misalnya, amat beralasan dihapuskan. Patut kita akui, klausul tersebut selama ini membuat begitu banyak potensi pajak tak bisa digali.

Memang, penghapusan klausul kerahasiaan bank ini mungkin menjadi disinsentif bagi industri perbankan nasional. Boleh jadi, itu membuat orang menjadi enggan menaruh dana di bank -- karena setiap saat identitas diri ataupun data tentang simpanan kita di bank bisa diobok-obok pihak-pihak berwenang yang memiliki kepentingan.

Tapi, agaknya, keengganan itu tak bakal berlangsung lama. Jika sudah tak ada pilihan lain, lambat-laun mungkin kita bisa menerima kenyataan bahwa industri perbankan kita tak lagi menjamin kerahasiaan nasabah. Terlebih jika dikaitkan dengan tuntutan atau bahkan tekanan dunia internasional mengenai praktik pencucian uang (money laundering), tampaknya kita harus menyadari bahwa klausul kerahasiaan bank sekarang ini kian usang dan tak lagi bisa absolut.

Dalam konteks itu pula, kita menghargai kesepakatan pemerintah dan DPR melakukan kajian mengenai penghapusan klausul kerahasiaan bank dalam UU Perbankan ini. Mudah-mudahan langkah tersebut tak memakan waktu terlalu lama -- meski di lain pihak kita juga menyadari bahwa DPR maupun pemerintah memiliki banyak agenda lain yang sudah mendesak diselesaikan. Kita perlu menekankan bahwa di tengah tuntutan agar tax ratio naik signifikan, amandemen UU Perbankan -- antara lain -- serta-merta menjadi kebutuhan tak terhindarkan.

Selain pembukaan akses-akses yang selama ini tertutup rapat, peningkatan tax ratio juga menuntut prasyarat lain: pembenahan sikap-tindak jajaran aparat pajak sendiri. Tanpa itu, pembukaan akses-akses yang selama ini tertutup hanya akan menjadi lahan subur bagi oknum-oknum aparat pajak untuk memperkaya diri sendiri. Justru itu, penerimaan pajak pun tetap tak optimal sesuai potensi nyata yang seharusnya bisa digali.

Sejauh ini, sikap-tindak jajaran aparat pajak memang masih banyak mengundang keluhan. Tak kurang dari Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) yang merasa perlu menggarisbawahi soal ini. Menurut IKPI, banyak oknum perpajakan yang belum menghayati tugas mewujudkan kemakmuran serta kemajuan bangsa, negara, dan rakyat Indonesia melalui pungutan pajak. Perbuatan oknum aparat pajak yang nyata-nyata mengingkari tuntutan bagi mereka sebagai abdi negara ini bukan sekadar terus berlanjut, melainkan justru kian meraja-lela.

Ironinya, jajaran pimpinan Ditjen Pajak sendiri belum terlihat menunjukkan kesungguhan melakukan langkah-langkah taktis, strategis, nyata, konsekuen, dan konsisten menertibkan berbagai penyimpanan oleh oknum-oknum aparat pajak ini.***

Jakarta, 2 September 2003

29 Agustus 2003

Premanisme dan Investasi

Premanisme, di mana pun dan dalam kondisi bagaimanapun, selalu menimbulkan kesan tidak sedap. Premanisme adalah sikap-tindak yang tak pernah mengindahkan nilai kesantunan, rasa malu, dan kebanggaan sejati. Karena itu, premanisme adalah cermin buram yang membuat wajah elok sekalipun menjadi terlihat penuh borok.

Begitu pula dalam konteks investasi: premanisme tak pelak membuat kalangan pemilik modal enggan masuk ke negeri kita. Bahkan mereka yang selama ini sudah berkiprah pun menjadi gerah, tak genah, dan karena itu ingin hengkang ke negeri lain yang menawarkan surga berbisnis.

Kenyataan itu jelas sungguh tidak produktif, atau bahkan menjadi disinsentif bagi kepentingan ekonomi nasional kita. Upaya pemerintah menghidupkan kembali ekonomi domestik -- notabene resmi ditandai dengan pencanangan tahun 2003 sebagai Tahun Investasi -- menjadi sia-sia saja. Coba saja simak angka loan to deposit ratio (LDR) perbankan kita yang rata-rata masih menapak di bawah 40 persen. Angka itu menunjukkan bahwa perbankan masih relatif sedikit mengucurkan kredit ke sektor riil.

Boleh jadi, itu bukan terutama karena perbankan nasional enggan menyalurkan kredit, melainkan justru lebih karena sektor riil sendiri amat kurang meminta guyuran kredit. Bahkan pengakuan kalangan perbankan -- bahwa tak sedikit kredit yang sudah memperoleh persetujuan tak kunjung dicairkan debitur -- mungkin tidak mengada-ada.

Tentu, keengganan debitur mencairkan kredit itu memiliki alasan tertentu yang amat mendasar. Mungkin mereka jadi ragu atau bahkan memutuskan tak jadi merealisasikan proyek. Dalam kaitan ini, boleh jadi mereka menilai bahwa pemanfaatan kredit sungguh tidak produktif atau berisiko menjadi bumerang mematikan -- yakni kredit mengalami kemacetan karena proyek investasi yang mereka danai tak terjamin berlangsung lancar, antara lain gara-gara gangguan premanisme.

Premanisme sesungguhnya bukan lagi sekadar mengganggu, melainkan sudah merupakan penyakit berbahaya (enemies). Itu pula, agaknya, yang ingin disampaikan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Theo F Toemion, beberapa hari lalu. Sebagai pihak yang dibebani tanggung jawab menjaring dan menebarkan proyek investasi di dalam negeri, Theo memang terkesan amat gundah oleh premanisme dalam konteks investasi ini -- di samping juga oleh faktor kewenangan BKPM sendiri yang dia rasakan tak bisa optimal memberikan layanan kepada investor.

Theo layak gundah karena premanisme memang begitu marak. Ini tak hanya terjadi di lapangan atau di lokasi proyek, melainkan juga sejak lama -- seiring reformasi -- menggejala di kantor-kantor birokrasi.

Premanisme di lokasi proyek dilakukan oleh preman sungguhan, yakni mereka yang lebih mengandalkan modal nyali, otot, atau kesangaran penampilan fisik. Sementara premanisme di kantor-kantor birokrasi dilakukan oleh oknum-oknum kekuasaan yang memanfaatkan kewenangan di tangan mereka sebagai alat untuk memeras investor bagi kepentingan kantung sendiri.

Bagi investor, preman sungguhan ataupun preman kantoran sama-sama memusingkan -- karena amat membebani investasi. Jika preman sungguhan sekadar meminta uang rokok atau uang jasa keamanan, preman kantoran tak ragu dan tak malu-malu lagi meminta upeti, sogokan, pelicin, dan sejenisnya dalam jumlah relatif besar.

Itu sungguh menjadi disinsentif bagi iklim investasi kita. Terlebih iklim investasi di dalam negeri ini sejak lama dikeluhkan sudah miskin insentif -- dan karena itu kalah bersaing oleh negara-negara tetangga. Tim Kerja Sama Ekonomi Indonesia-Jepang, misalnya, menyebutkan bahwa iklim investasi di dalam negeri kini terasa tak mengundang minat dan gairah karena tak menjanjikan insentif fiskal maupun finansial.

Jujur saja, potret buram iklim investasi di dalam negeri ini sudah sejak lama kita ketahui -- karena memang sering dikeluhkan dunia usaha. Tapi patut kita akui pula, langkah-langkah nyata perbaikan nyaris tak diperlihatkan pihak-pihak yang memiliki kewenangan membuat kebijakan.

Karena itu, kita menangkap kesan bahwa keluhan dunia usaha tentang iklim investasi yang sudah tak kondusif ini adalah satu hal, sementara upaya perbaikan adalah soal lain yang tak harus sungguh-sungguh dilakukan -- karena bisa mengganggu premanisme yang notabene selama ini melibatkan oknum birokrasi. Karena itu, serupa apa pun iklim investasi sekarang, bagi mereka bukan soal yang mengundang prihatin. Bagi mereka, business as usual!

Kalaupun terlihat keinginan mereka membuat perubahan, itu bukan merujuk pada prasyarat kondisional dan proses. Apa yang mereka perlihatkan tentang itu justru langsung menunjuk pada hasil (goals): bahwa kegiatan investasi harus bangkit bergairah lagi. Itu mereka tunjukkan dengan membuat target atau proyeksi kuantitatif.

Tak heran, karena itu, pencanangan tahun 2003 sebagai Tahun Investasi pun terasa sia-sia. Apa boleh buat, karena pencanangan itu nyaris tak direspons positif dan proaktif lewat perbaikan regulasi atau kebijakan yang konsisten mengharamkan premanisme, serta di sisi lain memberikan insentif menggairahkan bagi investor.***
Jakarta, 29 Agustus 2003

26 Agustus 2003

Penjadwalan Utang

Dari segi urgensi, meminta penjadwalan ulang (resheduling) utang luar negeri kepada para kreditur sebenarnya amat beralasan. Yakni agar anggaran publik dalam RAPBN tidak banyak terkuras oleh pembayaran utang. Dengan itu pula, RAPBN bisa diharapkan mengucurkan berkah ekonomi yang akan sangat berguna bagi kehidupan rakyat banyak -- entah berupa subsidi ataupun kegiatan pembangunan. Dalam bahasa formal dan keren, rescheduling utang sangat memungkinkan membuat RAPBN mampu menghembuskan stimulus ekonomi.

Stimulus ekonomi memang amat diperlukan rakyat banyak karena kehidupan mereka belum juga menunjukkan tren membaik. Rakyat masih saja terbelenggu hidup serba susah, pahit, dan keras. Pengangguran, misalnya, tiap hari malah kian menggunung.

Dalam kondisi demikian, kegiatan investasi belum banyak memberi makna. Kegiatan investasi di dalam negeri, sejauh ini, tetap saja lesu. Kalangan pemilik modal terkesan enggan masuk ke sini. Bahkan mereka yang sudah berkiprah pun amat sedikit yang tergerak menambah investasi.

Mungkin itu karena iklim investasi di negeri kita ini sudah tak mengundang gairah lagi. Atau mungkin pula karena kalangan pemilik modal masih menunggu lahirnya pemerintahan baru hasil Pemilu 2004. Yang pasti -- ini menarik sekaligus memrihatinkan -- kalangan investor makin memerlihatkan gelagat tak betah lagi berusaha di sini. Satu-dua investor bahkan sudah tandas memutuskan menutup usaha di sini dan memindahkannya ke mancanegara.

Jadi, mengatasi kehidupan rakyat yang kian berat dan keras ini, peran pemerintah melalui mekanisme anggaran sangat diharapkan. Karena itu, sekali lagi, RAPBN sungguh dituntut mampu mengalirkan berkah ekonomi bagi rakyat banyak. Untuk itu, alokasi anggaran pembangunan berupa anggaran pendidikan, kesehatan, pangan, investasi umum, atau subsidi untuk kelompok miskin harus lumayan besar.

Tapi apa yang terjadi, APBN justru banyak tersedot oleh pengeluaran rutin -- terutama kombinasi pembayaran utang pokok dan bunganya, plus pembayaran utang dalam negeri. Bahkan dalam RAPBN 2004, alokasi pembayaran pokok utang dibuat berlipat menjadi Rp 46 triliun dibanding APBN tahun berjalan senilai Rp 17 triliun.

Karena itu, ihwal rescheduling utang pun kian relevan dan makin urgen dimintakan pemerintah kepada para kreditur. Tak kurang dari fraksi-fraksi di DPR sendiri merasa perlu menekankan soal itu.

Memang, sebagai konsekuensi kita memilih mengakhiri kerja sama dengan Dana Moneter Internasional (IMF) pada akhir tahun ini, fasilitas rescheduling utang -- selama ini diwadahi forum Paris Club -- sudah tak bisa kita nikmati lagi. Maklum, karena peran Paris Club memang dipayungi oleh IMF.

Namun bukan berarti peluang bagi kita menikmati rescheduling utang ini lantas sudah tertutup sama sekali. Kalangan ekonom maupun beberapa fraksi di DPR mengingatkan bahwa fasilitas tersebut masih mungkin bisa kita raih melalui mekanisme bilateral berupa government to government (G to G).

Tetapi kita menangkap kesan bahwa pemerintah tak memiliki cukup keberanian untuk itu. Seperti kata Menkeu Boediono, meminta rescheduling utang pada para kreditur sungguh riskan. Kalangan kreditur, ujarnya, bisa beranggapan atau menilai bahwa Indonesia mengemplang utang. Itu, pada gilirannya, bisa sangat merepotkan kepentingan ekonomi-bisnis kita di forum internasional.

Risiko seperti itu mungkin benar bisa tertoreh. Artinya, pemerintah tidak mengada-ada sekadar untuk menutupi keengganan atau keberanian meminta rescheduling utang pada para donor.

Kita juga layak ragu bahwa soal risiko berkaitan dengan permintaan mengenai rescheduling utang itu adalah demikian pasti seperti perhitungan matematis bahwa tiga kali tiga adalah sembilan. Melihat sejumlah kasus yang pernah ditunjukkan sejumlah negara, jangankan sekadar meminta rescheduling, bahkan minta pengurangan pokok utang (hair cut) pun bukan sesuatu yang najis dilakukan -- dan terbukti tak berisiko. Jerman pasca Perang Dunia II dulu, misalnya, bisa menikmati hair cut utang sebesar 50 persen tanpa membuat para kreditur menilai negara tersebut mengemplang utang hingga harus ramai-ramai dijauhi atau diisolasi dalam konteks pergaulan ekonomi dunia.

Karena itu, jangan-jangan soal reaksi negatif para kreditur jika kita meminta rescheduling utang ini lebih merupakan ketakutan yang kita reka-reka sendiri. Atau jangan-jangan pula itu lebih mencerminkan keengganan atau ketidaksanggupan kita bernegosiasi.

Kita khawatir sekaligus prihatin jika kemungkinan itu yang terjadi. Semata karena ketidaksanggupan kita menegosiasikan soal urgensi rescheduling utang saat ini, alokasi anggaran pengeluaran dalam RAPBN yang memiliki banyak dampak ekonomi bagi rakyat banyak lantas terus dicekik.***
Jakarta, 26 Agustus 2003